Kadang hidup menyadarkan kita bukan dengan sapaan lembut atau pelukan hangat. Tapi dengan tamparan bertubi-tubi seakan kita tak bisa menganggungnya lagi.
Arika terbangun dengan kepala berat dan pandangan buram. Cahaya pagi menembus jendela besar kamar yang sama sekali asing baginya. Langit-langit kamar tinggi dengan lampu gantung kristal. Dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan ranjang tempat dia terbaring terlalu mewah untuk ukuran seorang event organizer dari perusahaan start up seperti dirinya. Dia bangkit perlahan, menahan pusing di pelipis, mencoba mengingat apa yang terakhir terjadi. Ingatan itu seperti mozaik yang pecah dalam beberapa bagian. Dia ingat acara ulang tahun, suara seorang pria, lorong toilet lalu ... gelap. “Di mana ini?” bisiknya parau kepada dirinya sendiri. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya yang terasa berputar. Lagi, dia mengamati ruangan tempatnya berada sekarang. Kamar ini benar-benar asing di memorinya. Dia tidak yakin pernah ada di sini. Atau ... sebenarnya dia sekarang sedang diculik seseorang? Tapi kenapa dia malah dibaringkan di kasur empuk seperti ini alih-alih diikat di atas kursi dalam sebuah gudang? Di tengah pertanyaan sunyinya yang tanpa henti, pintu kamar terbuka. Seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan masuk membawa nampan sarapan. Dia tersenyum ramah keibuan namun canggung. “Selamat pagi, Nyonya. Sarapannya sudah siap. Menu kali ini adalah sup sayur dengan ayam goreng. Semuanya memakai taburan jamur truffle yang wangi.” Arika mengernyit. “Nyonya?" Sungguh dia tidak peduli dengan informasi menu sarapan yang memang terdengar agak mewah itu. "Saya sebenarnya ... Ah, bukan. Ibu siapa? Ini rumah siapa? Aku sedang ada di mana?” “Ini rumah Tuan Pandu,” jawab sang pembantu sambil meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur. “Pandu?” Arika mengulang dengan bingung. “Pandu siapa, ya, Bu? Kayaknya dia salah bawa orang ke sini deh. Kenalanku enggak ada yang namanya Pandu. Terus, kenapa aku bisa ada di sini?” Perempuan itu tersenyum kikuk. “Maaf, saya hanya diperintah untuk melayani Nyonya. Tuan Pandu sedang di ruang kerja. Saya tidak bisa mengganggunya.” “Bu, tolong panggilkan dia, ya. Biar aku gampang tanya-tanya.” desak Arika sambil meraih tangan pembantu tersebut, memohon. “Tidak bisa, Nyonya. Tuan Pandu tidak suka diganggu kalau sedang bekerja.” Pembantu tersebut mengelus perlahan tangan Arika, memberi pengertian. "Tolonglah, Bu. Aku bingung kenapa aku bisa ada di sini. Aku butuh kejelasan." "Maaf, Nyonya. Sudah menjadi ketentuan di sini bahwa tidak ada yang boleh mengganggu Tuan Pandu saat beliau bekerja. Saya tidak bisa melanggar peraturan itu." Arika naik pitam. Sebenarnya sesibuk apa, sih, si Pandu Pandu ini hingga membuat peraturan tak mau diganggu sedemikian rupa? Dia pun memutar otak untuk bisa membuat 'sesuatu' yang memancing si Pandu Pandu ini keluar. Dengan kekuatan yang mulai terkumpul dan perasaan yang gemas nan kesal, dia menyapu nampan sarapan hingga makanan itu tumpah ke karpet mahal. Dia berusaha berdiri dengan wajah penuh amarah meski akhirnya tubuhnya oleng dan hampir limbung. Pembantu itu hampir berteriak saat melihat nyonyanya hampir jatuh. Dia bisa kena marah tuannya kalau sampai itu terjadi. "Nyonya, kondisi Anda masih belum stabil. Tolong kembali ke atas kasur. Biar kekacauan di atas karpet ini saya bereskan." "Tidak mau! Panggilkan pemilik rumah ini untuk bicara kepadaku atau aku sendiri yang datang ke ruang kerjanya!” teriak Arika sambil menguatkan pijakan kakinya. Kekacauan pun dimulai. Arika meraih benda di dekatnya yang bisa dia jangkau dan melemparkannya ke atas lantai. Mulai dari vas bunga, lampu meja, hingga hiasan antik yang dia sendiri tidak tahu berapa harganya. Beberapa pembantu rumah berlarian ke kamar, mencoba menenangkan Arika. Tapi gadis itu tidak berhenti memberontak. Dia mecoba berlari ke arah pintu, tidak memdulikan kakinya yang sudah terkoyak pecahan piring yang baru saja dia lempar. Dia memang sengaja membuat kegaduhan yang memaksa sang empunya rumah akhirnya muncul. Pandu masuk dengan langkah tenang. Wajahnya datar, tapi tatapannya terasa menusuk. Dia berisyarat kepada para pembantu agar keluar dari kamar tersebut dan menyisakan dirinya dengan gadis yang kakinya berlumuran darah itu. "Kamu tidak nyaman di kamar ini atau hanya ingin mencari perhatian? Caramu murahan sekali." Suara Pandu sangat dalam dan dingin. Arika terpaku. Dia terduduk di atas lantai yang masih kotor. Lelaki itu ... lelaki yang semalam memanggilnya sebelum acara ulang tahun dimulai. Ternyata lelaki itu pelaku penculikannya! “Kamu!” serunya. "Ya, ini aku. Aku sudah bilang, kan, kalau kita akan bertemu lagi." Jemari Arika menggenggam. Dia meremat selimut tebal yang ada di bawahnya. “Apa yang telah kamu lakukan padaku?! Kenapa aku bisa di sini?!” Pandu tersenyum tipis, nyaris mengejek. “Karena kita baru saja menikah.” Jantung Arika seperti berhenti berdetak. “Menikah?!” serunya tak percaya. “Denganmu?! Bagaimana bisa?! Hahaha. Orang kaya kalau bercanda memang aneh pol.” Pandu mengangkat kedua alisnya. Reaksi Arika seperti yang sudah dia perkirakan, tidak gampang percaya dan sok jual mahal. Tak banyak kata, Pandu melangkah mendekati Arika dan berlutut di hadapan gadis itu untuk membersihkan darah di kaki Arika. Awalnya Arika agak kaget dengan kelakuan lelaki ini, tapi dia membiarkannya. Dia ingin tahu sampai sejauh mana lelaki ini berpura-pura menjadi 'suaminya'. "Kamu gak berontak?" tanya Pandu setengah menyindir kelakuan Arika barusan yang membuat kamar mewahnya berantakan. Arika diam sejenak. "Jawab aku dengan jujur. Jangan bohong lagi. Kenapa kamu culik aku?" Pandu terkekeh. Dia mendongak untuk menatap gadis polos itu. "Aku enggak culik kamu, Arika. Kita memang sudah menikah." Dia memperlihatkan cincin di jari manis kanannya. "Sama persis dengan yang ada di jarimu." Arika buru-buru melihat jarinya. Benar saja. Sejak kapan dia memakai cincin ini? Gadis itu berusaha tetap tenang. Dia tidak mau terlihat bodoh di depan lelaki keturunan anak konglomerat ini. "Pernikahan tidak akan sah tanpa ada wali nikah dari pihak perempuan. Memang siapa yang menjadi waliku?" Dia berusaha untuk tetap tegas. “Wali nikahmu adalah Amar,” jawab Pandu santai. “Amar?” Arika memejamkan mata. Kakaknya itu memang tidak pernah jadi pengayom dalam hidupnya. Hanya beban, sejak dulu. Pandu mengangguk. "Iya. Amar kakakmu itu." “Jadi... aku dijual? Oleh kakakku sendiri?” Arika gemetar. Lidahnya terasa getir menyebut kata ‘dijual’. Pandu menatapnya dalam. Senyumnya memudar menjadi ekspresi serius. Dia menarik tubuhnya agar tegak dan sejajar dengan tubuh Arika. Dia pun mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu dengan kedua tangan yang berada di kedua sisi tubuh Arika. “Kamu tidak dijual, Arika. Tapi hidupmu ... sudah lama dihancurkan oleh sesuatu yang bahkan belum kamu pahami. Aku di sini hanya ingin menolongmu. Ada masa lalu yang lebih kelam dari yang kamu bayangkan.” "Apa maksudmu? Masa lalu kelam apa?" Arika seperti tercekat tenggorokannya. Bagaimana dia bisa tahu tentang masa lalu yang selalu dia sembunyikan dari siapapun itu? “Kamu ingin tahu siapa yang sebenarnya membuat hidupmu hancur?” bisik Pandu mendekat, “Lihatlah lebih dalam ke masa lalumu sendiri, Arika.” Pandu lebih mendekat lagi. Bahkan aroma wangi dari napasnya kini bisa tercium jelas oleh Arika. Gadis itu memejamkan mata, takut dan sedikit menghindar. Pandu berhenti di sebelah telinga kanan Arika. "Welcome, my queen. Kamu sekarang adalah nyonya baru di keluarga Baskara." Arika menelan ludah. Dia tahu bagaimana problematiknya keluarga konglomerat ini. Dan dia malah terjebak di dalamnya. Sialan.Kalau ingin hidup dengan baik dan tidak mau terombang-ambing di lautan asing, maka kamu harus berani untuk menantang ombak dan mematahkan pusaran air.Arika membuntuti Pandu ke kantor lelaki itu. Dia tidak peduli dengan kakinya yang terluka meski sudah dibalut dengan kasa. Dia tetap berjalan cepat, mengejar langkah lelaki itu."Enggak bisa seenaknya gitu dong. Kalau memang ini pernikahan kita berdua, kamu enggak berhak untuk mengaturku tanpa persetujuanku." Arika menarik tangan Pandu agar menghentikan langkahnya. Lama-lama dia jengkel karena seperti tidak didengarkan.Pandu berhenti. Dia menghadap Arika yang tingginya hanya sebatas dagunya. "Suami enggak perlu persetujuan istrinya untuk mengatur keluarga.""Itu di keluarga yang kolot! Kalau memang kita menikah dengan resmi, seharusnya ada persyaratan-persyaratan yang diterapkan. Kita udah enggak hidup di jaman jahiliyah, ya, Pandu." Arika tidak bisa tinggal diam dengan semua ini. Apalagu jika berhubungan dengan nasibnya ke depan. Aka
Semua di dunia ini bisa dibuat dengan teknologi. Akan tetapi secanggih apapun teknologi yang dibuat oleh manusia di bumi ini, tidak akan ada yang bisa membuat apalagi membohongi hati nurani. Arika menatap gawai Dimas dengan tatapan kosong setelah melihat dirinya benar-benar ada di video akad nikah tersebut. "Tidak mungkin. Semua ini cuma rekayasa." "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Semua bukti sudah ada di depan kamu." Pandu berdiri dari duduknya. "Aku banyak kerjaan. Kalau mau tanya-tanya, tanya aja ke dia." Dia menunjuk ke arah Dimas. Arika menoleh ke lelaki yang diperkenalkan sebagai kuasa hukum keluarga ini tadi. Wajah gadis itu penuh dengan kebingungan dan sorot matanya penuh dengan kesedihan. "Saya akan bersedia membantu." Dimas menunduk dengan telapak tangan yang diletakkan di atas dada. Pandu pergi begitu saja. Di wajahnya, Arika melihat guratan kepedulian yang diperlihatkan lelaki itu di awal hilang. Hal itu membuat Arika sedikit terhenyak dadanya, terlalu cepat
Lautan luas memiliki banyak lapisan. Arika merasa dirinya sudah hidup di lapisan laut yang gelap. Namun sekarang dia malah diseret untuk memulai hidup di lapisan yang lebih gelap lagi.Semua berawal dari perpisahan kedua orang tuanya karena ada pihak ketiga yang merusak hubungan suci itu. Karena keputusan pengadilan agama, dia dan kakaknya berpisah. Arika ikut sang ibu dan kakaknya, Amar si beban hidup itu, ikut sang ayah.Kehidupan mereka lumayan jauh berbeda. Arika hidup dengan penuh kedisiplinan dan berkecukupan bersama sang ibu. Amar hidup seadanya dengan sang ayah. Amar mulai merecoki kehidupan Arika saat mereka sudah masuk kuliah. Dia sering memakai nama adiknya untuk utang di kantin dan membuat banyak keonaran yang membikin Arika malu. Tak sampai situ, Amar terus mengungkit 'keberuntungan' yang diperoleh Arika dengan ikut sang ibu saat gadis itu menampakkan rasa tidak terima atas perilaku kakaknya. Hingga pada puncaknya, Amar melakukan kesalahan fatal dengan mencuri handphon
Kadang hidup menyadarkan kita bukan dengan sapaan lembut atau pelukan hangat. Tapi dengan tamparan bertubi-tubi seakan kita tak bisa menganggungnya lagi. Arika terbangun dengan kepala berat dan pandangan buram. Cahaya pagi menembus jendela besar kamar yang sama sekali asing baginya. Langit-langit kamar tinggi dengan lampu gantung kristal. Dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan ranjang tempat dia terbaring terlalu mewah untuk ukuran seorang event organizer dari perusahaan start up seperti dirinya. Dia bangkit perlahan, menahan pusing di pelipis, mencoba mengingat apa yang terakhir terjadi. Ingatan itu seperti mozaik yang pecah dalam beberapa bagian. Dia ingat acara ulang tahun, suara seorang pria, lorong toilet lalu ... gelap. “Di mana ini?” bisiknya parau kepada dirinya sendiri. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya yang terasa berputar. Lagi, dia mengamati ruangan tempatnya berada sekarang. Kamar ini benar-benar asing di memorinya. Dia tidak yakin pernah ada di sini. Ata
Terkadang, lelah yang dipikul oleh badan tidak sebanding dengan lelah yang dipikul oleh hati. Itulah yang Arika rasakan sekarang. Dia menyibukkan diri untuk mengecek setiap sudut ruangan aula hotel bintang lima yang terkenal di Sidoarjo itu. Dia tidak ingin ada yang terlewat sama sekali. Sudah tugasnya juga sebagai penanggung jawab acara untuk memastikan keberlangsungan acara dengan baik. Lebih lagi, acara ulang tahun yang dia pegang kali ini bukan acara ulang tahun orang sembarangan. Dia sudah diwanti-wanti oleh bosnya untuk bekerja dengan sesempurna mungkin. Keluarga Baskara adalah keluarga terpandang di kota, sepupu dari keluarga Anggari. Mereka lebih vokal daripada keluarga Anggari jika ada kesalahan barang sedikitpun. Arika memanggil salah satu petugas acaranya. "Semua minuman, makanan ringan, hingga hidangan manis sudah siap?" Jaka, lelaki kepercayaan Arika, mengangguk. "Beres." "Sip." Untungnya, konsep yang diinginkan oleh pemilik acara tidaklah ribet, sama seperti acara