Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan.
Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi. "Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya." Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan." Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya. "Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat." "Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri." Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang." Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit. Saat sudah bisa berdiri, dia langsung memerintahkan kedua pelayannya menyapu biji-bijian sialan yang sudah membuat mereka jatuh memalukan. "Furen, apa maksud semua ini? Anda sengaja menjebak saya." "Yo! Rupanya Yan yiniang. Mawar yang bodoh sudah salah lihat. Biasanya anjing dan kucing yang suka duduk-duduk di atas tanah." "Keterlaluan sekali!" Hilang sudah kesabaran Yan Yan. Nada bicara yang lemah lembut menguap ke udara. "Saya harap anda tidak menyesal nanti." Ming Lan mengedik tak acuh. Perempuan bodoh seperti Yan Yan bukan tandingannya. Setelah hidup di dunia modern, menjadi putri sulung konglomerat ternama, sifat pengecutnya hilang tak berbekas. Walau cuma koma lima hari, tetapi dia sudah hidup puluhan tahun dalam mimpi yang seperti kenyataan itu. "Kenapa harus menyesal? Aku bukan sepupu munafik yang menggoda suami orang." Sebelum Yan Yan menyahut lagi, Ming Lan menguap lebar lalu masuk ke dalam. Setelah mengoleskan rendaman beras di wajahnya, dia pun tertidur pulas. Hari sudah jelang sore saat dia terjaga. Anggrek yang dimintanya menjual perhiasan sudah kembali dari pasar. Di tangannya ada sekantung uang. "Furen, perhiasan anda cuma terjual seharga lima tael emas. Mereka tak mau bayar lebih dari itu." Bagi kaum bangsawan, uang segitu mungkin tak seberapa. Tapi untuk orang miskin beda lagi ceritanya. Upah harian buruh hanya berkisar empat puluh hingga lima puluh wen. Satu tael emas setara dengan seratus tael perak, dan satu tael perak adalah seribu wen. Sehingga lima tael emas sudah bisa membayar tenaga harian seorang buruh selama puluhan tahun. "Tak masalah. Besok temani aku keluar, ada urusan yang harus diselesaikan. Sementara itu, tolong buang semua baju-baju ini. Warnanya terlalu jelek." Tumpukan baju di atas ranjang membuat Anggrek terpana. "Bu--bukannya ini semua warna kesukaan furen?" Dalam hidupnya dulu, Ming Lan memang pemalu dan minder. Agar tidak mencuri perhatian, pakaiannya selalu berwarna pastel lembut. Ibu tirinya bilang warna tersebut lebih menarik, juga menunjukkan keanggunan. Sekarang kalau dipikirkan lagi, selera busana dan kepribadiannya membuat dia direndahkan orang. Bahkan Fei Yang sendiri tak pernah menganggapnya ada. Tahun-tahun pertama perkawinan hanya diwarnai sentuhan terpaksa demi melahirkan pewaris. Setelah dua kali melahirkan anak perempuan, sentuhan itu pun lenyap. Setiap malam dia tidur bertemankan sepi, juga rasa putus asa. Kalau memang tetap akan diabaikan, buat apa repot-repot menunjukkan citra lembut dan anggun. "Mulai sekarang aku hanya akan memakai warna cerah." Senyuman Anggrek merekah indah. "Baik, furen. Saya akan menyingkirkan semuanya." Tak terasa, malam pun tiba. Setelah membersihkan diri dan mengenakan hanfu tipis, Ming Lan duduk sembari menunggu santap malam. Ketika rantang berisi makanan tiba, isinya bahkan lebih parah dari yang tadi. Setidaknya, makan siangnya masih hangat dan baru. Apa yang tersaji di depannya sekarang cuma semangkuk nasi dingin beserta sup berisi beberapa potong toge dan tahu. Makanan anjing pun bisa lebih baik dari ini. "Furen, izinkan saya melabrak pelayan dapur. Ini sangat keterlaluan." "Kenapa buru-buru?" Ming Lan mengambil sumpit dan mengusapnya dengan kain sampai mengkilat. "Biarkan mereka tertawa bahagia. Nanti sekali jatuh, sakitnya tak tertahankan." Ketiga pelayan tak bisa lagi berbuat apa-apa. Mereka menyibukkan diri dengan kegiatan lain sampai sang majikan selesai bersantap. Malam itu Ming Lan menghabiskan waktu dengan menyusun rencana. Berdasarkan info yang diberikan Anggrek, selama ini tokonya dikelola keluarga Chu dengan perantaraan Yan Yan. Biarpun atas namanya, tak sepeser uang pernah masuk ke sakunya. Dia hidup seperti gelandangan di halaman terjauh. Dulu saat baru masuk kediaman, dia tinggal tepat di belakang ruang kerja suaminya. Setelah berulang kali melakukan kesalahan akibat jebakan Yan Yan, akhirnya, dia mendapat hukuman berat. Diusir ke halaman paling belakang, dimana setan pun enggan tinggal. "Tolong siapkan api," seru Ming Lan saat perutnya mulai tak nyaman. "Tiba-tiba saja aku lapar." "Tapi furen... ." Anggrek menatapnya salah tingkah. "Tak ada apa-apa di dapur kecil." "Bukannya kau bilang masih ada umbi-umbian dan sedikit tepung?" "Baik, furen." Anggrek bergegas ke dapur, menyalakan api di tungku lalu memanggilnya. Berdiri di depan perapian, Ming Lan merasa hidup lagi. Di dunia modern, dia punya profesi sebagai koki terkenal, bahkan mengelola sebuah restoran yang sukses mendapat bintang Michelin. Kalau bukan karena kecelakaan sial itu, pasti sekarang dia tengah menghadiri konferensi chef kelas dunia, menerima kekaguman dari banyak orang, dan punya bisnis menjanjikan. "Tapi... apakah furen bisa memasak?" Anggrek meragu, memandangi tepung putih yang halus penuh iba. "Tenang saja." Detik berikutnya, tangan Ming Lan bergerak cepat. Mencampur terigu, telur, dan sedikit garam lalu mengulen semuanya untuk membuat adonan mie yang lezat. Tak butuh waktu lama bagi gumpalan tepung berubah jadi pilinan-pilinan memanjang. Sementara merebusnya dalam air mendidih, Ming Lan mengiris bawang dan sayuran, lalu menyiapkan telor mata sapi. Baik Mawar dan Anggrek begitu terpesona oleh gerakan tangannya yang cepat, dan terlatih. Suasana damai di antara majikan dan pelayan, terjeda oleh sosok dingin yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. "Larut malam begini, kenapa masih memasak?" Ming Lan buru-buru mengusap tangan dan membungkuk sedikit. "Maaf sudah mengganggu ketenangan, tetapi aku tiba-tiba saja lapar." Keheningan menggantung di udara, sebab tuan rumah tak kunjung pamit, dan nyonya rumah juga tak menawari beliau untuk tinggal. Saat situasi makin buntu, Anggrek akhirnya mengambil inisiatif. "Xiangye, bagaimana kalau anda singgah sebentar dan menikmati semangkok mie?" "Hmm, baik. Aku tunggu di depan." Usai kepergian suaminya, Ming Lan menggumam kesal. "Mengganggu saja. Kenapa pula kuda liar itu harus makan di tempat orang susah." Kegusaran sang nyonya, menyadarkan Anggrek. Buru-buru dia berlutut, penuh penyesalan. "Maaf Furen, saya sudah bertindak lancang." "Tak apa-apa. Aku tahu kau berbuat demikian untuk kebaikan kita." Di dunia kuno yang patriarkis, hidup perempuan bergantung sepenuhnya pada kemurahan hati kaum pria. Waktu gadis berbakti pada ayah, saat sudah menikah pada suami, dan ketika sudah janda mesti hidup baik-baik dengan putra. Semua adalah aturan tak tertulis. Kalau saja Anggrek tak bertindak, bisa saja Chu Fei Yang akan tersinggung. Hidup mereka yang sulit akan makin menyedihkan. "Bantu aku membawa semuanya ke meja."Tak kunjung ada sahutan. Bisik hening lewat tiupan angin dan kecipak air membuatnya firasatnya makin tak nyaman. Jieyu membungkuk sedikit untuk pamit. "Gongzi (tuan muda), saya tak akan menggangu istirahat anda lagi. Saya pergi dulu."Baru saja mau berbalik, suara dari dalam pondok terdengar. Kali ini diikuti kemunculan seorang pemuda, yang parasnya sukses membuat gadis mana pun tersipu. "Xiaojie mau pergi setelah mengambil tusuk rambutku begitu saja?"Butuh beberapa saat bagi Jieyu untuk menyadari bahwa tusuk rambut giok masih dalam genggamannya. "Ma--maaf, saya tak bermaksud mengambil. Ini tusuk rambut anda saya kembalikan."Jieyu melangkah ragu, wajahnya memanas oleh tatapan dalam pria di depannya. Dia baru sadar tidak memakai penutup wajah. Rasa takut akan merusak reputasi membuatnya ingin cepat-cepat mengembalikan benda sialan ini. "Ini tusuk rambut anda," ujarnya ketika sudah di kaki tangga.Laki-laki
Di sebuah ruang pribadi, tiga wanita beda generasi duduk tenang, sambil mendengarkan dengan seksama percakapan di ruang sebelah. Saat ini mereka duduk di sebuah pusat hiburan terkenal ibu kota. Tempat ini menyediakan segala hal yang bisa dipikirkan manusia tentang kesenangan. Mulai dari makanan enak, hiburan, judi, minuman keras, hingga wanita. Menurut selentingan, orang dibalik layar adalah sosok yang sangat berkuasa. Maka dari itu, tak ada yang berani mengacau. Mengingat Lin Jun yang seorang pelajar bisa punya akses kemari, bisa dibayangkan berapa banyak perak yang dihabiskannya tiap bulan. "Ibu, apakah yang kita lakukan ini tidak salah?"Ming Lan menatap Jiayi yang paling taat aturan sambil tersenyum. "Tentu saja salah. Tetapi... situasi darurat membutuhkan tindakan darurat.""Memangnya situasi darurat apa yang bisa dilakukan Jun ge?" ujar Jieyu yang sejak tadi menatap acuh tak acuh. "Dalam hal belajar atau bela diri, dia sangat pay
Sikap bebal nyonya tua membuat kepala Ming Lan makin pusing. Bukankah perempuan ini ingin yang terbaik untuk cucunya? Kenapa tidak cari sendiri?"Ibu sudah berapa lama tinggal di ibu kota? Anda tentu tahu bahwa para bangsawan amat mementingkan status. Jangankan Yan yiniang, xiangye saja bukan dari kalangan bangsawan."Muka nyonya tua berubah resah. Kalau bukan karena keinginan kaisar untuk menekan kekuatan kaum bangsawan, maka pelajar miskin seperti kedua anaknya tak akan punya kesempatan."Kalau begitu pikirkan sesuatu. Bukankah dirimu adalah bangsawan? Pasti punya koneksi dimana-mana."Kenapa harus memakai koneksi sendiri untuk membantu musuh? Pikir Ming Lan sebal. Rasanya ingin sekali berdebat dengan nyonya tua sampai titik darah penghabisan, tetapi reputasi putrinya akan ikut rusak. Keluarga mana yang mau melamar wanita yang punya ibu bermasalah? Orang-orang pada masa ini amat percaya bahwa kelakuan seorang ibu akan diwarisi putrinya.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman nyonya tua, perasaan Ming Lan sudah tak enak. Setiap hari, mertua ini cuma bisa mencari-cari kesalahannya. Baru saja di ambang pintu, matanya langsung bersirobok dengan Yan Yan. Wajah itu terlihat kuyu dan pucat, namun tidak mengurangi aura rubah betinanya. Dia terlihat gelagapan oleh tatapan nyonya utama."Fu--furen, ada apa anda kemari?""Apa aku tak bisa lagi kemari?""Maksud saya... tak biasanya anda mengunjungi bibi."Jelas selir Yan merasa bersalah. Dia masih dalam masa kurungan, bahkan mengantar kepergian Fei Yang saja tak diizinkan, tetapi malah bebas berkeliaran di paviliun An Ning. Nyonya tua yang berdiri paling depan, bergerak tak nyaman. Dengan sikap angkuh yang dibuat-buat, dia langsung duduk di kursi utama. "Kenapa mempersoalkan hal yang tidak perlu? Aku bebas bicara dengan siapa pun di xiangfu.""Ehm, anda benar bibi. Saya yang kurang pengertian."
Pelayan itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang sebelum menjauh. "Kenapa kau melepasnya begitu saja? Sepertinya, dia ada hubungan dengan kematian pelayan kelas tiga itu," ujar Fei Yang seketika. "Lebih baik kita tunggu saja. Saya sudah punya rencana." Rasa percaya dirinya bikin Fei Yang tak bertanya lebih jauh. Dengan lembut, dia menggenggam tangan Ming Lan hingga tiba di pelataran paviliun Feng Yue. "Saya sudah sampai. Anda bisa kembali." Tangan yang lepas dari genggaman. Mendadak rasa dingin menjalar di sekujur tubuh Fei Yang. "Baiklah, jaga dirimu baik-baik." Tatapannya menyaksikan tubuh Ming Lan yang makin menjauh hingga lenyap dibalik pintu. Fei Yang menertawakan dirinya yang mirip bocah dimabuk asmara. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sementara itu di paviliun He Xiang, kemarahn membuat wajah Yan Yan sangat jelek. Pelayan uta
Tatapan lelah mata Fei Yang adalah yang pertama menyambut Ming Lan begitu pintu ruang kerja terbuka. Di atas meja kayu besar, ada banyak kertas yang sepertinya dokumen berisi informasi resmi. "Sepertinya, anda sedang sibuk. Minumlah tonik ini selagi hangat." Hati-hati dia meletakkan mangkok berisi cairan gelap yang uapnya masih mengepul. "Tumben sekali furen kemari. Apa ada hal penting?" Seraya menenggak isi mangkok sampai habis, tatapan Fei Yang tak pernah beralih dari istrinya. "Kalau memang ada yang penting katakanlah." Alih-alih menyahut suaminya, mata Ming Lan terpaku pada goresan-goresan di atas kertas. Kalau tak salah, itu peta kota yang terletak di lembah sungai Kuning. "Apakah ada banjir lagi?" selidiknya. "Hmm, ya. Kemungkinan lusa aku harus berangkat ke sana untuk mengamankan situasi." "Mengapa harus anda? Bukankah masih ba