Share

Bab 3

Author: Daya
Aku masih ingat, terakhir kali Gavin menunjukkan ekspresi panik seperti itu adalah pada hari pernikahan kami.

Saat itu, cintanya begitu menggebu-gebu, penuh gairah yang membara. Janji yang dia ucapkan terdengar begitu lantang serta penuh keyakinan.

Bahkan ketika aku mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatanku, dia tetap berada di sisiku, merawatku dengan penuh perhatian.

Aku pikir, kami akan selalu saling mencintai.

Namun, mimpi indah pada akhirnya akan hancur.

Beberapa saat kemudian, Gavin tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berbicara.

"Melisa, bagaimana kalau tahun ini kita merayakan hari ulang pernikahan kita?"

Baiklah, aku akan menggunakan pesta ini untuk mengakhiri pernikahan ini.

Melihatku mengangguk, senyuman tulus akhirnya muncul di wajah Gavin.

Beberapa hari berikutnya berlalu dengan tenang, seolah-olah semuanya kembali seperti sedia kala.

Gavin sibuk keluar pagi dan pulang larut untuk mempersiapkan perayaan ulang tahun pernikahan kami.

Dia memesan aula pesta di lantai tertinggi, bahkan memastikan semua bahan makanan diimpor pada hari yang sama.

Namun, tidak semua orang merasa senang.

Sejak Gavin mulai merencanakan pesta ulang tahun pernikahan kami, wajah Alina tidak lagi menampilkan senyuman.

Hari perayaan pun tiba dengan cepat.

Para sosialita dan orang-orang berpengaruh di Kota Janitra berkumpul di sana.

Di layar besar, foto-foto kami berdua ditampilkan satu per satu, dengan tulisan di atasnya.

"Sayang, aku mencintaimu. Semoga kita selalu bersama."

Gavin berbincang dengan para tamu, sementara aku berdiri sendirian di sudut ruangan.

Beberapa wanita dari keluarga kaya mendekatiku, mengajakku berbasa-basi.

"Bu Melisa, kamu benar-benar wanita yang beruntung."

"Benar! Pak Gavin mencintaimu sepenuh hati. Bahkan perayaan ini dia rancang sendiri hanya untuk membuatmu bahagia."

Aku hanya tersenyum sopan sebagai tanggapan, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Mungkin karena merasa percakapan ini makin membosankan, mereka segera menjauh, mulai berbisik-bisik di antara mereka sendiri.

"Cih, cinta sejati apanya? Mau pura-pura apa lagi?"

"Dia hanya orang buta. Nggak heran kalau dipermainkan seperti monyet."

"Dia sungguh pandai menyanjung diri sendiri. Memangnya dia pikir pesta ini benar-benar dibuat Pak Gavin untuknya?"

Setiap kata mereka langsung menusuk telingaku.

Aku mengira diriku akan merasa sesak serta sangat kesal, tetapi kenyataannya hatiku justru terasa begitu tenang.

"Pak Gavin telah menyiapkan pertunjukan kembang api!"

Begitu kembang api mulai dinyalakan, semua orang bergegas menuju balkon.

Awalnya aku berdiri di sudut ruangan, tetapi karena desakan orang-orang, aku malah terdorong ke dekat panggung.

Di tengah kerumunan, tubuhku kehilangan keseimbangan hingga terjatuh ke lantai.

Punggungku terbentur keras pada peralatan di belakangku, membuatku tak bisa menahan diri untuk berteriak kesakitan.

Tiba-tiba, gambar di layar berubah. Tulisan di atasnya juga ikut berganti.

Yang awalnya adalah foto-foto mesraku dengan Gavin mendadak lenyap, digantikan dengan potret pribadi Alina.

Di atasnya tertulis, "Sayang, selamat datang di dunia ini."

Heh .… Sekarang semuanya masuk akal.

Sejak awal, pesta ini memang bukan untukku.

Kalau memang pesta ini untukku, mengapa repot-repot menyiapkan pertunjukan kembang api untuk seseorang yang setengah buta?

Tentu saja, kembang api ini memang ditujukan untuk orang yang bisa melihatnya dengan jelas.

Meskipun mataku sudah pulih, kerumunan di sekitar terlalu padat.

Tak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tetap tak bisa bangkit. Aku hanya bisa pasrah saat mereka terus menginjak tubuhku.

Saat aku berusaha mengangkat kepala di tengah kesakitan .…

Aku melihat Alina bersandar manja di bahu Gavin, dengan wajah yang penuh kebahagiaan.

Di langit, kembang api bermekaran dengan megah, meninggalkan jejak warna-warni yang memudar perlahan.

"Sayang, aku mencintaimu."

Seolah ada tangan tak kasatmata yang mencengkeram hatiku dengan erat.

Aku tidak tahu apakah yang lebih menyakitkan adalah luka di tubuhku atau luka di hatiku.

Aku tidak bisa lagi menahan diri, akhirnya jatuh pingsan.

Saat aku tersadar kembali, aroma disinfektan memenuhi hidungku.

Pandanganku awalnya tampak samar, lalu perlahan menjadi lebih jelas. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku tanpa sadar menarik napas dalam-dalam.

Namun, yang paling membuatku takut adalah percakapan yang terdengar dari lorong.

"Pak Gavin, gumpalan darah di otak Bu Melisa mulai menunjukkan tanda-tanda menghilang. Ada kemungkinan besar penglihatannya akan pulih."

Alih-alih mendengar suara penuh kegembiraan, justru bentakan penuh amarah yang terdengar.

"Apa kamu bercanda?"

"Bagaimana dengan janjimu dulu? Aku sudah mengikuti semua perintahmu. Aku memberinya obat penambah darah setiap hari agar gumpalan darah di otaknya makin besar, demi menekan saraf optiknya hingga membuatnya buta selamanya .…"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 9

    Setelah kejadian hari itu, aku takut mereka akan muncul lagi. Jadi, aku pindah dari rumah kakakku.Hari-hariku kembali seperti biasa. Aku bahkan mendaftar di banyak kelas minat, membuat hariku lebih sibuk serta menyenangkan.Namun, saat aku sedang bersiap menyambut hidup baru, sebuah paket tiba-tiba datang.Di dalamnya ada boneka bayi yang berlumuran darah palsu.Selain itu, ada pula fotoku dengan bagian wajah yang disayat menggunakan pisau kecil.Di bagian belakang foto itu, tertulis kata-kata dengan tinta merah, "Nggak akan mati dengan baik!"Jantungku berdebar kencang karena ketakutan. Aku segera menghubungi pihak keamanan gedung untuk memeriksa rekaman kamera pengawas. Namun, mereka memberitahuku bahwa tiga hari lalu, sistem kamera pengawas sudah lebih dulu dirusak oleh seseorang.Pada saat itu juga, aku sadar bahwa ini bukan kebetulan. Seseorang memang sengaja melakukannya.Aku belum sempat menyelesaikan masalah ini, tetapi tiba-tiba aku mendapat tugas baru dari perusahaan. Ini ad

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 8

    Sejak hari itu, Gavin seakan menghilang dari dunia ini, tidak pernah datang lagi untuk mencariku.Aku juga sudah menghapusnya dari pikiranku, sepenuhnya tenggelam dalam kesibukan kerja yang membuatku melupakan segalanya.Namun, masalah surat cerai masih belum juga diselesaikan. Selama Gavin belum menandatangani dokumen itu, hubungan kami tetap belum sepenuhnya terputus.Ketika mengingat hal ini, aku kembali menelepon pengacaraku, memintanya untuk mendesak Gavin.Namun, yang aku dapatkan bukanlah surat cerai, melainkan kedatangan Alina."Dasar wanita jalang! Aku akan mencabik-cabikmu!""Gara-gara kamu, Gavin menolak mengakui anak yang aku kandung! Kamu harus mengembalikan suamiku! Kembalikan Ayah dari anakku!"Emosinya meledak-ledak. Perut buncitnya yang sedang hamil tampak naik turun dengan hebat."Aku dan Gavin sudah dalam proses perceraian. Urusannya nggak ada hubungannya denganku," balasku.Selesai berkata demikian, aku hendak menutup pintu.Namun, Alina dengan cepat menahan kusen p

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 7

    Aku akan mengenali suara ini meski aku berubah menjadi abu.Aku menatapnya dengan waspada sambil bertanya, "Kenapa kamu ada di sini?"Gavin berdiri di sana dengan janggut tipis di wajahnya, rambut berantakan, serta pakaian penuh lipatan. Jelas sekali dia telah menempuh perjalanan panjang.Dalam ingatanku, Gavin selalu tampil rapi dan sempurna. Ini pertama kalinya aku melihatnya begitu berantakan.Matanya memerah, air mata menggantung di pelupuknya ketika dia berujar, "Melisa, aku nggak ingin bercerai.""Maaf, aku tahu aku salah. Bisakah kamu memaafkanku?"Pria itu mengulurkan tangan, hendak menggenggam tanganku, tetapi aku dengan sigap menghindar.Ketika melihat ekspresi kecewanya yang makin dalam, aku hanya bisa mencibir."Gavin, apa kamu nggak lelah berpura-pura setiap hari seperti ini?"Tanpa sadar, Gavin ingin membela diri. Namun, aku sudah tidak tertarik untuk mendengarkan kata-katanya."Melisa …."Aku langsung memotongnya, "Kalau begitu, kita selesaikan di pengadilan. Pengacaraku

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 6

    Setelah menyelesaikan semuanya, aku pindah ke rumah kakakku.Saat melihat mataku yang sudah bisa melihat kembali, kakakku menangis terharu, berkali-kali mengucap syukur atas anugerah ini.Tiba-tiba, sesuatu terlintas di benaknya. Kakakku mengernyitkan kening, lalu menegurku."Kalau saja kamu dari dulu setuju pergi ke luar negeri, mungkin matamu sudah sembuh sejak lama. Semua karena bajingan itu, kamu sampai terlambat mendapatkan pengobatan."Aku tersenyum, lalu menenangkan hatinya, "Sekarang pun belum terlambat."Namun, dalam hati aku tahu bahwa apa yang dikatakan kakakku benar.Aku masih ingat saat pertama kali bertemu Gavin. Saat itu, matanya bersih dan jernih, tanpa sedikit pun noda kebohongan.Pria itu menghormatiku, mencintaiku, serta selalu mengutamakan diriku dalam segala hal.Meskipun aku tiba-tiba ingin makan kue dari tempat yang berjarak ribuan kilometer, dia akan langsung memesan tiket tanpa ragu.Pada saat itu, aku benar-benar percaya bahwa aku telah menemukan cinta sejati.

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 5

    Ada keheningan di ujung telepon. Satu menit kemudian, barulah terdengar suara tawa dari seberang sana."Melisa, jangan main-main. Lelucon seperti ini sama sekali nggak lucu," kata Gavin."Semua yang aku katakan adalah kebenaran," balasku.Nada tegas dalam suaraku membuat Gavin langsung kehilangan kendali."Melisa Galant!"Meskipun sedang marah, Gavin tetap menekan suaranya saat berbicara denganku.Gavin berkata, "Kamu hanya seorang buta. Kalau bukan denganku, mau ke mana lagi kamu?""Selain aku, nggak ada yang akan mengasihanimu dan merawatmu! Bahkan keluargamu sendiri pun nggak akan!""Kalau sekarang kamu mau mengakui kesalahanmu, aku masih bisa memaafkanmu. Kalau nggak, kamu hanyalah seorang yatim piatu yang nggak diinginkan siapa pun!"Dulu, begitulah cara pria ini mencuci otakku. Dia membuatku percaya bahwa aku adalah beban terbesar.Dia membuatku menyerah dan menerima permintaannya, agar aku tidak menyusahkan kakak-kakakku.Setiap kali Gavin berkata seperti ini, aku akan selalu me

  • Yang Kucintai adalah Duri   Bab 4

    Suara itu tiba-tiba terhenti. Kemudian, pintu kamar dibuka dengan kasar.Aku terkejut hingga napasku tercekat. Kemudian, aku memejamkan mata dengan cepat, mendengar langkah kaki mendekat, lalu menjauh lagi.Saat pintu tertutup kembali, suara Gavin terdengar sedikit lebih pelan."Aku memasang kamera pengawas di rumah hanya untuk mengawasi setiap gerak-geriknya, memastikan dia nggak tiba-tiba sembuh, lalu mengganggu anak yang dikandung Alina!""Sekarang kamu memberitahuku kalau dia akan sembuh?""Aku nggak peduli cara apa yang kamu gunakan, tapi Melisa harus tetap buta!"Gavin menarik kerah dokter itu dengan kasar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat hatiku makin membeku.Aku selalu berpikir bahwa semua ini terjadi karena nasibku yang buruk.Aku bahkan percaya bahwa Gavin sudah berusaha keras mencarikan pengobatan untukku. Setiap kali mendengar ada dokter terkenal, dia akan langsung memesan tiket untuk berangkat ke sana.Aku selalu merasa bersalah, berpikir bahwa aku telah meny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status