Setelah mengantar Alano pulang ke rumahnya, Wisnuaji mengantar Samira ke rumah ibunya lagi, namun ketika ia sampai di sana, ada mobil Mercedes Benz terparkir di halaman rumah ibunya. "Siapa lagi ini?" Desis Wisnuaji sambil berjalan masuk ke rumah di ikuti Samira di sebelahnya. Ketika Samira masuk ke rumah, Ningrum langsung menghampirinya "Nduk, itu ada tamu buat kamu." "Siapa Bu?" "Kamu lihat sendiri saja." Ketika Samira sampai di ruang tamu Ningrum, ia menemukan Kakaknya sudah ada di sana bersama istrinya. "Mas Nuno, kok bisa ada di sini?" "Maaf Mir, kalo kita ganggu ketenangan kamu, tapi Mas harap kamu pulang." "What happened?" "Sejak pulang dari sini kemarin Papa nggak mau makan, nggak mau minum obat." "Kalo hanya berkunjung aku nggak masalah Mas, kalo menginap aku nggak bisa." "Why?" "Aku merasa itu bukan tempat aku, karena kalian yang katanya keluarga justru meninggalkan aku ketika aku jatuh." "Mir, kamu boleh benci, marah, atau bahkan nggak maafin kita, tapi tolong
Setelah melewati bukit bukit dengan jalan berkelok kelok, akhirnya mobil Wisnuaji sampai di pantai Wohkudu. "Akhirnya sampai juga," kata Nada sambil memandang laut di depannya. "Papa beli tiket dulu ya?" pamit Wisnuaji pada mereka semua. "Okay Pa," jawab Juna sambil mengacungkan jempolnya. Kini Samira yang masih ada di dekat mobil justru harus di suguhi adegan keuwuan sepasang suami istri yang jarang ia lihat di depan matanya ini. Untuk pertama kalinya ia melihat Juna memeluk Nada dari belakang dan Juna mendaratkan kepalanya di pundak Nada. "Nad?" "Hmm." "Ingat nggak pertama kali kita keluar bareng kemana?" "Resto rumah sakit," jawab Nada singkat. "Bukan Nad tapi ke pantai, kita camping sama ngopi berdua." Kini Samira melihat Nada mengurai tangan Juna yang ada di pinggangnya dan membalikkan tubuh menghadap Suaminya. "Itu yang kedua Junaidi, yang pertama kamu ajakin aku makan di resto terus kamu bilang, aku ini sosok perempuan yang pantas jadi Thropy wife." "Itu enggak aku
Sudah tiga hari Wisnuaji menemani Samira di Surabaya. Selama itu pula Samira tidak pernah mengajaknya menengok Papanya.Bahkan kini yang ia lakukan hanya jalan jalan keliling mall. Dari Tunjungan Plaza satu hingga Tunjungan Plaza lima bersama teman off roadnya, Risnawan Atmaji. "Kamu ngapain ke sini?" "Nemenin teman nengok Papanya." "Perempuan?" "Iya." "Bilang saja calon istri Wis. Lagian lihat style kamu kaya gini nggak sulit lah dapat jodoh." Wisnuaji hanya tertawa disebelah Risnawan Atmaji, temannya. "Kamu sendiri gimana setelah jadi duda Mas?" "Me?" "Yes, you." "Nggak enak Wis, nyesel iya, mau balik sudah nggak bisa. Mereka sudah bahagia dengan hidup mereka masing masing. Sekarang hiburanku hanya cucu saja kalo ke Jogja." "Eric bule banget ya? Luna nggak dapat apa-apa," kata Wisnuaji sambil tersenyum. "Iya, cuma di kontrak buat ngekost doang 9 bulan. Tapi Eric asli cucuku, bukan salah ambil di rumah sakit lho," kata Risnawan Atmaji sambil tertawa. "Iya percaya, dia mi
Siang ini Samira mengantarkan Wisnuaji ke Bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara Wisnuaji mengatakan kepada Samira untuk memikirkan apa yang pernah ia katakan sebelumnya. Bagi Samira memang Wisnuaji tidak pernah berbicara blak blakan tapi sebagai wanita dewasa, ia paham apa yang di maksud Wisnuaji. "Mas, kalo sudah sampai sana kabarin ya?" "Iya." "Kamu mau tinggal dimana selama di sana?" "Dirumah besan aku." "Oh, kalo misalnya terlalu jauh, kamu bisa pakai rumah aku. Nggak terlalu jauh dari rumah sakit Pinar dirawat." "Nggak usah, nggak enak sama Juna." Samira hanya tersenyum dan melihat Wisnuaji yang berpenampilan santai dengan kemeja putihnya. Samira sedang berfikir, apa yang dilakukan Bu Ningrum agar bisa memiliki anak yang awet muda seperti ini. Bahkan menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya dan bertanggung jawab mendidik anaknya hingga sukses seperti sekarang. "Sam, kamu ngelihatin aku begitu kenapa?" "Nggak, nggak pa-pa Mas. Aku minta tolong untuk teru
"Jun, Papa keluar sebentar ya," pamit Wisnuaji kepada Juna yang masih tetap menunggu Mamanya di dalam ruangan. "Iya Pa. Hati hati." "Okay." Setelah berpamitan kepada Juna, Wisnuaji memesan taxi dan segera menuju ke rumah Samira sesuai dengan alamat yang Samira berikan kepadanya. Ketika Sampai di sana Wisnuaji menemukan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas dan tertata rapi. Buru buru ia mengirim pesan kepada Samira. Karena Wisnuaji takut jika ia salah rumah. Jika untuk seorang wanita berusia 43 tahun memiliki rumah sebesar ini di negara orang pasti penghasilan Samira cukup besar. Wisnuaji : *sending picture* bener ini rumah kamu? Samira: betul Mas, masuk saja, aku sudah minta maid menunggu kedatangan Mas Wisnu. Wisnuaji : okay Sam. Makasih. Samira : sama-sama Mas😊 Kemudian Wisnuaji berjalan menuju pintu utama rumah Samira dan memencet bel, tidak lama kemudian pintu itu di buka oleh seorang wanita berusia pertengahan 30 tahunan. Kini setelah di persilahkan masuk, Wisn
Selama perjalanan dari Indonesia menuju ke London, Nada banyak bercerita kepada Samira tentang keluarga Widiatmaja terutama Papa mertuanya. "Tan, Tante mau nggak aku kasih kisi-kisi sebelum nyemplung di keluarga Widiatmaja yang berdarah biru itu?" "Darah itu merah Nad bukan biru." "Maksud aku ningrat." Kini Samira tertawa kecil di sebelah Nada. "Bukannya kamu juga dari kalangan yang sama dengan keluarga suamimu?" Nada menghela nafasnya pasrah dan menggaruk sisi samping kepalanya. "Tante kan sudah tau, keluarga aku itu gesreknya kaya gimana, beda lah sama keluarga Papa mertua aku." "Ya sudah kamu mau cerita apa?" "Aku nggak tau Papa gimana, cuma Juna itu nggak ada romantis romantisnya dan kayanya itu turunan dari gen Papa. Makanya kalo Tante Samira nunggu Papa bilang i love you itu sama saja Tante nungguin hujan emas dari langit." Samira hanya tersenyum menanggapi kata kata Nada. Apa yang dikatakan Nada memang mendekati kenyataan yang ada. Wisnuaji bukan pria yang romantis da
Setelah kembali ke atas bersama Wisnuaji, Samira menemukan Juna dan Nada baru saja selesai membacakan Yasin untuk Pinar Defne. Kini Samira menyadari satu hal, jika yang diminta Pinar Defne kepadanya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Melihat bagaimana Juna ketika mendekat ke Pinar, aura wajah yang sungguh sangat kacau balau bahkan penampilannya tampak tak terurus hanya dalam beberapa waktu mereka tidak bertemu. Mungkin menjadi istri Wisnuaji adalah hal yang mudah, namun masuk ke hidup Juna dan bisa di terima menjadi ibu, sungguh butuh perjuangan yang lebih keras daripada meluluhkan hati Wisnuaji. Apalagi Samira baru saja mengenal Juna dan Juna bukan anak balita yang bisa di sogok dengan Es krim atau di ajak bermain ke kebun binatang. Mencoba di terima sebagai ibu oleh seorang pria dewasa berusia 30 tahun yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang ibunya, namun tiba tiba begitu menyayangi ibunya ketika bertemu ibunya dalam keadaan ibunya yang sudah berada di kondisi kritis sung
Plak...... Sebuah tamparan keras mendarat dengan sempurna di pipi kiri Juna dan kini ia mengangkat pandangannya hingga ia melihat istrinya sedang berapi-api. "Puas kamu menyakiti Tante Samira seperti itu?" Tidak ada jawaban dari Juna untuk Nada namun Nada masih terus meluapkan emosinya di dekat tangga rumah Pinar. "Kamu sadar nggak Jun, kalo bukan karena Tante Samira, kamu nggak akan pernah bisa ketemu sama Mama kamu. Oh iya, satu lagi Tante lebih pantas dapat ucapan terimakasih dari kamu daripada ucapan kamu tadi." "Aku cuma nggak mau dia lewatin garis yang seharusnya nggak dia masukin Nad" "Pernah mikir nggak kamu, Tante itu sudah sayang sama papa tulus, kalo bukan karena dia mikirin perasaan almarhumah Mama sama kamu, ngapain dia pakai acara repot repot buat baik baikin kamu sampai kamu bisa terima dia dulu di hidup kamu baru nikah sama Papa." "Aku nggak masalah dia nikah sama Papa. Aku cuma nggak bisa anggap dia sebagai ibu aku." "Wait....wait...wait...bukannya kamu pengen