Share

Yang Kau Bilang Miskin
Yang Kau Bilang Miskin
Author: humaidah4455

Perjalanan pulang

Yang kau bilang miskin

[Kalo nggak punya tentengan mending nggak usah brangkat. Malu lah makan gratis]

Sebuah status Yu Yati terpampang di ponselku. Entahlah Apa yang dia tuliskan, yang jelas kok hati ini merasa tersindir, ya. 3 tahun lalu, saat ia hajatan, memang aku dan Mas Bayu tidak membawa apa-apa saat menghadiri hajatan itu. Alhasil, aku di buly habis-habisan oleh Yu Yati. Padahal, amplop kami bisa dibilang lumayan. Tapi, tetap saja dicibir.

Sudahlah, husnudhon saja, mungkin itu bukan untuk menyindirku. Benar kata Mas Bayu, orang seperti Yu Yati itu, nggak akan bisa melihat apapun yang kami berikan, berbeda dengan suaminya, Mas Paijo, beliau lebih bisa menghargai kami, bahkan usai malam pembukaan amplop, beliau mengucap terimakasih setelah tahu, berapa jumlah uang sumbangan kami.

"Bagaimana aku membalasnya? Sumbangan mu banyak sekali." Begitu katanya.

Namun, aku dan suami, sama sekali tak mengharap mereka mengembalikan uang itu. Kami ikhlas membantu saudara.

"Sudahlah, Mas, nggak usah dipikirin, Aku sama Rini ikhlas. Kami ingin membantu Mas Paijo dan keluarga." Bagitu kata Mas Bayu.

Tapi, berbeda dengan Yu Yati. Wanita culas, judes, yang notabene nya saudara tiriku itu malah menghina kami.

"Halah, palingan uang hasil ngutang. Biasa, biar dikira kaya bisa nyumbang dalam jumlah banyak, dibelain ngutang. Ngaku deh! Mana mungkin orang macam kalian bisa ngisi amplop sebesar itu." Itulah ucapan Yu Yati yang membuat hatiku terhiris saat itu.

Beruntung Mas Bayu bisa meredakan amarahku yang terpancing saat itu, hingga aku tak melakukan hal yang memalukan. Yu Santi juga ikut menenangkan ku.

Diantara ke 4 saudara tiriku, hanya Yu Santi yang peduli dan benar-benar tulus. Yang lain modus, baik bila ada maunya saja.

"Rini, biarkan Yati berkoar semau mulutnya, yang penting niatmu tulus. Yayu bangga sama kamu, kamu sampai segitunya menyumbang ke dia. Uang tiga juta itu bukan jumlah yang sedikit. Tapi, Yayu yakin, itu hasil usahamu. Yayu sudah dengar semua tentangmu. Alhamdulillah akhirnya kamu bisa menata hidup yang layak dikota. Tiap malam Yayu berdo'a agar hidupmu di mudahkan. Agar penderitaanmu tak berkelanjutan. Kamu sudah susah dari kecil. Jadi, Yayu berharap kini kamu hidup bahagia." Yayu menyeka air matanya kala itu, kakak tiriku itu memelukku sambil menangis.

"Dik, kenapa melamun? Ayo lekas bersiap, kita berangkat sekarang, biar tak kemalaman sampai di Sidoarjo," kata suamiku.

Aku sontak berjingkat saat suamiku berucap. Yah, gara-gara status Yu Yati, aku gagal fokus maning.

Ponselku berdering, panggilan dari Yu Santi, segera ku jawab.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikum salam. Ya Allah Rini, apa semua ini? Terimakasih banyak. Yayu nggak bisa berucap, Nduk. Kirimanmu sudah datang." Suara Yu Santi terisak.

"Ah, Yayu, kenapa nangis? Aku yang makasih, Yayu mau menerima semua itu. Jangan marah ya, Yu," pintaku padanya.

"Kamu kapan kesini? Besok hari H. Apa kamu nggak bisa datang? Kenapa hanya belanjaan semobil yang datang? Kenapa bukan kamu dan Bayu yang datang? Rini, apalah artinya semua ini, kalau kamu dan suami mu tak hadir disini? Yayu sudah nyiapin seragam khusus untuk kalian," suara Yayu kini makin menjadi. Ia menangis tersedu.

"Yu, insyaallah kami usahakan, bisa hadir. Tapi, lihat jadwal dulu. Nggak apa 'kan, kalau telat?" Aku sengaja menggoda Yu Santi.

"Ya ampun Rini, sesibuk itukah kamu sekarang? Tolong datanglah, Nduk datang, Yayu mohon!" seru Yayu menangis.

Ah, rasanya tak tega mendengar tangisnya itu. "Insyaallah, Yu. Diusahakan. Maaf, ya, Yu. Ada urusan, telponnya udahan dulu," pamitku padanya. Hati ini tak sanggup bila mendengar Yayu memohon. Bisa gagal surprise ku nanti. Kebetulan, Mas Bayu memanggil, bisa kujadikan alasan yang tepat.

"Ya, sudah. Hati-hati. Itu suamimu sudah manggil. Yang rukun ya Rini, kapanpun kamu datang, akan Yayu tunggu. Assalamualaikum,"

"Wa'alaikum salam."

Hatiku bagai di remas, mendengar ucapan Yayu barusan. Yayu sangat sayang kepadaku, hingga sekarangpun masih kurasa, perhatiannya lewat udara sering ia berikan. Berbeda dengan saudaraku lainnya. Hanya Yu Santi yang tau keadaanku sekarang, yang lain tidak. Yu Santi bisa menjaga rahasia besar ini. Rahasia yang akan membungkam mulut-mulut saudara tiriku yang lain.

"Sayang, cepatlah!" Teriakan suamiku menyadarkan lamunan. Setitik air disudut mata ini ku hapus, aku sudah janji kepada Mas Bayu untuk tidak menangis lagi.

Aku segera keluar kamar, menemui Mbok Yem-asisten rumahtangga ku.

"Mbok, Simbok," Aku mencari sosok yang selama ini menemani kami hingga di puncak kesuksesan.

"Nggih, Mbak Rini," wanita berkain jarik itu muncul dari arah dapur.

"Mbok, hati-hatilah dirumah, kalau ada apa-apa, segera kabari saya. Nanti kalo linunya kambuh, segera kedokter, minta anter Dito," pesanku kepadanya.

Meskipun Simbok asisten rumah tangga kami, tapi aku sangat sayang padanya.

"Nggih, Mbak Rini," jawab Mbok Yem tersenyum.

Aku segera berjalan menuju teras rumah, dimana mobil sudah menunggu.

"Lho, Mas, kok pake mobil ini? Kenapa nggak yang sederhana saja?" protesku pada Mas Bayu.

"Sayang, jalan masuk ke Sidoarjo itu bergelombang dan rusak, jadi aku pilih mobil ini," terangnya mengulas senyum.

"Ayo, lekas berangkat," ajaknya kepadaku.

"Kami berangkat, ya Mbok," pamitku pada Mbok Yem.

"Hati-hati, Mbak, Mas," katanya. Lambaian tangan mengiringi keberangkatan kami.

Perjalanan kali ini, aku dan Mas Bayu ditemani oleh Pak Ilyas dan salah satu pengawal pribadi Mas Bayu.

Bayangan sumringah Yu Santi, Bude Siti, Pakde Umar, Mas Yuda, Mas Ari, Mbak Eis, terpampang nyata dibenakku. Ya, merekalah yang sayang kepadaku.

Setelah ibu meninggal, dan ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak empat, hidupku berubah drastis. Ibu tiriku tak sepenuhnya sayang kepadaku, persis lagu ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja. Saudara tiriku pun demikian. Hanya Yu Santi saja yang sayang kepadaku. Setiap jadwal makan, ibu selalu memberiku makan berlauk tempe saja. Tapi, secara sembunyi, Yu Santi memberiku aneka lauk dan buah, bahkan ia menemaniku makan, tidur juga ditemani olehnya, aku seperti memiliki seorang kakak.

"Sayang, mau beli oleh-oleh apa?"

Pertanyaan Mas Bayu menyentakku lagi.

"Ada apa? Kenapa sedih? Kamu tak suka perjalanan ini? Kalau kamu tak suka, marilah kita pulang saja. Yas, putar balik!" Seketika Mas Bayu memerintah sopir untuk berputar balik.

"Jangan, Mas. Jangan!" cegahku.

Mobilpun berhenti, "Gimana, Pak? Lanjut apa pulang?" Pak Ilyas menoleh kami.

"Lanjut, Pak. Lanjut!" Ku seka air mata ini.

Mas Bayu memggenggam tanganku, " Jangan membuatku gagal menjaga air matamu itu. Jangan bersedih lagi, kau sudah janji Rini," Mas Bayu memelukku.

Tubuh ini tenggelam dalam dada bidang nan atletis itu. Maaf, Mas ... ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata bahagia.

"Aku bahagia, Mas. Aku bahagia. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu Bude dan semuanya." Ku urai rasa ini kepada Suamiku.

"Kalau bahagia, kenapa menangis?"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
windy
ya ampun sedih banget sih....
goodnovel comment avatar
Satrio Nugroho
seru lanjut
goodnovel comment avatar
suci safitri
... ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status