Bab 9. Merindukan Rayan"Kenapa aku harus membunuhmu di sini?" Abyan tersenyum miris, menatap meremehkan pada perempuan malang itu. "Aku tidak akan membunuhmu, Oliv. Jika sampai itu terjadi, sama saja aku sengaja memutuskan hubungan dengan gadis yang sangat aku cintai.""Tentu saja, itu tidak boleh terjadi," lanjut Kamila melingkarkan tangan kirinya di pinggang Abyan, sementara lelaki itu malah balas merangkul.Daripada terus sakit hati, Olivia berinisiatif pulang ke rumah ... mungkin Wani Ariani dahulu karena hari sudah semakin sore. Matahari pun sudah semakin dekat dengan peraduan.Lihatlah langit yang begitu indah memancarkan senja. Keindahan bersifat sementara, tetapi esok pasti kembali. Namun, kesempatan untuk menikmati belum tentu ada.Olivia menghela napas panjang, lalu melangkah cepat menuju mobil. Dia tidak mau berlama-lama di hadapan para pengkhianat itu, takut terjadi masalah lebih besar lagi. Sementara Olivia ingin tetap waras demi mencari tahu penyebab suaminya berubah.A
"Aku tidak tahu, mungkin karena cincin itu pemberian dari Kamila. Biasanya jika seseorang yang kita cintai ngasih kita sesuatu, pasti dijaga sepenuh hati, kan? Sementara cincin pernikahan bagi Mas Abyan mungkin tak lagi berharga." Olivia menundukkan kepala dalam, menyembunyikan air matanya.Perempuan malang itu sebenarnya bisa saja melawan, tetapi hati berkata lain. Sebelum mengetahui alasan Abyan berpaling, dia tidak akan bertindak lebih jauh dan memfokuskan kesalahan pada Kamila.Saat tahu jalan pikiran Olivia, Wani mendengus kesal dan menganggap perempuan itu bodoh. Kenapa harus menunggu jawaban, bukankah dia bisa saja menghabisi kedua pengkhianat itu?"Aku takut menyesal. Entah kenapa firasat aku mengatakan kalau Mas Abyan tidak bersalah. Dia seperti sedang dalam pengaruh jin gitu loh. Aku curiga sama cincinnya, jangan-jangan itu pelet lagi!"Kedua mata Wani melebar, sementara mulut menganga sempurna. Bulu kuduknya meremang, takut membahas tentang pelet atau ilmu hitam. Pasalnya,
Selama dua hari, Olivia terus tinggal di rumah sahabatnya. Mereka menyusun berbagai rencana serta membahas segala kemungkinan yang terjadi ketika melakukan aksi nanti. Misal saja ketahuan saat sedang mencoba mencopot cincin itu dan lain sebagainya."Masih betah rebahan, nih? Yakin belum mau balik ke rumah Mas Abyan?"Olivia melirik pada Wani yang sedang mengeringkan rambu memakai hair dryer. "Jadi, mulai gak nyaman aku ada di sini? Perasaan dulu seminggu juga kamu senang.""Bukan gak nyaman, cuman takutnya Mas Abyan malah nikahin Kamila. Bisa saja, kan, dia ngebujuk, lalu melet siang malam?""Iya, nanti aku pikirkan. Mungkin besok baru ke sana, sesuai rencana, kan?"Tidak lama setelah itu, ponsel yang sejak kemarin diangguri berdering beberapa kali. Olivia tidak mau peduli karena baginya sekarang ingin fokus memikirkan hari esok.Namun, karena terus mengganggu, Wani berinisiatif untuk melirik layar ponsel itu. Betapa terkejutnya dia saat tahu kalau panggilan itu berasal dari Abyan.Se
Bab 12. Kembali ke Istana"Jangan berani menyentuhku, kita bukan suami istri!" bentak Olivia mengarahkan jari telunjuk tepat di depan wajah Abyan yang kedua matanya memancarkan semburat merah.Menggeram, lelaki itu kemudian melangkah meninggalkan Olivia. Dalam beberapa detik, dia memutar badan kembali mengikis jarak dengan perempuan itu sambil mengacak rambut kesal."Olivia, ayo kembali ke rumah. Terserah mau menginap atau tidak, intinya saat ini kamu harus menemani ibu. Oke?" Kedua tangan Abyan saling mengatup dengan tatapan sendu.Melirik sekilas pada Wani, gadis itu mengangguk samar. Terpaksa Olivia mengangguk, pamit pada sang sahabat, lalu masuk ke dalam mobilnya.Sementara Abyan, dia bernapas lega karena berhasil membujuk perempuan itu. Padahal sebenarnya dia kesal dan tidak mau tinggal serumah lagi, tetapi semua demi sang ibu. Untuk urusan Kamila akan dia pikirkan nanti bagaimana mengambil hati gadis itu agar tidak marah saat tahu Olivia kembali tinggal bersamanya.Kedua mobil m
"Baiklah, ibu setuju. Kalau begitu, sebaiknya kamu ke luar dari kamar buat bicara sama Abyan."Olivia mengangguk, lalu meminta Ibu Namira beristirahat saja, mengingat sekarang masih pukul dua siang dan cuaca begitu terik. Setelah menyalakan kipas, dia tersenyum pada perempuan tua itu sebelum benar-benar keluar.Papa Zafir dan Abyan duduk saling berhadapan tanpa mengobrol sedikit pun. Tepatnya karena lelaki keras kepala itu lebih memilih diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.Setiap malam dia selalu merindukan Kamila. Namun, saat mandi, dia justru memikirkan Olivia. Perasaan aneh itu terjadi setiap hari. Sayang sekali karena sampai sekarang masih sulit menemukan jawaban."Ibu sudah sedikit tenang."Abyan mengangkat wajah, memasukkan benda pipih itu ke dalam kantong celananya. "Sekarang kamu mau ke mana, huh?!"Tanpa mengindahkan pertanyaan Abyan, Olivia justru mendekati lelaki berkacamata itu lantas meraih tangan kanannya untuk dicium penuh rasa takzim. "Pa, aku pamit dulu, ya!""Lo
Malam merangkak naik, suasana begitu mencekam karena hujan deras di luar sana. Angin sepoi berembus menembus celah ventilasi. Olivia duduk di tepi ranjang, membalut diri dengan selimut.Suara pintu mengusik indra pendengaran Olivia memaksa perempuan itu mengangkat wajah. Abyan muncul dari sana, lampu utama dihidupkan karena dia tidak terlalu suka gelap.Lelaki tegap tersebut menghunus Olivia dari dekat dengan tatapan tajam. Perempuan itu menelan saliva, kembali teringat pada kejadian beberapa tahun silam saat malam pertama setelah resmi menjadi suami istri."Kurasa kamu emang merindukan belaianku, Olivia. Buktinya kamu mau saja tidur di kamar ini lagi!" Sorot matanya terlihat mengejek, tetapi senyum sinis itu tidak berhasil menakuti Olivia.Tentu saja karena Olivia punya rencana sendiri yang sudah dia bicarakan dengan Wani. Dia tidak cukup bodoh untuk menerima begitu saja tanpa tujuan tertentu. Namun, perempuan itu harus pura-pura ikhlas bahkan jika sampai dimadu."Kupikir kamu akan b
Pukul tujuh pagi, Abyan sudah siap untuk berangkat ke tempat kerjanya. Sekali lagi tanpa melepas cincin itu. Olivia mendengus kesal sampai dia tidak bisa berkata-kata bahkan setelah kepergian suaminya.Seperti ada batu besar menghantam dada perempuan tersebut. Dia kesulitan mengambil napas. Sementara kedua mertua hanya bisa diam, saling pandang satu sama lain."Sejak kapan kamu suka pakai cincin, Aby?" tanya Ibu Namira penasaran.Namun, tidak ada jawaban. Lelaki berambut sebahu itu justru meninggalkan rumah tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Sebenarnya dia punya usaha sayur-mayur yang sukses sejak dua tahun lalu, tetapi Abyan meminta karyawannya untuk menjadi tangan kanan. Bukan tanpa alasan, sejak satu tahun terakhir dia sangat suka bekerja di pabrik."Ibu, apa kita langsung melakukan percobaan kedua? Tadi malam harusnya aku langsung berhasil, tetapi sial karena lupa kalau minuman itu sudah aku campur sama obat tidur.""Nanti kalau Abyan datang, langsung kasih obat tidur saja. Oran
Lelaki berambut sebahu itu membulatkan kedua mata karena menyadari kalau hanya dia yang memakai cincin. Cincin permata hitam pemberian Kamila, akankah dia melepasnya demi sang ibu?Ibu Namira terus saja meraung, meminta tolong seperti tadi, agar cincin itu dibuang saja. Dia enggan menatap mata Abyan karena geram bercampur kecewa."Mas, itu cincin apa, sih? Kenapa ibu sampai kesakitan begini?" tanya Olivia dengan nada emosi, lalu menghela napas panjang."Gak mungkin ibu kesiksa karena cincin ini. Kalau memang karena cincin, kenapa baru sekarang tersiksanya? Padahal sudah aku pakai sejak tiga bulan terakhir. Coba dijawab dulu!""Mas, kamu mau ibu sakit gara-gara keegoisanmu, hah? Ibu itu ibu kamu, mengandung serta melahirkan–""Intinya bukan cincin ini, Oliv. Gak mungkin, ibu pasti salah. Bisa saja ada yang mengirim sihir agar ibu mengatakan itu semua. Jangan-jangan kamu kerja sama dengan dukun di luar sana, ya?""Kenapa aku harus kerja sama? Aku aja gak tahu itu cincin apa!"Belum semp