Home / Fantasi / Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan / BAB 3 - Bayang-Bayang Penghianat

Share

BAB 3 - Bayang-Bayang Penghianat

Author: Alorastory
last update Last Updated: 2025-12-08 23:30:53

Angin malam menyusup melalui celah jendela Paviliun Dalam, membawa hawa dingin yang menempel pada kulit Raynar. Ruangan itu jauh lebih luas daripada gubuk pesuruh tempat ia tinggal sebelumnya—lantai kayu mengilap, tempat tidur empuk, dan lentera kristal yang berpendar lembut.

Namun tak ada rasa nyaman sedikit pun.

Karena di setiap sudut ruangan ini…

Raynar merasa ada mata yang terus mengawasinya.

Ia duduk di tepi ranjang, memegang dada tempat glyph naga itu tertanam. Meski cahayanya sudah mereda, kulitnya masih hangat, seolah simbol itu bernapas bersamanya.

“Warisan… pewaris…” gumam Raynar dengan suara lirih. “Aku tidak mengerti apa yang kalian inginkan dariku…”

Suara itu—suara naga purba—tidak muncul lagi sejak kejadian di aula.

Tapi keheningan ini bukan perlindungan.

Rasanya seperti ketenangan sebelum badai.

Raynar mengelus dadanya perlahan. Setiap kali ia menyentuh simbol itu, tubuhnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang berputar di dalam dirinya, menunggu dilepaskan.

“Kalau saja aku bisa mengembalikan semuanya…”

Kalau saja ia bisa kembali menjadi pesuruh yang tak terlihat, tanpa beban dunia di pundaknya.

Namun pintu paviliun tiba-tiba berderit.

Raynar tersentak.

Siluet seseorang muncul di ambang pintu—tinggi, tegap, dengan jubah merah keemasan yang hanya dikenakan oleh murid inti.

Dalen.

Senyum miringnya muncul, bukan penghinaan kali ini… tapi sesuatu yang lebih gelap.

“Raynar,” ucapnya pelan. “Akhirnya… kita bertemu lagi. Kali ini, bukan sebagai pesuruh yang hina.”

Raynar berdiri perlahan. “Dalen… apa yang kau lakukan di sini? Ini area terbatas—”

“Kau masih belum mengerti posisi barumu, ya?” Dalen melangkah masuk tanpa diundang. “Mulai sekarang, tidak ada tempat yang benar-benar ‘terbatas’ untukmu… atau untuk mereka yang ingin memanfaatkannya.”

Raynar mengerutkan kening. “Aku… hanya ingin istirahat.”

“Hanya itu?” Dalen menutup pintu dengan perlahan, hampir tanpa suara, membuat ruangan semakin sunyi. “Atau kau takut? Takut mati, mungkin?”

Raynar menahan napas.

Dalen mendekat, matanya mengamati dada Raynar dengan ketertarikan berlebihan. “Jadi… simbol itu benar-benar ada.”

Ia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh simbol naga di dada Raynar.

Raynar langsung mundur. “Jangan sentuh aku!”

Dalen tertawa kecil. “Oh, jadi kau bisa melawan sekarang? Ini baru menarik.”

Wajah Raynar menegang.

Dalen berhenti di depan meja kecil, memainkan pisau buah yang tersimpan di sana. “Kau tahu, Raynar… aku dulu ingin membuatmu merangkak di tanah sambil memohon belas kasihanku.” Ia memutar pisau itu dengan santai. “Tapi siapa sangka, orang yang paling kubenci justru menjadi… tiket emasku.”

Raynar mematung.

Dalen menatapnya dengan mata berbinar penuh ambisi. “Kau pikir aku datang hanya untuk menghinamu lagi? Tidak. Aku datang karena aku ingin… mengambil kesempatan yang diberikan oleh takdir padamu.”

Raynar menggeleng. “Takdir…… bukan milikmu.”

Dalen mendekat perlahan, ujung pisaunya diarahkan pada Raynar. “Sekte ini akan kacau begitu berita warisan naga bocor keluar. Kalau aku punya akses ke pewarisnya…” Senyumnya melebar. “Aku bisa diangkat menjadi murid inti tertinggi, mungkin bahkan calon penerus tetua.”

Raynar mundur selangkah. “Aku tidak mau terlibat dalam ambisimu. Pergilah.”

Namun Dalen tiba-tiba mengayunkan pisao—

CLANG!

Raynar jatuh ke lantai, bukan karena tertusuk, tetapi karena tubuhnya refleks menghindari. Pisau itu menghantam dinding, meninggalkan goresan.

“Jika aku tidak bisa bekerja sama denganmu…” desis Dalen. “Maka aku akan mengambil kekuatan itu dengan caraku sendiri.”

Raynar merinding. “Kau… ingin membunuhku.”

“Ya.” Dalen tersenyum. “Jika kau mati, tetua akan kehilangan pewaris. Sekte akan kacau. Dan di tengah kekacauan itu… akan ada seseorang yang memimpin ‘penemuan kembali’ warisan naga.”

Raynar merangkak mundur. “Tapi… warisan itu… katanya akan hilang jika aku mati.”

Dalen terkekeh. “Kau benar-benar bodoh. Itulah alasan kenapa mereka menyembunyikanmu, bukan? Mereka takut kehilangan warisan. Tapi aku tidak takut. Aku punya rencana.”

Ia mengangkat pisau.

“Jika aku tidak bisa mendapatkan warisanmu… aku akan memastikan kau bukan milik mereka juga.”

Raynar memejamkan mata.

Sial… aku harus bertahan!

Tiba-tiba—

DUM!

Glyph naga di dada Raynar berdenyut keras, seolah merespons ancaman. Cahaya merah keemasan muncul tipis, tapi cukup membuat Dalen terkejut.

“Apa—?!”

Raynar memanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri. Ia merasakan panas mengalir dari dada ke lengan, lalu ke telapak tangan.

Suara naga itu bergema singkat.

“Pertahankan hidupmu.”

BRAKK!

Energi tak terlihat meledak dari telapak tangan Raynar, mendorong Dalen hingga menabrak meja dan kursi tumbang berantakan.

Dalen batuk, memegang dadanya yang sakit. “Kekuatan… itu bereaksi sendiri? Sial!”

Raynar terkejut. Ia tidak tahu bagaimana ia melakukan itu. Badannya bergerak sendiri, kekuatannya melonjak tanpa kendali, seolah glyph itu melindunginya.

Dalen bangkit dengan susah payah, matanya menyala penuh kebencian. “Baiklah… kalau kau ingin bermain keras…”

Ia mengambil posisi bertarung, mengumpulkan energi spirit di tangannya.

Raynar mundur hingga terpojok di dinding.

“TIDAK! Jangan—”

BRUK!

Sebelum Dalen sempat menyerang, pintu paviliun terbuka.

Tetua Rengard masuk dengan wajah marah. “Apa yang kalian lakukan?!”

Dalen langsung menyembunyikan pisaunya, berlutut. “Tetua! Saya—saya hanya mencoba menguji kondisi Raynar. Saya khawatir warisannya tidak stabil.”

Rengard memandang ruangan yang berantakan. “Mengujinya? Dengan pisau?!”

“T-Tadi saya terjatuh, Tetua. Itu hanya kecelakaan.”

Tatapan Rengard bisa membunuh. Ia lalu beralih ke Raynar. “Apa ini benar?”

Raynar membuka mulut.

Ia ingin mengatakan kebenaran.

Ingin mengatakan bahwa Dalen hendak membunuhnya.

Ingin mengatakan bahwa ia tidak aman di sini.

Tapi dalam sekejap, Raynar melihat tatapan Dalen—dan memahami ancaman yang tersembunyi.

Jika ia membuka mulut… Dalen tidak akan berhenti. Ia akan menyerang lagi, di waktu dan tempat yang lebih gelap.

Raynar memejamkan mata.

“Aku… hanya kehilangan kendali atas energiku.”

Rengard terkejut. “Energi? Jadi glyph itu bereaksi lagi?”

Raynar mengangguk pelan.

Dalen menghela napas lega.

Rengard mendengus. “Keluar dari sini. Keduanya.”

Dalen cepat bergegas keluar, tapi bukan sebelum ia menatap Raynar sambil tersenyum tipis—senyum seorang pengkhianat yang merasa menang.

Raynar meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar.

Rengard menatapnya lama. “Raynar… mulai sekarang, aku akan menempatkan dua penjaga di depan paviliunmu. Jangan keluar tanpa izin.”

Ia hendak pergi, namun menoleh satu kali.

“Hati-hati dengan siapa pun di sekte ini. Bahkan murid inti pun… bisa menjadi musuh terburukmu.”

Setelah Rengard pergi, Raynar akhirnya membiarkan tubuhnya roboh ke lantai.

Begitu pintu tertutup, suara naga itu muncul lagi di benaknya.

“Kau merasakan awalnya… bukan?”

Raynar mengangguk lemah.

“Pengkhianatan.”

Bayangan Dalen terlintas di matanya—senyuman penuh ambisi itu, pisau yang berkilap, niat pembunuhan yang begitu jelas.

Raynar memeluk dirinya sendiri.

Suara naga itu melanjutkan,

“Di dunia ini… tak ada yang lebih berbahaya daripada manusia yang menginginkan kekuatanmu. Ini baru permulaan.”

Glyph naga berdenyut sekali—keras dan menyakitkan.

Raynar menahan napas, menatap langit-langit ruangan dengan mata yang mulai memerah.

Ia sadar sesuatu.

Mulai malam itu…

Ia bukan hanya pewaris naga.

Ia adalah mangsa… di antara para pemburu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 5 - Bayangan Yang Mengintai Darah Nagaku

    Malam turun seperti tirai hitam yang menelan seluruh gunung Thevrion. Tidak biasanya angin berhenti bergerak, seolah semua alam menahan napas. Langit begitu gelap hingga lentera-lentera sekte tampak seperti titik cahaya rapuh yang bergetar di tengah kekosongan. Raynar berjalan pelan keluar dari ruang penyembuhan. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi pikirannya resah. Suara gema—halus seperti bisikan angin—bergetar di benaknya sejak bangun. “Pewarisku… Kegelapan telah mencium jejakmu.” Ia menggigil. Suara itu bukan suara manusia, bukan pula suara dari dalam dirinya. Itu… suara naga itu lagi. Ketika Raynar menatap ke kejauhan, ia melihat kabut hitam tipis mulai turun dari puncak hutan di bawah gunung. Kabut itu bukan kabut biasa. Terasa berat. Pekat. Seolah memiliki kehendak sendiri. Dan dari kejauhan terdengar sesuatu— suara gesekan yang tidak seharusnya dimiliki makhluk hidup. Sek-sek-sek… Raynar merinding. “Raynar!” Ia menoleh cepat. Linara berlari menghampirinya, napasnya me

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 4 - Saat Langit Bergetar Memanggil Namaku

    Suasana lembap menyelimuti kamar kecil tempat Raynar tinggal. Dinding kayu yang mulai rapuh itu belum pernah terasa sedingin malam itu. Api lampu minyak menari kecil, seolah takut padam, sementara Raynar duduk di lantai, kedua tangannya menggenggam lutut, napasnya pendek—penuh tekanan yang bukan berasal dari tubuhnya sendiri. Glyph naga itu kembali berdenyut. Cahaya keperakan muncul dari balik kulitnya, merayap seperti sulur hidup hingga ke lengan dan dada. Setiap denyutan seperti memukul jantungnya dari dalam, membuatnya terhuyung, menahan teriakan. “A—ahh… tidak lagi… tolong berhenti…” desis Raynar, menekan dadanya. Tetapi glyph itu tidak peduli pada permintaannya. Ia hidup. Ia bergerak. Ia memilih. Dan ia memilih dirinya. Raynar merasakan energi asing mengalir melalui nadi, mengikis batas tubuhnya, membuat ototnya menegang dan tulangnya seolah retak oleh sesuatu yang tak terlihat. Bayangan suara—gema asing—tiba-tiba mengalun di benaknya. “Pewarisku…” Raynar terhenti. Tub

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 3 - Bayang-Bayang Penghianat

    Angin malam menyusup melalui celah jendela Paviliun Dalam, membawa hawa dingin yang menempel pada kulit Raynar. Ruangan itu jauh lebih luas daripada gubuk pesuruh tempat ia tinggal sebelumnya—lantai kayu mengilap, tempat tidur empuk, dan lentera kristal yang berpendar lembut. Namun tak ada rasa nyaman sedikit pun. Karena di setiap sudut ruangan ini… Raynar merasa ada mata yang terus mengawasinya. Ia duduk di tepi ranjang, memegang dada tempat glyph naga itu tertanam. Meski cahayanya sudah mereda, kulitnya masih hangat, seolah simbol itu bernapas bersamanya. “Warisan… pewaris…” gumam Raynar dengan suara lirih. “Aku tidak mengerti apa yang kalian inginkan dariku…” Suara itu—suara naga purba—tidak muncul lagi sejak kejadian di aula. Tapi keheningan ini bukan perlindungan. Rasanya seperti ketenangan sebelum badai. Raynar mengelus dadanya perlahan. Setiap kali ia menyentuh simbol itu, tubuhnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang berputar di dalam dirinya, menunggu dilepaskan.

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 2 - Mata Yang Mengawasi Warisan

    Suara pintu besar yang terbuka paksa membuat seluruh aula utama Sekte Serakan Cahaya dipenuhi gaung berat. Cahaya lentera bergoyang-goyang, seolah ikut menggigil melihat apa yang dibawa masuk oleh para tetua malam itu. Raynar. Tubuhnya masih melemah, pakaian lusuhnya sobek di beberapa bagian, dan napasnya pendek seperti baru ditarik paksa dari kematian. Dua tetua memapahnya menuju pusat aula, tepat di depan altar batu tempat biasanya para murid bersumpah setia pada sekte. Kini, altar itu terasa seperti panggung eksekusi. Aula dipenuhi puluhan orang: murid tingkat tinggi, penatua, penjaga sekte, bahkan beberapa tamu terhormat yang biasa tinggal di paviliun atas. Semua mata tertuju padanya—mata yang tidak lagi berisi penghinaan… melainkan ketakutan, keserakahan, dan hasrat. Tetua Rengard, lelaki tua dengan janggut putih panjang dan mata tajam seperti elang, melangkah maju. Ia adalah tetua tertinggi kedua di sekte, terkenal karena keras dan ambisius. “Letakkan pemuda itu.” Raynar

  • Warisan Dewa Naga Yang Terlupakan   BAB 1 - Bayangan Di Sudut Sekte

    Embun pagi menyelimuti halaman pelatihan Sekte Serakan Cahaya. Matahari baru saja terbit, menembus kabut tipis yang menggantung di udara. Di tengah hiruk-pikuk para murid yang berlatih, terdengar suara bentakan, umpatan, dan tawa mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Di antara semua itu, berdiri seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh dan buket kayu di tangan—Raynar. Seperti biasa, tidak ada yang memperhatikannya. Ia berjalan pelan, menghindari murid-murid yang berlatih pedang dan tidak ingin terseret dalam amukan mereka. Setiap pagi, tugasnya hanyalah satu: membersihkan halaman pelatihan. Tugas yang bahkan tidak mau dilakukan murid terlemah sekalipun. “HEY! Pesuruh!” teriak salah satu murid, menendang ember air ke arahnya. “Airnya kurang! Apa kau buta atau bodoh?” Raynar terdiam, menunduk, menahan napas. Ember itu jatuh tepat di depan kakinya, memercikkan air ke jubahnya yang tipis. Murid lain tertawa melihatnya. “Raynar si sampah sekte! Tidak bisa mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status