Mira gegas kembali dengan perasaan tak menentu.
Bahkan, ia tak berani untuk bercerita kepada neneknya tentang apa yang dilihatnya.
"Mbok, besok Mira mau pergi ke rumah teman dulu ya. Ada sesuatu yang sangat penting untuk Mira bicarakan."
Neneknya itu hanya mengangguk setuju.
Benar saja! esok harinya, Mira bergegas menuju rumah Faza, temannya waktu kuliah dulu.
Selain itu, ia bekerja di sebuah perusahaan tambang emas.
Ia harus mencari tahu apakah benar di dalam lahan kebunnya banyak mengandung logam mulia.
"Mira, kamu masih seperti yang dulu," kata Faza menggombal.
"Dan kamu, masih saja betah membujang. Kenapa nggak cepet cari istri? Kalau kelamaan nanti nyesel loh," seloroh Mira.
"Kamu aja yang nggak peka, Mir. Ditungguin malah nikah sama orang lain."
Mereka saling tertawa, mengenang masa sekolah dulu yang penuh kenangan.
"Jadi, aku akan memintamu seperti yang aku katakan melalui telepon kemarin, Faza."
Seketika, temannya berubah menjadi serius.
"Tentu saja, Mir. Aku bisa mengusahakan perusahaan agar memberikan pembagian yang sama sama menguntungkan jika ternyata sampling tanah membuktikan lahanmu memiliki kandungan emas."
"Oke, deal."
Akhirnya, Mira menyetujui untuk diadakan pemeriksaan sampel tanah di lahannya. Keduanya lalu kembali berbincang selayaknya sahabat lama yang sedang bereuni. Menertawakan kebodohan-kebodohan di masa lalu.
Namun, hati Mira begitu berdebar, menantikan hasil penelitian atas tanah warisannya.
*****
"Mbok, mari kita kembalikan semuanya barang barang ini kepada pemiliknya. Tanah itu tidak akan Mira sewakan, Mbok," terang Mira pada neneknya.
"Kenapa Mir? Padahal, sewanya sangat mahal. Apa nggak sayang kalau nganggur begitu saja?"
Mira tersenyum.
Sebenarnya, setelah pertemuan dengan Faza beberapa hari yang lalu, Mira mendapatkan panggilan khusus dari sebuah perusahaan penambangan logam mulia. Ia sungguh tak menyangka, respon perusahaan tersebut sangat cepat untuk melakukan kontrak kerja sama.
Mira mendapatkan 40% hasil bersih dari tambang tersebut selama 20 tahun kontrak kerja sama.
Bukan main! Dari lima hektare tanah tersebut, hampir 70% memiliki kandungan logam yang memiliki nilai ekonomi. Salah satunya adalah emas dan perak.
"Mbok, bulan depan Mbok harus bersiap memiliki uang yang banyak. Bibi Sumini juga harus pindah ke rumah ini, sehingga kita harus merenovasi rumah besar-besaran. Pokoknya jangan kuatir kan soal uang, Mira akan menjamin semuanya."
Nenek Mira langsung terdiam. Dia begitu terkejut mendengar penuturan sang cucu. "Apa maksudmu, Mira? Apakah kamu menjual tanah itu? Bukankah ibumu tidak membolehkan..."
"Mira tidak menjualnya, Mbok. Mira hanya menjual hasil nya. Mbok, tanah kita menghasilkan emas sehingga ada perusahaan yang akan mengelolanya," terang Mira pada neneknya.
"Apa? Emas?" Nenek Mira sangat terkejut sekaligus bersyukur. Ternyata, itu sebabnya banyak orang yang berebut ingin membelinya!
****
Beberapa hari kemudian, Mira kembali ke Jakarta.
Ia telah merencanakan beberapa hal untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan sebaik mungkin.
Mira juga sudah menerima uang muka dari proyek tersebut, sehingga yang pertama kali ingin ia lakukan adalah membantu Mas Danu dan Nia untuk pengobatannya.
Ia tahu, Mas Danu sebenarnya juga sering meremehkan dirinya, tetapi ia tak pernah ambil pusing hal hal demikian.
"Mbak Nia, ini uang yang mbak mau pinjam kemarin," kata Mira menyerahkan uang 20 juta di hadapannya.
"Ha? Ini... banyak sekali, Mira?"
Mira tersenyum. "Nggak apa-apa, Mbak. Tapi aku cuma meminjamkan ya Mbak, suatu saat mbak harus mengembalikannya."
"Oh, iya Mira. Iya." Nia begitu senang menerima uang tersebut.
Sementara itu, Danu ternyata mendengar hal itu dari balik pintu segera mencibir.
"Sombong sekali! Bukannya itu uang dari Denny, adikku? Mau aku pulangin apa enggak, itu juga urusanku dengan Denny. Perusahaan Denny juga perusahaan milik keluarga, pastinya aku juga punya hak untuk menggunakan uangnya," gerutunya penuh iri dengki.
Sejak dulu, ayahnya selalu mempercayakan urusan perusahaan pada Denny.
Padahal, dirinya adalah anak tertua. Seharusnya dirinya yang mewarisi perusahaan itu, bukan?
"Berikan uang itu padaku," pinta Danu pada istrinya.
"Tapi Mas, ini kan uang pinjaman untuk berobat."
"Ah, biar saja. Kamu juga bisa ambil yang lima juta buat beli pakaian anak anak. Sini!"
Nia hanya pasrah. Setidaknya, itu bukan urusannya. Apalagi, dengan uang 5 juta yang akan diberikan kepadanya, ia pun menyerahkan uang tersebut kepada Danu suaminya.
"Oh ya, Nia. Jangan bilang sama ibu kalau kita dapat uang pinjaman ini, oke?"
"Iya, Mas. Aku nggak akan bilang kok," jawab Nia dengan tersenyum.
Keduanya lalu membayangkan betapa nikmatnya menghabiskan uang tersebut. Mengembalikan pada Mira?
Cih! Jangan harap, ya.
*****
"Mira, tolong bantu memasang iklan untuk menjual mobil milikku, rumah dan juga perabotan yang mungkin masih ada nilainya," kata Denny meminta tolong pada istrinya.
"Baiklah, Mas. Dan ini, cincin pernikahan kita mau dijual apa enggak?" tanya Mira kemudian.
Denny menatapnya sejenak untuk berpikir, lalu ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, kita tidak perlu menjualnya. Itu adalah cincin pernikahan, kurasa kita masih bisa mempertahankan."
"Tapi, kenapa kau menjual mobilmu?" tanya Mira bingung.
"Aku akan membeli motor saja, Mira. Tidak harus memakai mobil. Masalahnya, ibu masih tidak mau melepaskan rumah warisan ayahku, aku juga tidak bisa memaksa."
"Kalau begitu, jual saja cincin pernikahan kita untuk melengkapi," saran Mira lagi.
Mendengar itu, Denny menjadi kesal. "Mira, jangan membuat kepalaku semakin mau pecah. Kalau aku tidak mau menjualnya, tandanya barang itu lebih berarti dari sebuah mobil atau rumah ini."
Mira tersenyum simpul.
Hati kecilnya menghangat, bukankah itu berarti Denny masih menganggap pernikahan mereka berharga?
Tunggu, tenangkan dirimu, Mira! Jangan gegabah! batin Nia sebelum berkata, "Mas, bagaimana kalau aku meminjam uang pada seseorang."
Denny tak menghiraukan. Ia hanya sibuk dengan berkas properti yang siap untuk dijual.
Namun, melihat Mira yang masih menunggu jawabannya, akhirnya dia berkata, "Mau pinjam siapa? Orang sepertimu tidak mungkin punya kenalan orang kaya yang sudi untuk meminjamkan uangnya. Kalau ada, mereka pasti takut kamu tidak bisa mengembalikannya."
Mira kesal, Denny mulai meremehkan dirinya lagi.
"Bagaimana kalau ternyata aku bisa mendapatkan pinjaman? Apakah kau masih berpikir aku ini serendah itu?"
Denny tertawa sumbang. Tantangan Mira bagaimanapun cukup menarik.
"Ya sudah, pinjam sana 500 ribu. Kalau-kalau dikasih saja, aku sudah bersyukur," remehnya.
"Yakin, Mas?" tantang Mira kembali.
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan