Share

With Kalanaya
With Kalanaya
Penulis: Saskia Indah

Awal - Bayangan Masa Lalu

"Orang gila.. orang gila...."

Aku menutup telinga dan juga mata saat seruan nada penuh ejekan itu terdengar ditelingaku. Aku berharap segera ditolong oleh ibu guru, namun di waktu istirahat seperti ini, biasanya semua guru sedang ada di ruangannya masing-masing. Beristirahat seraya bercengkerama mengenai kondisi terkini anak didiknya, dan membiarkan kami -anak didik mereka- bermain di taman bersama-sama.

Tetapi, perkiraan mereka salah. Sebab, kali ini sebagian anak didik mereka tak bermain selayaknya anak-anak pada umumnya, melainkan sedang mengolok-olokku yang sudah tampak pasrah. Berteriak pun rasanya percuma, karena mereka akan semakin mengejekku habis-habisan. Mengatakan selain cengeng, aku juga tukang ngadu.

Ya, seruan dan ejekan itu berasal dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Tak berlagak seperti anak kecil yang penyayang dan ingin berteman dengan siapa pun, teman-temanku justru sangat nakal padaku dan membenciku. Semua hal yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.

Terlebih ketika aku sedang dalam keadaan lemah seperti ini. Tubuh bergetar ketakutan, menangis, dan butuh seseorang yang menolongku. Namun, tak ada yang mengerti. Membuatku semakin frustasi dan ingin pergi dari sini. Tetapi, sekali lagi, aku tak bisa. Karena aku terkepung oleh mereka semua.

"Astaga anak-anak, apa yang kalian lakukan?" diam-diam aku menghela kala mendengar suara Ibu Dara di belakang teman-temanku yang masih mengelilingiku. Tampak berkacak pinggang, aku tahu di sana Ibu Dara juga terkejut akan kelakuan anak didiknya yang diluar dugaan. Karena, sungguh, aku yakin dan tahu bahwa para guru tak pernah mengajari anak didiknya untuk mengejek anak didik yang lain yang lemah dan berpotensi tak bisa melawan.

Setelah berhasil menetralkan tangisku yang cukup tak terkendali tadi, aku kembali mendongak. Menatap teman-temanku yang tampak ketakutan, namun tak bisa pergi karena masih ada Ibu Dara, kepala sekolah kami, di belakang mereka.

Aku benar-benar bersyukur dipertemukan oleh Ibu Dara, sebab beliau kerap kali menolongku saat aku teramat membutuhkan bantuan. Tak pernah mencoba mengulikku untuk bercerita, Ibu Dara lebih senang mengawali bercerita untuk mengalihkan rasa takutku.

"Bel sudah berbunyi, ayo balik ke kelas kalian masing-masing. Ibu Retno, tolong antarkan mereka semua ke kelas mereka." sekali lagi aku mendengar Ibu Dara berseru. Lalu, kulihat di sana Ibu Retno yang dipanggil oleh kepala sekolah kami, nampak berlari tergopoh-gopoh.

"Baik bu."

Dan ketika mereka semua pergi dari sana, aku menghela napas dengan lega, benar-benar lega luar biasa. Aku sudah dalam kondisi yang aman sekarang. Karena sudah bersama dengan Ibu Dara dan dua guru lain yang sedang membantu membenarkan bajuku yang cukup berantakan karena tadi aku menjerit dengan cukup histeris. Meraung dan menyudut di tembok samping kelas.

"Aya, tenang, ya. Aya sudah sama ibu. Aya aman sekarang, Nak." ucap Ibu Dara. Lalu beliau lebih mendekat ke arahku. Merengkuhku di dalam pelukan nyamannya yang tak pernah kudapatkan dari siapa pun kecuali beliau. Ayah atau pun ibu pun tak pernah memelukku seperti ini. Yang sering mereka lakukan adalah menghardikku.

"Takut, Bu. Mereka bilang Aya orang gila, padahal Aya cuma takut sama pisau, Bu." aduku pada mereka. Tak salah, kan, bila aku takut ketika melihat pisau yang tak bertuan dan dibiarkan teronggok di meja? Walau, aku tahu bahwa ketakutanku dengan pisau bermula di malam menakutkan itu.

Ibu Dara mengangguk mengerti. "Ibu mengerti, Nak. Ibu mengerti." membenarkan letak rambutku yang basah oleh keringat dan berantakan karena aku sempat mengacaknya dengan frustasi, beliau kembali melanjutkan. "Anak kecil memang harus takut dengan pisau, Nak. Karena pisau itu berbahaya bila digunakan oleh anak-anak seusia Aya tanpa diawasi oleh orangtua." benar memang. Namun, yang terjadi mereka malah mengejekku. Seolah mereka memang tak takut dengan benda tajam itu.

"Jadi Aya nggak salah kalau takut sama pisau. Ya, Nak, ya?" kembali Ibu Dara mengusap lenganku. Memberikan semangat lewat sebuah sentuhan yang mampu menenangkanku dalam sekejap. Hingga aku berpikir, aku ingin selamanya bersekolah di sini, dengan Ibu Dara sebagai pelindungku.

Tetapi, itu tak mungkin, kan? Karena tahun depan, aku akan memasuki sekolah dasar. Ah, tiba-tiba aku jadi terserang kepanikan. Bagaimana bila nanti aku tak mendapatkan ibu guru yang baik macam Ibu Dara dan guru-guru lainnya yang berada di Taman Kanak-Kanak Cempaka? Aku kembali terisak kala membayangkan waktu itu akan segera tiba.

Menghapus air mata yang masih menetes walau aku sudah jauh merasa aman, aku kembali bertanya pada orang nomor satu yang menjadi tamengku selama ini. "Tapi kenapa mereka malah ngejekin Aya, Bu?" tanyaku frustasi.

Aku melihat Bu Dara terdiam tak mengatakan apa pun.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status