"Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"
Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari.
"Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang. Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab.
"Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan."
"Tapi ini weekend, Git. Apa nggak bisa besok senin aja perginya?"
"Perintah Boss, Re. Mana bisa aku protes."
Rea merengut, terduduk kembali di tepi tempat tidur, kecewa karena tidak jadi bisa menghabiskan waktu berdua dengan suaminya.
"Kok mendadak gitu sih?"
"Sabar, Sayang. Namanya juga bawahan ya gini. Harus nurut kalau nggak mau dipecat," jalas Anggit. Dia mendekati Rea dan menepuk-nepuk bahunya.
"Kapan pulangnya?" Rea mendongak seolah mengiba menyuruh Anggit jangan lama-lama.
"Belum tahu sih. Kalau udah selesai aku pasti langsung balik kok. Paling lambat minggu sore aku usahakan udah balik, Re," katanya.
"Hahh? Minggu sore? Itu sama aja nggak libur dong, Sayang. Apa nggak bisa orang lain saja yang pergi? Kamu kan manager, suruh anak buah saja kek." Raut muka Rea tertekuk. Anggit hanya mengedikkan bahu, lalu menggelang.
"Nggak bisa, Sayang. Jistru karena aku manager makanya harus turun langsung. Lagian Boss hanya percaya padaku. Udah ah jangan kayak anak kecil, cuma dua hari ini," katanya sambil mengelus pipi istrinya.
Mendadak Rea lemas, tak bersemangat melakukan apapun. Padahal dia sudah menyusun rencana menghabiskan weekend bersama suaminya dan malah seperti ini kenyataannya.
*****
Anggit berangkat 1 jam kemudian selesai sarapan, meninggalkan Rea dengan kesepiannya. Sekarang apa yang akan dia lakukan di rumah sendirian? Rea mendengus kesal.
Selesai membersihkan diri, Rea baru teringat sesuatu. Mungkin lebih baik dia pergi menemui Sandra. Sudah beberapa minggu mereka belum menghabiskan waktu bersama lagi. Dia bisa bersenang-senang dengan sahabatnya itu sementara Anggit nggak ada. Mungkin sekalian ngobrol tentang pertemuannya tempo hari dengan Devon. Ya, sepertinya itu ide yang bagus, pikir Rea.
Rea segera mengganti bajunya. Dress warna plum pemberian Anggit saat mereka masih pacaran dulu jadi baju favoritnya saat ini. Rea mematut diri sebentar di depan cermin, memoleskan make up tipis ke wajahnya. Dress sepanjang lutut itu dirasakannya sedikit sempit dari biasanya. Bagian perutnya juga nampak lebih ketat. Rea tersenyum Tipis mengelus perutnya.
☆☆☆
Taksi berhenti tepat di depan rumah Sandra. Rea turun usai mengalungkan slingbag mungil ke lehernya. Dari luar nampak rumah Sandra sepi, tapi tetap diketuknya pintu depan beberapa kali. Mobil Sandra masih terparkir di garasi, mungkin sahabatnya itu masih tidur, Rea tahu Sandra termasuk gadis termalas yang pernah dia kenal, apalagi kalau weekend seperti ini.
Beberapa menit mengetuk tetap tak ada sahutan dari dalam rumah. Apa Sandra pergi? Rea mengambil ponsel dari dalam tasnya. Dipanggilnya nomer kontak Sandra beberapa kali, tapi tidak diangkat. Wanita itu mulai menggaruk kepalanya. Sepertinya Sandra memang sedang tidak ada di rumah. Jadi harus ngapain sekarang dia?
☆☆☆
Lelah memutari mall selama 3 jam, Rea kembali lagi ke rumah. Benar-benar hari yang sangat membosankan baginya. Tanpa mengganti bajunya, dia merebahkan tubuhnya di sofa depan TV. Dan saat itulah ponselnya berdering.
"Hai, Beb. Ada apa? Kamu tadi nelpon?" Suara seksi Sandra dari seberang.
"Huuuh, iya, kemana aja sih? Aku tadi ke rumahmu, Sayang, dan zonk, kamu nggak ada," omel Rea.
"Maaf, aku lagi pergi."
"Pergi kemana? Udah di rumah belum sekarang? Main sini gih. Aku pengen ngobrol. Anggit pergi ke Bandung, aku sendirian," Rea memelas.
"Duuuh kasian. Sori Beb, tapi aku lagi ada acara keluarga ini." Sandra terkekeh.
"Acara apaan? Dimana?" Rea penasaran.
"Sepupuku nikahan."
"Sepupu yang mana sih?"
Seingat Rea Sandra tidak memiliki siapa siapa di kota ini. Ah, mungkin saudara jauh, pikirnya.
"Ya udah deh kalau gitu. Have fun ya, Beb. Jangan lupa oleh-oleh." Keduanya terkikik saat sambungan telpon terputus.
☆☆☆
Rea meregangkan tubuhnya sejenak, lalu berjalan keluar. Harusnya dia mencari kerja saja biar nggak terlalu sepi di rumah. Rasanya bosan sekali setiap hari hanya menunggui Anggit pulang kerja tanpa kegiatan. Tapi bagaimana dengan kehamilannya? Adakah perusahaan yang mau mempekerjakan wanita hamil sepertinya?
Rea berjalan mengitari halaman kecil rumahnya yang dipenuhi rumput hijau dengan kaki telanjang. Tak terasa matahari sudah mulai condong ke barat. Beberapa tanaman bunga layu di dalam pot-pot kecil menyita perhatiannya. Rea berjongkok memilah-milah, memisahkan tanaman yang sudah hampir mati. Sepertinya menghabiskan waktu dengan mengurus bunga-bunga ini lebih baik, batinnya.
Rea bangkit berniat mengambil peralatan berkebunnya. Mendadak penglihatannya tertumbuk pada satu pemandangan tak biasa di pekarangan rumahnya saat dia membalikkan badan.
"Devon?"
Devon sudah berdiri di halaman rumah mungilnya itu tak jauh dari tempatnya tadi berjongkok. Lelaki itu terlihat sangat keren dalam balutan t-shirt warna soft blue dan jeans hitamnya.
"Hai," sapanya santai.
"Sejak kapan kamu berdiri disitu?"
"Sejak kamu disitu." Devon menunjuk tempat tadi Rea berjongkok memunguti pot-pot bunga. Rea terkekeh malu.
Wanita itu mengedarkan pandangannya sebentar ke sekeliling rumahnya, merasa heran bagaimana lelaki itu tiba-tiba bisa muncul tanpa suara. Seingatnya tadi dia tidak mendengar ada suara mobil berhenti. Aah bodoh, Rea menepuk dahinya. Ya tentu saja tidak ada suara, mobil mahal Devon memang nyaris tak bersuara. Lagipula dia sibuk dengan bunga-bunganya tadi.
"Kalau gitu ayo masuk," ajaknya. "Maaf tanganku kotor." Rea mengurungkan niatnya menyalami Devon karena melihat tangannya yang belepotan tanah. Devon dengan santai mengikuti Rea Masuk.
"Duduk dulu, Devon, aku mau cuci tangan." Rea nyengir lucu ke arah lelaki itu.
"Sepi?" tanya Devon saat Rea kembali membawa 2 botol minuman dingin.
"Iya nih, Anggit ke Bandung ada kerjaan," katanya. Devon hanya mengulum senyum. Dia sudah tahu lelaki brengsek itu pergi. Dia menyuruh Teddy mengawasi setiap gerak-geriknya. Bahkan Devon juga tahu kemana dan dengan siapa suami Rea saat ini.
Rea agak canggung ketika mendudukkan tubuhnya ke sofa ruang tamunya. Ini pertama kali baginya menerima tamu laki-laki tanpa ada Anggit. Dia memilih tempat duduk yang agak jauh dari tamunya.
"Kok tiba-tiba kesini? Apa ada masalah dengan Sandra?" tanya Rea hati hati.
"Enggak ... eh, iya, maksudku ... Sandra nggak ada di rumah. Kamu tau dia kemana?" Devon hanya bermaksud menguji Rea, seberapa peka dia dengan kondisinya sendiri.
"Oooh itu. Tadi aku juga kesana sih tapi rumahnya sepi. Dia bilang sedang ada acara di tempat sepupunya." Benar-benar kurang ajar Sandra. Masih juga wanita ini dibohonginya. Lagi-lagi Devon mengumpat dalam hati.
Devon menyesap pelan minuman botol yang tadi disodorkan Rea, pikirannya berusaha menata kalimat demi kalimat yang akan dikatakannya pada Rea. Semalam dia sudah memutuskan untuk berubah pikiran. Awalnya dia ingin Rea tahu sendiri kebenaran tentang suaminya, tapi melihat kepolosan Rea, mustahil dia bisa menyadari hal itu dengan cepat. Maka Devon memutuskan untuk memberitahunya.
"Rea..."
"Yaa?"
"Apa kamu percaya Sandra?"
"Tentu saja ... dia sahabatku, Von." Senyum Rea mengembang.
"Kamu pernah berpikir nggak kalau Sandra bohongin kamu?" Rea tertawa kecil mendengar kalimat Devon. Dia tidak tahu arah pembicaraan lelaki di depannya itu.
"Maksud kamu?" Tawa Rea perlahan menghilang saat dilihatnya wajah Devon menatapnya dengan serius. Sepertinya Devon ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi apa?
"Suamimu dan Sandra ... mereka ada hubungan." Entah bagaimana akhirnya lelaki itu mengatakannya juga. Tanpa menunggu reaksi Rea, Devon menyodorkan ponselnya pada wanita itu.
Entah Rea sudah sadar dengan apa yang baru saja diucapkan Devon atau belum, tapi wanita itu menerima ponsel dengan tangan sedikit gemetar. Devon memandangi Rea was-was, dia sudah siap dengan apapun yang akan terjadi pada wanita itu.
Perlahan ditundukkannya wajah ke layar ponsel dan Rea shock melihat gambar-gambar yang ada disana. Dengan tangan semakin gemetar dia menggeser layar, menggeser dan menggeser lagi. Rea berharap matanya salah, tapi tidak. Matanya tidak sedang sakit. Dia bisa melihat dengan jelas kedua insan di dalam foto itu. Rea sangat mengenal mereka.
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka