Wajah Mira makin cemberut melihat suaminya ternyata benar-benar meremehkannya.
Ia memang sedikit berbohong, tapi bukan berarti tega membiarkan suaminya kesusahan.
Namun, ia meneguhkan hatinya untuk tetap tenang. Ia tak akan menceritakan apa yang terjadi kepada keluarga Denny sebelum sikap mereka yang suka merendahkannya berubah!
"Baiklah, aku akan meminjam sekarang juga, tapi perhatikan baik-baik berapa aku berhasil mencari pinjaman."
"Hahaha, kau ini semakin lucu Mira. Terserah saja, ayo cepat! Aku sudah mengingatkanmu, jangan mempermalukan diri sendiri, Mira."
Mira menghubungi Faza dengan cepat."Faza, aku mau pinjam uang lima ratus," katanya di hadapan Denny.
Lagi-lagi Denny tergelak.
Apa menurut Mira uang yang ia butuhkan sekecil itu? Lima ratus ribu? Ah, yang ada ada saja, gerutunya.
Dalam dua menit percakapan Mira selesai, lima buah notifikasi transaksi dari beberapa bank yang berbeda masuk ke ponsel Denny.
Nominalnya setiap transaksi adalah 100 juta rupiah, sehingga total uang berjumlah 500 juta rupiah!
Denny tercengang, menatap Mira tak percaya.
"Bagaimana, apakah kau sudah menghitung angkanya dengan benar, suamiku?"
"Ah, ini sungguh 500 juta?" Denny melihat ke arah Mira, ia memicingkan matanya seolah curiga. "Siapa orang itu? Apakah dia seorang lelaki?"
"Kenapa memangnya, apa cuma Mas Denny yang boleh bergaul dengan perempuan?" sindir Mira, "aku bisa juga berteman dengan lelaki, Mas. Dia baru saja mentransfer kamu uang lima ratus juta. Kamu lihat sendiri, kan?"
"Mira! Sejak kapan kau terlihat melampaui batasmu sebagai istri dan melawan ucapanku? Aku bertanya baik baik, kenapa kau malah membuat panas kepalaku?"
Mira tak menggubris dan berlalu dari hadapan Denny yang membuat Denny mengikutinya sampai ke kamar.
"Mira! Kita harus bicara!"
Mira pun berhenti, lalu duduk di tepi tempat tidur.
"Jelaskan padaku, bagaimana bisa kau mendapatkan pinjaman sebesar ini?!"
"Sudahlah, Mas. Nantinya juga kau akan tahu, dan kau tentunya tidak selalu merendahkan aku dalam masalah status sosialku. Mungkin saja aku bisa membantumu, berapa perusahaan kamu membutuhkan uang? Aku mungkin akan membantumu sebisaku."
"Membantu? Yang benar saja? Denny, apa kau percaya dengan istri udik kamu ini? Emangnya berapa dia bawa uang dari kampungnya? Sombong sekali, seolah dia memang bisa membantu kita." Tiba-tiba ibu Denny menyembul dari balik pintu.
Keduanya terkejut. Namun, Mira kembali memperlihatkan wajah biasa.
Sementara itu, Denny mengepal.
Ada sesuatu yang menjadi tanda tanya besar di kepalanya. Dengan cara apa Mira bisa dipercaya meminjam uang lima ratus juta?
"Apa kau sungguh bisa membantuku? Seharusnya, aku tahu bagaimana cara kau meminjam hanya dengan menghubungi seseorang lewat telepon dan bahkan tanpa jaminan apa pun. Jadi jelaskan segera!"
Lagi dan lagi, Denny menuntut jawaban dari Mira.
"Sudahlah, Mas. Itu belum seberapa. Kalau kau mau, aku juga bisa mendapatkan investor untuk menolong perusahaan. Dengan syarat, putuskan hubunganmu dengan perempuan yang sudah tidak punya hak untuk menghubungimu. Kau bisa saja menipuku, tapi aku tidak sebodoh itu, Mas."
Deg!
Denny begitu terkejut melihat keberanian sang istri. Apa benar semudah itu?
"Tunggu, Denny! Apa kau masih berhubungan dengan Imas? Kau bilang, Imas sudah menikah bukan?" Magdalena kembali bersuara. Mertua Mira ini memang suka sekali ikut campur.
"Benar, Bu. Tapi Imas ternyata tidak mencintai pria itu dan dia sedang mengusahakan perceraian," ucap Denny dengan cepat.
"Kalau begitu, kau bisa kembali bersama Imas. Aku rasa Imas akan bisa memberikan aku cucu."
Seketika Mira merasa marah.
Sungguh, dia muak mendengarnya. Tanpa basa-basi lagi, dua orang itu berbicara seolah menikahi Imas adalah satu satunya jalan mendapatkan seorang cucu. Apa ada jaminan mereka akan tahu Imas bisa hamil? Ditambah lagi, mereka berbicara di hadapan Mira seolah tak punya hati.
"Bu, emangnya Imas punya anak dengan suaminya sekarang? Apa dia bercerai juga karena tidak bisa hamil?" Mira dengan percaya diri menyela percakapan mereka.
Sungguh percakapan yang tidak masuk akal bagi Mira!
Hal itu sangat menyakitkan, tetapi ia akan melakukan sebuah cara agar Denny sadar diri.
Nama Imas, adalah nama yang pernah ia dengar dahulu sekali saat awal mereka menikah.
Seorang teman Denny sempat menyinggung nama tersebut, tetapi ia tidak tahu bahwa Imas adalah mantan kekasih Denny sebelum menikahinya.
"Kamu tahu apa? Yang jelas, sudah tiga tahun kalian juga tidak dikasih anak. Sementara Denny juga tidak mencintai kamu. Mira, kamu itu cuma pelarian Denny waktu itu, jadi ... mungkin saja kalian memang tidak berjodoh sehingga kalian belum dikasih anak."
"Ibu, hentikan! Mira istriku, ibu tidak usah mengungkit masalah itu. Aku dan Imas juga sebatas berteman, tidak berencana apapun. Sudahlah Bu, aku sedang memikirkan keselamatan perusahaan, untuk apa membahas hal tak berguna ini."
Mira mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Ia tak akan terima dengan pemikiran salah kaprah mereka ini.
Dari mana asal pemikiran bahwa jodoh atau tidak didasari oleh ada atau tidaknya seorang keturunan?!
Selain itu, bagaimana seorang ibu membiarkan putranya berhubungan dengan wanita lain padahal sudah menikah, tanpa ada pengingkaran?
Wanita melarat?
Huh, itu dulu, lain sekarang. Sekarang, Mira memiliki angka-angka yang terus bertambah di rekeningnya.
Apa daya, ia tak bisa mengungkapkan semua keadaannya sebelum Denny dan keluarganya berubah.
Mira segera masuk ke kamarnya, lalu mengganti pakaiannya.
Setelah keluar, ia pun memanggil Denny.
"Mas, ayo, katanya mau jual mobilmu?" tanya Mira pada Denny yang sedang mengobrol dengan ibunya.
Keduanya begitu terkejut dengan ucapan Mira yang tiba-tiba.
"Oh iya, Mira. Apa sudah ada yang menawar?" tanya Denny penasaran. “Kita lihat nanti, berapa mereka berani membeli mobilmu." Melihat betapa santainya Mira, Magdalena menatapnya kesal. Sejak awal, ia memang tidak setuju Denny menikahi Mira gadis kampung itu. Wajahnya juga tidak secantik Imas Gayatri, putri konglomerat itu. Menikahi Mira, Magdalena seperti dibuat malu. Apalagi waktu pernikahan, tamu-tamu yang berasal dari keluarga Mira adalah keluarga kampung dengan penampilan yang sangat mencolok. Magdalena ingat, tamu undangan tertawa mengejek kedatangan mereka saat itu karena mereka datang dengan pakaian yang sangat murahan dan norak. Make-up belepotan dan tidak berkelas sama sekali. Sejak itu, ia menyadari bahwa menantu perempuannya berasal dari kelas rendahan. ***** Sementara itu, keduanya lalu pergi ke sebuah dealer mobil, tempat yang dimaksud Mira. Keduanya masuk. Mata Mira melihat banyak sekali mobil mewah dan mengkilap. Ia tak pernah melihat mobil terbaru yang masih ber
Nia tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Bukan urusan Mira mengetahui mobil jenis apa yang hendak mereka beli. Tapi, mengapa ucapannya seakan sangat merendahkan Danu dan dirinya?"Lah, kamu dan Denny, mau apa ke sini?" Nia kini mengalihkan pandangannya pada Denny yang sedang memijat pelipisnya.Denny sendiri masih bingung dengan semua kelakuan Mira. Pria itu gelisah, bagaimana kalau ternyata Mira sedang membuat lelucon dan mempermalukan dirinya?"Oh, begini, Mbak. Aku sedang menawarkan mobilku untuk dijual. Mbak tahu sendiri kan, kalau perusahaan hampir saja kolaps, sehingga butuh banyak suntikan dana."Wajah Danu sedikit cemas. Ia melirik ke arah Mira yang sedang membelai permukaan sebuah mobil mewah. Mereka baru saja menerima uang pinjaman dan Denny mengatakan membutuhkan uang untuk perusahaan?"Tapi, kenapa istrimu berlagak? Apa dia tahu berapa harga mobil yang dia pegang pegang itu? Makanya Denny, kalau mau ke tempat seperti ini sebaiknya tidak usah bawa-bawa istrimu yang udi
"Gampang, Mas! Itu soal gampang. Sekarang ini, yang aku pikirkan adalah mencari seorang investor yang akan menyelamatkan perusahaanmu. Apa menurutmu perusahaan itu masih layak untuk dipertahankan? Mengingat, bidang usaha di zaman sekarang yang terus berkembang, kau pasti membutuhkan pembaruan."Denny merenung. Perkataan Mira berhasil mengalihkan fokusnya. Perusahaannya saat ini memang mulai kalah bersaing. Di era teknologi sekarang ini, mereka masih saja memakai sistem konvensional dalam pemasaran yang telah digunakan sejak zaman ayahnya. Padahal, pesaing mereka sudah berlari melaju ke depan."Menurutmu, perombakan semacam apa yang harus kita lakukan?" tanya Denny akhirnya."Uhmm ... tenaga profesional, Mas. Kau harus mencari seorang tenaga profesional dan memiliki kemampuan membaca pasar sekarang ini.""Bukankah itu berarti pengeluaran buat perusahaan?"Mira menggelengkan kepalanya. Prinsip ekonomi semacam "dengan modal sekecil-kecilnya maka mendapatkan untung sebesar besarnya", hany
"Sekarang, selesaikan pembayaran mobil itu, Mas. Aku sudah tidak sabar untuk menaiki mobil mewah milikmu," kata Mira bersemangat, hingga menyadarkan Denny dari lamunannya.Sementara itu, Denny merasa semakin kesal. Ia tak mengerti mengapa sekarang ia merasa masalah keuangannya semakin menggunung?"Waah... ternyata mobil yang lebih bagus memang lebih enak rasanya, Mas! Jarang-jarang loh aku dibawa Mas Denny naik mobil, apalagi mobil sebagus ini," kata Mira dengan menunjukkan ekspresi kegirangan. Fakta bahwa Denny memang tidak pernah membawanya berkendara memang sangat jelas.Sejak menikah, Mira hanya berkutat di rumah saja. Kalau ia ingin bepergian ke pasar, Denny pasti menyuruhnya naik taksi atau ojek."Aku masih tak mengerti, aku butuh uang untuk perusahaan tapi kau malah meminjam uang untuk membeli mobil mewah. Sekarang, bagaimana cara mendapatkan investor dengan mobil ini? Coba tunjukkan padaku, apa gunanya mobil mewah ini?" tanya Denny pada akhirnya."Oooh, masalah itu? Tapi...aku
Sesampainya di perusahaan, Mira berjalan di sisi Denny masuk ke dalam gedung utama perusahaan."Haish, mundur sedikit, orang akan kaget kalau mereka tahu penampilan istriku seperti kamu. Lihatlah, bajumu seperti beli di kaki lima," cibir Denny sambil memberikan isyarat supaya Mira berjalan sedikit menjauh darinya.Lagi-lagi Mira dibuat seperti orang bodoh dan sangat rendah di mata suaminya sendiri.Memangnya dia merasa malu kalau istrinya memakai pakaian kali lima?"Mas, aku memang beli ini di kaki lima, bukannya itu atas kemauanmu?""Iya, itu karena kamu cuma orang rumahan, nggak perlu ke perusahaan kayak begini. Kenapa juga teman kamu itu mengutus orang sepertimu?" oceh Denny menyesal.Langkah Denny yang cepat membuat perbincangan itu tidak seimbang. Di belakang Denny, Mira hanya melotot kesal dengan apa yang Denny ucapkan, bahkan harus mengimbangi langkah kaki lebar pria itu. Akhirnya sampailah mereka di pintu lift. Mira mengira itu adalah pintu
'Oh, keadaan telah mendidik ku, Mas, keadaan telah mengeluarkan aku dari lumpur menyedihkan. Sekarang, aku sedikit menggunakan kepalaku untuk menikmati kebebasan,' batin Mira."Aku tidak membantah, Mas. Aku cuma meluruskan sikap tidak manusiawi yang ada padamu. Aku ini istrimu, kau mengikat perjanjian denganku saat pernikahan. Aku juga punya hak untuk dihargai, bukan hanya seorang suami yang selalu menuntut minta dihormati, dihargai. Akan tetapi istri juga membutuhkan ketenangan hati seperti itu, ketika suaminya membuat istrinya berharga.""Ah, terserah. Setiap pembicaraan kita selalu saja jalan buntu. Lebih baik, lakukan saja tugasmu datang ke perusahaan ini.""Baik, aku akan melakukannya. Akan tetapi kau berjanji untuk tidak mengganggu istri orang, ya Mas. Kau harus memilih antara keluarga atau wanita tak bermoral itu."Denny menatap tajam pada Mira. Bagaimana mungkin ia bisa berjanji?"Baik, tapi jangan berharap lebih. Aku masih mencintainya, dan aku sebe
"Tidak ada, aku cuma bilang aku mau bersih bersih ruangan ini," katanya lalu segera membersihkan tumpukan kertas di atas meja tersebut.***"Melelahkan, uuhh."Mira meregangkan otot tubuhnya yang letih setelah memeriksa cash flow perusahaan.Tadi ia segera melakukan pekerjaannya setelah selesai membersihkan ruangan."Apa hasilnya?" tanya Denny penasaran, ia lalu mendekati meja Mira dan ingin tahu hasilnya."Free.""Apa?""Hasilnya masih bisa diselamatkan. Free cash flow, jadi masih ada harapan untuk investor bisa bergabung, itu analisa kira-kira, Mas. Tapi jangan kuatir, ini akurat, Kok."Dalam hati, Mira hanya membuat dugaan yang sebenarnya tidak terlalu detil. Akan tetapi setidaknya ia melakukan karena punya tujuan tertentu.Denny mengangguk angguk, iapun lalu tersenyum tipis, wajahnya berubah sedikit cerah. Nggak ada ruginya punya istri Mira, batinnya."Jadi, kita masih bisa punya investor, 'kan?"
"Tidak mungkin! Jangan melantur begitu, Mira."Senyuman Mira hambar. Rasa sakit masih menancap dan mengakar di hatinya. Ia tidak bisa mengelak bahwa ia masih mencintai Denny. Akan tetapi Denny selalu memandang dirinya sebelah mata."Baiklah, aku akan berpikir positif saja selama kamu tidak macam macam. Besok temanku akan datang dan membicarakan masalah penanaman modal. Sebaiknya kamu bersiap, Mas. Selain itu, utang kendaraan dan juga utang keluargamu akan dibahas juga di rapat besok.""Utang keluargaku?""Ya, Mas Danu meminjam uang atas namamu, Mas. Jadi besok akan diperjelas siapa sebenarnya yang akan mengembalikan utang tersebut."Denny terlihat memicingkan matanya. Ia tak pernah tahu soal utang piutang Mas Danu, bagaimana bisa dikaitkan dengannya?"Mira, aku tidak pernah tahu bahwa Mas Danu punya utang sama teman kamu, kenapa aku harus ikut memikirkan juga?"Mira bangkit dari duduknya dengan selembar kertas yang baru