"Di tengah kekacauan, sering kali takdir bekerja dengan caranya sendiri untuk menyambung kembali cerita yang pernah terputus."
*** Langit malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Mauryn berjalan tanpa arah di trotoar yang sepi, udara dingin menusuk kulitnya meskipun dia telah mengenakan blazer dengan bahan tebal. Langkahnya tidak stabil. Bukan karena mabuk, tetapi karena beban pikiran yang mengaburkan pikirannya. Bayangan Evan dan wanita itu di sofa terus menghantui pikirannya, berputar seperti film yang diputar ulang tanpa henti. "Sial! Kenapa semuanya harus terjadi malam ini, sih?" Mauryn menggerutu, mencoba mengabaikan rasa sakit di dadanya. Sabtu malam yang terasa begitu mengerikan. Dia berhenti di depan sebuah kelab malam dengan papan neon berwarna biru dan merah yang berkedip-kedip. Nama tempat itu, Eclipse, bersinar terang seperti memanggilnya untuk masuk. Mauryn tidak pernah menjadi orang yang suka menghabiskan malam di tempat seperti ini, tetapi malam ini berbeda. Dia butuh pelarian. Dia butuh sesuatu yang bisa membungkam suara hatinya. Tanpa berpikir panjang, Mauryn melangkah masuk. Suara dentuman musik EDM langsung menyambutnya, bersama aroma alkohol yang menyengat. Lampu-lampu strobo berwarna-warni berkedip-kedip, menciptakan suasana yang membuat semuanya terasa seperti mimpi. "Persetan dengan Evan," gumam Mauryn dengan suara yang nyaris tenggelam oleh kerasnya suara musik. Dia melangkah ke bar, memesan minuman pertama, kemudian yang kedua, dan seterusnya. Rasa pahit alkohol perlahan membuat pikirannya mengabur, menggantikan rasa sakit yang ada menjadi sebuah kehangatan yang sebenarnya ... semu. Di tengah keramaian, Mauryn ikut menari bersama orang-orang asing. Tubuhnya bergerak mengikuti irama musik, mencoba melepaskan semua beban yang menekan dadanya. Dia tertawa, bercanda dengan beberapa orang, seolah-olah dia benar-benar menikmati malam itu. Setelah dua gelas cocktail dan entah berapa tequila yang diam ambil tanpa berpikir, Mauryn mulai merasa berada di atas awan. Dia naik ke atas panggung, mendekat pada seorang DJ yang memainkan musik, lalu menghambur-hamburkan uangnya di sana. Dengan kaki yang tak bisa berpijak sepenuhnya, dia menyambut uluran microphone yang diberikan oleh sang DJ kepadanya. Suara musik pun mengecil dengan perlahan sesuai instruksi dari Mauryn. Mauryn menatap orang-orang yang terdiam dan memperhatikannya, menunggu sambutan yang ingin dia sampaikan sebagai seseorang yang sudah menyumbangkan cukup banyak uang malam ini. Di tengah penantian itu, Mauryn malah cengengesan. "Laki-laki. Semua laki-laki itu bajingan!" Lantangnya suara itu berhasil membuat syok orang-orang yang hadir, terutama para laki-laki yang spesiesnya disinggung oleh Mauryn. Lalu, tiba-tiba saja dia menunjuk salah seorang pria random di tengah kerumunan. "Hei, kamu! Kamu nggak selingkuh, kan? Kamu tau rasanya dikhianatin? Sakit tau nggak!" serunya. Pria itu kebingungan, mengangkat tangan seperti orang yang ditangkap polisi, sebelum segera menjauh dari sana. "Tuh, tuh! Kalian liat, kan? Pada awalnya, mereka mengikuti kami para perempuan kayak anak anjing kecil, tapi waktu gadis lain baik ke mereka, mereka mencium gadis itu. BAJINGAN. Oh maaf. Apa omongan aku keterlaluan? Tapi ... mereka sebut kami apa kalo mereka merasa nggak diakui? Mereka menyebut kami jalang! Bahkan pelatih anjing pun nggak bisa memperbaiki bajingan itu. MEREKA BAHKAN LEBIH ANJING DARI ANJING ITU SENDIRI!" ucap Mauryn dengan semangat yang membara, sebelum dia kembali tertawa sambil berdecih. Setelah membuat onar dengan mengatakan omong kosong semacam itu, Mauryn langsung dibawa turun dari panggung. Wanita itu tertawa pahit dan berjalan limbunh ke pojok ruangan sambil mencoba untuk menenangkan diri. Di sana, Mauryn duduk terdiam, dengan kepala bersandar di dinding. Air mata yang selama ini dia tahan akhirnya tumpah. Dia menangis sesegukan seperti anak kecil yang kehilangan balon, memeluk lututnya, tak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Rambutnya yang biasanya tapi kini berantakan, makeupnya luntur, dan eyeliner-nya sukses membuatnya terlihat seperti katakter horor di film murahan. Saat itulah, seorang pria asing mendekat. Dia membawa segelas air putih dan menatap Mauryn dengan ekspresi campuran antara prihatin dan geli sambil menyodorkan air itu pada Mauryn. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan suara lembut. Mauryn mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Pandangannya kabur karena alkohol, tetapi dia bisa melihat pria itu cukup tampan, dengan rahang tegas dan senyum yang hangat. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, terlihat santai tetapi penuh perhatian. "Kenapa ... kenapa harus kayak gini? Aku cuma pengen dimengerti ... dicintai ... Evan, si brengsek itu selingkuh dari aku! Sama siapa? Sama si anak nepo yang bahkan nggak tau cara bikin laporan yang benar! Emangnya aku ini apa kurangnya sampai dia tega melakukan itu?" cerocos Mauryn. Pria itu tersenyum kecil mendengar celotehan Mauryn. "Aku tau aku harusnya nggak curhat sama orang asing. Tapi ... seenggaknya orang asing nggak akan menghakimi," ucap Mauryn lagi. "Oh, aku menghakimi. Tapi cuma dalam hati," ucap laki-laki itu santai. Mauryn berhenti sejenak, menatapnya, lalu tertawa keras. Entah karena lucu atau karena mabuknya semakin parah. Sedetik kemudian, dia kembali menatap pria itu untuk beberapa saat. Mungkin karena alkohol, atau mungkin karena dia benar-benar butuh seseorang untuk mendengar, dia mulai berbicara. Dengan suara yang penuh emosi, dia menceritakan semuanya tentang Evan, tentang pengkhianatan, dan tentang betapa hancurnya dia. Pria itu mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk atau mengucapkan kata-kata penghiburan. Ketika Mauryn selesai, dia merasa batinnya sedikit lebih ringan, meskipun matanya masih sembap. Beberapa jam kemudian, yang terjadi adalah potongan-potongan ingatan yang samar. Tawa, percakapan tak jelas, dan tangan laki-laki itu yang membantunya keluar dari kelab. *** Ketika Mauryn membuka mata keesokan paginya, cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyilaukan matanya. Mauryn meringis, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya itu. Kepalanya terasa berat, seperti ada marching band yang mengadakan konser di dalamnya. Dia melirik sekeliling, mencoba memahami di mana dia berada. Saat itulah dia menyadari sesuatu yang janggal. Ini bukan kamarnya. Seprai putih bersih dan dekorasi netral ini jelas milik hotel. "Ya Tuhan, apa yang aku lakukan?" bisiknya dengan panik. Dia memeriksa dirinya sendiri. Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Pakaian yang dia kenakan semalam sudah tergeletak di lantai. Mauryn semakin panik. Tapi sebelum dia sempat mencerna situasinya, matanya tertuju pada seseorang yang tidur di sebelahnya. Seorang pria. Mauryn menahan napas, jantungnya seperti ingin meloncat keluar dari dadanya. Wajah pria itu tertutup sebagian oleh selimut, tapi ada sesuatu yang familiar... Dia perlahan menarik selimut yang menutupi wajah pria itu. Begitu melihatnya dengan jelas, Mauryn merasa seperti disambar petir. "Kak Felix?!" serunya setengah berbisik, takut pria itu bangun. Felix, senior kampus yang dulu pernah dia tolak dengan alasan konyol. Ingatan itu kembali menghantamnya. Waktu itu, di sekitar pintu gerbang kampus, Felix tiba-tiba saja mendatangi Mauryn, dan mengajaknya berpacaran depan puluhan mahasiswa. Lalu apa jawaban Mauryn? "Maaf, aku nggak bisa pacaran sama cowok yang pake kemeja kotak-kotak hijau stabilo dengan celana cokelat. Selain itu, Kakak juga bau keringat. Aku orangnya jijikan. Nggak suka sama orang bau." Dia hampir tak bisa bernapas ketika mengingat bagaimana dia pernah mempermalukan pria ini di depan umum. Dan sekarang? Sekarang dia terbangun di sebelah pria itu di kamar hotel tanpa pakaian! Mauryn memegang kepalanya yang berdenyut. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa dia bisa berakhir di sini, bersama Felix? Ingatannya malam itu begitu kabur. Dia hanya ingat percakapan di kelab, lalu semuanya gelap. "Ishhh bego, bego, bego!" Dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Dia melirik Felix lagi. Pria itu masih tertidur pulas, napasnya teratur. Mauryn mencengkeram rambutnya sendiri, mencoba memikirkan cara keluar dari situasi ini. Jika Felix bangun dan mereka harus menghadapi kenyataan ini, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. "Oke, oke, tenang, Mauryn," bisiknya pada dirinya sendiri. "Kamu cuma perlu ... kabur sebelum dia bangun." Dengan gerakan cepat, dia bergerak turun dari tempat tidur, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, dan memakainya dengan gerakan terburu-buru. Tapi di tengah proses itu, dia tersandung kakinya sendiri dan hampir terjatuh. Felix bergumam pelan sambil mengubah posisinya di tempat tidur. Mauryn membeku, mrnahan napas, berharap Felix tidak benar-benar bangun. Saat dia berhasil memakai pakaiannya dan mengintip ke arah Felix, pria itu masih terlelap. Dengan hati-hati, dia meraih tasnya dan merangkak menuju pintu seperti agen rahasia di film action. Sebelum pergi, Mauryn melihat Felix sekali lagi. Sebuah perasaan bersalah merayap di hatinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi malam itu, tetapi yang jelas, dia tidak ingin menghadapi konsekuensinya sekarang. Begitu dia keluar dari kamar, dia menutup pintu pelan dan berdiri di lorong, berusaha mengatur napasnya. "Aku benar-benar nggak percaya ini bisa terjadi," gumamnya dengan wajah merah padam. Dia langsung memanggil taksi dan pergi, meninggalkan hotel itu dan semua rasa malunya. Di perjalanan pulang, Mauryn mencoba mengingat detail semalam, tapi semuanya samar. Dia hanya ingat bahwa Felix mendengarkan semua ceritanya tentang Evan, bahkan menertawakannya saat dia mengutuk pacarnya itu. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa sakit akibat pengkhianatan Evan dan kebingungan akibat malam yang dia habiskan bersama Felix. Dia ingin menangis lagi, tetapi air matanya seolah telah habis. Mauryn menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu dia tidak bisa menghindari kenyataan ini selamanya. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin beristirahat. Hari yang baru saja berlalu sudah cukup berat, dan dia butuh waktu untuk menyusun kekuatannya kembali. Di tengah rasa pusing dan perut yang mual, satu hal jelas. Ini adalah salah satu pagi terburuk dalam hidupnya.Seisi Lumora Tech tak henti-hentinya membicarakan kasus yang sedang panas ini. Bahkan, beberapa dari mereka mulai mengorek-ngorek masa lalu Martha demi menyudutkannya."Kamu udah liat foto lama Martha di internet belum?" tanya seorang karyawan laki-laki terhadap rekannya ketika mereka bersantai di cafetaria yang ada di Lumora Tech."Foto-foto lama dia?"Mereka berdua kemudian melihat-lihat foto yang berada pada akun media sosial milik seseorang yang mengaku-ngaku sebagai teman lamanya.Aku kenal dia waktu kuliah. Dia emang suka gonta-ganti pacar dengan cepat. Aku dengar dia membalas itu karena masalah jabatan yang lebih tinggi, udah aku duga.Itulah tulisan caption yang dibagikan oleh orang tersebut."Ya ampun ....""Udah aku duga, sih pasti kayak gini. Pak Ian cuma lagi nggak beruntung aja. Orang jelas banget itu suka sama suka, bukan cuma dia yang salah. Astaga, apa yang udah terjadi sama dunia ini? Saya jadi takut ngo
Martha masih duduk sendirian di meja kerjanya. Pikirannya berkecamuk penuh campur aduk. Dengan perasaan sedikit ragu tetapi juga penuh tekad, dia membuka aplikasi khusus pegawai Lumora Tech yang terinstal di ponselnya. Lalu, kemudian ... mulai mengetikkan beberapa kalimat pada halaman survey kebahagiaan karyawan.Saya korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Pak Ian Wicaksono yang merupakan Kepala Manajer SDM dari Lumora Tech. Perkenalkan nama saya Martha Donna Harahap, Senior Product Manager dari Tim Product Development di Lumora Tech. Pada malam tanggal 30 Oktober, satu tahun yang lalu, saya menjadi korban percobaan pemerkosaan Pak Ian di hotel La Crystal. Pada saat itu, saya adalah seseorang yang ingin menang. Saya kira saya baik-baik saja, sampai akhirnya hal itu terjadi. Saya berniat untuk melaporkan dia atas kejadian itu, tapi rasa takut menguasai saya. Jadi, akhirnya saya memilih untuk lari. Saya bicara sekarang, setahun kemudian, karena saya menyadari Pak Ia
Mauryn berdiri di depan kaca kamar mandi lantai delapan, memandangi bayangannya sendiri yang terlihat jauh lebih tenang dari yang dia rasakan. Bibirnya mengulas senyum tipis, palsu tapi terlatih. Ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kebenaran.Dia melirik jam tangan. Sudah hampir waktunya. Ian baru saja selesai memimpin rapat tim divisi lain. Berdasarkan informasi dari Evan, setelah ini biasanya pria itu kembali ke ruangannya selama satu jam sebelum lanjut ke pertemuan berikutnya. Dan itulah jendela waktunya.Namun kali ini, Mauryn tidak akan masuk ke ruangannya.Langkahnya membawanya ke pantry dekat ruang kerja tim engineering, tempat yang jarang dilewati saat jam-jam sibuk. Dia berdiri di dekat mesin kopi, pura-pura sibuk menyiapkan minuman ketika Ian melintas di koridor."Pak Ian," sapa Mauryn dengan suara pelan tapi cukup jelas.Ian menoleh dan tersenyum kecil. "Mauryn. Sedang istirahat sebentar?""Sedikit. Sebenarnya ..
Saat baru saja tiba di kantor, Evan melihat Freya sedang berbicara di telepon dan terlihat sangat frustasi. Dari yang dia dengar, sepertinya wanita itu tengah bertengkar dengan sang ibu. Lantas, dia pun menghampirinya setelah Freya menutup teleponnya.Begitu Freya menutup telepon dan menghela napas panjang, Evan menghampirinya dengan senyum kecil."Astaga. Hidup emang berat buat orang dewasa. Iya, kan?" ucapnya pelan.Freya mendongak. "Kamu denger?" tanyanya canggung.Evan tertawa kecil. "Kabur aja dari rumah. Gimana? Ide bagus, kan?"Freya tergelak. "Apa? Aku bukan bocah. Gimana bisa aku kabur kayak gitu?""Kamu masih kecil. Masih belum 30 tahun, kan?"Tawa Freya pecah lagi. Evan ikut tersenyum melihatnya. "Akhirnya kamu ketawa. Aku ngomong kayak gitu biar kamu ketawa.""Betul, aku jadi ketawa berkat kamu," ucap Freya dengan senyum masih setengah getir.Suasana ringan itu buyar saat ponsel Evan berderi
"Kalian bekerja keras untuk mengatasi krisis saat data pelanggan kita diretas, tapi saya baru sempat berterima kasih sekarang. Saya mengundang kalian makan malam untuk menunjukkan rasa terima kasih dan menyelamati promosi Pak Evan. Saya tau krisis itu telah berdampak buruk bagi semua orang. Ini semua karena ketidakmampuan saya, jadi salahkan saya untuk semua kesulitan. Sementara itu, seseorang kesulitan, jadi saya harap kalian bisa menunjukkan dukungan penuh. Untuk merayakan kesuksesan, kita akan minum anggur dan makan seperti raja dan ratu hari ini." Felix membuka jamuan makan malam bersama tim gabungan malam ini.Semua orang mengangkat gelas anggur mereka."Lumora Tech.""Lumora Tech!"Mereka semua bersulang lalu meneguk anggur itu.Gelas-gelas beradu dalam derai tawa. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan restoran rooftop itu, menyatu dengan obrolan yang riuh dari para karyawan Lumora Tech. Lampu-lampu gantung menyebarkan cahaya kekuningan yang hangat, menciptakan suasana akrab
Leona tertawa getir. "Selama ini lo semua kira gue memutuskan Kayden karena bosan? Karena gue capek? Bukan. Gue ... gue cinta dia, Ryn. Gue cinta dia lebih dari apapun. Tapi gue nggak bisa ngasih dia keturunan. Gue nggak bisa mengandung anak-anaknya. Gue mandul."Tenggorokan Mauryn tercekat. Dia memegangi mulutnya, tubuhnya mulai gemetar."Gue mutusin Kayden karena gue nggak mau mengikat dia dengan sesuatu yang rusak kayak gue," suara Leona pecah menjadi tangisan. "Gue pengen banget jadi seorang ibu, Ryn. Gue pengen banget punya bayi kecil yang bisa gue peluk tiap malam. Tapi gue nggak bisa. Tuhan nggak ngasih gue kesempatan itu."Leona menghapus air matanya kasar."Sedangkan lo ... lo dengan begitu gampangnya mau menyingkirkan kehidupan kecil itu. Seolah itu sampah. Seolah ... seolah lo nggak tau betapa berharganya dia. Dan lo liat Tessa. Udah berapa tahun dia nikah sama Arhan tapi belum juga dikasih anak, kan? Lo tau betapa sakitnya hati kita be