"Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi."
Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-potongan kejadian: ayahnya berteriak, ibunya menangis di dapur, suara benda pecah, lalu… kegelapan. Gambar berhenti di satu momen: kakeknya memeluk Naira kecil, mengusap luka di tangan mungilnya. "Luka ini harus kamu ingat," suara kakeknya menggema samar. "Karena kelak, dia jadi tamengmu." Lalu dari kabut di lantai, muncul keris. Bersih. Tanpa noda. “Ambil ini, kalau kamu mau mengingat,” kata Revan akhirnya, suaranya seperti datang dari balik air. Naira menatapnya. “Kalau aku nggak mau?” Revan mengangkat bahu. “Maka kamu akan hidup tanpa alasan. Dan gerbangmu akan dibuka dari luar.” Langkah Naira berat. Tapi ia maju. Naira kecil berdiri, menggenggam tangan dewasanya. “Kalau kamu mau kuat, jangan lari dari aku.” Air mata jatuh tanpa sadar. “Tapi aku capek…” “Kalau kamu benar capek, kamu nggak akan sampai di sini,” jawab gadis kecil itu. “Belum selesai. Baru mulai.” Naira meraih keris. Begitu jarinya menyentuh bilah dingin itu, rumah bergetar. Lantai retak. Dari celahnya keluar lembaran-lembaran tua: kertas mantra, foto lama ibunya, dan sebuah buku kecil. Di sampulnya: CATATAN PENJAGA KELIMA: NAIRA. Tangannya gemetar membuka halaman pertama. "Kalau kamu baca ini, itu artinya kakekmu sudah mati. Dan kamu sudah melihat wajah pertamamu." Naira menatap jendela. Refleksinya bukan dirinya—tapi wajah ibunya. Muda. Menangis. “Kenapa… Mama?” suaranya pecah. Ibunya berdiri di sudut ruangan. Diam. Tapi sorot matanya menjawab: aku pernah ada di posisi itu. Naira membuka lembar demi lembar. Lingkaran mantra. Simbol-simbol kuno. Catatan tentang “tumbal simpul”. Dan di pojok bawah, foto ibunya usia 17 tahun—berpakaian ritual, memegang keris yang sama. “Jadi… ini warisan kita,” gumam Naira. Keris di tangannya berdenyut. Bukan panas. Tapi hangat. Seperti ikut bernapas. Revan mendekat. Wajahnya berubah: bagian kanannya hancur seperti kaca retak. “Itu… bukan wajahmu,” kata Naira. “Bukan,” jawab Revan. “Ini wajahku yang kamu bentuk. Karena kamu melihatku lewat lukamu.” “Kenapa?” “Karena setiap penjaga akan mempersonifikasikan ketakutannya. Dan kamu… takut ditinggalkan. Takut dikendalikan. Maka aku muncul sebagai pengendali.” Naira berdiri tegak. “Tapi sekarang aku tahu… kamu cuma pantulan. Bukan penguasa.” Revan tersenyum tipis. “Dan karena itu… kamu selangkah lebih dekat.” Dia menunjuk halaman ke-33. Sebuah simbol keris menusuk pohon. Di bawahnya tertulis: "Gerbang pertama terbuka bukan dari darah, tapi dari dendam." Naira memejamkan mata. Ia tahu dendam mana yang dimaksud. Kabut tebal menyelimuti rumah. Buku di tangannya meleleh, tapi tulisannya meresap ke kulitnya—membentuk simbol merah di punggung tangannya. Saat kabut hilang, penthouse kembali. Keris berdiri sendiri, menusuk lantai marmer. Dan dari bawah pintu, tergelincir selembar kertas. "Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan." Naira menatap cermin. Untuk pertama kalinya, ia melihat wajahnya sendiri. Penuh luka, tapi nyata. Dan ia menangis. Naira berdiri kaku, menatap cermin. Matanya merah, wajahnya basah air mata. Tapi yang ia lihat di pantulan itu bukan hanya dirinya—ada bayangan samar di belakangnya. “Siapa di sana?” suaranya parau. Tidak ada jawaban. Namun udara di penthouse berubah. Dingin. Berat. Dari bawah pintu, asap hitam merayap masuk. Perlahan naik, memenuhi lantai seperti kabut rawa. Bau anyir menguar, menusuk hingga ke ulu hati. Naira meraih keris. Bilahnya berdenyut cepat, seolah ikut merasakan ancaman. Suara berbisik terdengar di sekitar: pelan, bercampur, sulit dimengerti. Tapi di antara desis itu, ada satu kalimat jelas: “Kau sudah membuka satu. Enam lagi…” Jantung Naira menghantam dadanya. Enam lagi? Ia menoleh ke tangannya. Simbol merah di punggungnya bercabang, membentuk angka samar: 6. Pintu penthouse bergetar. Bukan karena angin—seperti ada sesuatu di luar yang menggedornya. Naira mundur. “Apa… yang masuk bersamaku tadi?” Suaranya sendiri terasa asing. Tiba-tiba, TV menyala. Revan muncul, duduk di kursi gelap, wajahnya hanya setengah terlihat. “Selamat datang di bagian paling jujur dari dirimu,” katanya. “Apa yang terjadi?!” teriak Naira. “Kau sudah menerima luka pertama. Tapi luka itu… rumah bagi sesuatu yang lama menunggu di balik pintu.” “Aku nggak mau ini!” “Kamu yang membuka. Kamu yang memanggil.” Pintu bergetar lebih keras. Asap makin pekat. Revan mendekat ke kamera, tatapannya menembus Naira. “Siapakah yang melukaimu, Naira? Tentukan. Karena setiap nama yang kau lepaskan… membuat gerbangmu semakin terbuka.” “Kalau aku nggak mau?” “Kalau kau tak pilih… mereka yang akan memilih untukmu.” Lampu penthouse berkedip. Dari balik kabut, muncul sosok setinggi langit-langit. Wajahnya tak jelas, tapi matanya—enam pasang, terbuka bersamaan—menatap langsung ke Naira. Keris di tangannya mendesis, seperti logam terbakar. Suara itu kembali, menggema dari segala arah: “Enam lagi… dan semua pintu akan terbuka.” Naira menggenggam keris sekuat tenaga, walau tangannya berdarah. “Aku… bukan pintu kalian.” Tapi bahkan ia sendiri tak yakin kalimat itu benar."Kalau kau ingin tahu siapa dirimu… lihat siapa yang berdiri di belakangmu sebelum kau lahir." Dingin menusuk. Tubuh Naira serasa dilempar ke jurang tak berujung. Saat matanya terbuka, ia tidak lagi berada di penthouse. Ia berdiri di sebuah jalan tanah yang basah, diterangi rembulan pucat. Udara berbau tanah dan kemenyan. Pohon-pohon bambu di kanan-kirinya bergoyang perlahan, menghasilkan bunyi seperti bisikan. Di ujung jalan, terlihat rumah kayu. Rumah kakeknya. Tapi berbeda. Lebih tua. Lebih suram. “Masuklah… lihat bagaimana semuanya dimulai…” Naira melangkah, kakinya berat seperti ditarik tanah. Saat mendekati teras, terdengar suara—seorang perempuan. “Jangan paksa aku, Pak!” Naira terhenti. Itu… suara ibunya. Ia mendekat ke jendela. Di dalam, terlihat ibunya yang masih muda. Wajahnya tegang, matanya sembab. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tua—kakeknya. “Kau tahu darahmu bukan darah biasa, Salma,” suara kakeknya berat. “Kau pewaris. Kalau kau menolak, kita semua
"Kalau kau dengar suara di kepalamu, jangan percaya. Itu bukan kau… tapi pintu yang sedang membuka matamu." Naira terbangun di ranjang penthouse 9B. Badannya terasa lebih ringan, tapi dingin menjalar dari dalam, seperti ada yang merayap di bawah kulitnya. Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya samar dari jendela besar. Dia duduk. Tangannya meraba bahu—pola rantai itu masih ada. Tapi sekarang bercahaya samar, berdenyut… seperti napas. “Kau bisa melihat mereka sekarang…” Suara itu. Lembut tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Siapa… siapa kalian?” Naira berbisik. Tidak ada jawaban. Hanya desis yang menyusup ke telinganya. Dia melangkah ke depan cermin besar. Refleksinya… bukan dirinya. Wajah itu pucat, mata gelap, bibir berlumur darah. Rambutnya basah seakan habis ditenggelamkan. Naira terhuyung mundur. “Bukan aku…” “Kau sedang melihat salah satu dari kami. Yang pernah dibuka pintu ini. Yang dulu… juga menjual hidupnya.” Dia memejamkan mata, berharap bayangan itu hilang. Tapi keti
"Setiap pintu butuh tumbal. Dan darah… adalah kunci yang paling mudah." Naira terbangun dengan bau besi menusuk hidungnya. Bau darah. Penthouse 9B sudah berubah. Karpetnya hilang, diganti lantai hitam licin seperti marmer basah. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar—digambar dengan cairan merah yang masih mengkilap. “Tidak…” bisiknya, mundur ke dinding. Di kursi pojok, Revan menunggu. Kali ini ia mengenakan pakaian ritual serba hitam, dengan kalung tulang menggantung di lehernya. “Selamat datang di tahap berikutnya,” katanya tenang. “Hari Ketujuh. Tumbal pertama.” Naira menggigil. “Aku sudah melepaskan Mama… apa lagi yang kau mau?!” Revan berdiri. Langkahnya membuat lantai bergetar ringan. “Pintu tidak kenyang hanya dengan jiwa. Ia butuh darah. Dan kali ini, darahmu sendiri.” Dia menunjuk ke tengah lingkaran. “Duduk.” “Tidak.” “Duduk, atau kau akan ditarik paksa.” Sebelum Naira sempat melawan, udara di sekelilingnya berubah dingin. Angin gelap melilit pergelangan tangannya
"Setiap luka yang kau tutupi, akan muncul di permukaan… sebagai rantai." Naira tersentak. Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di ruang itu—kabutnya lenyap, tapi tubuhnya terasa berat. Saat melihat tangannya, ia hampir menjerit. Goresan merah seperti urat bercahaya menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, membentuk pola bercabang seperti akar pohon. Pola itu berdenyut. Hidup. “Tidak…” Naira memeluk dirinya. “Apa yang terjadi padaku?” Suara Revan datang dari belakang. Ia sudah kembali dengan wajah manusiawinya. “Itu bukan luka. Itu rantai. Dan setiap rantai menandakan ikatan baru dengan pintu.” “Aku tidak mau ini!” “Tidak ada yang mau. Tapi kau sudah memilih ketika masuk.” Naira meraba bahunya. Pola itu panas, menyengat seperti dibakar. Di bawah kulitnya, sesuatu bergerak, menjalar ke tulang. “Kenapa sekarang?!” “Karena kau sudah membuka gerbang pertama. Kau mulai mengerti apa artinya jadi simpul—jembatan antara dunia ini dan mereka.” “Kalau aku potong ini dengan keris—”
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah masa depanmu… kalau kau berhenti melawan." Gelap. Naira berdiri di ruang tanpa dinding. Tidak ada lantai, tidak ada langit—hanya kabut hitam pekat yang menempel di kulitnya seperti cairan kental. “Ini… di mana?” suaranya menggema, seperti berbicara di dalam tengkorak kosong. Dari kabut, muncul cahaya merah samar. Satu langkah. Dua langkah. Revan. Tapi bukan Revan seperti yang ia kenal. Wajahnya pecah-pecah seperti cermin retak, sebagian menampakkan kulit manusia, sebagian lagi… kosong, seperti topeng hitam yang hidup. “Selamat datang di inti pintu, Naira,” katanya. Suaranya bergema, terdengar dari segala arah. “Ini bukan tempat manusia. Ini tempat di mana semua perjanjian ditulis ulang.” “Kenapa kau di sini?!” Naira mundur, keris terangkat. “Kau bukan manusia, kan?” Revan terkekeh. “Aku manusia. Atau… dulu pernah. Sama sepertimu.” “Berhenti bicara berputar-putar! Siapa kau sebenarnya?!” Revan mendekat. Setiap langkahnya membuat kabut be
"Darahmu adalah kuncimu. Tapi ingat… kunci bisa membuka, atau mengurungmu selamanya." Langit di luar penthouse berubah warna—merah tua, seperti darah yang membeku. Jam digital di meja menunjukkan 18:00. Senja. Gerbang telah memilih. Naira berdiri di tengah ruangan, kakinya gemetar. Ibunya duduk di pojok, memeluk diri sendiri. “Na… kau dengar itu?” Dari balik dinding, suara bergema. Bukan hanya bisikan—tapi jeritan. Teriakan berlapis, dari banyak mulut. Seperti seluruh lantai 9 berubah jadi rumah penyiksaan. Darah merembes dari celah lantai marmer. Mengalir cepat, membentuk pola lingkaran di sekitar mereka. Penthouse tak lagi seperti hotel. Tapi seperti altar kuno. TV menyala. Revan muncul, kali ini berdiri di ruangan gelap yang penuh simbol. “Selamat datang di malam darah, Naira. Di sinilah kontrakmu diuji.” “Apa maksudmu?!” Naira menjerit. “Gerbang sudah mengambil pilihannya. Tapi kau masih punya kesempatan. Jalani labirinnya. Kalau kau bisa sampai ke inti sebelum tengah mala