LOGINLautan luas memiliki banyak lapisan. Arika merasa dirinya sudah hidup di lapisan laut yang gelap. Namun sekarang dia malah diseret untuk memulai hidup di lapisan yang lebih gelap lagi.
Semua berawal dari perpisahan kedua orang tuanya karena ada pihak ketiga yang merusak hubungan suci itu. Karena keputusan pengadilan agama, dia dan kakaknya berpisah. Arika ikut sang ibu dan kakaknya, Amar si beban hidup itu, ikut sang ayah. Kehidupan mereka lumayan jauh berbeda. Arika hidup dengan penuh kedisiplinan dan berkecukupan bersama sang ibu. Amar hidup seadanya dengan sang ayah. Amar mulai merecoki kehidupan Arika saat mereka sudah masuk kuliah. Dia sering memakai nama adiknya untuk utang di kantin dan membuat banyak keonaran yang membikin Arika malu. Tak sampai situ, Amar terus mengungkit 'keberuntungan' yang diperoleh Arika dengan ikut sang ibu saat gadis itu menampakkan rasa tidak terima atas perilaku kakaknya. Hingga pada puncaknya, Amar melakukan kesalahan fatal dengan mencuri handphone teman Arika yang membuat adiknya itu dijauhi lebih dari tiga semester. Waktu yang cukup lama untuk bertahan sendirian dalam gempuran tugas kelompok dan tugas-tugas yang lain. Lalu, sekarang ... dengan kurang ajarnya Amar jadi wali nikahnya? Nikah apa yang masuk akal saat Arika sama sekali tidak mengingat pernah melakukannya? "Aku tahu kamu hanya berbohong atas semua yang terjadi, kan? Sebenarnya, kita tidak pernah benar-benar menikah dan aku sangat yakin kalau kamu sama sekali tidak mengenal yang namanya Amar itu." Arika mendorong tubuh Pandu agar menjauh darinya. Dia tidak ingin goyah. Dia tidak akan percaya dengan sesuatu yang tidak ada buktinya sama sekali. "Oh, kamu masih mempertanyakan si Amar jelek itu?" Pandu berdiri dan mengambil kursi dekat jendela kemudian menariknya hingga berada di hadapan Arika. "Kita satu jurusan dulu. Satu kelas juga." Arika menelan ludah. Kalau lelaki di hadapannya ini satu jurusan dengan kakaknya, itu berarti paling tidak mereka juga pernah ketemu barang sekali. Itu sangat mungkin sekali terjadi karena dulu Amar sangat gemar membuat Arika geram hingga mendatangi lelaki itu di kelas. Gila. Malu sekali dia sekarang. Mana dulu saat kuliah dia tomboy parah, berambut cepak dan sangat tidak feminim sama sekali. "Bohong saja sesuka kamu." Arika jadi sewot. Lama-lama kakinya terasa perih juga. "Aku tahu kamu enggak akan percaya sama aku begitu saja. Gak papa. Toh sekarang, mau enggak mau, kamu harus menjalani tugas utama menjadi istriku." Tugas utama menjadi istri? Arika segera membuang jawaban yang muncul di kepalanya. Meski bukan tipe gadis yang polos tapi kalau masalah 'yang itu' dia juga belum pernah melakukannya sama sekali. Dia ini tipe yang supel dan sedikit cerawakan tapi tetap jaga diri dari hal-hal yang bisa merugikan mas depannya. "Istri? Boro-boro jalani tugas jadi istri kamu, percaya kalau kita udah nikah aja enggak sama sekali. Udah bilang aja kalau kamu memang penculik yang sengaja memanipulasi aku. Iya, kan?" Arika bersedekap. Pandu terkekeh. Gadis di depannya ini sungguh menarik. Melihatnya kemarin sebelum acara ulang tahun saudaranya saja dia sudah tertarik dengan sikap Arika yang tegas. "Aku bisa bawa banyak bukti untuk memperlihatkan kepada kamu kalau kita memang sudah menikah dengan sah." Arika tersenyum miring. "Buktikan aja." Pandu merogoh sakunya dan mengambil gawai dari sana. Dia menelepon seseorang. "Bawa semua surat nikah dan bukti yang bisa membuat istriku ini percaya bahwa dia benar-benar sudah menjadi Nyonya Pandu." Arika memutar bola matanya. Ucapan lelaki di depannya ini terlalu sok. Ah, kebanyakan orang kaya juga seperti itu, belagu. Gawai yang ada di tangan Pandu terangkat ke hadapan Arika. "Dia sudah ada di bawah." Dengan wajah tegas dan tak mau kalah angkuh, Arika melihat Pandu dengan mata tak percaya sama sekali dan sedikit meremehkan. Tak berapa lama, pintu kamar itu diketuk. Seorang wanita berpakaian rapi muncul dari balik pintu. "Tuan, ada Pak Dimas yang datang." "Suruh saja dia masuk." Pandu memerintah dengan santainya. Arika sedikit sanksi dengan perlakuan Pandu terhadap wanita itu. Jelas sekali kalau Pandu lebih muda daripada wanita tersebut. "Tidak sopan sama sekali dengan yang lebih sepuh," ucap Arika setelah wanita itu menutup pintu kembali.Pandu tersenyum miring. "Sepertinya memang kamu harus belajar banyak untuk menjadi Nyonya Pandu, Arika."
"Cuih. Nyonya Pandu apanya. Kamu aja cuma bohong."
Telunjuk Pandu mengarah ke Arika. "Kamu akan tahu, Arika."
Pintu kamar itu dibuka lagi. Tampak seorang lelaki dengan setelan rapi membawa koper kerja dan masuk ke kamar.
Sejenak, Arika terpaku menatap pria itu. Auranya sangat bersih sekali. Meski kulitnya tidak seputih Pandu, lelaki itu tampak lebih bersahabat daripada si tuan rumah ini.
"Perkenalkan, Nyonya Pandu. Saya Dimas, kuasa hukum Tuan Pandu ini." Dimas menunjuk ke arah Pandu dengan sopan tapi wajahnya cukup celelekan.
"Geli banget. Kasih tahu ke dia semua berkas nikah yang sudah jadi dan sudah diurus resmi oleh KUA." Pandu begidik melihat Dimas yang sok baik itu.
Mereka adalah teman sejak pertama kali magang di kantor. Maka dari itu Dimas yang hitungannya adalah bawahan Pandu bisa seluwes itu di hadapan atasannya.
"Oh, iya. Siap, Tuan." Dimas dengan senyuman lebarnya segera membuka kopernya dan mengeluarkan berkas yang perlu diperlihatkan kepada Arika.
Gadis itu hanya terbengong saat melihat apa saja yang ada di sampingnya sekarang. Dia tidak bisa berkata-kata lagi.
"Surat pengantar menikah, KK kedua belah pihak sebelum dan sesudah menikah, dan ini yang paling penting." Dimas mengangkat kedua tangannya yang masing-masing memegang buku kecil, seukuran buku saku. Satunya berwarna merah. Satunya lagi berwarna hijau. "Buku nikah Tuan dan Nyonya Baskara yang baru."
Arika membelalakan matanya. Buku nikah?
Serta merta gadis itu meraih kedua buku tersebut dan memeriksa isinya. Profil tentangnya diisi dengan benar semua. Tanda tangan yang ada di sana pun juga tanda tangannya. Dia pun beralih ke buku yang berwarna merah maroon. Foto yang ditempel di situ memang benar foto lelaki di hadapannya.
"Enggak. Ini semua pasti cuma karangan doang. Aku enggak percaya."
Dimas menghela napas dalam dan kemudian mengeluarkannya dengan cukup berat. "Untung ada back up video akadnya." Dia mengeluarkan gawainya dan memutar video akad pernikahan Pandu dan Arika.
Arika semakin tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bahkan sampai menitikkan air matanya. "Bohong," ucapnya meski sudah jelas sekai bahwa gadis yang ada di video tersebut adalah Arika yang sedang memakai gaun mewah duduk di samping Pandu.
"Kalau memang video itu benar dan bukan bikinan AI, kenapa aku enggak ingat sama sekali?" tanya Arika parau.
Dimas hampir saja tidak bisa menutup mulutnya yang otomatis terbuka karena pernyataan Fatina barusan. Meski tidak lebar, tapi ekspresi lelaki yang biasanya terkontrol itu jadi tak karuan.Setelah jam makan siang selesai tadi, Fatina sengaja mengahadang Dimas untuk membicarakan sesuatu. Itu pun tanpa sepengetahuan Arika karena mereka berpisah di lift. Fatina mengajak Dimas berbicara di tangga darurat. Ya, tempat itu memang jadi langganan untuk berbisik rahasia."Kamu pasti lagi bercanda, kan? Enggak mungkin Arika berpikir seperti itu." Dimas masih ingin memastikan bahwa apa yang barusan dia dengar bukanlah bualan belaka atau salah dengar."Idih, enggak percaya banget. Kamu aja kaget. Apalagi aku yang biasa kenal dia dari luar sampai dalem." Fatina menyandarkan punggungnya ke tembok."Masalahnya, Tin. Publik belum banyak yang tahu masalah hubungan Pandu dan Arika. Kalau dia terlalu mencolok, bisa-bisa bikin gempar jagat persilatan."Fatina mengedikkan bahunya. "Tapi ini Arika. Kalau dia
Sedari tadi, Pandu mendengarkan percakapan Dimas dan Arika dari balik pintu ruang kerja gadis itu. Sesekali dia mengumpat saat Dimas malah membuat semua menjadi rumit. Dia juga mengumpati dirinya karena salah memilih utusan untuk menjelaskan bagaimana mekanisme kerja lelaki pada umumnya. Sial, Arika malah semakin ngambek kalau begini.Sejujurnya, Pandu memang tidak ingin mengabaikan Arika tadi pagi. Dia hanya terlalu larut dalam pembicaraan di telepon dengan seorang investor baru dari luar negeri sekaligus teman lamanya. Mungkin yang tidak disadari oleh Arika adalah earbuds yang dipakai oleh lelaki itu. Pandu tidak menyambungkan teleponnya ke benda kecil yang menggelantung di telinga tersebut.Masalah kecil memang bisa jadi runyam seperti ini jika ada kesalahpahaman. Untungnya, Vania tadi meneleponnya dan mengabarkan bahwa Arika ngambek karena tidak disapa. Dia juga disalahkan karena tidak menunggu istrinya untuk berangkat bersama. Nah, masalahnya adalah Arika sendiri yang kemarin bi
"Aku dengar ada yang kesal karena merasa diabaikan oleh suaminya." Suara itu masuk ke dalam telinga Arika yang sedang fokus di depan komputernya. Tidak menoleh, gadis itu lebih mengutamakan kerjaannya sekarang daripada harus menggubris orang gabut."Sejak kapan kita bicara dengan santai?" tanya Arika dengan sarkas. Yang mengajaknya bicara bukan sahabatnya, Fatina, apalagi Pandu. Itu adalah Dimas, kuasa hukum Pandu."Sebenarnya sejak awal kamu bilang bahwa aku bisa bicara santai saat cuma ada kita berdua, kan?" Dimas malah mengingatkan Arika kepada kejadian saat itu. Kejadiaan saat Arika berantakan dan benar-benar menolak untuk ada di dalam keluarga Baskara. Arika sadar kalau sedang dipojokkan oleh lelaki tersebut. "Terus, meski di kantor sekarang, bisa nih ngomong santai kayak gini?" Arika mengklik tetikus pada tulisan 'save' untuk menyimpan desain rumah yang sedang dia kerjakan. "Enggak takut ditangkap sama Tuan Pandu?" Dia sengaja menekan nada bicaranya saat menyebut nama Pandu.Di
Pandangan mata Arika mengekor ke sosok Pandu yang hanya melewati dirinya. Jelas-jelas gadis itu ada di ruang makan yang sama dengan lelaki tersebut. Kalau terlihat buru-buru, sih, Arika bisa maklum. Masalahnya, lelaki itu malah terlihat sedang sangat santai. Tapi kenapa tidak ada kata untuk menyapanya? Pandu menuju pintu utama dan sosoknya menghilang saat pintu itu ditutup. Arika yang tadinya hendak menghentikan langkah Pandu dengan sapaan hangat di pagi hari, malah sekarang membanting pisau roti dari genggamannya. "Ada yang mengganggu, Nyonya?" tanya salah satu pelayan yang sedang bertugas di pagi ini. Arika menggeleng. Tidak mungkin dia mengatakan sejujurnya apa yang sedng dia rasakan. Bisa jadi bahan tertawaan kalau begitu. "Enggak papa. Tiba-tiba aku males aja buat makan. Mendingan ini dikalian manfaatkan aja deh." Pelayan tersebut dan satu pelayan yang lain saling bertukar pandang, bertanya-tanya tentang maksud Arika. "Kenapa? Kalian tinggal beresi makanan ini dan b
Pandu memandang hidangan yang ada di atas meja di hadapannya. Hanya ada satu piring dengan menu pakai sejumput nasi. Sisanya ada bergelas-gelas smoothie. Dia menatap tak percaya ke arah Arika. Gadis itu masih memasang muka betenya. "Wah, ternyata kayak gini caranya kamu ngabisin duit? Kurang enggak, sih?" Pandu mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Arika setelah semua pergi dan meninggalkan dirinya dengan gadis itu di balkon. Masalahnya, meski sedang berada di ruangan terbuka, atmosfer sekitar mereka seperti di ruangan pengap tanpa jendela. "Kalau kamu cuma mau mengejekku, mendingan kamu lompat aja lewat pagar itu." Arika menyuap nasinya dan tidak memedulikan ucapan Pandu. Dia anggap saja lelaki itu tidak ada. "Enggak ada kata makasih atau semacamnya, nih?" Pandu masih mencari bahan untuk bisa berbicara dengan leluasa bersama Arika. Sungguh setelah cekcok di ruang baru mereka tadi dan aksi sok tangguh Pandu, rasanya ketika bersama seperti ini adalah berada dalam selimut cang
"Seharusnya kamu bela aku sebagai wanita yang harus dilindungi saat dilecehkan seperti itu." Arika berhadapan dengan Dimas yang tadinya berdiri di lorong. Dimas diam. Percuma saja kalau dia menjawab. Jawabannya pasti salah semua dan dia mendapatkan nilai minus karena nol nilainya lebih besar untuk ukuran seorang wanita yang sedang marah. Dia harus banyak bersabar menghadapi keluarga ini. Bagaimanapun sumber uangnya juga dari mereka. "Aku mau ruangan di pojok sana. Kalau Pandu tidak setuju, bilang saja ke dia kalau bukan aku yang menempatkan diriku sendiri di posisi ini." Arika langsung pergi setelah mengatakan hal itu dengan tegas dan tanpa ada jeda. Dimas hanya mengangguk paham. Tak selang beberapa detik, Pandu keluar dari balik pintu ruangan luas itu. Dimas mengangkat kedua alisnya kepada tuannya. "Anda pasti dengar apa yang barusan diucapkan oleh Nyonya Arika, kan?" Pandu mengangguk. "Lakukan apa yang dia mau. Kasihan juga dari tadi dia harus marah-marah." "Itu juga karen







