"Kenapa talak satu, Mas?"
"Ibu harus tahu masalah ini. Aku tidak mau disalahkan. Jadi, kita sebaiknya menunda perpisahan abadi."
Tanpa bisa kubendung, air mata turun berduyun-duyun. Satu-satunya yang kuanggap sebagai rumah justru telah mengasingkanku jauh-jauh. Jawaban yang Mas Abyan beri ternyata tidak berhasil melegakan hati. Aku ditalak, tanpa tapi, tanpa nanti. Apakah sudah terlalu dalam cintanya untuk Kamila sehingga begitu mudah menjatuhkan talak padaku yang telah dinikahi tiga tahun silam?
Laki-laki yang dulu menjadi kebanggaanku justru mengkhianat. Aku mengais banyak alasan yang mungkin menjadi penyebab runtuhnya kesetiaan Mas Abyan selain prediksi dokter yang mengatakan kalau aku tidak akan bisa punya anak lagi. Berkeping-keping kenangan masa silam kembali kukais, rasanya terlalu menyakitkan.
"Sekarang, keluar dari kamar ini, Liv. Besok ibu akan pulang, jangan biarkan dia tahu aku menjatuhkan talak satu sebelum aku bisa menyelesaikan urusanku dengan Kamila," lanjut Mas Abyan lagi semakin menambah pikiran.
"Apa maksudnya menyelesaikan urusan, Mas? Apa artinya kamu juga akan mengakhiri hubungan dengan Kamila? Tadi katamu tidak bisa memilih."
Mas Abyan diam, kemudian berbaring memunggungiku. Lekas, aku mengambil bantal untuk kemudian tidur di depan kamar seperti malam sebelumnya. Suasana kali ini berbeda, hatiku semakin diporak-porandakan. Sedikit menggigil, aku memeluk diri dalam tangis dan luka tak berkesudahan.
***
Tidak enak tinggal dalam satu atap sementara talak satu sudah jatuh. Mas Abyan mengurus diri sendiri, berangkat kerja tanpa sarapan karena aku juga enggan melakukannya. Kami mendadak seperti orang asing padahal dulu selalu menghabiskan banyak waktu bersama. Mas Abyan yang terpesona dengan kemolekan tubuhku sudah tidak ada lagi, dia memang ada, tetapi dalam porsi yang beda.
Daripada kesepian di rumah sendirian, akhirnya aku mengajak Wina ke rumah. Jarak antara rumah kami tidak jauh, jadi dia bisa tiba dalam waktu singkat. Ya, setelah satu jam yang lalu aku mengirim pesan ajakan itu, Wina benar-benar datang dengan beberapa cemilan.
"Jadi kamu sudah ditalak satu sama Mas Aby?"
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Wani sambil menyeruput es teh yang dia bawa. Rasanya terlalu sesak menjalani kehidupan seperti ini. Jika saja dulu aku tidak harus menikah dengan Mas Abyan, pasti ceritanya berbeda. Salah sendiri karena melakukan dosa paling memalukan di masa gadis.
Pernikahan kami berlangsung karena keterpaksaan. Aku begitu jahat melempar kotoran ke wajah Mas Abyan dengan menikahiku yang sudah lebih dulu hamil oleh adiknya. Mas Rayan, nama lelaki yang dulu mengisi ruang hatiku harus pergi untuk selamanya karena kecelakaan beruntun satu bulan sebelum kami menikah.
Sementara di bulan sebelumnya, aku dan Mas Rayan melakukan hubungan suami istri di sebuah hotel tempat kami berteduh dari badai malam itu setelah mengurus segala kebutuhan untuk hari pernikahan nanti. Ah, mengingat masa lalu semakin membuatku merasa bersalah saja.
"Ini nggak bisa dibiarin. Masa iya Mas Aby ceraiin kamu demi Kamila? Pokoknya kita harus ketemu sama gadis itu, apa pun yang terjadi!"
"Tapi, Win–"
"Tidak ada tapi-tapian. Kita harus ketemu Kamila. Kamu jangan mau dianggap sebagai wanita lemah!" Wani menarik tanganku kasar, ke luar rumah entah ke mana.
Aku manut saja. Untung hari ini penampilan lebih baik dari hari sebelumnya. Sebenarnya kata Mas Abyan dulu, meski hanya memakai daster, aku tetap cantik karena memiliki kulit seputih pualam juga bibir tipis indah menggoda. Namun, setelah perselingkuhannya terkuak, benarkah apa yang dikatakannya dulu?
Aku duduk di belakang sementara Wani mengemudi kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi. Rupanya kami membelah jalan menuju pabrik tempat Mas Abyan dan Kamila bekerja. Aku menarik napas panjang untuk menormalkan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Semenjak menjadi istri Mas Abyan, aku hanya beberapa kali mengunjungi pabrik itu. Tepatnya saat Mas Abyan lupa membawa sarapan. Dia akan menyambut dengan senyum hangat sambil terus mengecup kepalaku karena sudah mau merepotkan diri membawakan bekal untuknya. Bagaimana dengan hari ini? Jika dia melihatku, apakah Mas Abyan akan marah?
Tanpa kusadari, Wani sudah memarkir motornya dan mendekati seorang satpam yang berdiri tidak jauh dari kami. Aku membiarkan Wina di sana, entah apa yang dia katakan pada satpam itu karena Wani menakup kedua tangan di depan dada. Apa dia sudah gila? Entahlah.
"Sini, Liv. Jangan di situ!" panggil Wani ketika satpam mengeluarkan ponselnya, mungkin menelepon Kamila.
Sepuluh menit menunggu, akhirnya Kamila datang dari arah utara. Dia terlihat sangat percaya diri dengan pakaian kerjanya. Aku menelan saliva, berusaha memberi kekuatan pada diri sendiri. Sibuk menata hati agar terlihat baik-baik saja.
Tanpa diduga, Wina menarik tanganku dan Kamila menjauh dari satpam. "Jadi kamu selingkuhan Mas Aby?"
"Tepatnya calon istri. Kenapa?" Kamila melipat kedua tangan di perut, memberi tatapan menantang pada Wani.
Aku tidak boleh tinggal diam. Wani sudah berusaha mempertemukan kami, maka aku harus berusaha terlihat sebagai istri berhati baja. "Calon istri Mas Aby? Kapan kalian akan menikah?"
"Itu bukan urusan kamu. Mas Aby sudah memberitahuku kalau kamu ditalak tadi malam. Sebentar lagi dia bukan suami kamu lagi, kenapa masih mau ikut campur?"
Tanpa peduli apakah satpam melihat kami dari jauh, tetapi aku tetap melayangkan tamparan di pipi Kamila. Aku yakin, suamiku tidak sepenuhnya salah mengingat selama ini dia selalu menolak gadis mana pun yang mencoba mendekatinya. Lantas kenapa dia berhasil jatuh dalam perangkap Kamila?
Aku mengakui paras Kamila bisa membuat siapa saja terpesona, tetapi service-ku sebagai istri di rumah sampai ke tempat tidur itu selalu maksimal. Mas Abyan selalu melakukannya selama dua jam lebih, membuatku kelelahan dan hampir tidak bisa berdiri. Namun, ternyata pada enam bulan terakhir dia melabuhkan kapalnya di pelabuhan yang lain.
Sakit? Tentu aja.
"Kalau kalian ke sini cuma buang-buang waktuku, lebih baik pulang saja. Aku cukup sibuk untuk meladeni kalian yang tidak penting itu." Kamila tersenyum sinis, kemudian melangkah ke pintu gerbang meninggalkan aku dan Wani tanpa mengucap kata maaf.
"Dasar pelakor! Kayak gak ada cowok lain aja sampai harus ngembat suami orang!" teriak Wani frustrasi, mungkin karena melihat aku yang diam saja.
Ponselku kini berdering. Segera kurogoh kantong dan mengeluarkan benda pipih itu. Rupanya yang menelepon adalah Ibu Namira, dia ibu kandung Mas Abyan. Aku menarik napas panjang agar beliau tidak bisa menebak suasana hatiku saat ini, lalu menekan ikon hijau.
"Iya, Bu?"
"Kamu di mana, Nak Oliv? Ibu sama papa sudah pulang."
Aku memejamkan mata. Ternyata mereka benar-benar pulang dan mungkin setelah ini aku harus akting demi menjaga reputasi suami. Bodoh? Mungkin saja, tetapi aku tetap harus melakukannya demi kebaikan aku juga. Bagaimana pun, Mas Abyan pernah menolongku dengan pernikahan ini.
Pada bagian belakang rumah besar bernuansa putih dipadu dengan gold serta memiliki empat pilar itu terdapat sebuah teman yang dipenuhi dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Ada mawar, melati serta tulip kuning dan dua macam lainnya. Di bawah pohon rindang terdapat sebuah ayunan. Dua anak lelaki tampak begitu ceria. Yang sedang duduk dalam ayunan itu berumur sembilan tahun, sementara satunya menginjak usia remaja yakni lima belas tahun. Terdapat dua perbedaan besar di antara mereka. Anak remaja itu bertubuh tinggi tegap dengan hidung menjulang. Kulitnya putih bersih serta senyum begitu menawan. Rambutnya ikal, sedikit kecokelatan. Sementara sang adik berbeda. Kulit kuning langsat, rambutnya lurus berwarna hitam legam. Dia tampan, seperti kakaknya. "Alif, Muammar! Sudahi mainnya, Nak. Sini makan pizza sama mama!" teriak seorang perempuan dewasa memakai kerudung sambil membawa kotak besar berwarna cokelat. Dua anak lelaki itu seketika mendekat duduk di kursi panjang berwarna putih.
Tepat tanggal 21 September, Muammar di-aqiqah. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Meskipun tidak banyak mengundang, ternyata tamu membludak. Olivia tidak tahu jika Papa Zafir juga mengundang mantan karyawannya dahulu.Banyak doa terhatur pada Muammar, termasuk keluasan rezeki, tumbuh menjadi anak salih serta hidup dalam keberkahan di bawah naungan Allah. Kyai dan ustadz yang kemarin meruqyah mereka juga datang.Sebelum sesi foto keluarga, Olivia berdiri di di depan para tamu undangan, memintanya untuk diam dulu agar fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Olivia.Semua mata memandang kepadanya. Dari yang raut wajahnya terlihat santai sampai judes stadium empat. Namun, Olivia tidak peduli karena tentu saja mereka adalah komplotan tetangga iri dan dengki."Terima kasih atas perhatiannya. Di sini saya sebagai istri Abyan dan juga mama dari Muammar memberitahu kalian semua kalau kami ...." Olivia melirik ke arah kanan, kemudian meminta Kenzo naik ke panggung. "Dia adalah Alexa
Bab 89. Apa Tante Oliv Membenciku?Setelah satu minggu berlalu, Kenzo masih juga tinggal di rumah Abyan. Dia tetap dipanggil Timothee karena Olivia kesal mendengar nama aslinya. Meskipun perempuan itu telah tertimbun dengan tanah sesaat setelah hasil autopsi keluar, maka pihak rumah sakit langsung memandikannya.Mereka mengatakan bahwa Nadin meninggal bunuh diri karena tidak ada luka lebam di tubuhnya. Luka sayatan bisa saja dia buat sendiri karena menurut informasi dari beberapa tetangga bahwa Nadin memang sering dimarahi para rentenir karena menunggak. Rumah pun disita oleh bank.Namun, ketika dilelang, siapa yang akan mau membeli jika tahu kalau dulu pernah ada orang yang mati secara tragis di sana? Sungguh, sebuah rumah yang dulunya adem ayem kini terlihat angker. Para tetangga yang kebetulan lewat saja enggan menengok ke dalam karena beberapa malam terakhir terdengar suara tangisan dan lolongan meminta tolong.Kenzo sendiri berusaha mengubur masa lalu dengan hidup sebagai Timothe
Bab 88. Karma Sang PelakorOlivia terdiam cukup lama. Untuk saat ini hatinya benar-benar terluka. Dia geram pada Nadin dan bersyukur karena dia telah tiada. Melirik sekali pada Kenzo, anak itu menatap penuh harap.Haruskah dia mematahkan harapannya? Dia lahir sebagai seorang muslim bahkan sudah belajar salat dan mengaji, meski hanya dilangsungkan ketika di sekolah atau saat Andre berada di rumah.Lantas, jika ikut pada Stephan, apakah Kenzo akan tetap menjadi muslim? Anting salib pada telinga kiri lelaki berambut landak itu memperkuat dugaan Olivia kalau mereka berbeda agama.Abyan pun sama takutnya. Dia tahu bahwa Stephan adalah anak seorang mafia dari Italia, tepatnya di Kota Turin. Jika Kenzo ikut dengannya lantas belajar menjadi seorang pembunuh, maka dia bisa saja tumbuh sebagai ketua mafia kelas kakap.Terutama karena ada dendam membara di dalam hatinya. Abyan semakin risau. Dia juga ingat kalau Kamila pernah bilang, kedatangan Stephan ke Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu
Bab 87. Penjelasan dan Bukti TerkuatKenzo terus menangis dalam pelukan Ibu Namira. Anak lelaki berambut ikal itu sangat terluka atas berita yang dia dengar dari layar kaca. Sekarang, dia merasa tidak punya siapa-siapa lagi.Dalam pikirannya, para rentenir lah yang bersalah karena mereka menagih hutang dengan cara sangat kasar bahkan sengaja menampar wajah Nadin dua kali. Hal itu memang tidak disaksikan langsung oleh Kenzo, tetapi dia bisa mendengarnya.Ibu Namira sendiri berusaha menenangkan anak itu karena dia tahu bahwa Kenzo tak bersalah. Apa pun tindakan orang tuanya, dia tetap masih anak kecil. Ibu Namira kasihan karena kini menjadi yatim piatu, padahal Alex masih hidup.Hampir dua jam Ibu Namira menenangkan Kenzo, gantian dengan Bi Surti dan juga Papa Zafir. Anak tersebut terus dibujuk oleh semua orang di dalam rumah selain Olivia.Perempuan itu menangis dalam kamarnya sambil memeluk Muammar. Dia sengaja menyalakan murottal agar pikiran tenang dan tidak melakukan tindakan cerob
Bab 86. Kebenaran yang TerungkapAbyan menuju rumah Nadin memakai taksi online dengan sedikit tergesa karena Kamila memberi kabar kalau dia sudah berada di lokasi kejadian bersama Stephan. Perasaannya campur aduk sambil terus berharap kalau nanti Kenzo tidak terlalu sakit hati mendengarnya.Hanya butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana. Mereka bertemu di bawah pohon yang cukup untuk berteduh. Stephan memintanya bergabung dalam satu mobil karena harus membahas sesuatu."Polisi belum datang, kabarnya sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Aku meminta Kamila pulang dengan memakai taksi karena dia sangat ketakutan. Kau tidak boleh grogi, orang-orang bisa mencurigai kita. Nanti dalam bahaya, sementara pembunuhnya tersenyum menang. Kau mengerti?"Abyan yang baru saja menutup pintu mobil Pajero itu langsung mengangguk. Napasnya sedikit tersengal. Abyan meminum air mineral yang disodorkan oleh Stephan."Siapa pembunuhnya?""Kalau aku memberitahumu, kau janji tidak akan membuka mulut?"