Share

Semangkok Mie

Author: Auphi
last update Huling Na-update: 2025-07-05 17:23:07

Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan.

Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi.

"Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya."

Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan."

Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya.

"Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat."

"Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri."

Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang."

Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit.

Saat sudah bisa berdiri, dia langsung memerintahkan kedua pelayannya menyapu biji-bijian sialan yang sudah membuat mereka jatuh memalukan.

"Furen, apa maksud semua ini? Anda sengaja menjebak saya."

"Yo! Rupanya Yan yiniang. Mawar yang bodoh sudah salah lihat. Biasanya anjing dan kucing yang suka duduk-duduk di atas tanah."

"Keterlaluan sekali!" Hilang sudah kesabaran Yan Yan. Nada bicara yang lemah lembut menguap ke udara. "Saya harap anda tidak menyesal nanti."

Ming Lan mengedik tak acuh. Perempuan bodoh seperti Yan Yan bukan tandingannya. Setelah hidup di dunia modern, menjadi putri sulung konglomerat ternama, sifat pengecutnya hilang tak berbekas.

Walau cuma koma lima hari, tetapi dia sudah hidup puluhan tahun dalam mimpi yang seperti kenyataan itu.

"Kenapa harus menyesal? Aku bukan sepupu munafik yang menggoda suami orang."

Sebelum Yan Yan menyahut lagi, Ming Lan menguap lebar lalu masuk ke dalam. Setelah mengoleskan rendaman beras di wajahnya, dia pun tertidur pulas.

Hari sudah jelang sore saat dia terjaga. Anggrek yang dimintanya menjual perhiasan sudah kembali dari pasar. Di tangannya ada sekantung uang.

"Furen, perhiasan anda cuma terjual seharga lima tael emas. Mereka tak mau bayar lebih dari itu."

Bagi kaum bangsawan, uang segitu mungkin tak seberapa. Tapi untuk orang miskin beda lagi ceritanya. Upah harian buruh hanya berkisar empat puluh hingga lima puluh wen. Satu tael emas setara dengan seratus tael perak, dan satu tael perak adalah seribu wen. Sehingga lima tael emas sudah bisa membayar tenaga harian seorang buruh selama puluhan tahun.

"Tak masalah. Besok temani aku keluar, ada urusan yang harus diselesaikan. Sementara itu, tolong buang semua baju-baju ini. Warnanya terlalu jelek."

Tumpukan baju di atas ranjang membuat Anggrek terpana. "Bu--bukannya ini semua warna kesukaan furen?"

Dalam hidupnya dulu, Ming Lan memang pemalu dan minder. Agar tidak mencuri perhatian, pakaiannya selalu berwarna pastel lembut. Ibu tirinya bilang warna tersebut lebih menarik, juga menunjukkan keanggunan.

Sekarang kalau dipikirkan lagi, selera busana dan kepribadiannya membuat dia direndahkan orang. Bahkan Fei Yang sendiri tak pernah menganggapnya ada. Tahun-tahun pertama perkawinan hanya diwarnai sentuhan terpaksa demi melahirkan pewaris.

Setelah dua kali melahirkan anak perempuan, sentuhan itu pun lenyap. Setiap malam dia tidur bertemankan sepi, juga rasa putus asa. Kalau memang tetap akan diabaikan, buat apa repot-repot menunjukkan citra lembut dan anggun.

"Mulai sekarang aku hanya akan memakai warna cerah."

Senyuman Anggrek merekah indah. "Baik, furen. Saya akan menyingkirkan semuanya."

Tak terasa, malam pun tiba. Setelah membersihkan diri dan mengenakan hanfu tipis, Ming Lan duduk sembari menunggu santap malam.

Ketika rantang berisi makanan tiba, isinya bahkan lebih parah dari yang tadi. Setidaknya, makan siangnya masih hangat dan baru. Apa yang tersaji di depannya sekarang cuma semangkuk nasi dingin beserta sup berisi beberapa potong toge dan tahu.

Makanan anjing pun bisa lebih baik dari ini.

"Furen, izinkan saya melabrak pelayan dapur. Ini sangat keterlaluan."

"Kenapa buru-buru?" Ming Lan mengambil sumpit dan mengusapnya dengan kain sampai mengkilat. "Biarkan mereka tertawa bahagia. Nanti sekali jatuh, sakitnya tak tertahankan."

Ketiga pelayan tak bisa lagi berbuat apa-apa. Mereka menyibukkan diri dengan kegiatan lain sampai sang majikan selesai bersantap.

Malam itu Ming Lan menghabiskan waktu dengan menyusun rencana. Berdasarkan info yang diberikan Anggrek, selama ini tokonya dikelola keluarga Chu dengan perantaraan Yan Yan. Biarpun atas namanya, tak sepeser uang pernah masuk ke sakunya. Dia hidup seperti gelandangan di halaman terjauh.

Dulu saat baru masuk kediaman, dia tinggal tepat di belakang ruang kerja suaminya. Setelah berulang kali melakukan kesalahan akibat jebakan Yan Yan, akhirnya, dia mendapat hukuman berat. Diusir ke halaman paling belakang, dimana setan pun enggan tinggal.

"Tolong siapkan api," seru Ming Lan saat perutnya mulai tak nyaman. "Tiba-tiba saja aku lapar."

"Tapi furen... ." Anggrek menatapnya salah tingkah. "Tak ada apa-apa di dapur kecil."

"Bukannya kau bilang masih ada umbi-umbian dan sedikit tepung?"

"Baik, furen."

Anggrek bergegas ke dapur, menyalakan api di tungku lalu memanggilnya.

Berdiri di depan perapian, Ming Lan merasa hidup lagi. Di dunia modern, dia punya profesi sebagai koki terkenal, bahkan mengelola sebuah restoran yang sukses mendapat bintang Michelin.

Kalau bukan karena kecelakaan sial itu, pasti sekarang dia tengah menghadiri konferensi chef kelas dunia, menerima kekaguman dari banyak orang, dan punya bisnis menjanjikan.

"Tapi... apakah furen bisa memasak?" Anggrek meragu, memandangi tepung putih yang halus penuh iba.

"Tenang saja."

Detik berikutnya, tangan Ming Lan bergerak cepat. Mencampur terigu, telur, dan sedikit garam lalu mengulen semuanya untuk membuat adonan mie yang lezat. Tak butuh waktu lama bagi gumpalan tepung berubah jadi pilinan-pilinan memanjang.

Sementara merebusnya dalam air mendidih, Ming Lan mengiris bawang dan sayuran, lalu menyiapkan telor mata sapi. Baik Mawar dan Anggrek begitu terpesona oleh gerakan tangannya yang cepat, dan terlatih.

Suasana damai di antara majikan dan pelayan, terjeda oleh sosok dingin yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu.

"Larut malam begini, kenapa masih memasak?"

Ming Lan buru-buru mengusap tangan dan membungkuk sedikit. "Maaf sudah mengganggu ketenangan, tetapi aku tiba-tiba saja lapar."

Keheningan menggantung di udara, sebab tuan rumah tak kunjung pamit, dan nyonya rumah juga tak menawari beliau untuk tinggal.

Saat situasi makin buntu, Anggrek akhirnya mengambil inisiatif. "Xiangye, bagaimana kalau anda singgah sebentar dan menikmati semangkok mie?"

"Hmm, baik. Aku tunggu di depan."

Usai kepergian suaminya, Ming Lan menggumam kesal. "Mengganggu saja. Kenapa pula kuda liar itu harus makan di tempat orang susah."

Kegusaran sang nyonya, menyadarkan Anggrek. Buru-buru dia berlutut, penuh penyesalan. "Maaf Furen, saya sudah bertindak lancang."

"Tak apa-apa. Aku tahu kau berbuat demikian untuk kebaikan kita."

Di dunia kuno yang patriarkis, hidup perempuan bergantung sepenuhnya pada kemurahan hati kaum pria. Waktu gadis berbakti pada ayah, saat sudah menikah pada suami, dan ketika sudah janda mesti hidup baik-baik dengan putra. Semua adalah aturan tak tertulis.

Kalau saja Anggrek tak bertindak, bisa saja Chu Fei Yang akan tersinggung. Hidup mereka yang sulit akan makin menyedihkan.

"Bantu aku membawa semuanya ke meja."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Menagih Hutang

    Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan. Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas. "Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa."Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku? Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu. "Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang. Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda. Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat. Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming La

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Semangkok Mie

    Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan. Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi. "Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya."Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan."Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya. "Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat.""Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri."Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang."Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit. Saat sudah bisa berdiri, dia langsung meme

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Gangguan

    Ming Lan menikmati bubur yang hambar sembari memikirkan perjalanan hidupnya yang misterius. Disini, dia adalah istri perdana menteri, berumur tiga puluh tahun, dan punya dua anak. Seminggu lalu, seseorang mendorongnya jatuh ke kolam, hingga tubuhnya nyaris beku dalam air bersuhu dingin. Setelah itu, dia demam sangat tinggi, sampai tak sadarkan diri. Selama tak sadar, jiwanya berkelana ke dunia yang berbeda. Di sana, dia adalah putri konglomerat yang dipaksa menikah demi tujuan bisnis. Saat dalam pelarian, mobil yang disetirnya jatuh ke jurang, dan jiwanya pun kembali ke zaman ini. "Padahal aku suka hidup di sana," gumam Ming Lan tak sadar. Kehidupan di sini sangat menyedihkan. Selain harus bergantung pada belas kasihan suami, dia juga punya kepribadian lemah dan selalu ditindas. Di dunia yang satu lagi, dia adalah perempuan mandiri yang punya kemauan keras. Sifatnya jadi terbawa kemari. Itu sebabnya, semua orang terperangah hari ini. Baru saja selesai menyantap makanan yang hamba

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Siasat Nyonya Tua

    Detik berikut, suara tamparan berulang terdengar. Air mata buaya Yan Yan berubah jadi tangis betulan. Kedua tangannya mengepal, menahan geram dan rasa sakit. Sebetulnya, Ming Lan datang kemari bersama salah satu pelayan bernama Anggrek. Dia bisa saja meminta Anggrek menampar Yan Yan, tetapi keinginan membuat mertua murka, memaksanya bertindak demikian. Harapan ini tak sia-sia, sebab lao furen memang sangat marah. Tangannya menunjuk gemetaran, tapi tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan.Di tengah situasi yang memanas, pengumuman dari penjaga gerbang terdengar lantang. "Xiangye (tuan perdana menteri) sudah pulang."Lao Furen yang sekarat lantaran menahan geram, seperti mendapat pasokan oksigen. Tertatih-tatih dia bangkit, menyambut putranya sembari berlinang air mata. "Terima kasih, kau sudah pulang." Tanpa basa-basi dia menyeret putra bungsunya ke dalam. "Lihat, perbuatan istrimu. Dia menyiksaku dan sepupumu."Perdana menteri yang punya nama asli Chu Fei Yang, lebih heran ketimbang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Nyonya Kediaman

    "Berlutut! Apa lagi yang kau tunggu?"Suara seorang wanita tua menggelegar memenuhi ruangan mewah dengan ornamen klasik. Gadis muda berwajah seperti rubah, berdiri di sisinya sambil sibuk menenangkan dan mengipasi dengan hati-hati. Hua Ming Lan, perempuan yang jadi sasaran kemarahan, berdiri tak acuh. Pertunjukan sekarang bukanlah hal menakutkan baginya. Hal ini sudah kerap terjadi selama dia berstatus furen (nyonya muda) di kediaman perdana menteri. "Masih belum sadar apa salahmu? Lancang sekali!"Wanita tua makin murka, lalu memberi isyarat pada salah satu pelayannya. Tak menunggu lama, seseorang maju hendak menampar Ming Lan.Belum sempat tangannya mendarat, Ming Lan langsung mencekal sekuat tenaga, lalu mendorong pelayan tersebut sampai terjungkal. Seisi ruangan terkesiap. "Kau! Masih berani melawan?" Muka wanita tua makin jelek, tangannya menunjuk ke arah Ming Lan, dipenuhi amarah. "Kurang ajar!""Jie jie (kakak), aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan melampiaskannya pada bib

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status