Share

Siasat Nyonya Tua

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-05 17:22:15

Detik berikut, suara tamparan berulang terdengar. Air mata buaya Yan Yan berubah jadi tangis betulan. Kedua tangannya mengepal, menahan geram dan rasa sakit.

Sebetulnya, Ming Lan datang kemari bersama salah satu pelayan bernama Anggrek. Dia bisa saja meminta Anggrek menampar Yan Yan, tetapi keinginan membuat mertua murka, memaksanya bertindak demikian. Harapan ini tak sia-sia, sebab lao furen memang sangat marah. Tangannya menunjuk gemetaran, tapi tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan.

Di tengah situasi yang memanas, pengumuman dari penjaga gerbang terdengar lantang.

"Xiangye (tuan perdana menteri) sudah pulang."

Lao Furen yang sekarat lantaran menahan geram, seperti mendapat pasokan oksigen. Tertatih-tatih dia bangkit, menyambut putranya sembari berlinang air mata.

"Terima kasih, kau sudah pulang." Tanpa basa-basi dia menyeret putra bungsunya ke dalam. "Lihat, perbuatan istrimu. Dia menyiksaku dan sepupumu."

Perdana menteri yang punya nama asli Chu Fei Yang, lebih heran ketimbang marah. Setahunya, Ming Lan adalah perempuan lemah dan pengecut, sesuatu yang tak sesuai dengan jabatannya sebagai nyonya di kediaman bangsawan.

Saat ini, sepupu yang merangkap sebagai selirnya masih dalam posisi bersimpuh. Meski mulutnya tak bilang apa-apa, namun gurat kesedihan di matanya, begitu kentara.

"Mujin (ibu) ceritakan apa yang terjadi," ujar Fei Yang begitu duduk di kursi.

"Aku hanya bicara sedikit, dia langsung mengancam dengan membawa-bawa nama kaisar." Lao Furen menoleh ke arah keponakan yang sudah lebam wajahnya. "Lihatlah, dia bahkan berani menghajar sepupumu sampai babak belur."

Riak wajah perdana menteri tak berubah. Matanya justru memicing, seolah menimbang sesuatu.

"Kau mau bilang sesuatu?" ujarnya pada Ming Lan yang berdiri terasing di tengah ruangan. "Menilik dari keributan yang kau buat, pasti banyak yang mau kau bicarakan."

Dengan ketenangan mengagumkan, Ming Lan membungkuk sedikit, lalu menuturkan narasinya dengan lancar. Awalnya, Yan Yan mendatangi kediamannya lalu memaksa agar segera menghadap lao furen padahal dia baru saja sadar setelah koma selama lima hari.

Tak cuma itu, selir tersebut juga berani mengatainya sebagai pemalas hanya karena bangun lebih lama. Habis kesabaran, Ming Lan menamparnya dan Yan Yan langsung mengadu kemari.

"Menurut xiangye, apakah tindakanku salah?" cetusnya dengan wajah setenang telaga. "Bagaimana bisa, seorang yiniang menginjak kepala furen. Kalau pun malas, bukankah seharusnya tugas anda mendidikku?"

Tanpa menunggu anaknya, lao furen memotong. "Yan'er bukan selir biasa. Lagi pula, aku juga berhak mendidik menantuku sendiri."

"Berhubung Yan Yan sudah memilih hidup sebagai selir, maka status sebagai sepupu sudah hilang. Hanya boleh memilih salah satu."

Lao furen masih mau menyanggah, saat Fei Yang tiba-tiba mengangkat tangan. Wajahnya terlihat lelah dan bosan. "Kita ikut aturan furen."

Pasangan bibi dan keponakan saling tatap, sebelum lao furen tersadar. "Fei Yang, kau tak boleh begini. Istrimu akan melunjak kalau tak kau disiplinkan."

Setengah gusar, Fei Yang menenangkan ibunya. "Apa yang dikatakan Ming Lan tak salah. Mujin, jangan terlalu memikirkan segalanya." Usai berkata begini, dia langsung bangkit. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Masih ada urusan."

Saat yang tinggal di ruangan hanya mereka, Ming Lan kembali berujar, "karena suami sudah pergi, maka menantu ini pun pamit."

Mengabaikan seruan lao furen, dia segera menuju kediaman, yang letaknya di bagian paling belakang. Sementara itu, Anggrek mengikuti dengan tergesa.

"Furen, sepertinya xiangye masih mencintai Anda. Hari ini, dia tak membela Yan yiniang seperti biasa."

Cinta?

Segurat senyum sinis menghiasi bibir Ming Lan. Tiga puluh tahun hidup di dunia, dia tak berani lagi mengimpikan hal ini. Cinta terlalu mewah bagi orang-orang seperti mereka.

Dia jatuh ke dalam kolam di musim dingin, pingsan lalu koma sampai lima hari, tetapi pria yang pernah berbagi selimut dengannya, tak tahu-menahu akan hal ini. Jadi, rasa apa yang masih tersisa?

"Jangan mengkhayal yang bukan-bukan," tegur Ming Lan dingin. "Dia cuma tak punya alasan yang tepat untuk menghukum."

Saat memasuki kediamannya yang sederhana, aroma pengap langsung menyerbu. Nampak betul dia terlalu lama diperlakukan seperti sampah.

Debu menutupi perabot, teh dingin dalam cangkir porselen murahan, serta meja rias yang sebelah kakinya sudah patah. Betapa hebat keluarga Chu memperlakukan nyonya rumah.

"Mawar, kemarilah!"

Dia memanggil seorang lagi pelayan yang bertugas di kediamannya. Setelah sekian menit belum juga ada yang muncul, dia memanggil lebih lantang.

Seorang gadis remaja, yang umurnya masih lima belas, muncul tergopoh-gopoh. Mukanya terlihat polos dan bodoh, sangat tidak serasi untuk tinggal di kediaman yang penuh ular dan kalajengking.

"Bersihkan tempat ini, dan siapkan makan siang. Aku benar-benar lapar."

"Ma--maaf, Nyonya. Tapi makan siang anda belum diantar," ujar Anggrek yang sejak tadi berdiri patuh di sisinya.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Pergi ke dapur dan ambilkan untukku."

Anggrek membungkuk sebelum beranjak. Kakinya belum sampai di ambang pintu, ketika pelayan dapur tergesa mengantarkan rantang kayu berisi makanan.

"Maaf, Furen. Hari ini dapur sangat sibuk, jadi melupakan makan siang Anda."

Betapa sembrono orang-orang ini! Mereka bahkan melupakan makan siangnya. Pelayan dapur juga berani menatap wajahnya terang-terangan.

Raut datar Ming Lan membuat nyali pelayan tersebut bertambah. "Lao furen sedang tak enak badan, jadi kami sibuk menyiapkan sup dan tonik untuk beliau."

Seperti yang diharapkan dari lao furen. Perempuan tua itu sengaja mengirim pelayan rendahan untuk membuatnya kesal. Dengan isyarat mata, Ming Lan melirik Mawar. Awalnya gadis lugu itu agak ragu, namun kilau di mata furen memberinya kepercayaan diri.

"Plak! Plak! Plak!"

Tangannya yang kasar menampar pipi pelayan dapur bolak-balik. Sudut bibir pelayan tersebut mulai berdarah.

"Kau! Beraninya memukulku."

Tangannya terangkat hendak menghajar Mawar, tetapi Ming Lan bertindak lebih dulu. "Maju satu langkah, kau akan kujual ke pasar budak."

Gerakan pelayan itu berhenti, tetapi matanya menatap penuh kebencian. "Lao furen tak akan senang dengan ini," ujarnya sebelum melangkah pergi.

Ketika cuma mereka bertiga yang tinggal di sana. Ming Lan menatap kedua pelayannya bergantian, memindai rasa takut yang memenuhi mata mereka.

Anggrek adalah satu-satunya yang tersisa dari empat pelayan yang dia bawa dari kediaman Hua, sementara Mawar merupakan pelayan yang dipilih lao furen untuknya. Tentu saja bukan untuk melayani, melainkan jadi mata-mata. Namun karena terlalu bodoh, beliau berhenti menghubunginya.

"Mawar, Anggrek, katakan padaku. Kalian mau tetap jadi pelayanku atau melayani majikan lain?"

Keduanya berpandangan bingung. Sejujurnya, bekerja dengan Ming Lan, jelas tak punya masa depan. Majikan mereka tak pernah dianggap orang penting di kediaman.

Tetapi untuk orang rendahan seperti mereka, yang penting adalah makanan dan tempat berteduh, bukan kedudukan. Setelah mencapai kata sepakat, keduanya berlutut dengan khidmat.

"Anggrek menyapa Furen. Semoga Anda sehat dan panjang umur."

"Mawar menyapa Furen. Semoga kebahagiaan memenuhi hidup Anda."

Ming Lan memandangi keduanya dengan puas. Menghadapi pengkhianat jauh lebih sulit dari pada orang bodoh. Untuk saat ini, dia akan melatih Anggrek dan Mawar sebisanya sebelum mencari sumber daya yang lebih mumpuni.

"Baik, kalian boleh berdiri. Sekarang, siapkan makanannya. Aku sudah lapar."

Keduanya membuka rantang dan menyusunnya di atas meja. Lagi-lagi Ming Lan mengelus dada saat melihat makanan yang tersaji.

Semangkuk bubur, sepiring kecil tumisan rebung, serta semangkok sop tahu. Bahkan pelayan kediaman mendapat makanan yang lebih baik.

"Furen, biar aku mengajukan keluhan ke dapur," ujar Anggrek tak terima. Matanya berair melihat makanan sang nyonya. "Mereka sudah keterlaluan."

"Lantas kau mau bilang apa?" sahut Ming Lan datar. "Paling-paling mereka akan bilang bahwa semua ini demi kesehatanku."

Di kediaman lao furen, dia sudah bilang bahwa dirinya baru pulih dari koma. Sebab itu, pasti laoakan beralasan lambungnya masih lemah sehingga tak boleh mencerna makanan berat dan berlemak.

"Sudahlah, biarkan aku makan. Sementara itu, kalian bersihkan halaman. Jangan biarkan siapapun mengusikku."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Menagih Hutang

    Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan. Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas. "Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa."Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku? Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu. "Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang. Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda. Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat. Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming La

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Semangkok Mie

    Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan. Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi. "Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya."Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan."Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya. "Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat.""Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri."Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang."Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit. Saat sudah bisa berdiri, dia langsung meme

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Gangguan

    Ming Lan menikmati bubur yang hambar sembari memikirkan perjalanan hidupnya yang misterius. Disini, dia adalah istri perdana menteri, berumur tiga puluh tahun, dan punya dua anak. Seminggu lalu, seseorang mendorongnya jatuh ke kolam, hingga tubuhnya nyaris beku dalam air bersuhu dingin. Setelah itu, dia demam sangat tinggi, sampai tak sadarkan diri. Selama tak sadar, jiwanya berkelana ke dunia yang berbeda. Di sana, dia adalah putri konglomerat yang dipaksa menikah demi tujuan bisnis. Saat dalam pelarian, mobil yang disetirnya jatuh ke jurang, dan jiwanya pun kembali ke zaman ini. "Padahal aku suka hidup di sana," gumam Ming Lan tak sadar. Kehidupan di sini sangat menyedihkan. Selain harus bergantung pada belas kasihan suami, dia juga punya kepribadian lemah dan selalu ditindas. Di dunia yang satu lagi, dia adalah perempuan mandiri yang punya kemauan keras. Sifatnya jadi terbawa kemari. Itu sebabnya, semua orang terperangah hari ini. Baru saja selesai menyantap makanan yang hamba

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Siasat Nyonya Tua

    Detik berikut, suara tamparan berulang terdengar. Air mata buaya Yan Yan berubah jadi tangis betulan. Kedua tangannya mengepal, menahan geram dan rasa sakit. Sebetulnya, Ming Lan datang kemari bersama salah satu pelayan bernama Anggrek. Dia bisa saja meminta Anggrek menampar Yan Yan, tetapi keinginan membuat mertua murka, memaksanya bertindak demikian. Harapan ini tak sia-sia, sebab lao furen memang sangat marah. Tangannya menunjuk gemetaran, tapi tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan.Di tengah situasi yang memanas, pengumuman dari penjaga gerbang terdengar lantang. "Xiangye (tuan perdana menteri) sudah pulang."Lao Furen yang sekarat lantaran menahan geram, seperti mendapat pasokan oksigen. Tertatih-tatih dia bangkit, menyambut putranya sembari berlinang air mata. "Terima kasih, kau sudah pulang." Tanpa basa-basi dia menyeret putra bungsunya ke dalam. "Lihat, perbuatan istrimu. Dia menyiksaku dan sepupumu."Perdana menteri yang punya nama asli Chu Fei Yang, lebih heran ketimbang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Nyonya Kediaman

    "Berlutut! Apa lagi yang kau tunggu?"Suara seorang wanita tua menggelegar memenuhi ruangan mewah dengan ornamen klasik. Gadis muda berwajah seperti rubah, berdiri di sisinya sambil sibuk menenangkan dan mengipasi dengan hati-hati. Hua Ming Lan, perempuan yang jadi sasaran kemarahan, berdiri tak acuh. Pertunjukan sekarang bukanlah hal menakutkan baginya. Hal ini sudah kerap terjadi selama dia berstatus furen (nyonya muda) di kediaman perdana menteri. "Masih belum sadar apa salahmu? Lancang sekali!"Wanita tua makin murka, lalu memberi isyarat pada salah satu pelayannya. Tak menunggu lama, seseorang maju hendak menampar Ming Lan.Belum sempat tangannya mendarat, Ming Lan langsung mencekal sekuat tenaga, lalu mendorong pelayan tersebut sampai terjungkal. Seisi ruangan terkesiap. "Kau! Masih berani melawan?" Muka wanita tua makin jelek, tangannya menunjuk ke arah Ming Lan, dipenuhi amarah. "Kurang ajar!""Jie jie (kakak), aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan melampiaskannya pada bib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status