*** "Arumi, yuk makan, Nak." Terdengar ibu sambil mengetuk pintu kamarku diikuti suaranya yang terdengar memenuhi penjuru rumah. Aku yakin tetangga bisa mendengar suara ibu yang cempreng. "Iya, Bu. Aku baru selesai sholat. Tunggu bentar." Aku pun menaruh mukenah ke tempat asalnya lalu bergegas untuk keluar dari dalam kamar. Ternyata Ayah sudah duduk di singgasananya. Kursi yang hanya boleh diduduki oleh ayah. Aku memilih duduk di samping kanan ayah dan ibu di samping kiri. Mata menatap wajah ayah yang sudah mulai menua. Telah nampak garis keriput. Rambut yang dahulu hitam segar, kini telah memutih.Ada rasa sakit yang menjalar di hati. Aku belum bisa memberi cucu di usia ayah yang sudah lebih dari enam puluh tahun. Ayah dan ibu memang tidak pernah mempermasalahkan, karena mereka sudah memiliki cucu dari kedua kakak lelakiku. Tetapi, aku berkecil hati."Kamu ijin ke suami berapa hari pulang ke sini?" tanya ibu dengan suara pelan. Ibu sedang menyendok makanan untuk ditaruh di atas pi
Aku tidak boleh gugup. Aku harus tetap tenang. Bibir pun membentuk segaris senyum. "Mas Amar ngomong apa ke ayah?" ujarku dengan lembut dan bibir yang masih tersenyum"Dia menanyakan keadaan kamu. Katanya nomormu sudah beberapa hari tidak aktif. Tidak usah berbohong, Nak. Ceritakan ke ayah dan ibu, ada masalah apa." Aku menarik napas. Sepertinya tidak bisa lagi berbohong. Siap tidak siap, aku harus cerita malam ini. Mungkin aku bisa membohongi orang diluar sana tentang keadaanku, tetapi tidak dengan ayah dan ibu. Mereka pasti tahu perubahan yang terjadi pada anaknya. "Aku ingin bercerai dengan Mas Amar. Sepertinya rumah tangga kami tidak bisa lagi dipertahankan," ujarku dengan mata yang telah berkaca. "Ya Allah, Nak. Apa yang sudah terjadi. Bukankah selama ini kalian baik-baik saja." Ibu langsung berdiri dan duduk di kursi yang ada di sampingku. Dada terasa sesak. Rasanya bibir tak mampu untuk berucap. Air mata terus saja berjatuhan. Kini ibu telah memelukku. "Ceritakan semuanya
Aku berjalan pelan menuju kamar. Ayah dan ibu sudah meninggalkan di dapur sejak dua puluh menit yang lalu. Apa yang ada dalam pikiran ayah dan ibu. Mengapa mereka tidak membelaku? Mengapa seolah mereka berada di pihak Mas Amar? Apa mungkin Mas Amar sudah berkata sesuatu pada ayah? Ya, bisa saja kan. Mas Amar lelaki yang manipulatif. Dia pasti sudah memikirkan semuanya dan tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan. Detik jam terus berputar. Aku belum juga bisa memejamkan mata. Air bening terus saja keluar dari kelopak. Rasanya kepala sudah terlalu berat karena lelah menangis. Ternyata hingga pagi menyambut, aku tak kunjung bisa tidur. Sekarang sudah pukul tujuh pagi. Aku bahkan tidak merasakan ngantuk sama sekali. "Arumi, sarapan dulu, Nak. Tidak lama lagi Mas Amar akan tiba. Kamu mandi ya, supaya segar." Ibu berteriak dari balik pintu. Aku enggan untuk membangunkan badan. Hingga jam segini, aku belum merasakan lapar. Tidak! Aku tidak ingin bertemu Mas Amar! Aku tidak mau melihatn
"Keputusan suamimu untuk menikah lagi tidak sepenuhnya salah. Di dalam agama kita juga tidak mengharamkan poligami. Berdamailah dengan keadaan, Nak. Seperti ini lah rumah tangga. Di dalamnya akan banyak cobaan," ujar Ayah dengan lembut. Aku benci mendengarnya. Aku tidak suka ayah membela lelaki itu. "Please, Ayah! Mas Amar tidak sebaik yang ayah kira. Aku tidak mampu mempertahankan pernikahan ini. Jangan paksa aku untuk bertahan." Aku berkata sambil sesegukan menahan sesak. Semua orang membela Mas Amar. Seolah aku lah yang hina. Bahkan kedua orang tuaku pun melakukan itu. "Istighfar, Nak. Meminta cerai pada lelaki sholeh yang sudah melakukan semua kewajibannya, itu dosa. Mas Amar selama ini sudah menjagamu dengan baik. Dia memberikan kamu nafkah. Dia tidak pernah berbuat kasar padamu … Jangan jadi istri pembangkang, Nak. Neraka jahanam adalah tempatmu, jika kamu berbuat seperti itu. Yang dilakukan Mas Amar benar. Poligami itu keinginan ibunya karena kamu belum juga bisa memberi
Pov Amar *** Aku baru saja tiba di Rumah. Terlihat Lilis sedang bersenda gurau dengan ibu dan Mbak Mira di dapur. Hal yang tidak pernah terlihat ketika ibu bersama Arumi. Aku langsung masuk ke kamar, tidak ingin terlebih dahulu berbasa-basi dengan mereka. Kini badan telah berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit. Tidak bisa dipungkiri, aku sangat merindukan Arumi — Istriku. Sudah satu Minggu dia pergi dari sini. Bahkan nomor teleponnya tidak bisa di hubungi. Aku tadi ke Rumahnya, berharap akan bertemu dengannya. Namun nihil, istriku itu bahkan tidak ingin keluar kamar untuk menemui ku. Apa keputusanku untuk berpoligami sangat jahat? Bagiku tidak! Selama aku masih memberikan nafkah dan perhatian pada Arumi, semuanya akan baik-baik saja. Tetapi kenapa Arumi tidak patuh terhadap keputusanku? Padahal selama ini dia sangat patuh pada perintahku dan aku selalu melakukan yang terbaik untuknya. Arumi juga tahu jika aku berpoligami hanya karena mengikuti keinginan ibu – Pere
(Pov Amar) "Mas, dipanggil ibu untuk makan." Suara Lilis menghentikan lamunanku. Dia sedang berdiri di depan pintu. Bahkan aku tidak menyadari, sejak kapan dia berdiri di situ. Kenapa anak ini tidak sopan sekali? Memanggil suami tanpa mendekat, hanya berdiri di pintu. Memangnya aku ini anak kecil? Lilis perlu diajarkan cara sopan santun yang benar dan bagaimana harus memperlakukan suami. Dia seperti tidak sedang berbicara dengan seorang suami. Sikapnya sangat berbeda dengan Arumi. "Mas tidak mau makan?" Lilis kembali bersuara. Mungkin karena aku belum melakukan pergerakan. Aku masih saja menatapnya dari tempat tidur. "Yuk kita makan," ujarku sambil tersenyum dan bangun dari tempat tidur. Aku menarik lembut tangan perempuan yang seminggu ini sudah sah menjadi istriku. Aku menatap Lilis sejenak, sebelum akhirnya jalan beriringan. Lilis memang sangat cantik. Matanya bulat, kulitnya putih bersih, rambutnya lurus dan dia juga tinggi. Dia tidak berhijab seperti Arumi. Mungkin Allah
(Pov Amar) "Tidak bisa begitu, Bu. Arumi masih menjadi tanggung jawabku. Dalam agama tidak dibenarkan perbuatan itu. Meskipun sudah menikah dengan Lilis, aku masih wajib untuk menafkahi Arumi." Sungguh, kali ini aku tidak setuju dengan keinginan ibu. Walau bagaimanapun Arumi masih sah menjadi istriku. Lagi pula, Arumi istri pilihanku. Sedangkan Lilis, dia pilihan ibu. Kalau bukan karena ingin berbakti pada ibu, aku tak akan menikahi Lilis. Ya, Lilis memang sangat cantik. Tetapi hatiku sudah sangat mencintai Arumi. Yang namanya cinta tak bisa di paksa. Sekarang saja aku masih berusaha mencintai Lilis seperti cintaku pada Arumi. "Kalau begitu secepatnya ceraikan Arumi. Supaya gajimu fokus pada kami berdua." Aku tersentak. Sabar, ibu memang sering begini. Biarlah, tak perlu dijawab. Aku tak ingin menjadi anak durhaka karena membantah ibu. "Yang ibu takutkan, kamu itu sudah di pelet oleh Arumi, makanya sulit lepas dari dia. Coba deh, kamu banyak banyak ruqyah mandiri … ibu sering
(Pov Amar) Lilis hanya tersenyum saat ibu memuji kecantikannya. "Kalau punya menantu yang baik seperti Lilis, ibu jadi betah berada di rumahmu. Jangan bawa Arumi ke sini lagi, kalau kamu tidak ingin melihat ibu sakit-sakitan," ujar ibu setelah memasukan makanan terakhir yang ada di piring. "Jadi selama ini ibu sering sakit karena Arumi?" tuturku dengan raut wajah kaget dan penasaran. "Jelas karena istrimu itu! Dia sering berbuat kasar pada ibu. Asal kamu tahu saja, dia sering menyembunyikan makanan yang ada di rumah ini, makanya ibu sering tahan lapar. Mbak mu juga akhirnya tidak membawa makanan ke rumahnya. Istri macam apa itu? Padahal bukan dia yang mencari uang." "Tetapi aku selalu tanya Arumi, apa ibu sudah makan, dan dia selalu menjawab, sudah. Masa Arumi berbohong padaku, Bu." "Kamu tidak percaya pada ibu. Arumi itu bukan perempuan baik, Amar! Kamu terlalu sibuk di kantor, makanya tidak tahu bagaimana karakter dia yang asli. Ibu yang setiap hari berdua di rumah, sangat