Samira membuka matanya karena merasa ada yang memeluk pinggangnya. Ketika ia menurunkan pandangannya ia melihat sebuah tangan ada di sana. Pelan pelan ia memutar tubuhnya dan ia syok melihat Wisnuaji sedang tidur sambil memeluknya. Wajah Wisnuaji yang tenang ketika tidur sanggup membuat Samira tersenyum. Ia tahu, laki laki seperti Wisnuaji tidak akan menyentuhnya tanpa seijin darinya. Kini bukan Wisnuaji yang bergairah, justru libido Samira yang mulai bangun dari tidur panjangnya. Apalagi ketika ia memandang wajah Wisnuaji di tambah ia mengingat badan Wisnuaji tadi sore ketika ia tidak mengenakan baju atasan. Samira masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara Wisnuaji yang khas orang bangun tidur. "Better?" Karena kaget Samira sempat memundurkan badannya, tapi ia merasa bahwa tangan Wisnuaji yang masih berada di pinggangnya menariknya maju ke depan hingga badan mereka bersentuhan. "Iya. Makasih Mas," kata Samira sambil mendongak menatap Wisnuaji. Wisnuaji hanya terse
Setelah sampai di rumah Ningrum tanpa beristirahat lagi, Samira langsung mempacking semua barang barangnya untuk pulang ke Surabaya. Ia bergegas karena Wisnuaji mengatakan kepadanya jika ia akan menjemputnya setelah selesai berkemas kemas. Benar saja, 2 jam setelah Wisnuaji pamit, kini ia sudah datang lagi ke rumah Ningrum."Wis, kamu mau ikut Samira?""Iya Bu, aku cuma antar dia.""Nggak sekalian saja kamu ngelamar dia disana, biar nggak bolak balik?""Sabar Bu, semua itu pakai proses. Kenal kan belum lama, istilah anak sekarang PDKT dulu.""Nggak jamin Wis PDKT berhasil, kamu dulu sama Pinar gimana? pacaran 6 tahun, nikah 2 tahun sudah bubar."Wisnuaji memilih tersenyum maklum daripada harus menanggapi ibunya. Dirinya lebih sering kalah jika harus beradu argumentasi dengan Ningrum."Maaf ya Mas, mesti nunggu aku siap-siap," kata Samira ketika ia turut bergabung dengan Wisnuaji dan Ningrum di ruang keluarga."Nggak pa-pa, sudah siap?""Sudah.""Okay kalo gitu. Bu, Wisnu pamit dulu ya
"Kita mau kemana?" Tanya Samira pada Wisnuaji ketika mobil mereka sudah meninggalkan lokasi cafe. "Yang jelas enggak ke Mall," kata Wisnuaji sambil mengambil Alano dari pangkuan Samira karena Alano mengulurkan tangannya minta di gendong Opa nya. Samira yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Seharusnya Wisnuaji lebih pantas menjadi ayahnya Alano daripada Opanya. Melihat itu Samira justru tertawa sendiri. "Kamu kenapa ketawa, ada yang lucu?" "Nggak, nggak pa-pa, lihat Alano ganteng banget ya Nak kamu." Kini Wisnu justru tertawa di sebelah Samira. "Gimana enggak ganteng bapaknya aja bule, emaknya masih ada keturunan asia timur gitu. Sayangnya nggak lama lagi Alano mau dibawa bapaknya ke Italia." "Why?" "Karena sudah cukup lama Tom tinggal di sini. Ini aku puasin main sama dia karena besok nggak bisa lagi." "Oh," hanya itu kata Samira. Tidak terasa kini mobil mereka sudah memasuki salah satu parkiran kebun binatang. "Ini kamu bawa Alano dulu, aku bukain strollernya" "Sini Nak,
Setelah mengantar Alano pulang ke rumahnya, Wisnuaji mengantar Samira ke rumah ibunya lagi, namun ketika ia sampai di sana, ada mobil Mercedes Benz terparkir di halaman rumah ibunya. "Siapa lagi ini?" Desis Wisnuaji sambil berjalan masuk ke rumah di ikuti Samira di sebelahnya. Ketika Samira masuk ke rumah, Ningrum langsung menghampirinya "Nduk, itu ada tamu buat kamu." "Siapa Bu?" "Kamu lihat sendiri saja." Ketika Samira sampai di ruang tamu Ningrum, ia menemukan Kakaknya sudah ada di sana bersama istrinya. "Mas Nuno, kok bisa ada di sini?" "Maaf Mir, kalo kita ganggu ketenangan kamu, tapi Mas harap kamu pulang." "What happened?" "Sejak pulang dari sini kemarin Papa nggak mau makan, nggak mau minum obat." "Kalo hanya berkunjung aku nggak masalah Mas, kalo menginap aku nggak bisa." "Why?" "Aku merasa itu bukan tempat aku, karena kalian yang katanya keluarga justru meninggalkan aku ketika aku jatuh." "Mir, kamu boleh benci, marah, atau bahkan nggak maafin kita, tapi tolong
Setelah melewati bukit bukit dengan jalan berkelok kelok, akhirnya mobil Wisnuaji sampai di pantai Wohkudu. "Akhirnya sampai juga," kata Nada sambil memandang laut di depannya. "Papa beli tiket dulu ya?" pamit Wisnuaji pada mereka semua. "Okay Pa," jawab Juna sambil mengacungkan jempolnya. Kini Samira yang masih ada di dekat mobil justru harus di suguhi adegan keuwuan sepasang suami istri yang jarang ia lihat di depan matanya ini. Untuk pertama kalinya ia melihat Juna memeluk Nada dari belakang dan Juna mendaratkan kepalanya di pundak Nada. "Nad?" "Hmm." "Ingat nggak pertama kali kita keluar bareng kemana?" "Resto rumah sakit," jawab Nada singkat. "Bukan Nad tapi ke pantai, kita camping sama ngopi berdua." Kini Samira melihat Nada mengurai tangan Juna yang ada di pinggangnya dan membalikkan tubuh menghadap Suaminya. "Itu yang kedua Junaidi, yang pertama kamu ajakin aku makan di resto terus kamu bilang, aku ini sosok perempuan yang pantas jadi Thropy wife." "Itu enggak aku
Sudah tiga hari Wisnuaji menemani Samira di Surabaya. Selama itu pula Samira tidak pernah mengajaknya menengok Papanya.Bahkan kini yang ia lakukan hanya jalan jalan keliling mall. Dari Tunjungan Plaza satu hingga Tunjungan Plaza lima bersama teman off roadnya, Risnawan Atmaji. "Kamu ngapain ke sini?" "Nemenin teman nengok Papanya." "Perempuan?" "Iya." "Bilang saja calon istri Wis. Lagian lihat style kamu kaya gini nggak sulit lah dapat jodoh." Wisnuaji hanya tertawa disebelah Risnawan Atmaji, temannya. "Kamu sendiri gimana setelah jadi duda Mas?" "Me?" "Yes, you." "Nggak enak Wis, nyesel iya, mau balik sudah nggak bisa. Mereka sudah bahagia dengan hidup mereka masing masing. Sekarang hiburanku hanya cucu saja kalo ke Jogja." "Eric bule banget ya? Luna nggak dapat apa-apa," kata Wisnuaji sambil tersenyum. "Iya, cuma di kontrak buat ngekost doang 9 bulan. Tapi Eric asli cucuku, bukan salah ambil di rumah sakit lho," kata Risnawan Atmaji sambil tertawa. "Iya percaya, dia mi
Siang ini Samira mengantarkan Wisnuaji ke Bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara Wisnuaji mengatakan kepada Samira untuk memikirkan apa yang pernah ia katakan sebelumnya. Bagi Samira memang Wisnuaji tidak pernah berbicara blak blakan tapi sebagai wanita dewasa, ia paham apa yang di maksud Wisnuaji. "Mas, kalo sudah sampai sana kabarin ya?" "Iya." "Kamu mau tinggal dimana selama di sana?" "Dirumah besan aku." "Oh, kalo misalnya terlalu jauh, kamu bisa pakai rumah aku. Nggak terlalu jauh dari rumah sakit Pinar dirawat." "Nggak usah, nggak enak sama Juna." Samira hanya tersenyum dan melihat Wisnuaji yang berpenampilan santai dengan kemeja putihnya. Samira sedang berfikir, apa yang dilakukan Bu Ningrum agar bisa memiliki anak yang awet muda seperti ini. Bahkan menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya dan bertanggung jawab mendidik anaknya hingga sukses seperti sekarang. "Sam, kamu ngelihatin aku begitu kenapa?" "Nggak, nggak pa-pa Mas. Aku minta tolong untuk teru
"Jun, Papa keluar sebentar ya," pamit Wisnuaji kepada Juna yang masih tetap menunggu Mamanya di dalam ruangan. "Iya Pa. Hati hati." "Okay." Setelah berpamitan kepada Juna, Wisnuaji memesan taxi dan segera menuju ke rumah Samira sesuai dengan alamat yang Samira berikan kepadanya. Ketika Sampai di sana Wisnuaji menemukan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas dan tertata rapi. Buru buru ia mengirim pesan kepada Samira. Karena Wisnuaji takut jika ia salah rumah. Jika untuk seorang wanita berusia 43 tahun memiliki rumah sebesar ini di negara orang pasti penghasilan Samira cukup besar. Wisnuaji : *sending picture* bener ini rumah kamu? Samira: betul Mas, masuk saja, aku sudah minta maid menunggu kedatangan Mas Wisnu. Wisnuaji : okay Sam. Makasih. Samira : sama-sama Mas😊 Kemudian Wisnuaji berjalan menuju pintu utama rumah Samira dan memencet bel, tidak lama kemudian pintu itu di buka oleh seorang wanita berusia pertengahan 30 tahunan. Kini setelah di persilahkan masuk, Wisn