Ming Lan menikmati bubur yang hambar sembari memikirkan perjalanan hidupnya yang misterius. Disini, dia adalah istri perdana menteri, berumur tiga puluh tahun, dan punya dua anak.
Seminggu lalu, seseorang mendorongnya jatuh ke kolam, hingga tubuhnya nyaris beku dalam air bersuhu dingin. Setelah itu, dia demam sangat tinggi, sampai tak sadarkan diri. Selama tak sadar, jiwanya berkelana ke dunia yang berbeda. Di sana, dia adalah putri konglomerat yang dipaksa menikah demi tujuan bisnis. Saat dalam pelarian, mobil yang disetirnya jatuh ke jurang, dan jiwanya pun kembali ke zaman ini. "Padahal aku suka hidup di sana," gumam Ming Lan tak sadar. Kehidupan di sini sangat menyedihkan. Selain harus bergantung pada belas kasihan suami, dia juga punya kepribadian lemah dan selalu ditindas. Di dunia yang satu lagi, dia adalah perempuan mandiri yang punya kemauan keras. Sifatnya jadi terbawa kemari. Itu sebabnya, semua orang terperangah hari ini. Baru saja selesai menyantap makanan yang hambar, keributan kembali terdengar di depan pintu. "Kalian lancang! Beraninya menganiaya pelayan dapur yang menjalankan perintah lao furen." "Dia yang bertindak kurang ajar pada furen." "Tunggu apa lagi? Ikat dan cambuk kedua orang ini." Selanjutnya terdengar suara Anggrek dan Mawar memberi perlawanan, sembari memaki pelayan yang mengikat mereka. Semua ini bikin Ming Lan menggeliat malas. Sekarang dia sadar betapa suka manusia di zaman kuno bersandiwara. Jelas-jelas mau memakinya, kenapa pura-pura memarahi pelayannya? Sangat disayangkan! Dia lebih suka tinggal di dunia asing itu. Orang-orang bebas melakukan apa saja, selagi punya uang dan kemampuan. "Ada apa ribut-ribut?" ujarnya saat sudah berdiri di ambang pintu. "Kalian pikir anjing dan kucing bebas masuk ke halamanku?" Matanya yang tajam memindai Anggrek dan Mawar yang mulutnya sudah disumpal dan dipaksa tiarap di halaman. Sementara itu, dua orang berbadan tegap siap mengayunkan tongkat ke punggung mereka. "Maaf, furen tapi pelayan kurang ajar harus diberi tahu aturan." Wanita paruh baya yang dikenali Ming Lan sebagai pelayan utama lao furen menyahut dingin. Mukanya begitu sombong, memamerkan kuasa lao furen. "Dan apa hakmu mengatur pelayanku?" Seulas senyum dingin terbit di bibir kepala pelayan tersebut. "Seperti yang anda bilang tempo hari bahwa selama gaji kami dibayar oleh kediaman, maka semua majikan punya hak mengatur." "Siapa bilang gaji mereka dibayar kediaman? Mulai bulan ini, semua pengeluaran tempat ini, kubayar sendiri." Kepala pelayan pura-pura tersipu, senyumnya jelas merendahkan Ming Lan. "Apa furen yakin?" Saat kalimat ini tercetus, pelayan berpangkat lebih rendah, yang berdiri di sekeliling kepala pelayan ikut tersenyum malu. Kenyataan bahwa Ming Lan memasuki kediaman perdana menteri tanpa membawa mas kawin yang berarti, adalah lelucon yang sangat meriah pada masanya. Mustahil ada orang yang tidak tahu hal ini di kediaman. Itu pula sebabnya, dia direndahkan selama bertahun-tahun. "Kau mempertanyakan kemampuanku? Sepertinya kau cukup lancang menghina majikan," cetus Ming Lan dingin. "Sekarang katakan, apa hukuman keluarga untuk pelayan yang berani menghina majikan?" "Furen, Anda salah paham. Saya tidak bermaksud demikian." "Kau masih membantah! Jawab saja pertanyaanku." "Ditampar sebanyak tiga puluh kali." "Kalau begitu, lakukanlah." Pelayan keras kepala lagi-lagi membantah. "Furen, sebelum memukul anjing, anda harus melihat pemiliknya lebih dulu." "Tampar dirimu sekarang juga atau kulaporkan pada Xiangye?" Nada Ming Lan berubah serius, penuh ancaman. "Kau tak dengar apa kata beliau tadi? Harus mengikuti aturan furen." Keheningan memenuhi udara. Semua perhatian terarah pada kepala pelayan Liu. Beberapa yang berpangkat rendah harap-harap cemas, menanti pertunjukan menarik. Sudah bertahun-tahun mereka ditindas dengan kejam. Liu bertindak sewenang-wenang sebab lao furen ada di belakangnya selama ini. "Hmph, sepertinya lao furen terlalu baik sampai pelayannya tak tahu aturan." Baru sekarang kepala pelayan Liu sadar bahwa nyonya rumah sangat berbeda. Selain auranya bertambah dingin, kelakuannya pun makin licik. Kata-kata barusan sama saja dengan menghina atasannya sebagai majikan yang tak bisa mengatur bawahan. Demi nama baik lao furen, dia tak punya pilihan. Tangannya bergerak kaku, menampar pipi kiri dan kanan. Ketimbang sakit, rasa malunya lebih berat. "Kau sedang membelai pipimu? Aku tak bisa mendengar apapun." Sindiran Ming Lan membuat tangan pelayan Liu bergerak lebih cepat dan kuat. Saat semua selesai, pipinya jadi merah dan perih, rasa benci terhadap furen pun makin menjadi. Sebaliknya, muka Ming Lan terlihat puas dan berseri. "Nah, begitu baru benar. Sekarang kembalilah dan katakan pada lao furen agar istirahat dengan tenang. Beliau tak perlu memusingkan masalah kediaman, apa lagi perkara pelayan." Dengan kepala tertunduk, pelayan Liu beranjak bersama gadis-gadis pengiringnya. Halaman kembali hening seperti semula. "Kalian bangunlah. Aku punya sesuatu untuk kalian kerjakan." Tergopoh-gopoh, Anggrek dan Mawar mengikuti nyonya mereka ke dalam. Meski semangat mulai timbul melihat keberanian Ming Lan, seberkas rasa takut muncul juga. "Furen... ba-bagaimana kalau kita nanti dalam masalah?" tanya Mawar yang lebih penakut. "Kenapa dipikirkan?" Acuh tak acuh Ming Lan membuka kotak kayu yang terlihat menyedihkan. "Aku diam saja pun, masalah tetap datang. Apa yang perlu ditakutkan?" "Furen, apa yang hendak Anda lakukan? Cuma perhiasan itu yang kita punya?" Anggrek mencetus saat melihat jemari Ming Lan meraih jepit rambut Giok beserta kalung emas yang modelnya sudah ketinggalan zaman. "Kau pergi ke pasar. Jual perhiasan ini secepatnya. Mulai sekarang, kita butuh banyak uang." Bukankah ini masalah utama kenapa dia direndahkan? Tak punya mahar yang mumpuni, tak dapat dukungan keluarga asal, juga tak disayang suami. Mulai sekarang, dia akan mencintai dirinya sendiri, punya uang dan mandiri. Siapa pun yang mau merendahkannya, silakan bermimpi sepuasnya. "Ta-tapi kalau saya menjualnya, kita tak punya apapun lagi." Anggrek meragu seraya memikirkan betapa menyedihkan hidup majikannya. Berstatus nyonya perdana menteri tapi jumlah perhiasannya jauh lebih sedikit dari pada selir. "Tenang saja. Kita harus menyelesaikan masalah yang lebih mendesak." Setelah Anggrek akhirnya beranjak, dia kembali memerintahkan Mawar untuk menjemur biji-bijian di halaman. "Tapi untuk apa, Furen? Semua biji-bijian ini sudah kering." "Lakukan saja. Kau akan tahu nanti." Usai memberi perintah pada semua pelayannya, Ming Lan menyibukkan diri memeriksa semua yang dia miliki. Selain perhiasan jelek tadi, ada surat kepemilikan atas tiga buah kedai serta sebidang tanah gersang. Ibu tirinya benar-benar memberi yang 'terbaik' untuknya. "Hmph, bagus sekali." Sebuah seringai tipis terbit di wajahnya. Pantas saja dia amat direndahkan di sini. Menilik dari seserahan yang diberikan keluarga Hua, kentara betul bahwa dia anak yang tidak disayangi walau berstatus putri sah tertua (da xiaojie). Tapi itu bukan masalah lagi. Setelah perjalanannya ke dunia modern, pengetahuan makin bertambah. Besok dia akan memeriksa kedai makanan ringan miliknya. Sedikit polesan akan membuat semuanya lebih baik. Saat Ming Lan masih sibuk dengan rencananya, keributan kembali terdengar di luar kediaman. Sekarang, si rubah Yan Yan yang muncul. Suaranya tinggi seperti knalpot rusak yang pernah didengarnya di dunia modern. "Jie, keluarlah! Anda harus memberi penjelasan pada bibiku. Kalau tidak, jangan salahkan aku bertindak kasar."Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan. Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas. "Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa."Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku? Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu. "Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang. Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda. Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat. Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming La
Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan. Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi. "Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya."Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan."Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya. "Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat.""Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri."Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang."Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit. Saat sudah bisa berdiri, dia langsung meme
Ming Lan menikmati bubur yang hambar sembari memikirkan perjalanan hidupnya yang misterius. Disini, dia adalah istri perdana menteri, berumur tiga puluh tahun, dan punya dua anak. Seminggu lalu, seseorang mendorongnya jatuh ke kolam, hingga tubuhnya nyaris beku dalam air bersuhu dingin. Setelah itu, dia demam sangat tinggi, sampai tak sadarkan diri. Selama tak sadar, jiwanya berkelana ke dunia yang berbeda. Di sana, dia adalah putri konglomerat yang dipaksa menikah demi tujuan bisnis. Saat dalam pelarian, mobil yang disetirnya jatuh ke jurang, dan jiwanya pun kembali ke zaman ini. "Padahal aku suka hidup di sana," gumam Ming Lan tak sadar. Kehidupan di sini sangat menyedihkan. Selain harus bergantung pada belas kasihan suami, dia juga punya kepribadian lemah dan selalu ditindas. Di dunia yang satu lagi, dia adalah perempuan mandiri yang punya kemauan keras. Sifatnya jadi terbawa kemari. Itu sebabnya, semua orang terperangah hari ini. Baru saja selesai menyantap makanan yang hamba
Detik berikut, suara tamparan berulang terdengar. Air mata buaya Yan Yan berubah jadi tangis betulan. Kedua tangannya mengepal, menahan geram dan rasa sakit. Sebetulnya, Ming Lan datang kemari bersama salah satu pelayan bernama Anggrek. Dia bisa saja meminta Anggrek menampar Yan Yan, tetapi keinginan membuat mertua murka, memaksanya bertindak demikian. Harapan ini tak sia-sia, sebab lao furen memang sangat marah. Tangannya menunjuk gemetaran, tapi tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan.Di tengah situasi yang memanas, pengumuman dari penjaga gerbang terdengar lantang. "Xiangye (tuan perdana menteri) sudah pulang."Lao Furen yang sekarat lantaran menahan geram, seperti mendapat pasokan oksigen. Tertatih-tatih dia bangkit, menyambut putranya sembari berlinang air mata. "Terima kasih, kau sudah pulang." Tanpa basa-basi dia menyeret putra bungsunya ke dalam. "Lihat, perbuatan istrimu. Dia menyiksaku dan sepupumu."Perdana menteri yang punya nama asli Chu Fei Yang, lebih heran ketimbang
"Berlutut! Apa lagi yang kau tunggu?"Suara seorang wanita tua menggelegar memenuhi ruangan mewah dengan ornamen klasik. Gadis muda berwajah seperti rubah, berdiri di sisinya sambil sibuk menenangkan dan mengipasi dengan hati-hati. Hua Ming Lan, perempuan yang jadi sasaran kemarahan, berdiri tak acuh. Pertunjukan sekarang bukanlah hal menakutkan baginya. Hal ini sudah kerap terjadi selama dia berstatus furen (nyonya muda) di kediaman perdana menteri. "Masih belum sadar apa salahmu? Lancang sekali!"Wanita tua makin murka, lalu memberi isyarat pada salah satu pelayannya. Tak menunggu lama, seseorang maju hendak menampar Ming Lan.Belum sempat tangannya mendarat, Ming Lan langsung mencekal sekuat tenaga, lalu mendorong pelayan tersebut sampai terjungkal. Seisi ruangan terkesiap. "Kau! Masih berani melawan?" Muka wanita tua makin jelek, tangannya menunjuk ke arah Ming Lan, dipenuhi amarah. "Kurang ajar!""Jie jie (kakak), aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan melampiaskannya pada bib