LOGINSuasana lembap menyelimuti kamar kecil tempat Raynar tinggal. Dinding kayu yang mulai rapuh itu belum pernah terasa sedingin malam itu. Api lampu minyak menari kecil, seolah takut padam, sementara Raynar duduk di lantai, kedua tangannya menggenggam lutut, napasnya pendek—penuh tekanan yang bukan berasal dari tubuhnya sendiri.
Glyph naga itu kembali berdenyut. Cahaya keperakan muncul dari balik kulitnya, merayap seperti sulur hidup hingga ke lengan dan dada. Setiap denyutan seperti memukul jantungnya dari dalam, membuatnya terhuyung, menahan teriakan. “A—ahh… tidak lagi… tolong berhenti…” desis Raynar, menekan dadanya. Tetapi glyph itu tidak peduli pada permintaannya. Ia hidup. Ia bergerak. Ia memilih. Dan ia memilih dirinya. Raynar merasakan energi asing mengalir melalui nadi, mengikis batas tubuhnya, membuat ototnya menegang dan tulangnya seolah retak oleh sesuatu yang tak terlihat. Bayangan suara—gema asing—tiba-tiba mengalun di benaknya. “Pewarisku…” Raynar terhenti. Tubuhnya membeku. Itu bukan suara manusia. “Si… siapa?!” ia terpaku, suaranya bergetar. Bayangan seekor sosok raksasa melintas di alam bawah sadarnya—sepasang mata emas yang membelah kegelapan, bersisik perak yang berkilau, dan aura yang membuat dirinya tercekik hanya untuk melihatnya. Naga. Tak mungkin salah. Namun sebelum ia bisa mengenalnya lebih jauh… bayangan itu lenyap. Glyph di dadanya meredup. Raynar terjatuh di lantai, berkeringat dingin, napas tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Tetapi di balik rasa sakit itu ada sesuatu yang lebih besar—sebuah kekuatan yang baru mulai bangkit. Sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki manusia biasa. Keesokan paginya, kabut menggantung rendah di sekitar arena latihan. Para murid sudah berkumpul, sebagian memandang Raynar dengan tatapan sinis. Setelah insiden di ruang Penyimpanan Relik, kabar tentang dirinya sudah menyebar lebih cepat daripada api. Bisikan-bisikan terdengar. “Itu dia yang menyalakan relik tanpa izin.” “Katanya dia memicu formasi tingkat tinggi. Tidak mungkin seorang pesuruh sepertinya.” “Bodoh. Dia jelas menggunakan sesuatu. Atau… dia sudah dirasuki.” Raynar menunduk dalam-dalam, menyembunyikan luka di hatinya. Ia tahu, meski dirinya tidak melakukan kesalahan, sekte ini tak mungkin memihaknya. “Raynar.” Suara keras menebas udara. Itu Master Hadar, pemimpin para instruktur. Wajahnya keras seperti batu, matanya setajam pedang. “Ke depan.” Raynar melangkah, menahan jantung yang berdegup terlalu cepat. Letnan-leltnan muda di belakang Hadar memandangnya dengan jijik, seolah Raynar adalah kutu yang mengotori sekte. “Setelah insiden kemarin,” kata Master Hadar, “kau akan diuji.” Raynar mengangkat wajah. “Uji… apa, Master?” “Uji kelayakan hidup.” Bisikan terkejut menyebar. Raynar mematung. “Kau telah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya,” lanjut Master Hadar. “Jika kau memiliki bakat tersembunyi atau kekuatan liar, kami harus memastikan bahwa kau tidak membahayakan sekte.” “Kekuatan… liar?” Raynar bergumam. “Jika kau gagal mengendalikan tubuhmu sendiri,” Hadar menatapnya tajam, “kami akan menghabisi ancaman itu sebelum berkembang.” Ancaman. Dirinya disebut ancaman. Raynar mengepal. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendidih, membentang, bergerak… seperti energi naga yang terbangun semalam. “Siapkan arena isolasi,” perintah Hadar. Dua instruktur menyeret Raynar ke arena samping, tempat formasi pengikat dipasang mengelilingi lantai. Formasi itu berwarna merah darah, berpijar halus, mengurung siapa pun yang berada di dalamnya. Raynar diletakkan di tengah. Master Hadar melangkah masuk ke formasi sambil menghunus pedang panjangnya. “Kita akan melihat apakah api naga benar-benar ada dalam dirimu… atau hanya omong kosong belaka.” Arena hening. Angin menahan napas. Raynar berdiri dengan tubuh lemah, sementara Master Hadar mulai menciptakan tekanan spiritual yang berat, menghantam tubuhnya seperti gunung runtuh. Raynar terjatuh berlutut, tubuhnya nyaris tak mampu menahan beban itu. “Seseorang sepertimu tidak layak memiliki kekuatan besar,” ujar Hadar. “Sekte ini hanya menerima mereka yang kuat.” Raynar memaksa bangkit, giginya terkatup menahan rasa sakit. “Tapi aku tidak… meminta kekuatan itu…” Hadar mencibir. “Justru itu masalahnya.” Tekanan spiritual meningkat. Raynar berteriak, tubuhnya meringkuk, seolah tulangnya diremukkan dari dalam. Tepat saat napas Raynar hampir terputus— Glyph di dadanya kembali menyala. Cahaya putih keperakan meledak dari tubuh Raynar, mengguncang arena hingga tanah retak. Formasi pengikat bergoyang hebat, garis-garis merahnya bergetar seperti hendak pecah. Master Hadar tersentak mundur. “Apa?!” Raynar merasakan energi itu mengalir liar—lebih kuat daripada semalam. Suhu udara meningkat, angin berputar, dan suara menggelegar terdengar di dalam telinganya. “Pewarisku, bangkitlah…” Raynar mengangkat wajah, matanya memantulkan cahaya perak. Di belakang punggungnya, bayangan naga raksasa muncul—transparan, seakan terbentuk dari energi murni. Kepalanya terangkat tinggi ke langit-langit arena, memancarkan aura purba yang membuat para instruktur di luar formasi mundur ketakutan. Hadar sendiri terhuyung, jantungnya berdegup liar. “Tidak… tidak mungkin! Ini kekuatan naga purba!” Raynar tidak bisa mengontrolnya. Energi itu membanjiri tubuhnya seperti banjir bandang. Ia merasa seperti bukan dirinya—seolah ada roh yang bernafas bersamanya. Cahaya glyph memuncak. Arena meledak dalam kilauan keperakan. Ketika cahaya mereda, Raynar terjatuh, tubuhnya lemah. Ia tidak sadarkan diri, tetapi tubuhnya tetap menyala halus, glyph meresap seperti api kecil. Para murid berhamburan. Instruktur membantu Master Hadar yang tersungkur, napasnya berat. “Glyph itu… mustahil. Mustahil ada yang tersisa…” gumam Hadar dengan suara gemetar. Di luar arena, para tetua sekte datang dengan wajah tegang. Tetua Bara, pemimpin dewan, melirik Raynar yang tergeletak. “Itu tidak mungkin… glyph naga tidak pernah muncul selama lebih dari seribu tahun.” “Apakah kita… melindungi bahaya besar?” bisik salah satu tetua. Tetua Bara menghela napas dalam-dalam. “Bukan hanya bahaya. Ini… adalah sesuatu yang bisa memusnahkan sekte jika kita salah langkah.” Seorang murid yang mengintip dari kejauhan berlari panik. “Tetua! Ada pasukan asing di kaki gunung!” Pasukan asing. Para tetua terkejut. “Pasukan mana yang berani datang ke wilayah kita?” Murid itu gemetar. “Mereka mengenakan baju besi hitam… simbol kerajaan—tapi bukan kerajaan kita. Mereka membawa bendera klan asing.” Tetua Bara mengangguk pelan. “Sudah dimulai.” “Ma—maksud tetua?” “Tentu saja mereka mencium bangkitnya warisan naga.” Tatapannya menajam, memandang Raynar yang tak berdaya. “Kekuatan itu mengundang dunia.” Beberapa jam kemudian, Raynar terbangun di ruang penyembuhan. Enak cairan herbal memenuhi udara, tetapi tubuhnya masih terasa panas dari dalam. Ketika ia membuka mata, ia melihat sosok Linara berdiri di samping ranjang, wajahnya serius. “Raynar… kau hampir mati.” Raynar mengerjap. “Apa… apa yang terjadi?” “Sudah kubilang kita harus berhati-hati.” Linara menatapnya tajam. “Tapi bukan hanya itu. Ada ancaman dari luar. Pasukan asing datang ke wilayah sekte. Mereka sepertinya mencari seseorang.” Raynar menegang. “Mencari… aku?” Linara tidak mengangguk, tetapi diamnya sudah menjadi jawaban. Raynar menatap langit-langit dengan napas berat. Kebangkitan kekuatan itu… mengguncang sekte. Mengundang musuh dari luar. Dan mulai mengubah hidupnya menjadi perang yang tak ia minta. Namun di balik ketakutannya, ada sesuatu dalam dadanya yang terus berdenyut—bukan glyph, bukan rasa sakit. Tapi panggilan. Seolah ada naga raksasa di kejauhan… menunggu saat Raynar benar-benar bangkit.Malam turun seperti tirai hitam yang menelan seluruh gunung Thevrion. Tidak biasanya angin berhenti bergerak, seolah semua alam menahan napas. Langit begitu gelap hingga lentera-lentera sekte tampak seperti titik cahaya rapuh yang bergetar di tengah kekosongan. Raynar berjalan pelan keluar dari ruang penyembuhan. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi pikirannya resah. Suara gema—halus seperti bisikan angin—bergetar di benaknya sejak bangun. “Pewarisku… Kegelapan telah mencium jejakmu.” Ia menggigil. Suara itu bukan suara manusia, bukan pula suara dari dalam dirinya. Itu… suara naga itu lagi. Ketika Raynar menatap ke kejauhan, ia melihat kabut hitam tipis mulai turun dari puncak hutan di bawah gunung. Kabut itu bukan kabut biasa. Terasa berat. Pekat. Seolah memiliki kehendak sendiri. Dan dari kejauhan terdengar sesuatu— suara gesekan yang tidak seharusnya dimiliki makhluk hidup. Sek-sek-sek… Raynar merinding. “Raynar!” Ia menoleh cepat. Linara berlari menghampirinya, napasnya me
Suasana lembap menyelimuti kamar kecil tempat Raynar tinggal. Dinding kayu yang mulai rapuh itu belum pernah terasa sedingin malam itu. Api lampu minyak menari kecil, seolah takut padam, sementara Raynar duduk di lantai, kedua tangannya menggenggam lutut, napasnya pendek—penuh tekanan yang bukan berasal dari tubuhnya sendiri. Glyph naga itu kembali berdenyut. Cahaya keperakan muncul dari balik kulitnya, merayap seperti sulur hidup hingga ke lengan dan dada. Setiap denyutan seperti memukul jantungnya dari dalam, membuatnya terhuyung, menahan teriakan. “A—ahh… tidak lagi… tolong berhenti…” desis Raynar, menekan dadanya. Tetapi glyph itu tidak peduli pada permintaannya. Ia hidup. Ia bergerak. Ia memilih. Dan ia memilih dirinya. Raynar merasakan energi asing mengalir melalui nadi, mengikis batas tubuhnya, membuat ototnya menegang dan tulangnya seolah retak oleh sesuatu yang tak terlihat. Bayangan suara—gema asing—tiba-tiba mengalun di benaknya. “Pewarisku…” Raynar terhenti. Tub
Angin malam menyusup melalui celah jendela Paviliun Dalam, membawa hawa dingin yang menempel pada kulit Raynar. Ruangan itu jauh lebih luas daripada gubuk pesuruh tempat ia tinggal sebelumnya—lantai kayu mengilap, tempat tidur empuk, dan lentera kristal yang berpendar lembut. Namun tak ada rasa nyaman sedikit pun. Karena di setiap sudut ruangan ini… Raynar merasa ada mata yang terus mengawasinya. Ia duduk di tepi ranjang, memegang dada tempat glyph naga itu tertanam. Meski cahayanya sudah mereda, kulitnya masih hangat, seolah simbol itu bernapas bersamanya. “Warisan… pewaris…” gumam Raynar dengan suara lirih. “Aku tidak mengerti apa yang kalian inginkan dariku…” Suara itu—suara naga purba—tidak muncul lagi sejak kejadian di aula. Tapi keheningan ini bukan perlindungan. Rasanya seperti ketenangan sebelum badai. Raynar mengelus dadanya perlahan. Setiap kali ia menyentuh simbol itu, tubuhnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang berputar di dalam dirinya, menunggu dilepaskan.
Suara pintu besar yang terbuka paksa membuat seluruh aula utama Sekte Serakan Cahaya dipenuhi gaung berat. Cahaya lentera bergoyang-goyang, seolah ikut menggigil melihat apa yang dibawa masuk oleh para tetua malam itu. Raynar. Tubuhnya masih melemah, pakaian lusuhnya sobek di beberapa bagian, dan napasnya pendek seperti baru ditarik paksa dari kematian. Dua tetua memapahnya menuju pusat aula, tepat di depan altar batu tempat biasanya para murid bersumpah setia pada sekte. Kini, altar itu terasa seperti panggung eksekusi. Aula dipenuhi puluhan orang: murid tingkat tinggi, penatua, penjaga sekte, bahkan beberapa tamu terhormat yang biasa tinggal di paviliun atas. Semua mata tertuju padanya—mata yang tidak lagi berisi penghinaan… melainkan ketakutan, keserakahan, dan hasrat. Tetua Rengard, lelaki tua dengan janggut putih panjang dan mata tajam seperti elang, melangkah maju. Ia adalah tetua tertinggi kedua di sekte, terkenal karena keras dan ambisius. “Letakkan pemuda itu.” Raynar
Embun pagi menyelimuti halaman pelatihan Sekte Serakan Cahaya. Matahari baru saja terbit, menembus kabut tipis yang menggantung di udara. Di tengah hiruk-pikuk para murid yang berlatih, terdengar suara bentakan, umpatan, dan tawa mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Di antara semua itu, berdiri seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh dan buket kayu di tangan—Raynar. Seperti biasa, tidak ada yang memperhatikannya. Ia berjalan pelan, menghindari murid-murid yang berlatih pedang dan tidak ingin terseret dalam amukan mereka. Setiap pagi, tugasnya hanyalah satu: membersihkan halaman pelatihan. Tugas yang bahkan tidak mau dilakukan murid terlemah sekalipun. “HEY! Pesuruh!” teriak salah satu murid, menendang ember air ke arahnya. “Airnya kurang! Apa kau buta atau bodoh?” Raynar terdiam, menunduk, menahan napas. Ember itu jatuh tepat di depan kakinya, memercikkan air ke jubahnya yang tipis. Murid lain tertawa melihatnya. “Raynar si sampah sekte! Tidak bisa mel







