Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Teddy membuka layar ponselnya saat tiba di parkiran kantor. Dibukanya satu pesan dari Devon.[Cari tau kabar Rea, dia tidak merespon chat dan panggilanku dari semalam. Aku agak khawatir. Secepatnya ya?]Lelaki bertubuh jangkung itu mengunci layar ponselnya dengan cepat dan segera bergegas menuju mobil sport warna silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Hanya satu tujuannya, yaitu rumah Rea, wanita yang sepertinya beberapa hari belakangan telah membuat sahabatnya susah konsentrasi.☆☆☆Rea duduk di sofa ruang tengah diapit kedua orang tuanya. Tangis sesenggukannya sejak dia sampai di rumah itu belum juga mereda. Bu Renata, ibu Rea, memeluk bahu anaknya dengan perasaan teriris. Dia benar-benar tidak menyangka putri kesayangannya itu mengalami nasib buruk dalam pernikahannya yang baru seumur jagung.Sementara Pak Hanggono, ayah Rea, terdiam
Orang kaya itu memang terkadang tingkahnya aneh dan susah dipahami, begitu pun dengan Devon. Sepulang dari rumah orang tua Rea, dia langsung menghubungi Teddy, meminta sahabatnya itu mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan start-up yang menjadi kebanggaannya itu.Lalu dia mengabarkan berita gembira pada pamannya bahwa dia berubah pikiran. Minggu ini dia akan mulai memimpin perusahaan peninggalan mendiang papanya. Entah apa yang ada di dalam otak lelaki blasteran berusia 27 tahun itu.Pertemuannya dengan Rea hari ini tak disangka menjadi mood booster untuk Devon. Semangatnya seolah menjadi sepuluh kali lipat dari hari-hari biasanya. Dia ingin sekali membawa wanita itu kembali ke Jakarta secepatnya dan menemani setiap hari-harinya.Melangkah memasuki lift menuju apartemennya di lantai 30, Devon berjalan bagai tak berpijak, ringan sekali seolah tak ada beban apapun yang mengganggu pik
Ternyata Devon serius dengan omongannya, hari berikutnya Rea mendapat pesan dari lelaki itu tentang lowongan kerja di perusahaan temannya. Devon bilang seorang temannya sedang membutuhkan seorang sekretaris."Tapi aku sedang hamil? Apa tidak masalah?" kata Rea di telepon."Temanku bilang dia bahkan tidak masalah jika harus mempekerjakan seorang nenek-nenek," ujar Devon sambil menahan tawa atas ucapannya sendiri."Baik sekali ya teman kamu itu. Kapan aku bisa masukkan surat lamarannya?" tanya Rea."Secepatnya katanya. Kapan kamu ada waktu? Besok bisa?""Baiklah, aku siapkan dulu berkas lamarannya."
Hari masih lumayan pagi saat Rea meninggalkan rumah orang tuanya. Sebenarnya ayahnya menawarkan diri untuk mengantarkannya ke perusahaan tempat dia akan melamar pekerjaan. Tapi Rea lebih nyaman berangkat sendiri dengan taksi online.Ayah Rea bilang perusahaan yang akan dia lamar itu merupakan perusahaan property yang sangat terkenal. Bahkan lelaki tua itu sempat ragu anak perempuannya akan bisa bekerja di tempat itu."Apa temanmu itu nggak salah merekomendasikanmu ke perusahaan itu, Re?" tanyanya keheranan. Satu satunya pengalaman kerja putrinya itu hanya di sebuah kantor penerbitan yang tidak begitu besar. Dia pikir perusahaan seperti itu pasti memiliki karyawan-karyawan yang berkompeten, dan ayah Rea yakin Rea tidak cukup berpengalaman di bidang itu. Apalagi sekarang kondisinya sedang hamil. Tapi