"Berlutut! Apa lagi yang kau tunggu?"
Suara seorang wanita tua menggelegar memenuhi ruangan mewah dengan ornamen klasik. Gadis muda berwajah seperti rubah, berdiri di sisinya sambil sibuk menenangkan dan mengipasi dengan hati-hati. Hua Ming Lan, perempuan yang jadi sasaran kemarahan, berdiri tak acuh. Pertunjukan sekarang bukanlah hal menakutkan baginya. Hal ini sudah kerap terjadi selama dia berstatus furen (nyonya muda) di kediaman perdana menteri. "Masih belum sadar apa salahmu? Lancang sekali!" Wanita tua makin murka, lalu memberi isyarat pada salah satu pelayannya. Tak menunggu lama, seseorang maju hendak menampar Ming Lan. Belum sempat tangannya mendarat, Ming Lan langsung mencekal sekuat tenaga, lalu mendorong pelayan tersebut sampai terjungkal. Seisi ruangan terkesiap. "Kau! Masih berani melawan?" Muka wanita tua makin jelek, tangannya menunjuk ke arah Ming Lan, dipenuhi amarah. "Kurang ajar!" "Jie jie (kakak), aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan melampiaskannya pada bibi." Perempuan muda yang sejak tadi menampilkan raut khawatir, kini ikut bicara. Mukanya yang terlihat polos, akan membuat siapapun merasa iba. Sementara itu, Ming Lan yang sejak masuk sudah mendapat peran antagonis, menatap segalanya tanpa riak di wajah. Dia ingin melihat sejauh mana kedua manusia ini bersandiwara. "Pelayan, panggilkan dua penjaga. Seret menantu durhaka ini ke aula leluhur!" Segurat senyum sinis terbit di bibir Ming Lan. Sejak dulu, perempuan tua yang tak lain adalah mertuanya, senang sekali menguncinya di sana. Sedikit aduan dari si rubah, maka berbagai hukuman langsung diterimanya. Segera dua penjaga berbadan tegap memasuki ruangan. Mereka bersiap menyeretnya keluar. "Berhenti!" Suara dingin penuh kekuatan langsung menghentikan keduanya. "Sejak kapan pelayan rendahan sepertimu bisa menyentuh furen?" Keduanya membatu di tempat. Apa yang dikatakan Ming Lan memang tak salah. Dinasti ini sangat memperhatikan etika antara pria dan wanita, maka dari itu amat tabu bersentuhan kalau bukan dengan pasangan sendiri. Penjaga hanya bisa menatap lao furen (nyonya tua), salah tingkah. Sebelum lao furen mengatakan sesuatu, Ming Lan sudah bicara. "Sekarang izinkan saya bertanya. Mengapa ibu berani meminta penjaga rendahan menyentuhku? Apakah Anda ingin menghancurkan harga diri putra Anda?" "Lancang!" "Kalau tidak, mengapa Anda melakukannya? Tidakkah Anda tahu bahwa di Dinasti Ning ada batasan ketat antara pria dan wanita? Bagaimana kalau hal ini sampai didengar kaisar? Apa Anda siap menanggung resiko?" "Jie, kenapa bicara begitu? Ibu hanya ingin menasihatimu agar lebih baik." Sembari berkata demikian, air mata si rubah mengalir, teramat sedih dengan perilaku Ming Lan. Tangannya yang halus sibuk mengusap air mata, yang entah sejak kapan sudah berhamburan. "Siapa yang mengizinkanmu memanggilku Jiejie?" sahut Ming Lan dingin. "Karena kau cuma yiniang (selir) di sini, harus memanggilku furen. Kau lupa atau bodoh? Seorang yiniang tetaplah pelayan." "Kau! Beraninya berkata begitu pada Yan Yan. Dia sudah menjagaku sebelum kau datang kemari." Aish, betapa tolol dia dulu terlalu menghormati lao furen. Mertuanya tak bisa memisahkan urusan pribadi dan rumah tangga. Kalau begini, bukan lagi salahnya jika berbicara terus terang. "Maaf, Ibu mungkin kurang tahu peraturan rumah tangga bangsawan di ibu kota. Semua hierarki harus jelas, antara nyonya rumah dan pelayan, termasuk yiniang." Diucapkan dengan lembut, tak membuat kata-kata ini lebih baik. Betapapun terhormat lao furen di kediaman perdana menteri, beliau hanya putri seorang sarjana gagal, yang tinggal di kota kecil, jauh dari pusat kekuasaan. Keberuntungan membawanya kembali ke ibu kota saat menikah dengan sepupu jauh yang bekerja sebagai pejabat tingkat lima di ibu kota. Berkat langit kembali menghampiri saat dirinya dianugerahi dua putra berbakat. Seorang berhasil menjadi jenderal sedang yang lain meraih peringkat satu pada ujian kekaisaran . Sekarang, putra yang cerdas ini sudah menjadi perdana menteri pada umur tiga puluh lima tahun. "Kau menyombong lagi? Apa yang dibanggakan dari rumah kosong tanpa hiasan?" Jelas ini sindiran. Ming Lan memang putri seorang Duke (Guo). Tetapi tahun-tahun belakangan, tak ada bakat yang bersinar di sana. Ayahnya lebih suka menghabiskan hari-harinya dengan berjudi atau membeli selir baru, setali tiga uang dengan saudara laki-lakinya. Sialnya, gelar ini akan berakhir pada saudara laki-lakinya. Apabila tak ada lagi prestasi yang bisa dibanggakan, maka kediaman keluarga Hua akan kehilangan status bangsawan. "Ibu jangan terlalu kesal. Menantu ini hanya mengingatkan. Anda tentu tahu, bahwa kaisar paling tak suka bila bawahannya tak ikut aturan," pungkas Ming Lan. Rupanya lao furen tak juga menyerah. Dia menghentakkan tongkatnya. "Dari segi mana aku tak tahu aturan? Mentang-mentang lahir di rumah bangsawan, kau sengaja merendahkanku?" "Pertama, ibu mengizinkan pelayan laki-laki menyeretku. Kedua, Anda juga setuju Yan Yan memanggilku Jiejie. Ketiga, Yan Yan selalu berpakaian cerah, seolah dirinya adalah nyonya kediaman. Lihat, bajunya bahkan lebih cerah dariku." Si rubah berwajah cantik langsung berlutut sambil berlinang air mata. "Jie, jangan bilang begitu. Aku memakai baju warna merah jambu, karena perdana menteri sangat menyukainya. Sebagai istri, sudah sepantasnya kita menyenangkan hati suami. Anda juga setuju dengan ini, kan?" "Lihat! Yan Yan yang tidak berpendidikan saja tahu hal ini. Memangnya laki-laki mana yang selera menyentuh perempuan murung sepertimu?" Bagus sekali! Kedua wanita ini menyanyikan lagu senada untuk mempermalukannya. "Berhubung ibu lebih bijaksana, izinkan menantu ini bertanya. Mana yang lebih penting, peraturan kaisar atau keinginan perdana menteri?" Seisi ruangan hening. Jika menyangkut pihak istana, siapa yang berani membantah. Kaisar yang berkuasa sekarang mementingkan hierarki. Sebab itu, di rumah tangga setiap bangsawan, ada batasan jelas antara nyonya dan selir, termasuk dalam hal berpakaian. Busana yang dipakai selir tidak boleh lebih cerah dari yang dipakai nyonya. Setiap kediaman bangsawan yang mengabaikan hal ini akan mendapat teguran. Alasannya, seseorang tak mungkin bisa mengatur negara jika mengurus rumah tangga saja tidak becus. Itu sebabnya, para pejabat tak berani terang-terangan memanjakan para selir dan anaknya. "Jie, Anda benar. Aku memang salah dan tak tahu aturan." Melihat lao furen sudah kehabisan langkah, si rubah langsung menampari pipinya sendiri. "Gara-gara kebodohanku, kediaman perdana menteri nyaris dalam bahaya." Tentu saja Ming Lan tak akan menghalangi orang yang mau bertobat. Sebaliknya, dia menatap tamparan Yan Yan yang tidak sepenuh hati dengan dingin. "Kau maju kemari." Dia berkata pada salah satu penjaga pintu kediaman lao furen. "Bantu yiniang menyadari kesalahannya." Pelayan itu kebingungan, tak tahu harus berbuat apa dengan situasi saat ini. "Apa lagi yang kau tunggu? Kau tak mendengarku bicara?" Suara Ming Lan yang penuh intimidasi, menghilangkan rasa sungkan. Pelayan tersebut segera maju melaksanakan perintah. "Berhenti!" teriak lao furen. "Kau berani mengatur pelayanku?" "Selama gajinya dibayar oleh kediaman, maka pelayan tersebut milik kediaman. Sebagai nyonya, sudah sepantasnya aku mengatur." Usai menyahut mertuanya, Ming Lan menegur sang pelayan. "Apa lagi yang kau tunggu? Cepat laksanakan atau aku harus menjualmu ke rumah bordil."Tak kunjung ada sahutan. Bisik hening lewat tiupan angin dan kecipak air membuatnya firasatnya makin tak nyaman. Jieyu membungkuk sedikit untuk pamit. "Gongzi (tuan muda), saya tak akan menggangu istirahat anda lagi. Saya pergi dulu."Baru saja mau berbalik, suara dari dalam pondok terdengar. Kali ini diikuti kemunculan seorang pemuda, yang parasnya sukses membuat gadis mana pun tersipu. "Xiaojie mau pergi setelah mengambil tusuk rambutku begitu saja?"Butuh beberapa saat bagi Jieyu untuk menyadari bahwa tusuk rambut giok masih dalam genggamannya. "Ma--maaf, saya tak bermaksud mengambil. Ini tusuk rambut anda saya kembalikan."Jieyu melangkah ragu, wajahnya memanas oleh tatapan dalam pria di depannya. Dia baru sadar tidak memakai penutup wajah. Rasa takut akan merusak reputasi membuatnya ingin cepat-cepat mengembalikan benda sialan ini. "Ini tusuk rambut anda," ujarnya ketika sudah di kaki tangga.Laki-laki
Di sebuah ruang pribadi, tiga wanita beda generasi duduk tenang, sambil mendengarkan dengan seksama percakapan di ruang sebelah. Saat ini mereka duduk di sebuah pusat hiburan terkenal ibu kota. Tempat ini menyediakan segala hal yang bisa dipikirkan manusia tentang kesenangan. Mulai dari makanan enak, hiburan, judi, minuman keras, hingga wanita. Menurut selentingan, orang dibalik layar adalah sosok yang sangat berkuasa. Maka dari itu, tak ada yang berani mengacau. Mengingat Lin Jun yang seorang pelajar bisa punya akses kemari, bisa dibayangkan berapa banyak perak yang dihabiskannya tiap bulan. "Ibu, apakah yang kita lakukan ini tidak salah?"Ming Lan menatap Jiayi yang paling taat aturan sambil tersenyum. "Tentu saja salah. Tetapi... situasi darurat membutuhkan tindakan darurat.""Memangnya situasi darurat apa yang bisa dilakukan Jun ge?" ujar Jieyu yang sejak tadi menatap acuh tak acuh. "Dalam hal belajar atau bela diri, dia sangat pay
Sikap bebal nyonya tua membuat kepala Ming Lan makin pusing. Bukankah perempuan ini ingin yang terbaik untuk cucunya? Kenapa tidak cari sendiri?"Ibu sudah berapa lama tinggal di ibu kota? Anda tentu tahu bahwa para bangsawan amat mementingkan status. Jangankan Yan yiniang, xiangye saja bukan dari kalangan bangsawan."Muka nyonya tua berubah resah. Kalau bukan karena keinginan kaisar untuk menekan kekuatan kaum bangsawan, maka pelajar miskin seperti kedua anaknya tak akan punya kesempatan."Kalau begitu pikirkan sesuatu. Bukankah dirimu adalah bangsawan? Pasti punya koneksi dimana-mana."Kenapa harus memakai koneksi sendiri untuk membantu musuh? Pikir Ming Lan sebal. Rasanya ingin sekali berdebat dengan nyonya tua sampai titik darah penghabisan, tetapi reputasi putrinya akan ikut rusak. Keluarga mana yang mau melamar wanita yang punya ibu bermasalah? Orang-orang pada masa ini amat percaya bahwa kelakuan seorang ibu akan diwarisi putrinya.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman nyonya tua, perasaan Ming Lan sudah tak enak. Setiap hari, mertua ini cuma bisa mencari-cari kesalahannya. Baru saja di ambang pintu, matanya langsung bersirobok dengan Yan Yan. Wajah itu terlihat kuyu dan pucat, namun tidak mengurangi aura rubah betinanya. Dia terlihat gelagapan oleh tatapan nyonya utama."Fu--furen, ada apa anda kemari?""Apa aku tak bisa lagi kemari?""Maksud saya... tak biasanya anda mengunjungi bibi."Jelas selir Yan merasa bersalah. Dia masih dalam masa kurungan, bahkan mengantar kepergian Fei Yang saja tak diizinkan, tetapi malah bebas berkeliaran di paviliun An Ning. Nyonya tua yang berdiri paling depan, bergerak tak nyaman. Dengan sikap angkuh yang dibuat-buat, dia langsung duduk di kursi utama. "Kenapa mempersoalkan hal yang tidak perlu? Aku bebas bicara dengan siapa pun di xiangfu.""Ehm, anda benar bibi. Saya yang kurang pengertian."
Pelayan itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang sebelum menjauh. "Kenapa kau melepasnya begitu saja? Sepertinya, dia ada hubungan dengan kematian pelayan kelas tiga itu," ujar Fei Yang seketika. "Lebih baik kita tunggu saja. Saya sudah punya rencana." Rasa percaya dirinya bikin Fei Yang tak bertanya lebih jauh. Dengan lembut, dia menggenggam tangan Ming Lan hingga tiba di pelataran paviliun Feng Yue. "Saya sudah sampai. Anda bisa kembali." Tangan yang lepas dari genggaman. Mendadak rasa dingin menjalar di sekujur tubuh Fei Yang. "Baiklah, jaga dirimu baik-baik." Tatapannya menyaksikan tubuh Ming Lan yang makin menjauh hingga lenyap dibalik pintu. Fei Yang menertawakan dirinya yang mirip bocah dimabuk asmara. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sementara itu di paviliun He Xiang, kemarahn membuat wajah Yan Yan sangat jelek. Pelayan uta
Tatapan lelah mata Fei Yang adalah yang pertama menyambut Ming Lan begitu pintu ruang kerja terbuka. Di atas meja kayu besar, ada banyak kertas yang sepertinya dokumen berisi informasi resmi. "Sepertinya, anda sedang sibuk. Minumlah tonik ini selagi hangat." Hati-hati dia meletakkan mangkok berisi cairan gelap yang uapnya masih mengepul. "Tumben sekali furen kemari. Apa ada hal penting?" Seraya menenggak isi mangkok sampai habis, tatapan Fei Yang tak pernah beralih dari istrinya. "Kalau memang ada yang penting katakanlah." Alih-alih menyahut suaminya, mata Ming Lan terpaku pada goresan-goresan di atas kertas. Kalau tak salah, itu peta kota yang terletak di lembah sungai Kuning. "Apakah ada banjir lagi?" selidiknya. "Hmm, ya. Kemungkinan lusa aku harus berangkat ke sana untuk mengamankan situasi." "Mengapa harus anda? Bukankah masih ba