"Sabarlah hati. Jika kamu dilukai, artinya kamu masih perlu diuji agar tetap kuat menerima segala berkah di masa depan."===========Matahari bersinar sangat garang, seolah-olah ingin menyengat apa saja yang dia sentuh dengan cahayanya. Tak banyak orang berlalu-lalang di tengah teriknya yang terasa membakar kulit. Pun Lintang, wanita itu bahkan mengernyitkan dahinya saat silau menerpa kaca pelindung helmnya. Harusnya tadi pagi dia telah berada di rumah orang tuanya dan mengeluarkan Anita dari sana. Akan tetapi, perdebatan dengan Buk Rima memakan waktu yang cukup lama. Wanita itu menyayangkan kekeraskepalaan Lintang, dia menganggap Ibu Gayatri tersebut terlalu arogan dengan keputusannya, terlalu terburu-buru, sehingga memutuskan sesuatu tanpa berpikir jernih dan dalam.Namun, Lintang menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Baginya, kesalahan apa pun akan termaafkan, tetapi tidak sebuah perselingkuhan. Apalagi dengan jelas keduanya telah berzina. Adanya janin di rahim Anita membuktikan
"Kadang, tak cukup satu ujian untuk membuktikan kita pantas atau tidak menerima berkah. Tetapi, ikhlas menerima semua cobaan dan meyakininya sebagai cara Tuhan menyayangi kita."==============Lintang membiarkan sepoi angin membelai rambutnya perlahan. Tatapan wanita itu jatuh pada gulungan mega yang terbias warna saga. Sang bagaskara begitu congkak memamerkan pesonanya pada semesta, selalu saja begitu kala dia hadir ataupun tenggelam. Dia mampu membuat seluruh mata tertuju padanya kala melukis selarik warna jingga di ujung cakrawala.Suara ombak terdengar keras menampar batu karang yang berdiri kokoh, asin laut terasa menyerbu indera penciuman dan meninggalkan rasa lengket di pipi Lintang. Wanita itu menggenggam kunci rumah yang diserahkan Arsen dengan terpaksa. Dia berhasil mendapatkan rumah peninggalan orang tuanya kembali. Dengan tatapan kemarahan Anita, dia meninggalkan kedua orang yang kemudian bersitegang tentang di mana Anita akan tinggal. Dia tak mau tahu apa pun perdebatan k
"Hatiku tak pernah mengenal kata benci, tetapi kau melukai dengan kejam. Kau tanamkan di dadaku sesuatu yang disebut dendam."=============Gedung berlantai tiga tersebut terlihat menyolok di antara bangunan lainnya. Bercat kuning gading dengan tempelan batu alam di empat tiang penyangga canopy, membuat gedung itu terlihat unik. Di pintu masuk bisa dilihat banner yang bertuliskan ucapan selamat datang dan sebuah boneka kucing berwarna emas yang menggerakkan tangannya, seolah memanggil orang-orang datang. Lintang tersenyum melihat mimik lucu boneka tersebut. Memang dialah yang mengusulkan meletakkan boneka plastik itu di sana, selain lucu, menurut kepercayaan orang Cina, kucing emas tersebut penarik rejeki. Awalnya hanya sebuah miniatur, tetapi ketika berjalan-jalan di sebuah mall, tanpa sengaja melihat dan langsung membelinya.Begitu masuk ke dalam gedung, beberapa karyawan percetakan yang mengenal Lintang menganggukkan kepalanya hormat. Mereka rata-rata sudah bekerja selama tiga tah
"Kita tak bisa mengira seperti apa masa depan. Namun, bisa merencanakannya dengan baik dan pemikiran matang, selanjutnya ... biar Tuhan yang putuskan."=================Lintang menuruni tangga dengan tergesa. Air mata yang dia tahan sejak tadi luruh juga. Wanita itu tidak mengira Arsen tega melakukan semuanya. Pengkhianatan, sandiwara, dan merebut sesuatu yang harusnya menjadi miliknya. Entah di mana Arsen meletakkan nuraninya. Tidakkah pria itu ingat apa yang telah dia korbankan untuk sampai di titik ini? Arsen tahu dengan jelas bagaimana dia jatuh bangun merintis usaha tersebut. Beberapa kali hampir tutup karena orderan yang masuk tidak seberapa, tetapi biaya operasional bangunan tetap harus dikeluarkan. Kalah saing dengan percetakan besar lain yang lebih lengkap sarananya. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat Lintang. Mentalnya yang telah terasah mandiri dan kuat sejak kecil, terus menerus mencari cara untuk menutupi semua pengeluaran. Beruntung dia tidak membayar sewa gedu
"Kita harus bagaimana, Murni? Keuangan panti memprihatinkan. Kita tidak mungkin membiarkan anak-anak itu kelaparan. Belum lagi tunggakan listrik. Sejak Pak Handoko tidak lagi menjadi donatur kita, semua kesulitan datang silih berganti. Donatur yang lain juga mengurangi sumbangannya."Murni hanya diam mendengar keluhan Buk Rima. Dia menatap iba pada wanita yang mulai menua itu. Mendedikasikan hidupnya demi menjaga anak-anak terlantar, lalu mencarikan keluarga yang lebih layak agar anak-anak tersebut bisa mencecap bahagia, merasakan memiliki keluarga utuh.Murni adalah saudara jauh Buk Rima. Setelah semua anaknya menikah dan mengikuti suami mereka, Murni merasa kesepian. Dulu dia terbiasa menjaga Lintang kecil, tetapi sebuah keadaan memaksa mereka berpisah. Akan tetapi, takdir berkata lain saat mempertemukan mereka kembali di panti asuhan tempat Lintang dibesarkan. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Di saat dia mencari bocah cilik itu, Lintang justru tinggal di tempat saudaranya sendiri
"Hadirmu seperti silir angin yang tentramkan hatiku. Basuh semua luka ini. Namun, aku terlalu takut untuk bahagia, karena dia tak pernah tertulis di garis tanganku."===============Andai kematian itu bisa diminta, maka Lintang akan sukarela menjadi orang yang pertama melakukannya. Andai bunuh diri itu bukan sebuah perbuatan laknat, maka wanita itu sudah melakukannya sejak dulu. Andai ... benak wanita itu kini dipenuhi banyak perandaian. Lintang berjalan tertatih menyusuri trotoar. Langkahnya tak tentu arah, tangannya menyeret koper terasa lemah. Kebakaran yang menghanguskan rumah kedua orang tuanya menghancurkan hati dan harapan Lintang. Menurut tetangga sekitar, kebakaran itu terjadi akibat korsleting listrik dari gudang mebel yang berada di sebelah rumahnya. Api dengan cepat membakar karena jalan gang yang dilalui cukup sempit untuk dilalui mobil pemadam kebakaran, hingga petugas kesulitan memadamkan api. Personel DAMKAR itu harus mengambil jalan memutar agar bisa mencapai rumah L
"Bersamamu aku begitu mudah mengulas senyum. Dada ini juga berdebar tak tahu waktu. Rasa apa ini? Bisa kau jelaskan?===============Gemericik air menarik perhatian Lintang. Wanita itu menoleh ke arah air mancur yang berada di samping rumah. Sebuah kolam berbentuk elips ada di sana, menampung curahan air yang tumpah. Hiasan batu alam dan karang mempercantik bagian kolam. Tumbuhan menjalar dibiarkan tumbuh liar, tetapi tetap rapi. Sepertinya kolam itu benar-benar terawat. Ikan yang berenang di dalam air yang jernih menyegarkan mata Lintang, tak urung seulas senyum dia ukir di bibirnya."Lagi apa?" Suara Satya menghamburkan kesenangan yang baru Lintang kumpulkan. Wanita itu tidak langsung berbalik. Dia memejamkan kelopak mata kuat sambil menekan dahinya untuk menghadapi pria tersebut. Tentu saja, dia merasa sangat malu dan bodoh karena ketahuan baru saja berbohong. Mana dia tahu rumah yang diakui sebagai rumahnya adalah milik Satya. Pantas saja pria itu seperti sangat mengenal lokasi p
"Kaca yang retak tak perlu kuat kau genggam. Karena dia akan pecah dengan sendirinya. Pun aku, telah hancur oleh harapanku sendiri."============Lintang menuruni anak tangga perlahan menuju ruang makan. Dia belum terlalu mengenal bagian rumah Satya. Rumah itu terlalu besar untuk ditinggali seorang diri saja. Terdiri dari dua lantai di mana kamarnya dan Satya berada di lantai kedua. Awalnya Lintang heran bagaimana cara pria tersebut turun naik dengan mudah, mengingat kondisinya yang berada di kursi roda. Namun, Erna--asisten rumah tangga--menjelaskan bahwa di kamar pria itu terdapat lift pribadi yang akan mempermudah mobilisasinya.Begitu menapak di anak tangga terakhir aroma roti bakar mengelitik penciuman Lintang. Dia hapal betul selai apa yang dipakai. Aroma kacang dan coklat membuat perut wanita itu meronta minta diisi. Perlahan melangkah ke ruang makan, Lintang melihat Satya telah duduk di sana dengan koran di tangan, sambil sesekali menggigit roti bakarnya. Lintang hanya mampu