Share

Bab 3. Tamu tak diundang

"Iya, Mas. Mentari."

Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak punya teman dengan nama Mentari. Kenapa, Dek?"

Aku memejamkan mata berusaha menahan setiap perih yang menghujam hati. Bagaimana mungkin Mas Abyan tidak mengenali Mentari sementara mereka saling mencintai? Sejumput nyeri menyebar cepat, mengalir di setiap aliran darahku. Waktu seolah berhenti, memaksaku menelan semua kesedihan.

"Demi Allah, aku tidak mengenal Mentari," ulang Mas Abyan penuh penekanan ketika melihatku memalingkan wajah.

Sekarang aku tidak bisa menjelaskan apapun tentang Mentari karena lidah terasa kelu. Dengan tangan gemetar, aku coba merogoh ponsel yang berada di bawah bantal, kemudian menunjukkan pesan itu pada Mas Abyan. Dia sendiri meraih ponselku dengan raut wajah santai, seakan memang tidak melakukan kesalahan.

Begitu selesai membaca pesan itu, aku bisa menangkap keterkejutan di wajah Mas Abyan. Bola matanya membesar, dia menatapku sambil sedikit melongo. Kenapa? Mungkinkah dia tidak bisa mengelak sekarang? Aku pun tersenyum, kembali menyambut ponsel yang disodorkan padaku.

"Kenapa, Mas? Kamu tidak menduga kalau wanita itu sendiri yang mengakuinya, 'kan?"

Lihatlah, sekarang Mas Abyan mengusap wajahnya gusar. "Tidak," jawabnya kemudian.

"Bahkan setelah melihat pesan yang dikirim Mentari, Mas masih mau mengelak? Apa aku harus mengumpulkan banyak bukti sampai kamu mengakuinya, Mas? Bagaimana kalau kita telepon dia sekarang?"

"Telepon saja, aku penasaran siapa Mentari itu."

Tantanganku ternyata diterima baik oleh Mas Abyan. Aku jadi bingung karena sejak tadi akun Whats-App itu tidak aktif sampai sekarang. Lantas bagaimana harus membuktikan kalau dia adalah selingkuhan Mas Abyan? Jangan sampai dia mengira bahwa akun itu adalah teman aku sendiri demi bebas dari pernikahan ini.

Aku kembali memejamkan mata erat. Rasa perih benar-benar meraja dalam hati. Air mata pun kembali jatuh di sepanjang pipi. Oh Tuhan, rasanya begitu berat mendiskusikan hal ini dengan Mas Abyan. Benarkah dia tidak mengenal gadis bernama Mentari itu atau jangan-jangan nama Mentari hanyalah samaran?

Mas Abyan mendengus, kemudian memilih merebahkan diri dalam posisi membelakangiku. Sepertinya malam ini kami akan tidur terpisah, aku memilih ke luar dari kamar karena belum bisa menepis rasa sakit yang kian mendera. Padahal aku sudah mengumpulkan daya untuk menanyai Mas Abyan, tetapi rasa sesak tetap saja membekap.

***

Pukul tujuh pagi, aku dikejutkan oleh Mas Abyan yang sudah siap dengan pakaian kerja. Padahal biasanya dia akan memintaku untuk menyiapkan sarapan serta baju kerjanya. Sekarang tidak lagi, mungkin ini awal mula kehancuran rumah tangga kami. Aku pun memilih meneruskan aktivitas sebelumnya, yakni menonton acara televisi.

Mas Abyan acuh tak acuh, dia melenggang pergi tanpa sepatah kata pun. Baiklah, meskipun terasa sesak, aku harus bisa bersikap dingin juga padanya. Jangan sampai orang-orang menganggapku sebagai istri bodoh seperti dalam sinetron ikan terbang.

Tidak lama setelah kepergian Mas Abyan, pintu rumah terketuk dua kali. Dengan santai aku melangkah ke depan menyangka dia adalah Mas Abyan yang mungkin ketinggalan ponsel atau benda lainnya. Namun, begitu membuka pintu, aku terkejut.

"Hai, Oliv. Kenalin, aku Mentari."

Sejenak, aku membeku mendengar nama itu. Keringat dingin tiba-tiba membasahi pelipis. Benarkan wanita di hadapanku adalah Mentari yang mengirim pesan Whats-App kemarin? Jika iya, maka mungkin aku kalah saing. Dia terlihat sangat berkelas dengan pakaian kerjanya, sementara aku hanya mengenakan daster.

"Boleh masuk?" tanyanya lagi dengan senyum menawan menampilkan gigi yang berderet rapi.

Aku mengangguk, lalu berusaha menguatkan mental agar jangan sampai terlihat lemah di hadapan wanita yang mencintai suamiku. Jika terlihat lemah, pasti dia percaya diri dan merasa mudah mengalahkan aku. Tidak, ini soal harga diri. Dia melakukan kesalahan, kemudian berani datang ke sini memperkenalkan diri?

Kami saling beradu pandang ketika berhasil menjatuhkan bokong di kursi. Tatapan mata Mentari terasa memabukkan yang membuat siapapun terbuai. Aku yakin wanita ini adalah candu yang bisa membuat para lelaki melayang ke cakrawala. Aku pun tersenyum kecut, Mas Abyan pasti tergoda setelah beradu pandang.

"Sebenarnya aku Kamila. Mentari adalah nama samaran untuk membuatmu terkecoh sesaat. Aku sudah tidak bisa menahan diri, Oliv. Kami saling mencintai dan kukatakan padamu bahwa ini bagian dari takdir."

Pernyataan Mentari yang ternyata Kamila cukup membuatku terkejut, tetapi aku harus tetap bisa menjaga ekspresi. "Takdir? Kamu menyebut ini sebagai takdir?"

"Iya." Jawaban yang sikat, tetapi membuat hati hancur berkeping-keping.

"Benar sekali ucapan orang-orang. Setiap ibu harus mengajarkan anaknya untuk tidak pernah merebut mainan orang lain atau saat dia dewasa, dia akan merebut kebahagiaan wanita lain."

Wanita di hadapanku tersenyum lebar. "Jangan mengajarkan itu padaku, Oliv. Cukup kukatakan kalau aku adalah Kamila. Gadis muda yang berusia 25 tahun, bekerja di pabrik yang sama dengan Mas Abyan dan sekarang tinggal di kontrakan Bu Sintia. Aku pamit dan jangan lupa kalau aku mencintai suamimu."

Aku ingin melayangkan tamparan di wajah Kamila, tetapi dia menangkisnya dengan gerakan yang jauh lebih cepat. Ternyata dia masih muda, tetapi kenapa harus mencintai lelaki yang telah berumah tangga? Apa tidak ada satu pun dari mereka yang menginginkan Kamila?

Entahlah. Gadis itu tersenyum mengejek sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku. Rasanya berat, tetapi aku harus tetap waras untuk meluruskan perkara ini. Mas Abyan harus menjelaskan semuanya dan aku tidak boleh percaya begitu saja.

***

Cukup lama aku menunggu sampai lelaki itu tiba. Dia mengucapkan salam dengan rona wajah bahagia. Namun, bukan saatnya untuk mengulur waktu. Tanpa menjawab salam Mas Abyan, aku langsung menarik tangannya menuju ruang keluarga yang ada di depan kamar.

"Mas mengenal Mentari. Dia adalah Kamila. Gadis muda yang berusia 25 tahun, bekerja di pabrik yang sama dengan Mas Abyan dan sekarang tinggal di kontrakan Bu Sintia. Oh iya, dia juga mencintaimu, tepatnya kalian saling mencintai, betul?"

Yang ditanya hanya membisu, beberapa kali kulihat dia membuang napas pelan. Ia melesu, seperti raja yang baru saja turun dari singgasananya. Hampir lima menit aku menunggu, tetapi tidak ada jawaban sampai aku harus membuka ponsel dan menunjukkan foto mereka yang dikirim Wina kemarin.

"Ini foto kalian, 'kan, Mas?" Tidak ada jawaban, aku pun melanjutkan, "sudah berapa lama, Mas?"

"Enam bulan."

Aku memeluk tubuh yang tiba-tiba menggigil. Bukan sebab hujan deras, tetapi rasa marah dan kecewa yang telah sampai ke ubun-ubun. Enam bulan bukan waktu yang sebentar, tidak mungkin Mas Abyan khilaf untuk berselingkuh karena Kamila tadi mendatangiku dengan penuh percaya diri.

"Kalau begitu, pilih aku atau Kamila, Mas."

"Aku tidak bisa memilih, Liv. Kamila sudah hadir dalam hatiku."

"Baiklah, kalau begitu ... ceraikan aku, Mas!"

Detik berikutnya tanpa aku duga, Mas Abyan meletakkan tangannya di kepalaku. Dia menunduk, lalu menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Sungguh, hati ini bergetar, aku memejamkan mata bersiap mendengar apa pun yang Mas Abyan katakan.

"Kalau itu maumu, baiklah. Olivia, aku menjatuhkan talak satu untukmu!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau olive. syykurin. kerja g ada tapi melepas dan menyambut suami sambil dasteran. apa yg kau harapkan? sementara kau bukan wanita sempurna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status