Home / Romansa / We Are Not Lovers / Tak Percaya Sama Sekali

Share

Tak Percaya Sama Sekali

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2025-05-09 16:15:22

Lautan luas memiliki banyak lapisan. Arika merasa dirinya sudah hidup di lapisan laut yang gelap. Namun sekarang dia malah diseret untuk memulai hidup di lapisan yang lebih gelap lagi.

Semua berawal dari perpisahan kedua orang tuanya karena ada pihak ketiga yang merusak hubungan suci itu. Karena keputusan pengadilan agama, dia dan kakaknya berpisah. Arika ikut sang ibu dan kakaknya, Amar si beban hidup itu, ikut sang ayah.

Kehidupan mereka lumayan jauh berbeda. Arika hidup dengan penuh kedisiplinan dan berkecukupan bersama sang ibu. Amar hidup seadanya dengan sang ayah.

Amar mulai merecoki kehidupan Arika saat mereka sudah masuk kuliah. Dia sering memakai nama adiknya untuk utang di kantin dan membuat banyak keonaran yang membikin Arika malu.

Tak sampai situ, Amar terus mengungkit 'keberuntungan' yang diperoleh Arika dengan ikut sang ibu saat gadis itu menampakkan rasa tidak terima atas perilaku kakaknya.

Hingga pada puncaknya, Amar melakukan kesalahan fatal dengan mencuri handphone teman Arika yang membuat adiknya itu dijauhi lebih dari tiga semester. Waktu yang cukup lama untuk bertahan sendirian dalam gempuran tugas kelompok dan tugas-tugas yang lain.

Lalu, sekarang ... dengan kurang ajarnya Amar jadi wali nikahnya? Nikah apa yang masuk akal saat Arika sama sekali tidak mengingat pernah melakukannya?

"Aku tahu kamu hanya berbohong atas semua yang terjadi, kan? Sebenarnya, kita tidak pernah benar-benar menikah dan aku sangat yakin kalau kamu sama sekali tidak mengenal yang namanya Amar itu." Arika mendorong tubuh Pandu agar menjauh darinya. Dia tidak ingin goyah. Dia tidak akan percaya dengan sesuatu yang tidak ada buktinya sama sekali.

"Oh, kamu masih mempertanyakan si Amar jelek itu?" Pandu berdiri dan mengambil kursi dekat jendela kemudian menariknya hingga berada di hadapan Arika. "Kita satu jurusan dulu. Satu kelas juga."

Arika menelan ludah. Kalau lelaki di hadapannya ini satu jurusan dengan kakaknya, itu berarti paling tidak mereka juga pernah ketemu barang sekali. Itu sangat mungkin sekali terjadi karena dulu Amar sangat gemar membuat Arika geram hingga mendatangi lelaki itu di kelas.

Gila. Malu sekali dia sekarang. Mana dulu saat kuliah dia tomboy parah, berambut cepak dan sangat tidak feminim sama sekali.

"Bohong saja sesuka kamu." Arika jadi sewot. Lama-lama kakinya terasa perih juga.

"Aku tahu kamu enggak akan percaya sama aku begitu saja. Gak papa. Toh sekarang, mau enggak mau, kamu harus menjalani tugas utama menjadi istriku."

Tugas utama menjadi istri?

Arika segera membuang jawaban yang muncul di kepalanya. Meski bukan tipe gadis yang polos tapi kalau masalah 'yang itu' dia juga belum pernah melakukannya sama sekali. Dia ini tipe yang supel dan sedikit cerawakan tapi tetap jaga diri dari hal-hal yang bisa merugikan mas depannya.

"Istri? Boro-boro jalani tugas jadi istri kamu, percaya kalau kita udah nikah aja enggak sama sekali. Udah bilang aja kalau kamu memang penculik yang sengaja memanipulasi aku. Iya, kan?" Arika bersedekap.

Pandu terkekeh. Gadis di depannya ini sungguh menarik. Melihatnya kemarin sebelum acara ulang tahun saudaranya saja dia sudah tertarik dengan sikap Arika yang tegas. "Aku bisa bawa banyak bukti untuk memperlihatkan kepada kamu kalau kita memang sudah menikah dengan sah."

Arika tersenyum miring. "Buktikan aja."

Pandu merogoh sakunya dan mengambil gawai dari sana. Dia menelepon seseorang. "Bawa semua surat nikah dan bukti yang bisa membuat istriku ini percaya bahwa dia benar-benar sudah menjadi Nyonya Pandu."

Arika memutar bola matanya. Ucapan lelaki di depannya ini terlalu sok. Ah, kebanyakan orang kaya juga seperti itu, belagu.

Gawai yang ada di tangan Pandu terangkat ke hadapan Arika. "Dia sudah ada di bawah."

Dengan wajah tegas dan tak mau kalah angkuh, Arika melihat Pandu dengan mata tak percaya sama sekali dan sedikit meremehkan.

Tak berapa lama, pintu kamar itu diketuk. Seorang wanita berpakaian rapi muncul dari balik pintu. "Tuan, ada Pak Dimas yang datang."

"Suruh saja dia masuk." Pandu memerintah dengan santainya.

Arika sedikit sanksi dengan perlakuan Pandu terhadap wanita itu. Jelas sekali kalau Pandu lebih muda daripada wanita tersebut. "Tidak sopan sama sekali dengan yang lebih sepuh," ucap Arika setelah wanita itu menutup pintu kembali.

Pandu tersenyum miring. "Sepertinya memang kamu harus belajar banyak untuk menjadi Nyonya Pandu, Arika."

"Cuih. Nyonya Pandu apanya. Kamu aja cuma bohong."

Telunjuk Pandu mengarah ke Arika. "Kamu akan tahu, Arika."

Pintu kamar itu dibuka lagi. Tampak seorang lelaki dengan setelan rapi membawa koper kerja dan masuk ke kamar.

Sejenak, Arika terpaku menatap pria itu. Auranya sangat bersih sekali. Meski kulitnya tidak seputih Pandu, lelaki itu tampak lebih bersahabat daripada si tuan rumah ini.

"Perkenalkan, Nyonya Pandu. Saya Dimas, kuasa hukum Tuan Pandu ini." Dimas menunjuk ke arah Pandu dengan sopan tapi wajahnya cukup celelekan.

"Geli banget. Kasih tahu ke dia semua berkas nikah yang sudah jadi dan sudah diurus resmi oleh KUA." Pandu begidik melihat Dimas yang sok baik itu.

Mereka adalah teman sejak pertama kali magang di kantor. Maka dari itu Dimas yang hitungannya adalah bawahan Pandu bisa seluwes itu di hadapan atasannya.

"Oh, iya. Siap, Tuan." Dimas dengan senyuman lebarnya segera membuka kopernya dan mengeluarkan berkas yang perlu diperlihatkan kepada Arika.

Gadis itu hanya terbengong saat melihat apa saja yang ada di sampingnya sekarang. Dia tidak bisa berkata-kata lagi.

"Surat pengantar menikah, KK kedua belah pihak sebelum dan sesudah menikah, dan ini yang paling penting." Dimas mengangkat kedua tangannya yang masing-masing memegang buku kecil, seukuran buku saku. Satunya berwarna merah. Satunya lagi berwarna hijau. "Buku nikah Tuan dan Nyonya Baskara yang baru."

Arika membelalakan matanya. Buku nikah?

Serta merta gadis itu meraih kedua buku tersebut dan memeriksa isinya. Profil tentangnya diisi dengan benar semua. Tanda tangan yang ada di sana pun juga tanda tangannya. Dia pun beralih ke buku yang berwarna merah maroon. Foto yang ditempel di situ memang benar foto lelaki di hadapannya. 

"Enggak. Ini semua pasti cuma karangan doang. Aku enggak percaya."

Dimas menghela napas dalam dan kemudian mengeluarkannya dengan cukup berat. "Untung ada back up video akadnya." Dia mengeluarkan gawainya dan memutar video akad pernikahan Pandu dan Arika.

Arika semakin tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bahkan sampai menitikkan air matanya. "Bohong," ucapnya meski sudah jelas sekai bahwa gadis yang ada di video tersebut adalah Arika yang sedang memakai gaun mewah duduk di samping Pandu.

"Kalau memang video itu benar dan bukan bikinan AI, kenapa aku enggak ingat sama sekali?" tanya Arika parau.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • We Are Not Lovers   Lelaki Yang Mempunyai Dua Sisi

    Pandu memandang hidangan yang ada di atas meja di hadapannya. Hanya ada satu piring dengan menu pakai sejumput nasi. Sisanya ada bergelas-gelas smoothie. Dia menatap tak percaya ke arah Arika. Gadis itu masih memasang muka betenya. "Wah, ternyata kayak gini caranya kamu ngabisin duit? Kurang enggak, sih?" Pandu mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Arika setelah semua pergi dan meninggalkan dirinya dengan gadis itu di balkon. Masalahnya, meski sedang berada di ruangan terbuka, atmosfer sekitar mereka seperti di ruangan pengap tanpa jendela. "Kalau kamu cuma mau mengejekku, mendingan kamu lompat aja lewat pagar itu." Arika menyuap nasinya dan tidak memedulikan ucapan Pandu. Dia anggap saja lelaki itu tidak ada. "Enggak ada kata makasih atau semacamnya, nih?" Pandu masih mencari bahan untuk bisa berbicara dengan leluasa bersama Arika. Sungguh setelah cekcok di ruang baru mereka tadi dan aksi sok tangguh Pandu, rasanya ketika bersama seperti ini adalah berada dalam selimut cang

  • We Are Not Lovers   Saudara atau Hama?

    "Seharusnya kamu bela aku sebagai wanita yang harus dilindungi saat dilecehkan seperti itu." Arika berhadapan dengan Dimas yang tadinya berdiri di lorong. Dimas diam. Percuma saja kalau dia menjawab. Jawabannya pasti salah semua dan dia mendapatkan nilai minus karena nol nilainya lebih besar untuk ukuran seorang wanita yang sedang marah. Dia harus banyak bersabar menghadapi keluarga ini. Bagaimanapun sumber uangnya juga dari mereka. "Aku mau ruangan di pojok sana. Kalau Pandu tidak setuju, bilang saja ke dia kalau bukan aku yang menempatkan diriku sendiri di posisi ini." Arika langsung pergi setelah mengatakan hal itu dengan tegas dan tanpa ada jeda. Dimas hanya mengangguk paham. Tak selang beberapa detik, Pandu keluar dari balik pintu ruangan luas itu. Dimas mengangkat kedua alisnya kepada tuannya. "Anda pasti dengar apa yang barusan diucapkan oleh Nyonya Arika, kan?" Pandu mengangguk. "Lakukan apa yang dia mau. Kasihan juga dari tadi dia harus marah-marah." "Itu juga karen

  • We Are Not Lovers   Drama Ruangan Baru

    Arika meninggalkan ruangan Johan dengan hati yang tidak sepenuhnya bisa menerima apa yang baru saja dikatakan oleh bosnya. Bahkan dia malah jadi dongkol sekali. Hatinya sudah seperti sekerat daging yang sedang dipanggang di atas kayu menyala. Panas. "Kenapa kamu nurut aja, sih, sama si Pandu?" tanya Arika yang sudah kelewat kesal. "Ah, kamu kuasa hukumnya dan emang udah kerjaan kamu buat melaksanakan apa yang Pandu mau. Oke. Aku yang kurang tanggap." Dimas yang tadinya akan menjawab dengan jawaban senada pun akhirnya menutup mulutnya kembali. Arika sudah menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. Sungguh berjalan di belakang Arika sekarang terasa lebih menyeramkan ketimbang saat berjalan mengawal Pandu. Bahkan Dimas harus menarik napas sedikit dalam berkali-kali. Langkah Arika begitu cepat dan derap kaki gadis itu seakan bisa menghancurkan marmer di bawahnya. Dimas menekan tombol lift untuk membuka pintunya. Kemudian dia memosisikan diri lagi di belakang Arika. "Lama ba

  • We Are Not Lovers   Sisi Yang Tak Diketahui Oleh Arika

    Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y

  • We Are Not Lovers   Masa Lalu Yang Melekat

    Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me

  • We Are Not Lovers   Bosnya Bos

    Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status