Diterangi temaram lampu, sepasang suami istri duduk berhadapan. Dihadapan mereka, dua mangkok mie kuah mengeluarkan aroma lezat, menerbitkan selera makan.
Chu Fei Yang mengangkat sumpitnya, Ming Lan mengikut. Keduanya makan dalam keheningan sampai isi mangkok tandas. "Aku tak tahu kalau furen punya kemampuan kuliner luar biasa." Tentu saja! Memangnya sejak kapan kau tahu apa-apa tentangku? Ming Lan hanya bisa menyimpan semua keluhan dalam hati. Dia yang salah karena terlalu mencintai Fei Yang dulu. "Baguslah kalau kamu suka. Ini cuma hidangan sederhana," sahutnya tenang. Rasa heran memenuhi Fei Yang. Dia menatap nyonya yang sudah dinikahinya selama empat belas tahun itu dengan seksama. Walau wajah sama, tapi pembawaan sangat berbeda. Nyonya yang sekarang lebih tenang, dingin, juga tak peduli padanya. Alih-alih memanggilnya tuan (xiangye) seperti biasa, Ming Lan malah menyebut kamu. Kurang sopan tapi lebih dekat. Dan lagi, tatapan dingin ini, dia belum pernah melihatnya. Ming Lan yang dulu selalu memandang penuh cinta, mencari perhatian dengan segala cara, sampai terasa memuakkan. "Dimana furen belajar masak? Setahuku, walau kediaman Hua tak sekaya dulu, mereka masih mampu menggaji pelayan." Ming Lan menyeruput teh sebelum menyahut dengan suara semanis madu. "Seperti yang anda tahu, kemarin aku nyaris mati. Sayangnya, malaikat maut belum sudi mengambil jiwaku. Sebagai gantinya, aku kembali ke dunia ini, dan diberi keahlian memasak." Untuk saat ini, Fei Yang hanya bisa menerima penjelasan yang terdengar seperti omong kosong. Berdasarkan penyelidikan anak buahnya, Ming Lan memang jatuh ke kolam, dan pingsan karena hipotermia. Setelah koma selama lima hari, dia bangun secara ajaib dan mulai bertingkah aneh. Diam-diam, Fei Yang sedikit merasa bersalah. "Bagaimana kalau furen kembali tinggal di kediaman lama?" Ming Lan nampak berpikir. "Tak perlu. Saya nyaman tinggal di sini." Lagi-lagi Fei Yang dibuat terperangah. Tak cuma karena Ming Lan menyebut dirinya dengan sebutan saya -- sebab biasanya penyebutan tersebut adalah hamba (nubi) -- dia juga menolak tawarannya yang murah hati. Tadinya, Fei Yang mengira Ming Lan bakal berkaca-kaca lantaran bahagia, ternyata cuma menanggapi dingin. Apakah istrinya sedang bersandiwara agar dia penasaran? "Kenapa tidak? Jelas-jelas di sana lebih bagus." Nada gusar dalam suara Fei Yang menerbitkan seulas senyum di bibir Ming Lan. Seingatnya, pria ini yang dulu berkeras meminta dia pindah agar tak mengganggu kehidupannya yang gemilang. "Memang, tapi setelah tinggal lima tahun di sini, aku sudah terbiasa." Kembali kesunyian memenuhi ruangan. Aroma dupa yang samar membuat Ming Lan lebih tenang walau tatapan Fei Yang tajam dan mengintimidasi. "Baiklah kalau itu maumu." Akhirnya Fei Yang mengalah. "Tapi... aku tak suka makanan gratis. Berapa harga semangkok mie yang enak ini?" "Anda tak perlu membayar. Aku memberinya cuma-cuma." "Tapi aku memaksa." Sejak dulu, suaminya memang dominan dan gigih dalam mencapai tujuan. Sebab itulah, walau cuma putra kedua, Fei Yang lebih terkenal dari pada kakaknya yang hidup jauh di daerah perbatasan. "Kalau begitu... Anda bisa membayarnya dengan makan bersamaku. Besok datanglah kemari pada jam makan siang." Seringai tipis terbit di bibir Fei Yang. Ternyata Ming Lan tak berubah sama sekali. Masih tergila-gila tetapi strateginya lebih halus. Walau muak, dia jadi penasaran akan rencana perempuan cengeng ini. "Baiklah. Besok aku akan pulang lebih awal untuk menemani furen makan." Usai berkata demikian, dia beranjak. Langkahnya lebar dan cepat, membuat asistennya yang sejak tadi berjaga di depan pintu, jadi tergopoh-gopoh. "Tuan, apa benar anda akan kemari lagi besok? Bagaimana janji makan siang dengan tuan Fu?" Astaga! Sekarang baru dia ingat ada janji makan siang dengan kepala kehakiman. Entah kenapa hari ini setan seperti merasukinya. Tadi saat mau ke kediaman Yan Yan, aroma lezat makanan malah membawanya ke tempat Ming Lan. Sekarang, dia juga membuat janji yang seharusnya terjadi. "Batalkan saja." Fei Yang menyahut tanpa sungkan. "Aku mau menonton pertunjukan besok." Sementara itu, di kediaman Ming Lan kedua pelayan juga tak kalah heran. Mereka menatap tak percaya pada nyonya yang baru saja menolak tawaran murah hati tuan rumah. "Furen, bukannya dari dulu Anda menginginkan hal ini?" tanya Anggrek "Benar. Seingat saya Anda bahkan bersujud di depan kediaman tuan agar diizinkan balik ke sana." Mawar menimpali Dirinya yang dulu memang bodoh. Demi mendapat perhatian Fei Yang, dia rela melakukan apa pun. Mengantar sup ke ruang kerja malam-malam, menjahit kantong wewangian, bahkan menjadi babu mertua. Semua demi sedikit perhatian, yang tak pernah dia dapatkan. Terakhir, dia bahkan bersujud di tanah bersalju agar diizinkan kembali ke kediaman lama. Bukannya mendekat, semua hal ini malah bikin Fei Yang jijik padanya. "Buat apa tinggal di sana? Terlalu dekat dengan kediaman lao furen," sahutnya singkat. "Tapi kalau Anda dekat dengan xiangye dan lao furen maka hidup akan lebih baik." Mata Ming Lan menatap Mawar dalam-dalam. "Untuk mencapai kejayaan, hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Bukan orang lain." "Maaf furen, saya salah bicara. Tak seharusnya mengajari anda." Pelayannya memang terlalu polos, tidak sepintar Kecubung yang sudah membelot ke pihak lawan. Butuh lebih banyak upaya agar kedua orang ini tidak menjadi penghalangnya kelak. "Baiklah, lain kali jangan sembarangan bicara. Tak semua orang bisa menangkap niat baikmu." Malam pun berlalu dengan tenang. Keesokan paginya saat sudah selesai membasuh wajah, Ming Lan segera menikmati sarapan yang hambar lalu menuju kediaman lao furen untuk menyapa beliau. Saat tiba di sana, ternyata perempuan tua tersebut sedang menikmati sarapan bersama Yan Yan sedangkan Kecubung berdiri kikuk sambil melayani mertuanya. Pasangan bibi dan keponakan asyik bersenda gurau, pura-pura tak melihatnya berdiri di ambang pintu. "Menantu ini menyapa lao furen. Semoga anda sehat selalu." Ming Lan membungkuk untuk waktu yang lama sebelum lao furen membalas sapaannya. "Aiyo, pagi-pagi begini furen sudah mengunjungiku. Sungguh suatu kehormatan besar." Ming Lan tersenyum tenang. "Sudah kewajiban saya untuk menyapa ibu mertua. Anda adalah orang yang diberkati." "Aku tak berani menerima pujianmu. Bagaimana pun, aku bukan putri bangsawan." Menyebalkan! Kata ini muncul di benak Ming Lan seperti kilat. Jelas-jelas lao furen sedang mengungkit masalah tempo hari. Dasar perempuan tua pendendam! Kalau bukan karena punya tujuan, dia pun malas menginjakkan kaki kemari. "Bangsawan atau bukan, yang dinilai adalah perilaku seseorang," sahut Ming Lan dengan senyum cemerlang. "Sebab Anda orang yang berbudi luhur, maka saya tak berani bersikap tak sopan." Lao furen berdehem tak nyaman. "Cukup basa-basinya. Salammu sudah kuterima, sekarang kembalilah ke tempatmu." "Baik, saya akan kembali setelah mengerjakan hal yang menjadi tanggung jawab saya." Lao furen dan Yan Yan dilanda kebingungan terlebih saat melihat Ming Lan duduk tanpa dipersilakan. Perempuan itu terlihat tenang dengan muka berseri. Sikap tubuhnya begitu anggun seperti putri yang dididik di istana kaisar. Hal ini bikin Yan Yan makin gusar. Sekeras apapun mencoba, dia tak bisa punya bahasa tubuh seanggun itu. "Bibi, bagaimana kalau kita dengar kewajiban macam apa yang mau dilakukan furen?" Lao furen menimbang sejenak. "Katakan apa maksudmu?" ujarnya setelah terdiam beberapa saat. "Saya mau meminta pembukuan toko yang selama ini dikelola Yan Yan."Tak kunjung ada sahutan. Bisik hening lewat tiupan angin dan kecipak air membuatnya firasatnya makin tak nyaman. Jieyu membungkuk sedikit untuk pamit. "Gongzi (tuan muda), saya tak akan menggangu istirahat anda lagi. Saya pergi dulu."Baru saja mau berbalik, suara dari dalam pondok terdengar. Kali ini diikuti kemunculan seorang pemuda, yang parasnya sukses membuat gadis mana pun tersipu. "Xiaojie mau pergi setelah mengambil tusuk rambutku begitu saja?"Butuh beberapa saat bagi Jieyu untuk menyadari bahwa tusuk rambut giok masih dalam genggamannya. "Ma--maaf, saya tak bermaksud mengambil. Ini tusuk rambut anda saya kembalikan."Jieyu melangkah ragu, wajahnya memanas oleh tatapan dalam pria di depannya. Dia baru sadar tidak memakai penutup wajah. Rasa takut akan merusak reputasi membuatnya ingin cepat-cepat mengembalikan benda sialan ini. "Ini tusuk rambut anda," ujarnya ketika sudah di kaki tangga.Laki-laki
Di sebuah ruang pribadi, tiga wanita beda generasi duduk tenang, sambil mendengarkan dengan seksama percakapan di ruang sebelah. Saat ini mereka duduk di sebuah pusat hiburan terkenal ibu kota. Tempat ini menyediakan segala hal yang bisa dipikirkan manusia tentang kesenangan. Mulai dari makanan enak, hiburan, judi, minuman keras, hingga wanita. Menurut selentingan, orang dibalik layar adalah sosok yang sangat berkuasa. Maka dari itu, tak ada yang berani mengacau. Mengingat Lin Jun yang seorang pelajar bisa punya akses kemari, bisa dibayangkan berapa banyak perak yang dihabiskannya tiap bulan. "Ibu, apakah yang kita lakukan ini tidak salah?"Ming Lan menatap Jiayi yang paling taat aturan sambil tersenyum. "Tentu saja salah. Tetapi... situasi darurat membutuhkan tindakan darurat.""Memangnya situasi darurat apa yang bisa dilakukan Jun ge?" ujar Jieyu yang sejak tadi menatap acuh tak acuh. "Dalam hal belajar atau bela diri, dia sangat pay
Sikap bebal nyonya tua membuat kepala Ming Lan makin pusing. Bukankah perempuan ini ingin yang terbaik untuk cucunya? Kenapa tidak cari sendiri?"Ibu sudah berapa lama tinggal di ibu kota? Anda tentu tahu bahwa para bangsawan amat mementingkan status. Jangankan Yan yiniang, xiangye saja bukan dari kalangan bangsawan."Muka nyonya tua berubah resah. Kalau bukan karena keinginan kaisar untuk menekan kekuatan kaum bangsawan, maka pelajar miskin seperti kedua anaknya tak akan punya kesempatan."Kalau begitu pikirkan sesuatu. Bukankah dirimu adalah bangsawan? Pasti punya koneksi dimana-mana."Kenapa harus memakai koneksi sendiri untuk membantu musuh? Pikir Ming Lan sebal. Rasanya ingin sekali berdebat dengan nyonya tua sampai titik darah penghabisan, tetapi reputasi putrinya akan ikut rusak. Keluarga mana yang mau melamar wanita yang punya ibu bermasalah? Orang-orang pada masa ini amat percaya bahwa kelakuan seorang ibu akan diwarisi putrinya.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman nyonya tua, perasaan Ming Lan sudah tak enak. Setiap hari, mertua ini cuma bisa mencari-cari kesalahannya. Baru saja di ambang pintu, matanya langsung bersirobok dengan Yan Yan. Wajah itu terlihat kuyu dan pucat, namun tidak mengurangi aura rubah betinanya. Dia terlihat gelagapan oleh tatapan nyonya utama."Fu--furen, ada apa anda kemari?""Apa aku tak bisa lagi kemari?""Maksud saya... tak biasanya anda mengunjungi bibi."Jelas selir Yan merasa bersalah. Dia masih dalam masa kurungan, bahkan mengantar kepergian Fei Yang saja tak diizinkan, tetapi malah bebas berkeliaran di paviliun An Ning. Nyonya tua yang berdiri paling depan, bergerak tak nyaman. Dengan sikap angkuh yang dibuat-buat, dia langsung duduk di kursi utama. "Kenapa mempersoalkan hal yang tidak perlu? Aku bebas bicara dengan siapa pun di xiangfu.""Ehm, anda benar bibi. Saya yang kurang pengertian."
Pelayan itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang sebelum menjauh. "Kenapa kau melepasnya begitu saja? Sepertinya, dia ada hubungan dengan kematian pelayan kelas tiga itu," ujar Fei Yang seketika. "Lebih baik kita tunggu saja. Saya sudah punya rencana." Rasa percaya dirinya bikin Fei Yang tak bertanya lebih jauh. Dengan lembut, dia menggenggam tangan Ming Lan hingga tiba di pelataran paviliun Feng Yue. "Saya sudah sampai. Anda bisa kembali." Tangan yang lepas dari genggaman. Mendadak rasa dingin menjalar di sekujur tubuh Fei Yang. "Baiklah, jaga dirimu baik-baik." Tatapannya menyaksikan tubuh Ming Lan yang makin menjauh hingga lenyap dibalik pintu. Fei Yang menertawakan dirinya yang mirip bocah dimabuk asmara. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sementara itu di paviliun He Xiang, kemarahn membuat wajah Yan Yan sangat jelek. Pelayan uta
Tatapan lelah mata Fei Yang adalah yang pertama menyambut Ming Lan begitu pintu ruang kerja terbuka. Di atas meja kayu besar, ada banyak kertas yang sepertinya dokumen berisi informasi resmi. "Sepertinya, anda sedang sibuk. Minumlah tonik ini selagi hangat." Hati-hati dia meletakkan mangkok berisi cairan gelap yang uapnya masih mengepul. "Tumben sekali furen kemari. Apa ada hal penting?" Seraya menenggak isi mangkok sampai habis, tatapan Fei Yang tak pernah beralih dari istrinya. "Kalau memang ada yang penting katakanlah." Alih-alih menyahut suaminya, mata Ming Lan terpaku pada goresan-goresan di atas kertas. Kalau tak salah, itu peta kota yang terletak di lembah sungai Kuning. "Apakah ada banjir lagi?" selidiknya. "Hmm, ya. Kemungkinan lusa aku harus berangkat ke sana untuk mengamankan situasi." "Mengapa harus anda? Bukankah masih ba