"D ... Devon??" Rea memekik kaget saat mendongakkan kepalanya, hingga membuat beberapa orang yang sedang makan di tempat itu menoleh ke arahnya.
Uda Andi, pemilik warung, yang kebetulan sedang melayani pelanggan tak jauh dari kursi Rea langsung menghampirinya.
"Ada apa, Rea?" tanyanya khawatir. Lelaki itu menatap Devon dengan pandangan curiga.
"E, enggak, Uda, nggak papa. Cuma ... kaget aja," jelas Rea terbata.
"Oh, ya udah kalo gitu." Lelaki itu segera berlalu meninggalkan Rea sambil tetap menatap Devon dengan was was.
"Kenapa kamu kesini?"
"Lanjutkan makanmu! Aku takkan menganggumu," kata lelaki itu dengan tenang. Devon sudah memperhatikan Rea dari tadi dan dia merasa senang Rea makan dengan sangat lahap. Sesuatu yang tak pernah dilihatnya saat wanita itu bersamanya. Lagi-lagi rasa bersalah menggelayutinya.
Dengan susah payah Rea menelan sisa makanannya yang ti
Devon dan Teddy sedang duduk di ruang kerjanya saat seorang sekretaris mengetuk pintu."Masuk!" perintah Devon dari dalam. Gadis berpostur tinggi langsing dengan setelan blouse dan rok super pendek berwarna soft pink itu membuka pintu dengan anggun, lalu menganggukkan kepala ke arah kedua lelaki di dalam ruangan itu. Teddy yang melihat wanita itu masuk, refleks menyenggol kaki sahabatnya."Selamat siang, Pak. Pak Hilman Widjaya ingin bertemu dengan Anda," kata sang sekretaris dengan suara seksinya."Ooo ya, persilahkan masuk," kata Devon cuek. Si sekretaris langsung berbalik dengan langkah menggodanya meninggalkan ruangan setelah berpamitan. Teddy menyenggol lengan Devon."Apa?" Devon menatap sahabatnya keheranan."Nggak tertarik? Kurang seksi gimana?" goda Teddy."Memang dia siapa? Kapan masuknya?" Devon mengernyitkan dahi."Aku yang r
Kebersamaan Rea dengan Devon kali ini terasa agak berbeda dari biasanya. Entah kenapa lelaki itu tidak semenakutkan seperti sebelum-sebelumnya bagi Rea. Mungkin saja karena saat ini Rea tak merasa terikat dengan lelaki itu, namun kenyataannya Devon pun juga tak begitu mengintimidasi seperti biasanya. Lelaki itu terlihat lebih santai dan banyak tersenyum."Baju kamu ada di lemari," tunjuk Devon ke arah wardrobe-nya saat Rea berpamitan ingin mandi."Disini?" tanya Rea keheranan melangkah mendekati tempat yang ditunjuk Devon. Lelaki itu mengangguk. Dan saat wanita itu memutuskan untuk membuka lemari, segera saja mulutnya terbuka lebar melihat baju-baju pemberian Devon yang dulu ada di apartemennya telah berpindah ke tempat itu. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkacak pinggang melihat ke arah sang diktator."Kamu selalu bawa baju perempuan kemana-mana ya?" tanyanya sambil mencibir."Baju perem
Wanita cantik berpostur tinggi ramping dengan pakaian seksi berwarna merah menyala itu turun dari mobilnya dengan sangat percaya diri. Berjalan ke dalam gedung perkantoran berarsitektur modern dengan nuansa silver itu dengan langkah anggunnya."Cecilia, ingin bertemu dengan Bapak Devon Junior Widjaya," katanya tanpa basa basi saat resepsionis menanyakan maksud kedatangannya."Tunggu sebentar, Ibu. Kami sambungkan," kata si resepsionis.Devon yang sedang berada di ruang kerjanya dan mendapat laporan kedatangan Cecilia menghela napas panjang. Dia bisa menebak apa maksud dari kedatangan wanita itu ke kantor kebanggaannya ini"Suruh masuk!" katanya pada resepsionis di saluran internal.Tak berapa lama kemudian, Cecilia sudah melenggang memasuki ruangan."Hi, Dev ... how're you?" Si cantik itu langsung saja memeluk Devon dengan cipika cipikinya."I'm go
"Rea, ada paket buat kamu nih." Chika nyelonong masuk ke kamar Rea membawa sekotak kardus berwarna coklat berukuran tanggung."Apa itu?" Rea yang sedang berkutat dengan laptopnya yang sedang ngambek nggak mau nyala, memicingkan mata ke arah sahabatnya."Nggak tau, anak-anak di depan yang nerima." Chika meletakkan box itu di atas meja. Rea meraih dan membukanya pelan-pelan."Bukanya gitu amat?" Chika tertawa geli."Siapa tau bom," sahut Rea asal. Sahabatnya segera memukul lengannya dengan bantal. Dan setelah beberapa detik rasa berdebarnya, Rea berhasil membukanya. Sepasang sahabat itu sontak membelalakkan mata mereka."Gila! Kamu beli laptop? Ciaaah ... tajir sekarang Rea mah. Laptop ngambek dikit aja dah order yang baru," goda Chika."Parah!" Rea mendelik ke arah Chika. Dia tau betul kelakuan siapa ini. Siapa lagi yang rela menghamburkan uang hanya untuk benda-benda yang sebe
Devon dan Teddy saling berpandangan tak mengerti. Rea yang baru saja datang di apartemen Devon meletakkan sejumlah benda di atas meja tanpa berniat duduk.Box coklat berisi laptop yang semalam baru dikirimkan Devon ke kost nya, handphone, lalu atm dan buku tabungan atas nama Rea.Sepulang dari rumah Anggit, Rea memang sengaja mengirim pesan pada Devon. Wanita itu sudah berniat menemui lelaki itu untuk mengambalikan barang-barang yang pernah diberikannya. Maka tadi selepas menemui Anggit, wanita itu segera menuju mesin ATM, mengambil sebagian uang miliknya pribadi dan hanya menyisakan uang 100juta yang pernah ditransfer Devon padanya.Karena hari minggu, mustahil untuk Rea bisa mengambil uang tunai sebesar itu, karena itulah dia mengorbankan saja kartu ATM miliknya untuk mengembalikan uang lelaki itu. Tak lupa dia menuliskan di secarik kertas PIN ATM nya.[Lagi dimana?]Devon yang sedang
"Re, belum selesai?" Chika menyembul dari balik pintu ruang editor."Bentar lagi, Beb," Rea nyengir melihat sahabatnya membawakannya es teh manis kesukaannya. Segera dirapikannya tumpukam naskah di atas mejanya setelah mematikan laptop."Ni minum dulu. Ada yang nungguin tuh di bawah," kata Chika sambil menyodorkan segelas es teh manis ke tangan Rea. Rea mengernyit? Devon?"Siapa?""Anggit," sahut Chika.Rea sedikit heran kenapa Anggit sampai menemuinya di kantor. Kemarin dia memang sempat bilang ke Anggit bahwa dirinya kini kembali bekerja di penerbitan. Tapi dia tidak mengatakan dimana dia bekerja pada suaminya itu."Hei," sapanya saat menghampiri Anggit yang sedang bersandar santai di mobilnya di pelataran kantor. "Ada apa?" Rea menampakkan raut muka penasaran kenapa lelaki itu ada di kantornya.Penampilan Anggit terlihat jauh lebih rapi har
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem