Share

Menagih Hutang

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-05 17:23:37

Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan.

Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas.

"Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa."

Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku?

Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu.

"Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang.

Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda.

Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat.

Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming Lan yang dulu selalu memandang penuh cinta, mencari perhatian dengan segala cara, sampai terasa memuakkan.

"Dimana furen belajar masak? Setahuku, walau kediaman Hua tak sekaya dulu, mereka masih mampu menggaji pelayan."

Ming Lan menyeruput teh sebelum menyahut dengan suara semanis madu. "Seperti yang anda tahu, kemarin aku nyaris mati. Sayangnya, malaikat maut belum sudi mengambil jiwaku. Sebagai gantinya, aku kembali ke dunia ini, dan diberi keahlian memasak."

Untuk saat ini, Fei Yang hanya bisa menerima penjelasan yang terdengar seperti omong kosong.

Berdasarkan penyelidikan anak buahnya, Ming Lan memang jatuh ke kolam, dan pingsan karena hipotermia. Setelah koma selama lima hari, dia bangun secara ajaib dan mulai bertingkah aneh. Diam-diam, Fei Yang sedikit merasa bersalah.

"Bagaimana kalau furen kembali tinggal di kediaman lama?"

Ming Lan nampak berpikir. "Tak perlu. Saya nyaman tinggal di sini."

Lagi-lagi Fei Yang dibuat terperangah. Tak cuma karena Ming Lan menyebut dirinya dengan sebutan saya -- sebab biasanya penyebutan tersebut adalah hamba (nubi) -- dia juga menolak tawarannya yang murah hati.

Tadinya, Fei Yang mengira Ming Lan bakal berkaca-kaca lantaran bahagia, ternyata cuma menanggapi dingin. Apakah istrinya sedang bersandiwara agar dia penasaran?

"Kenapa tidak? Jelas-jelas di sana lebih bagus."

Nada gusar dalam suara Fei Yang menerbitkan seulas senyum di bibir Ming Lan. Seingatnya, pria ini yang dulu berkeras meminta dia pindah agar tak mengganggu kehidupannya yang gemilang.

"Memang, tapi setelah tinggal lima tahun di sini, aku sudah terbiasa."

Kembali kesunyian memenuhi ruangan. Aroma dupa yang samar membuat Ming Lan lebih tenang walau tatapan Fei Yang tajam dan mengintimidasi.

"Baiklah kalau itu maumu." Akhirnya Fei Yang mengalah. "Tapi... aku tak suka makanan gratis. Berapa harga semangkok mie yang enak ini?"

"Anda tak perlu membayar. Aku memberinya cuma-cuma."

"Tapi aku memaksa."

Sejak dulu, suaminya memang dominan dan gigih dalam mencapai tujuan. Sebab itulah, walau cuma putra kedua, Fei Yang lebih terkenal dari pada kakaknya yang hidup jauh di daerah perbatasan.

"Kalau begitu... Anda bisa membayarnya dengan makan bersamaku. Besok datanglah kemari pada jam makan siang."

Seringai tipis terbit di bibir Fei Yang. Ternyata Ming Lan tak berubah sama sekali. Masih tergila-gila tetapi strateginya lebih halus. Walau muak, dia jadi penasaran akan rencana perempuan cengeng ini.

"Baiklah. Besok aku akan pulang lebih awal untuk menemani furen makan."

Usai berkata demikian, dia beranjak. Langkahnya lebar dan cepat, membuat asistennya yang sejak tadi berjaga di depan pintu, jadi tergopoh-gopoh.

"Tuan, apa benar anda akan kemari lagi besok? Bagaimana janji makan siang dengan tuan Fu?"

Astaga! Sekarang baru dia ingat ada janji makan siang dengan kepala kehakiman. Entah kenapa hari ini setan seperti merasukinya. Tadi saat mau ke kediaman Yan Yan, aroma lezat makanan malah membawanya ke tempat Ming Lan. Sekarang, dia juga membuat janji yang seharusnya terjadi.

"Batalkan saja." Fei Yang menyahut tanpa sungkan. "Aku mau menonton pertunjukan besok."

Sementara itu, di kediaman Ming Lan kedua pelayan juga tak kalah heran. Mereka menatap tak percaya pada nyonya yang baru saja menolak tawaran murah hati tuan rumah.

"Furen, bukannya dari dulu Anda menginginkan hal ini?" tanya Anggrek

"Benar. Seingat saya Anda bahkan bersujud di depan kediaman tuan agar diizinkan balik ke sana." Mawar menimpali

Dirinya yang dulu memang bodoh. Demi mendapat perhatian Fei Yang, dia rela melakukan apa pun. Mengantar sup ke ruang kerja malam-malam, menjahit kantong wewangian, bahkan menjadi babu mertua. Semua demi sedikit perhatian, yang tak pernah dia dapatkan.

Terakhir, dia bahkan bersujud di tanah bersalju agar diizinkan kembali ke kediaman lama. Bukannya mendekat, semua hal ini malah bikin Fei Yang jijik padanya.

"Buat apa tinggal di sana? Terlalu dekat dengan kediaman lao furen," sahutnya singkat.

"Tapi kalau Anda dekat dengan xiangye dan lao furen maka hidup akan lebih baik."

Mata Ming Lan menatap Mawar dalam-dalam. "Untuk mencapai kejayaan, hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Bukan orang lain."

"Maaf furen, saya salah bicara. Tak seharusnya mengajari anda."

Pelayannya memang terlalu polos, tidak sepintar Kecubung yang sudah membelot ke pihak lawan. Butuh lebih banyak upaya agar kedua orang ini tidak menjadi penghalangnya kelak.

"Baiklah, lain kali jangan sembarangan bicara. Tak semua orang bisa menangkap niat baikmu."

Malam pun berlalu dengan tenang. Keesokan paginya saat sudah selesai membasuh wajah, Ming Lan segera menikmati sarapan yang hambar lalu menuju kediaman lao furen untuk menyapa beliau.

Saat tiba di sana, ternyata perempuan tua tersebut sedang menikmati sarapan bersama Yan Yan sedangkan Kecubung berdiri kikuk sambil melayani mertuanya. Pasangan bibi dan keponakan asyik bersenda gurau, pura-pura tak melihatnya berdiri di ambang pintu.

"Menantu ini menyapa lao furen. Semoga anda sehat selalu."

Ming Lan membungkuk untuk waktu yang lama sebelum lao furen membalas sapaannya. "Aiyo, pagi-pagi begini furen sudah mengunjungiku. Sungguh suatu kehormatan besar."

Ming Lan tersenyum tenang. "Sudah kewajiban saya untuk menyapa ibu mertua. Anda adalah orang yang diberkati."

"Aku tak berani menerima pujianmu. Bagaimana pun, aku bukan putri bangsawan."

Menyebalkan!

Kata ini muncul di benak Ming Lan seperti kilat. Jelas-jelas lao furen sedang mengungkit masalah tempo hari. Dasar perempuan tua pendendam!

Kalau bukan karena punya tujuan, dia pun malas menginjakkan kaki kemari.

"Bangsawan atau bukan, yang dinilai adalah perilaku seseorang," sahut Ming Lan dengan senyum cemerlang. "Sebab Anda orang yang berbudi luhur, maka saya tak berani bersikap tak sopan."

Lao furen berdehem tak nyaman. "Cukup basa-basinya. Salammu sudah kuterima, sekarang kembalilah ke tempatmu."

"Baik, saya akan kembali setelah mengerjakan hal yang menjadi tanggung jawab saya."

Lao furen dan Yan Yan dilanda kebingungan terlebih saat melihat Ming Lan duduk tanpa dipersilakan.

Perempuan itu terlihat tenang dengan muka berseri. Sikap tubuhnya begitu anggun seperti putri yang dididik di istana kaisar.

Hal ini bikin Yan Yan makin gusar. Sekeras apapun mencoba, dia tak bisa punya bahasa tubuh seanggun itu. "Bibi, bagaimana kalau kita dengar kewajiban macam apa yang mau dilakukan furen?"

Lao furen menimbang sejenak. "Katakan apa maksudmu?" ujarnya setelah terdiam beberapa saat.

"Saya mau meminta pembukuan toko yang selama ini dikelola Yan Yan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Menagih Hutang

    Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan. Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas. "Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa."Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku? Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu. "Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang. Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda. Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat. Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming La

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Semangkok Mie

    Suara Yan Yan mendadak hilang diganti jerit kesakitan. Ming Lan merapikan kepangan rambutnya, sebelum keluar menuju halaman. Dia bersedekap sambil memamerkan sederet gigi yang rapi. "Mawar, kenapa ada raungan anjing di halaman? Cepat ambil sapu, usir semuanya."Keusilan majikannya bikin otak Mawar bekerja lebih cepat. "Baik, furen. Akan saya ambilkan."Gadis belia itu segera berlari ke sudut, mengambil sapu paling jelek dan mengibas-ngibaskannya ke arah Yan Yan beserta dayang-dayangnya. "Hush, hush, pergi sana. Jangan ganggu furen kami istirahat.""Lancang! Dasar pelayan tak tahu diri."Seruan Yan Yan bikin Anggrek pura-pura bingung sambil terbungkuk-bungkuk mohon ampun. "Eh, rupanya Anda yang duduk di atas tanah. Astaga, saya sudah salah lihat. Maafkan saya yiniang."Muka Yan Yan merah padam. Kemarahan makin menjadi saat kedua pelayannya kesulitan membantunya berdiri. Biji-bijian licin yang berserak di bawah kaki membuat segalanya sulit. Saat sudah bisa berdiri, dia langsung meme

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Gangguan

    Ming Lan menikmati bubur yang hambar sembari memikirkan perjalanan hidupnya yang misterius. Disini, dia adalah istri perdana menteri, berumur tiga puluh tahun, dan punya dua anak. Seminggu lalu, seseorang mendorongnya jatuh ke kolam, hingga tubuhnya nyaris beku dalam air bersuhu dingin. Setelah itu, dia demam sangat tinggi, sampai tak sadarkan diri. Selama tak sadar, jiwanya berkelana ke dunia yang berbeda. Di sana, dia adalah putri konglomerat yang dipaksa menikah demi tujuan bisnis. Saat dalam pelarian, mobil yang disetirnya jatuh ke jurang, dan jiwanya pun kembali ke zaman ini. "Padahal aku suka hidup di sana," gumam Ming Lan tak sadar. Kehidupan di sini sangat menyedihkan. Selain harus bergantung pada belas kasihan suami, dia juga punya kepribadian lemah dan selalu ditindas. Di dunia yang satu lagi, dia adalah perempuan mandiri yang punya kemauan keras. Sifatnya jadi terbawa kemari. Itu sebabnya, semua orang terperangah hari ini. Baru saja selesai menyantap makanan yang hamba

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Siasat Nyonya Tua

    Detik berikut, suara tamparan berulang terdengar. Air mata buaya Yan Yan berubah jadi tangis betulan. Kedua tangannya mengepal, menahan geram dan rasa sakit. Sebetulnya, Ming Lan datang kemari bersama salah satu pelayan bernama Anggrek. Dia bisa saja meminta Anggrek menampar Yan Yan, tetapi keinginan membuat mertua murka, memaksanya bertindak demikian. Harapan ini tak sia-sia, sebab lao furen memang sangat marah. Tangannya menunjuk gemetaran, tapi tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan.Di tengah situasi yang memanas, pengumuman dari penjaga gerbang terdengar lantang. "Xiangye (tuan perdana menteri) sudah pulang."Lao Furen yang sekarat lantaran menahan geram, seperti mendapat pasokan oksigen. Tertatih-tatih dia bangkit, menyambut putranya sembari berlinang air mata. "Terima kasih, kau sudah pulang." Tanpa basa-basi dia menyeret putra bungsunya ke dalam. "Lihat, perbuatan istrimu. Dia menyiksaku dan sepupumu."Perdana menteri yang punya nama asli Chu Fei Yang, lebih heran ketimbang

  • Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas   Nyonya Kediaman

    "Berlutut! Apa lagi yang kau tunggu?"Suara seorang wanita tua menggelegar memenuhi ruangan mewah dengan ornamen klasik. Gadis muda berwajah seperti rubah, berdiri di sisinya sambil sibuk menenangkan dan mengipasi dengan hati-hati. Hua Ming Lan, perempuan yang jadi sasaran kemarahan, berdiri tak acuh. Pertunjukan sekarang bukanlah hal menakutkan baginya. Hal ini sudah kerap terjadi selama dia berstatus furen (nyonya muda) di kediaman perdana menteri. "Masih belum sadar apa salahmu? Lancang sekali!"Wanita tua makin murka, lalu memberi isyarat pada salah satu pelayannya. Tak menunggu lama, seseorang maju hendak menampar Ming Lan.Belum sempat tangannya mendarat, Ming Lan langsung mencekal sekuat tenaga, lalu mendorong pelayan tersebut sampai terjungkal. Seisi ruangan terkesiap. "Kau! Masih berani melawan?" Muka wanita tua makin jelek, tangannya menunjuk ke arah Ming Lan, dipenuhi amarah. "Kurang ajar!""Jie jie (kakak), aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan melampiaskannya pada bib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status