Share

Bab 5. Tangisan Ibu Mertua

Gara-gara ibu pulang cepat, aku terpaksa kalah lagi dari Kamila. Wina mengantarku sampai depan rumah saja, setelah itu memutar haluan untuk pulang meski sebelumnya kami sudah menyusun rencana untuk mendatangi Kamila lagi suatu hari nanti.

Dengan perasaan gusar, aku membuka pintu rumah lebar. Benar saja, ibu dan papa yang sebelumnya aku panggil Om Zafir duduk di depan televisi tempat aku tidur tadi malam. Tatapan mata mereka tidak bersahabat. Walau aku sudah dianggap seperti anak sendiri, rasanya takut juga melihat mereka tanpa senyuman.

Aku duduk dengan sangat hati-hati. "Ibu sama papa kenapa nggak bilang biar aku beresin rumah dulu?"

"Ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di rumah ini, Liv. Ada apa, kenapa bantal kamu ada di luar kamar dan bukannya di dalam?"

"Itu ... tadi malam aku ketiduran saat menonton televisi, Bu." Aku tersenyum kikuk, kemudian melanjutkan untuk mengalihkan pembicaraan, "bagaimana liburannya di Bandung? Lancar nggak, Bu, Pa?"

Mereka berdua diam membuatku semakin merasa bersalah. Tidak lama setelah itu, air mata menganaksungai di pipi. Ternyata aku tidak bisa menyembunyikan masalah ini lebih lama. Apalagi sejak dulu aku selalu terbuka masalah rumah tangga pada ibu dan papa. Ketika mereka menengahi pertengkaran kecil kami, Mas Abyan atau pun aku pasti mengalah dengan mudah.

Lalu, apakah hari ini masih sama jika kuceritakan pada mereka? Pasalnya aku juga bersalah karena ditakdirkan sebagai wanita tidak sempurna. Dokter bilang, terlalu bahaya bagiku untuk memiliki anak setelah kehilangan kemarin. Pertama, keguguran anak Mas Rayan di bulan ke lima. Kedua, melahirkan prematur saat usia kandungan baru memasuki bulan ke tujuh.

Saat itu Mas Abyan menangis sejadi-jadinya karena orang yang menabrakku adalah lelaki yang mencintai Mas Abyan. Dia tidak mau kalau aku hidup bahagia sementara dirinya harus menanggung cinta sebelah pihak. Aku mendengus mengingat itu semua, kembali timbul pertanyaan apakab Mas Abyan melupakan tragedi memilukan itu?

"Papa sudah lama menjalani biduk rumah tangga, Nak Oliv. Saat ada bantal seperti ini di luar kamar, lalu tidak tersedia sarapan, rumah terlihat sepi itu artinya sedang ada masalah. Tadi papa cek ke kamar kamu karena penasaran dan menemukan secarik kertas di sana. Papa lihat itu tulisan Abyan yang memintamu untuk menyembunyikan rahasia itu."

"Tidak ada rahasia, Pa. Mungkin Mas Abyan sedang bercanda. Toh, sebentar lagi ulang tahun aku." Jujur, aku sedang berusaha untuk tersenyum sekalipun mata tidak mampu berbohong.

Dia terus menitikkan bulir bening hangat penuh luka. Ibu Namira langsung membawaku dalam pelukan, dia terisak luar biasa. Aku bisa merasakan bahunya terguncang. Entahlah, aku hanya diam di tempat tanpa balas memeluknya.

"Ibu tahu kamu dijatuhi talak satu, Nak. Ini salah, kalian tidak boleh berpisah. Abyan pasti sudah kehilangan kewarasannya. Bertahan di sini, ibu sama papa kamu akan cari jalan keluar." Ibu Namira melepaskan pelukannya, lalu mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak manja di lantai.

Aku mencegah dengan gerak cepat sambil menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Mas Abyan tidak salah. Aku yang salah karena belum hamil lagi sampai sekarang. Lelaki normal mana pun pasti mau punya keturunan. Aku tidak bisa mengabulkan harapan Mas Abyan."

"Lalu?"

"Biarkan dia bahagia sama Kamila, Bu. Aku tidak bisa memaksa Mas Abyan kembali. Kami belum punya anak, jadi tidak ada alasan untukku bertahan. Mas Abyan sudah menemukan bahagianya, dia pantas bahagia dalam pernikahan atas dasar cinta, bukan paksaan seperti yang terjadi dulu. Mungkin ini memang karma dari dosa–"

"Jangan mengatakan itu, Oliv. Rayan juga pasti ngerasa bersalah karena terpaksa ninggalin kamu. Ini bukan salah kamu sepenuhnya." Papa Zafir menggenggam tangan ini, tetapi segera aku tarik.

Mereka terlihat bersalah. Aku mengerti, sekarang kami tinggal menunggu Mas Abyan pulang. Selama masa iddah, biar saja aku tinggal di kost sambil mencari pekerjaan untuk mengisi perut. Papa memang punya perusahaan yang dipercayakan pada orang lain karena dirinya sudah tidak sanggup sementara Mas Abyan lebih suka kerja di pabrik, tetapi aku malu jika harus menjadi staff di sana.

Tepatnya Mas Abyan pernah melarangku untuk menjadi bagian dari perusahaan papa karena dia pernah membenci lelaki tua itu. Ah, entah kenapa aku selalu terbayang masa lalu. Ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya untuk menumpahkan segala luka dalam hati.

***

Mas Abyan tiba di rumah pukul lima lewat sepuluh menit. Setelah mandi, dia pun ikut duduk di depan kamar bersama ibu dan papa. Sekilas matanya yang serupa elang itu melirik pada koper yang sudah berdiri di sampingku. Dia pasti paham, makanya memilih diam dan menundukkan kepala. 

"Mas, sebagaimana yang kita tahu kalau talak satu itu saja memberiku harapan untuk kembali sementara aku tahu itu tidak akan pernah terjadi. Daripada menunggu selama tiga kali haid atau sebut saja tiga bulan, lebih baik aku segera pergi dari sini. Jadi, jatuhkan talak tiga itu, Mas, biar aku bisa bebas dari pernikahan ini."

Mas Abyan menunduk. Aku tidak tahu apakah prasangka ini benar atau tidak, yang pastinya dia tengah merasa sedih. Kedua tangannya gemetar, sementara itu napasnya terlihat tidak beraturan. Menyesal, lalu merujukku? Sepertinya mustahil.

"Tidak." Sebuah jawaban ambigu akhirnya keluar dari mulut Mas Abyan.

"Ibu sudah berusaha menahannya untuk tetap tinggal, Aby. Cuman Olivia ngerasa malu setelah ditalak. Apa tidak ada ruang untuknya lagi, Nak? Apa kesalahan Olivia sampai kamu mendua dan siapa Kamila itu?"

Mas Abyan mengangkat kepala, kemudian memberi tatapan tajam padaku seolah elang yang siap menerkam mangsa. Aku ketakutan, jangan sampai Mas Abyan maju untuk mencekik leher ini. Bukankah dia melakukan apa saja saat cintanya telah memudar? Membunuhku demi mempertahankan hubungannya menjadi sesuatu yang wajar karena masalah seperti ini sudah marak di luar sana. Aku menggeser posisi duduk memilih dekat dengan ibu.

"Tinggalkan Kamila, rujuk istrimu. Pilihan itu yang seharusnya kamu putuskan, Aby. Bukan menceraikan Olivia demi Kamila." Papa ikut berbicara.

"Olivia sendiri yang minta diceraikan, Pa. Makanya aku menjatuhkan talak satu itu. Aku tidak bisa meninggalkan Kamila. Kami akan menikah dalam waktu dekat, tidak peduli apakah ibu atau papa enggan memberi restu."

Mas Abyan memalingkan wajah, aku merasa memang tidak ada ruang untukku di hatinya lagi. Tangan gemetar ini memegang koper, lantas berdiri dengan mata merah. "Ma, Pa, Mas Abyan ...." Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. "Aku pamit. Terimakasih untuk cintanya selama ini."

Aku melihat Ibu Namira menggeleng pelan, lalu berusaha berdiri. Biarkan saja, aku tetap harus pergi dari sini meskipun Mas Abyan belum menjatuhkan talak tiga. Dia sedang menunda perpisahan karena aku yakin suatu hari nanti kami pasti resmi berpisah. Tuhan, dadaku sesak seperti ditimpa batu besar.

"Olivia!" panggil ibu mertua lagi, memaksaku memejamkan mata.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dicampakkan dan sekarang kamu pengangguran. semoga g kelaparan diluar sana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status