Share

Bab 2. Foto yang dikirim Wani

Mendadak lidahku terasa kelu. Air mata pun mengalir semakin deras di sepanjang pipi. Aku menggigit bibir sekuat tenaga berharap tidak ada yang mendengar isakan ini. Kopi yang hangat ketika didiamkan dalam waktu lama akan terasa dingin, begitu pun dengan manusia. Meskipun Mas Abyan tidak mendiamiku selama ini, tetapi cintanya memudar.

Bahkan sebelum menemukan kebenaran tentang pesan dari gadis bernama mentari, hatiku sudah remuk redam. Aku hancur, tidak lagi mampu untuk terlihat baik-baik saja. Seperti sebuah acara ulang tahun, aku terkejut bukan main. Kepercayaan yang kuberi sepenuhnya pada Mas Abyan dengan mudah dia rusak, tanpa rasa bersalah.

Setengah jam setelah itu, ponsel yang aku simpan di nakas berdering. Ketika mendekat, aku melihat nama Mas Abyan tertera di sana. Kenapa dia menelepon, apakah belum cukup puas melukai hati istri sendiri? Jika dulu hati berdesir mendapat telepon dari suami, kini berbeda. Tanganku ikut gemetar, merasa enggan untuk mengangkat telepon itu sampai detik terakhir.

Mas Abyan: Angkat teleponnya, aku mau bicara!

Setelah pesan itu dikirim, Mas Abyan kembali menelepon. Aku memejamkan mata sembari menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Perlahan, tetapi pasti aku akan meninggalkan rumah ini.

"Ada apa, Mas?" sahutku setelah beberapa kali Mas Abyan mengucap kata 'halo'.

"Aku ... aku minta maaf. Baiklah, Kamila itu teman kerja aku, tepatnya anak boss. Kamu ingat sama Amina? Nah, mereka saudara."

Mendengar nama Amina disebut lagi oleh Mas Abyan setelah dua tahun yang lalu sudah berhasil menambah sesak dalam dada. Aku hanya membuang napas kasar, terasa berat untuk sekadar mengucapkan sepatah kata pun. Kenapa Kamila dan Amina harus saling berkaitan dengan pekerjaan Mas Abyan?

Amina. Seorang gadis yang pernah mendesakku untuk memberinya izin menjadi adik madu padahal Mas Abyan tidak pernah mencintainya. Sampai gadis itu menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya, dia tetap belum bisa mengubur cintanya untuk Mas Abyan. Entah dengan hari ini dan sekarang aku mendapati kabar kalau Kamila adik Amina? Bagaimana jika dia dan Amina bagaikan pinang dibelah dua?

"Kalau gitu, aku tutup teleponnya. Bye!" lanjut Mas Abyan lagi, lalu panggilan itu benar-benar ditutup tanpa memikirkan perasaanku.

Dengan pelan, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur tanpa melepaskan gulungan rambut terlebih dahulu. Bayangan masa lalu dan semua dosa itu kembali mengusik pikiran. Kaki ini terasa lemah seolah tanpa tulang.

Aku melirik ponsel yang kembali menyala karena notifikasi Whats-App. Entah siapa lagi yang mencoba merusak mood-ku hari ini. Setelah pesan mengejutkan dari Mentari juga Mas Abyan yang tiba+tiba menguak masa lalu, apakah sekarang ada masalah baru lagi?

Ternyata pesan dari Wani. Dia adalah sahabatku sejak duduk di bangku kuliah. Sayang sekali karena kami berdua tidak bisa memanfaatkan gelar sebagai sarjana pendidikan. Apalagi Wani yang berulang kali mengikuti ujian CPNS, tidak pernah membawanya pada puncak keberhasilan sampai dia memilih menganggur saja. Bedanya, Wani belum menikah.

"Mas Abyan?" gumamku mengerutkan kening menatap lekat foto itu. Dia sedang berada di sebuah restoran bersama seorang wanita? Siapa?

Wani Ariani: Itu foto kemarin, aku baru bisa mengirim hari ini karena kelupaan, Beb.

Pesan itu Wani kirim, mungkin bisa menebak isi pikiranku meskipun tidak saling beradu pandang. Foto itu aku amankan di album privasi, jangan sampai Mas Abyan mengecek ponsel ini saat aku sedang lengah. Baru saja ingin menelepon Wani untuk bertanya lebih jauh tentang foto itu, dia sudah offline.

Terpaksa aku mencari tahu sendiri. Segera kubuka aplikasi biru berlogo F dan berseluncur di beranda suami sekadar mencari jawaban. Paling tidak, ada satu jejak yang ditinggalkan. Entah itu di kolom komentar atau like super di foto yang Mas Abyan unggah.

Sayang sekali, karena aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mas Abyan hanya berinteraksi dengan akun 'Tanpa Nama'. Namun, apakah pantas jika aku curiga sementara foto profilnya adalah foto lelaki? Seorang pemain sepak bola yang ada di Amerika Latin.

Tidak. Sepertinya aku harus mencari jejak yang lain. Sangat jarang wanita feminim mencintai olahraga itu. Apalagi Mas Abyan tidak pernah tertarik pada wanita tomboy. Ponsel kuletakkan ke tempat semula, lalu melepas gulungan handuk di kepala.

***

Malam merangkak naik, hawa dingin mulai menguasai malam. Di luar hujan masih turun meski tidak sederas sebelumnya. Aku baru selesai merapikan tempat tidur sekaligus menyimpan baju kotor suamiku, dia benar-benar pulang terlambat sesuai pesannya tadi pagi.

Aku menatap lekat secangkir kopi yang masih mengepulkan asap sesekali merutuki diri yang dengan mudahnya percaya pada suami. Ada hati yang sedang kutata untuk menampik segala risau yang mengusik pikiran sejak tadi. Sebentar lagi, aku akan bicara dan mungkin setelah ini terlepaslah semua beban yang menaungi hati.

"Sayang kenapa murung? Apa karena lelah menunggu? Padahal tadi aku sudah bilang untuk tidak usah menunggu saja." Mas Abyan yang baru keluar kamar mandi mengelus pucuk kepalaku, setelah itu melangkah ke lemari untuk berganti pakaian.

"Ada yang mau aku tanyakan, Mas." Ragu-ragu aku berkata, takut kalau setelah ini kami berpisah sementara hati masih memiliki rasa padanya. Lelaki jangkung itu terlihat segar dengan aroma sabun yang menguar dari tubuhnya. Dia mendekat setelah memakai piyama.

"Tanyakan saja, Liv. Asal itu bukan tentang Kamila."

Wajahku terasa membeku, aku menelan saliva, kembali merasa sesak. Bagaimana bisa Mas Abyan mengatakan hal itu? Mungkinkah dia sudah menduga kalau aku akan menanyakan tentang Kamila? Jika Mas Abyan keberatan, maka aku harus mengganti topik.

Terpaksa aku mengukir senyum, lantas menggeleng pelan. Mas Abyan mengernyitkan dahi, menatap lekat wajahku. Biasanya aku menyukainya, tetapi entah kenapa perasaan berbunga itu lenyap begitu saja. Kali ini tidak bisa menghangatkan hati yang berujung ibadah panjang di peraduan.

Suamiku sayang, apakah waktu telah menghapus perasaanmu? Bahkan malam ini baru kusadari, aku tidak lagi menemukan cinta di sepasang matamu. Mungkinkah karena aku yang tidak bisa punya anak lagi? Ya, dulu anak kami lahir prematur dan tidak bisa diselamatkan.

"Mas, kamu ... apa kamu mengenal Mentari?" Akhirnya pertanyaan itu bisa aku lontarkan juga setelah berjam-jam latihan di depan cermin.

Kedua mata Mas Abyan membulat sempurna,  mungkin tidak akan pernah menyangka jika istrinya akan menyebut nama itu. Sebuah nama yang tidak pernah kami gemakan sebelumnya. Dia terlihat tidak tenang, lalu mengukir senyum kaku. Perasaanku sendiri semakin tidak enak. Entahlah, kami seperti berasa di ambang perpisahan.

"Mentari?" Mas Abyan mengulangi pertanyaanku, sedikit ragu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, kitimkan aja chat si mentari itu sama abyan. bukannya kau menye2. dasar g berguna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status