Home / Romansa / What the hell, Tetangga! / Ada yang punya, lebih menggoda

Share

Ada yang punya, lebih menggoda

Author: Esteifa
last update Last Updated: 2021-05-15 18:53:38

———

Helaan nafas tak beraturan menjadi pengisi suara dalam ruangan berukuran enam kali lima meter itu, diatas treadmil yang disetel dengan kecepatan sedang Jane melajukan tungkai kakinya.

Airpods putih menyumpal telinga, sedangkan matanya memeta halaman rumah yang kadang ada beberapa orang melintas.

Sebenarnya daripada olahraga diruang tamu rumahnya begini, Jane lebih suka berlari diluar. Ruang terbuka. Karena selain mendapat udara segar yang sehat, matanya juga dimanjakan oleh beberapa bujangan yang sedang jogging juga.

Tetapi berkat para ibu-ibu komplek yang protes padanya dengan alasan 'pakaian yang dipakai mbak Jane terlalu merisaukan' Jane jadi malas memutari komplek perumahannya. Padahal tidak ada yang salah dengan laging panjang dan croptie, kan? Jane mau pakai gamis kaftan pun akan terlihat seksi. Bukan salahnya karena punya body oke, ini juga dibentuknya susah. Dan karena hal itu juga Jane merengek meminta Maria membawa treadmil dari rumahnya.

Jane melepas airpod ditelinga ketika pintu kamar disamping dapur terbuka, Maria keluar sembari membenahi rambut pirangnya yang berantakan setelah berhasil menidurkan bayi gemas berusia sembilan bulan. Treadmilnya dimatikan, lalu sembari turun Jane berkata sesuatu yang menandakan protes.

"Luna kenapa dikasih adegan begitu?" Kata Jane dengan napas terengah-engah. Matanya menyipit tak terima. "Udah lo siksa mulu sekarang malah dijodohin sama asshole kayak Brandon."

Sedangkan Maria enggan menanggapi, malah duduk diatas sofa menghadap jendela dengan tatapan menelisik.

"Katanya rumah mbak Dewi ditempati cowok Hot, mana? Semaleman gue mengintai gak liat apa-apa."

Oh, Jane memang sudah melaporkan perihal tetangga baru mereka.

Melangkah ke meja Jane kemudian menuangkan air putih kegelas sebelum diteguk tandas. Masih berhasrat protes tentang alur novel online yang ditulis Maria dengan judul 'Sleep with my boyfriend boss'.

"Nggak make sense lo nulisnya. Mana ada, cewek prawan kuat wik-wik sampe pagi. Ih goblok. Lagian Luna kan atlet taekwondo, masa gak bisa nglawan dipaksa begitu." Protes Jane lagi.

Maria masih mengintai rumah diseberang. Menanggapi sekenanya. "Prawan kayak lo mana tau,"

"Lo yang bilang sendiri kalo diprawanin itu sakit."

Berdecak gemas, Maria kemudian membayangkan kenangan pertamanya. "Ya emang sakit, tapi perih-perih gurih gitu lho."

Sialan memang.

Jane memutar mata. Sebenarnya sudah biasa membahas yang iya-iya dengan ibu satu anak ini atau bersama Lili pun juga, karena bukan cuma pria, mereka para wanita dewasa juga sama. Cuma, ini tuh lagi membahas Luna! Tokoh utama dalam cerita romansa yang dibuat Maria dengan karakter serta takdir hidup amat menyedihkan. Jane sebagai pembaca tidak terima. Jiwa perasanya sebagai wanita langsung bergejolak.

"Pokonya, revisi tuh cerita, emosi gue!" Setelah mengelap keringatnya dengan handuk Jane ikut duduk di sebelah Maria. Ikut-ikutan mengintai rumah Theo si muka aspal.

"Alurnya emang gitu, bangke. Lu tinggal baca be rewel ama—"

"Tuh, si Boksi keluar." Potong Jane sembari mengarahkan dagu kedepan, tepatnya pada pria tinggi semampai yang dibalut t-shirt Balenciaga hitam serta celana jeans hitam juga. Ckckck. Sumpah kayak bujangan baru lulus STM banget ini.

"Anjir!" Umpat Maria menunjukan ekspresi kekaguman, masih fokus pada Theo yang sepertinya mengambil sesuatu di mobil. "Lo yakin nggak langsung nyipok itu laki?"

"Giling." Desis Jane. "Baru ketemu basa-basi dulu lah."

"Ya lo kan napsuan. Yang kayak gitu lo bilang udah ada tunangan?"

"Hm, udah mau kawin."

"Tikung bae menurut gue mah."

Balasan Marja membuat Jane tidak ragu untuk menonyor kepala si mahmud yang kopong tak berisi.

"Pelakor emang lagi booming, tapi thanks lah, gue cantik, yang model kayak dia juga banyak." Sahut Jane realistis. Ya meskipun sangat tergoda dengan Theo yang nyatanya memang seksi sekali, akal sehat harus tetap jalan.

Dan ketika Theo sudah kembali memasuki rumahnya dua wanita dewasa yang dari tadi mengintai langsung duduk dengan posisi normal. Jane membaringkan dirinya di sofa.

"Begini amat sih hidup. Kenapa selama gue tinggal disini dia gak nongol. Giliran gue mau pindah, baru dateng."

Mendengar ocehan Maria yang merutuki peruntungannya, Jane sontak tertawa.

Maria memang sudah jadi housmate-nya dirumah ini selama kurang lebih tiga tahun. Mereka bersahabat sejak SMA. Hingga kurang lebih satu setengah tahun lalu Maria diketahui hamil, dan hanya wanita itu yang tau siapa ayah bayinya.

Membuat Jane pusing tujuh keliling. Karena what?! For real? Gue tinggal serumah sama orang bunting, dan kalo gue ana jadwal terbang ini calon ibu bagaimana nasibnya? Berdasarkan pemikiran itu, Jane mengusulkan Maria untuk kembali kerumahnya waktu kehamilan temannya itu memasuki bulan ke lima.

Begitulah, Maria harus disana sampai melahirkan, dan putranya tumbuh sedikit lebih besar. Baru bulan kemarin Maria kembali ke rumah ini, tetapi seperti orang tua pada umumnya Maria pun selalu dibujuk kembali tinggal dengan orang tuanya. Seperti Ratna yang selalu meminta Jane pulang.

Dan yah betul. Tinggal bersama dengan gadis yang hamil di luar nikah, tanpa pengawasan orang tua. Membuat Ratna makin gencar membawa Jane kembali kerumah juga mencarikan lelaki yang untuk dijadikan menantu.

Tetapi tetap saja. Jane tidak mau. Ia bisa jaga diri kok. Tidak ada orang yang berani kurang ajar pada Jane juga, selain karena Jane bisa membatasi kontak fisik, ia juga punya faktor pendukung lainnya seperti Ayah Jane yang Pewira polisi, kakeknya mantan TNI angkatan darat.

"Bangunin Ares ah," gumam Jane pada dirinya sendiri.

Namun sebelum gadis itu beranjak dari sofa tudung croptienya sudah ditarik kebelakang oleh induk baby gemas yang hendak dibangunkan.

"Gue bunuh lo. Pangeran gue tidurnya susah banget, cuk. Jangan diganggu." Ancam Maria tak main-main. Ia bahkan baru bisa bernapas tenang setelah putranya terus terjaga dan tidak mau terpejam.

"Gue nenenin ntar langsung tidur lagi." Balas Jane serampangan, masih mencoba berdiri namun dihalangi Maria lagi.

"Gak usah sok, pentil aja seupil." Bullyan Maria langsung sampai ke hati. Jlep. "Lagian, Je. Lo kalo make out sampe isep-isep dikit dong biar agak keluar itunya."

Anjing emang.

Kesannya jadi seperti Jane tidak punya itu sama sekali. Padahal ada kok, sumpah. Ya nggak mungkin sebesar punya Maria yang ibu-ibu sudah pernah lahiran. Punya Jane normal untuk ukuran prawan.

Ish! Ngomongin apa sih!

"Ih bodo amat." Sahut Jane tidak perduli. Masih mencoba berdiri namun dihalangi lagi. Langsung terjungkal. Secara fisik jelas Jane kalah, ia yang langsing tentunya tidak sebanding dengan beban wanita yang baru melahirkan.

"Lo mau nomor HP-nya Theo nggak?" Tawar Maria tiba-tiba.

Jane menatap malas. Ini orang ngelindur kayaknya, Maria saja baru tau rupa Theo beberapa menit yang lalu, mau coba-coba minta nomornya?

"Gue ogah jadi pelakor."

"Gak ada yang nyuruh Lo buat melakor. Dia kan ganteng tuh, pasti temen-temennya ganteng juga. Siapa tau ada yang nyantol ke lo."

Kok rasanya gimana gitu.

"Gue gak laku banget ya keliatannya?" Tanya Jane serius. "Biarin aja, let it flow, ogah amat deketin dulu, gak ada ceritanya ya bunga nyamperin tawon, atau pisang nyemperin monyet."

Takdir wanita ya dipuja-puja. Diperjuangkan. Dihampiri.

Maria dalam hati tersenyum mengejek. Ternyata bukan hanya orang tuanya yang primitif. Soal harga diri dan serba-serbi keperempuanan, Jane masih primitif juga.

————

Malam harinya Jane memutuskan untuk pergi ke swalayan, berniat membelikan susu formula untuk baby Ares yang mendadak habis dan sekaligus belanja bulanan keperluan rumah.

Membawa diri bersama helm hijau kebanggan tukang ojek online dan juga kepiawaian selap selip driver yang masih muda—bonus ganteng ini akhirnya Jane berhasil sampai dengan selamat melawan Tanggerang dengan segala kemacetannya.

Mendes? Sorry, Jane tidak tega melihat Mendes terjebak macet. Jadi mercy kesayangannya itu dibiarkan tidur lelap di garasi rumahnya.

"Kalo jatoh, lo tanggung jawab ya." Teriak Jane dari jok belakang waktu si driver menyalip dua mobil sekaligus.

"Saya sim-nya nggak nembak mbak, percaya deh gak akan jatuh."

"Jatoh cinta maksudnya," sahut Jane usil. Yang langsung disahuti tawa keras bocah muda ini. "Cool banget sih lo bawa motornya, kayak Mark Marquez."

Biasa. Jane kalau gabut memang mirip jablay.

Flirting seperti itu sebenarnya buat mengisi waktu saja, karena Jane anti banget sama suasana sepi canggung krik-krik atau mungkin pada dasarnya dia memang tidak bisa diam. Dan sepertinya laki-laki mana yang belum pernah di flirt oleh Jane? Bahkan Jay suami Lili pernah diusili waktu pertama kali bertemu. Persis seperti dirinya ketika bertemu Theo kemarin siang.

Setelah memberi bintang tujuh diaplikasi ojol Jane langsung masuk kedalam, mendorong troli dan langsung ke rak bagian susu anak.

Mengambil dua kaleng besar susu bubuk yang harganya selangit lalu ditaruhnya ke dalam troli. Ares miminya mahal ya, sayang.

Setelah itu Jane mendorong troli nya lagi, mengambil barang-barang lain yang hendak dibelinya. Bahan masak, pembalut, pasta gigi, pengharum ruangan, ditergen dan softeners, lulur mandi, shampoo, masker wajah. Em... apa lagi ya.

Setelah berputar-putar mengambil barang-barang itu Jane akhirnya sampai pada rak makanan ringan. Surga wanita! Diambilnya berbungkus-bungkus mie instan berbeda rasa, beberapa cemilan rendah lemak, dan juga keripik kentang untuk dimakan waktu cheating day.

Sepertinya Jane harus pulang dengan taksi online. Trolinya nyaris penuh, dan tidak mungkin sekali jika harus dibawa dengan kendaraan roda dua.

"Mi instan nggak sehat, sepertinya bukan cuma saya yang tau itu."

Tiba-tiba saja suara berat dan dalam itu menyapa telinga, mengganggu kegiatan Jane yang masih menimbang mi instan ditangan. Otomatis Jane mendongak.

"Bicep, lo lagi belanja juga?" Katanya tanpa sadar terdengar antusias.

Theo sekilas memandanginya sebelum melarikan pandangan kearah rak makanan didepannya.

"Nama saya Theo," koreksi pria dewasa itu. Meski dengan tampilan ini, kaos Gucci putih dilapisi jaket denim dan juga jeans panjang, Theo terlihat seperti anak kuliahan.

Apa jangan-jangan emang si Bicep ini ternyata masih bocah? Tapi sepertinya tidak, garis wajahnya dewasa kok, dan sudah ada tunangan juga. Pasti akhir dua puluhan, kan?

"Umur lo berapa?" Jane menatap Theo dengan binar penasaran.

Theo balas memandangnya. Mengerjap beberapa kali sebelum menjawab.

"Tiga puluh."

"Tuh, kan!" Pekik Jane keras. "Tuhan emang gak adil! Lo tua tapi ganteng aja, sih."

Sedangkan yang dipuji hanya membalas dengan tatapan mata datar seperti biasa. Orang tampan memang begitu, pasti sudah terlalu sering dibilang tampan sampai dengarnya bosan.

"Belanja apa? Mana keranjang belanja lo?" Jane melirik tangan Theo yang kosong.

"Saya kemari mau jemput kamu." Suara dan kalimat Theo benar-benar berhasil membuat Jane terhanyut.

Aduh! Mama, Jeje lumer nih!

Sebelum seperti petir Zeus mendatanginya.

Hei!

Laki orang, ingat! Jangan solimi!

Jane mengerjap cepat. Kepalanya beberapa kali dimiringkan. Bingung harus menjawab bagaimana hingga hanya satu kata yang ia luncurkan. "Kok?"

Dengan santai Theo memasukan satu tangan ke saku celananya. "Teman kamu yang rambutnya pirang bilang kalau kamu sudah pergi dua jam dan belum juga pulang, telfonmu gak aktif, dia khawatir, tapi tidak bisa menyusul karena anaknya barusaja tidur. Dia minta tolong saya buat jemput kamu."

Hah?

What the...

Wah, gila.

Tanpa sadar, selama Theo mengucapkan kalimat sepanjang itu dengan suara beratnya mulut Jane perlahan terbuka.

Apanya yang dua jam? Sinting memang Maria itu, Jane bahkan baru pergi sekitar tiga puluh menitan, dan telfonnya tidak diangkat? Apaan? Ponselnya disetel dengan mode umum dan sama sekali tidak ada panggilan masuk dari sore.

Sponsor yang mendukung Jane untuk menjadi pelakor memang gak kaleng-kaleng.

Dan apakah Jane harus menuruti dirinya agar ikut kedalam rencana busuk sohibnya itu?

Tentu saja tidak, ia bahkan sudah kenal Karin. Jane mau saja ikut Theo pulang bersama, tetapi niat Maria yang membuat dia ingin menolak. Orang kayak Maria itu kalo berhasil satu kali, akan jadi lebih antusias lagi untuk melakukan aksi kedepannya.

"Oh—em." Mulut Jane bergumam. "Oke thanks, tapi kayaknya gue bisa pulang sendiri."

Theo mengangguk sekilas. "Kamu nggak nyaman sama saya?"

"Lo udah ada tunangan."

Theo mengangguk lagi. "Tapi saya bukan sedang berniat mencari pengganti tunangan kok."

"Iya, cuma—em— kalo tetangga liat kan gak enak."

"Yang penting saya sudah pastikan kamu baik-baik saja." Balas Theo setelahnya. "Sudah selesai belanja?"

Jane mengangguk. Huft. Demi apa dia membakar hangus kesempatan pulang bareng bokong seksi.

"Kamu bisa pesan Uber? Nanti saya temani sampai drivernya datang."

"Ofcrs." Jane mengangguk lagi. Kemudian ia mengingat sesuatu, dan merasa harus diucapkan. "Lain kali kalo bule Betawi itu minta tolong gak usah diladenin ya."

"Saya nggak bisa mengabaikan." Balas Theo, sembari berjalan disamping Jane, menuju kasir. "Karena keselamatan kamu dipertaruhkan."

Theo apa memang jenis laki-laki yang sebaik ini? Atau ada maunya? Mereka baru bertemu dua kali, statusnya gak lebih dari sekedar tetangga baru, kenapa dia bisa se care itu.

"Gue bahkan lawatan bisa sampe Norwegia, di Singapura gue jalan-jalan sendiri gak akan kesasar. Apalagi Tangerang doang," Jane menjawab dengan lantang sembari menaikan barang-barangnya keatas meja kasir. Theo juga membantunya memindahkan belanjaan.

Tetapi mengingat kalau Theo membawa mobil mengarungi macet untuk sampai ke swalayan ini hanya karena perintah Maria, Jane jadi ingin meralat.

"Tapi makasih deng, udah mau repot-repot. Gue belanjain deh. Mau beli apa?"

"Gak ada."

"Gak usah malu-malu." Jane mengibaskan tangan ke udara. Kemudian jemari lentik gadis itu menunjuk benda kecil yang terpampang di rak belakang kasir.

"Mbak, yang stroberi," pinta Jane pada mbak-mbak kasir.

Kemudian dengan cermat ia menatap tubuh bawah Theo, yang membuat empunya berdehem serak.

Jane terkekeh. Lucu deh.

"Large." Bisik Jane dengan nada menggoda.

Meski tak mengatakan apapun dan mempertahankan ekspresi dingin seperti biasa, telinga Theo sudah memerah sempurna, menandakan kalau pria itu malu.

Dua kantong plastik besar dibawakan Theo.

Dan setelah Jane membayar belanjaannya, gadis bercepol tinggi dengan cardigan knit lilac itu menyelipkan dua bungkus alat kontrasepsi pria kedalam saku jaket Theo. Sedangkan yang bersangkutan tidak bisa berkutik karena dua tangannya penuh.

"Buat jaga-jaga, siapa tau Karin tiba-tiba pengen."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Rina Damayanti
.............ngekek tok
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
masih bingung alur ceritanya ngalor ngidul ga runut
goodnovel comment avatar
Kikiw
bukan Karin, malah uji coba sama Jane sendiri wkwkkw
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • What the hell, Tetangga!   EPILOG

    7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata

  • What the hell, Tetangga!   Angel is come

    --Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu

  • What the hell, Tetangga!   Sorry

    Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d

  • What the hell, Tetangga!   Couple things

    Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek

  • What the hell, Tetangga!   Be kind

    "Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut

  • What the hell, Tetangga!   The baby

    "Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status