Share

2. Pesta Dansa

"Saya ingin mengajukan kesepakatan yang menguntungkan Yang Mulia." kata Clarence setelah tautan bibir mereka terlepas. Suaranya sedang, tidak lirih atau pun keras sehingga tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka selain mereka berdua.

Pangeran mengusap bibir istrinya dengan pelan, sebelum menjauhkan diri. "Dan apa itu? Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada dingin yang sama dengan tadi.

Clarence, yang tercenung karena kelembutan tangan Pangeran ketika mengusap bibirnya, baru bisa menjawab setelah beberapa detik terlewati. "Sebelum itu, aku memiliki beberapa pertanyaan untuk Yang Mulia. Tapi, nanti. Aku tidak bisa mengatakannya di tempat ini karena mungkin akan menodai citra Yang Mulia."

"Yah, katakan saja sekarang. Istana baru, wilayah, tambang batu mulia, nyawa seseorang, pesta terbesar di benua. Dari semua itu, apa yang kau inginkan?"

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Clarence, tersinggung. Semua tawaran itu memang terdengar menggiurkan. Dia bisa melakukan apapun dengan harta sebanyak itu.

Tapi disaat yang sama, itu juga melukai harga dirinya. Mungkin tawaran itu wajar bagi wanita bangsawan normal, tapi baginya, yang seringkali bertransmigrasi menjadi orang lain dengan berbagai profesi, itu sangat menyakiti hatinya.

Dia tidak akan menyangkal bahwa dirinya menyukai uang. Tapi, masih dalam batas wajar. Clarence bukan wanita serakah yang menginginkan lebih dari yang mampu ia simpan dan gunakan.

Pangeran menyeringai dingin, memandangnya dengan sorot mencemooh. "Itu adalah hal yang sering kau minta dariku, Clarence. Uang, tahta, dan kelas sosial. Kau bahkan terus mengatakannya di hari pertunangan kita."

Kali ini, Clarence tidak mampu berkata-kata. Dia sama sekali tidak mengenal siapa itu 'Clarence' yang asli, jadi dia tidak tahu bagaimana tentangnya.

Kalau begitu, yang harus ia lakukan sekarang adalah...

"Tapi sekarang berbeda, Yang Mulia." sahut Clarence. Sudut bibirnya tertarik keatas dengan lembut, mencerminkan kepribadian seorang Putri baik hati. "Aku tidak menginginkan hal-hal semacam itu lagi."

... mengubah kepribadian Clarence di mata semua orang.

Setidaknya, dengan menjadikan Clarence  'orang baik' akan membantunya sampai transmigrasi di tubuh berikutnya.

"Lalu apa?"

"Ceraikan aku." Clarence berujar dengan tegas, tanpa sedikitpun gentar dalam suaranya. Ketika ekspresi Pangeran berubah, dia tersenyum tipis. "Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal. Dan mungkin juga sulit. Tapi, aku harap, Anda akan mau menyetujui keinginanku ini setelah mendengar apa yang bisa aku lakukan untuk Anda,"

Pangeran menaikkan sebelah alis. Ada tatapan berminat dari sorot matanya. "Lalu... apa yang bisa kau lakukan untukku?"

Apa itu? Clarence juga tidak tahu.

Ah. Tidak. Maksudnya, belum. Dia belum tahu apapun soal dunia ini, jadi sebaiknya menyimpan tentang ketidaktahuan itu rapat-rapat dengan dalih belum waktunya.

Dia merasa sedikit malu sudah berbohong, tapi tidak apa-apa. Setidaknya, ia memiliki banyak rasa percaya diri saat ini.

Clarence tersenyum tipis, memberikan gelengan manis. "Tidak sekarang, Yang Mulia. Saya akan mengatakannya nanti," katanya, kembali ke bahasa formalnya lagi.

"Ya. Kalau begitu terserah. Apa pun yang kau maksud, itu tidak akan membuatku tergoda, Putri Clarence."

Wah. Pangeran sombong yang sangat percaya diri. Clarence memberikan sorot miris dalam bayangannya.

"Saya jamin Anda akan menyesal telah mengatakan itu, Yang Mulia."

Sekali lagi, percaya diri itu baik.

Clarence sekali lagi menatap pada ekspresi tegang yang hadir di wajah para bangsawan seolah tengah menghadiri pengadilan alih-alih acara pernikahan, sebelum berujar pada Pangeran dengan nada yang lebih keras. "Para bangsawan sepertinya telah menunggu dansa. Ingin memulainya sekarang, Yang Mulia?"

Itu adalah dialog yang seharusnya diucapkan oleh sang suami. Tapi, Clarence  sengaja mengucapkannya untuk menekankan pada Pangeran, bahwa dia bukan seseorang yang bisa dianggap remeh.

Untuk kali pertama di pandangan Clarence, Pangeran tersenyum. Bukan jenis senyuman kagum, melainkan senyum miring yang lebih cocok menggambarkan ekspresi kepuasan.

"Karena kau menginginkannya, baiklah, kita mulai acaranya sekarang."

Clarence memegang sedikit kain di gaunnya, lalu menekuk kakinya sedikit. "Terimakasih atas kebaikan hatinya, Yang Mulia."

"Ya."

***

Dua orang dengan fitur sempurna menari di tengah aula besar. Mereka terus bersama, tidak berganti pasangan dansa meski lagu telah berubah.

Itu masih dianggap wajar. Keduanya adalah pengantin. Meski terdapat harapan dari para bangsawan untuk menjadi partner dansa Pangeran dan Putri setelah lagu pertama berakhir, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Memilih bangsawan lain untuk berdansa merupakan pilihan yang terbaik daripada menerima amarah Pangeran lagi.

Clarence berujar sembari memutar tubuhnya. "Aku ingin menanyakan sesuatu pada anda, Yang Mulia."

"Apa?"

Mata Clarence  beradu pandang dengan mata merah Pangeran -yang memancarkan aura dingin- untuk beberapa saat, sebelum tersenyum. "Siapa saya menurut pandangan anda?"

Dia harus tahu menurut sudut pandang Pangeran lebih dahulu sebelum memutuskan akan melakukan apa.

Saat ini, kabur adalah pilihan terbaik bagi Clarence. Tapi dia tidak bisa dengan mudah melakukan itu sebelum mengenal dunia ini, dan mengetahui konsekuensinya.

"Istri." Pangeran menjawab tanpa ekspresi.

"Selain jawaban itu,"

"Apa yang sebenarnya sedang kau katakan?"

Bibir Clarence mengerut atas jawaban dingin itu. "Yah, maksudku... siapa nama lengkapku?" tanyanya.

"Nama?"

"Ya."

"..."

Mendapati tatapan tajam Pangeran, Clarence sontak memalingkan muka. Dia terlalu salah tingkah hingga melupakan satu langkah, dan berakhir menginjak kaki Pangeran.

Clarence pikir, dansa akan segera berakhir dan Pangeran langsung memarahinya. Tapi ternyata pikirannya keliru. Alih-alih begitu, Pangeran malah mengeratkan pegangannya di bahu Clarence dan secara alami, membuatnya mendapatkan ritme gerakan lagi.

Clarence mengerjap, syok. Hembusan napas lega nyaris keluar dari mulutnya jika saja Pangeran tidak berujar, "Kendalikan ekspresimu."

"Maafkan aku."

"Apa yang kau coba katakan tadi?"

"Sama seperti anda, saya tidak menginginkan pernikahan ini." dia tidak tahu ucapannya itu benar atau tidak. Hanya saja, melihat kondisinya, serta suasana yang muncul di pesta pernikahan ini, tidak mungkin ada hubungan baik diantara mereka.

"Kau sudah mengatakan itu berkali-kali." sahut Pangeran.

Clarence menyeringai malu. Dia tidak tahu kalau pemilik tubuh asli ini ternyata telah mengatakan itu berkali-kali.

"Lalu, kalau begitu... bisakah kita menyingkir dari tengah aula, Yang Mulia? Saya ingin beristirahat."

Dia tahu kalau penggunaan aku-kau dan saya-anda sering keluar tanpa adanya konsistensi. Tapi, Clarence tidak peduli. Toh Pangeran sama sekali tidak terlihat mempermasalahkan cara Clarence memanggilnya.

Lagu kedua berakhir.

Clarence, yang sudah menunggu respon Pangeran seketika kehilangan kendali dirinya ketika tiba-tiba, Pangeran menempelkan bibir mereka lagi. Dia tertegun, membatu. Tidak mengerti apa yang tengah terjadi.

Hening kembali merayapi aula yang megah.

"P-pangeran..." bisik Clarence ketika terdapat sedikit jarak diantara bibir mereka.

Pangeran mendesis. Tangannya, yang baru Clarence ketahui ternyata sangat kekar, menarik pinggangnya mendekat hingga tidak ada satupun jarak diantara mereka. Kepalanya kembali maju, mengecup bibir Clarence.

"Jangan katakan apapun sampai perintahku keluar, Clarence."

Nada berkuasa yang Pangeran gunakan membuat Clarence terganggu. Seolah-olah kematian akan menjemputnya jika dia berani membantah.

Seharusnya, ia tetap diam. Tidak peduli apa yang Pangeran ingin dia lakukan, dia harus menurut--selama itu tidak merugikannya. Bagaimana pun juga dia adalah 'pendatang'. Belum mengetahui apa pun. Akan sangat merugikan jika dia tiba-tiba bertindak diluar batas.

Tapi, tidak. Dia tidak tahu apa yang merasukinya kali ini, sehingga berani mempertanyakan keinginan suaminya itu.

"Harus kah aku menurut?" tanya Clarence, menatap mata Pangeran dengan polos. Dia benar-benar kehilangan akal saat ini.

Pangeran menggeram tertahan. "Jangan membantahku,"

"Lalu apakah saya harus menurut atas setiap perintah anda, Yang Mulia?"

"Ya. Perintahku adalah mutlak di Thaas Rachem. Tidak ada satu pun yang bisa lolos dari pengawasanku."

"..."

Kali ini Clarence diam. Pandangannya turun lagi, berhenti di dagu kokoh Pangeran. "Saya..." dia menggigit bibir bawah. Bingung. Tidak tahu harus bagaimana melanjutkan ucapannya.

Karena wajahnya tertutupi oleh tubuh besar Pangeran, Clarence tidak merasa perlu untuk mengendalikan ekspresinya lagi. Dia bisa cemberut dan tersenyum, sesuai keinginan hatinya.

"Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu memasuki aula!"

Terdengar suara seseorang berteriak. Sedetik kemudian, terdengar suara pintu aula didorong terbuka, disusul langkah kaki yang harmonis. Indah layaknya lagu.

Tiba-tiba, Pangeran menjauhkan diri.

Clarence mengerjap. Ekspresinya berubah datar dalam sekejap, menyesuaikan keadaan dengan cepat.

Dua pasang sepatu indah berlapis emas berhenti di hadapannya. Clarence mengangkat wajah sedikit untuk mengintip pemiliknya.

Tanpa perlu berpikir lama atau menebak-nebak dengan asal, Clarence langsung tahu siapa mereka, pasangan dengan pakaian terindah dan termewah di aula ini. Raja dan Ratu. Orang tua Pangeran.

Dahinya seketika mengerut. Jadi, apa alasan Pangeran tiba-tiba menciumnya tadi?

Melihat Pangeran telah berancang-ancang untuk membungkuk, Clarence segera mengikuti. Dia memberi salam layaknya seorang Putri.

"Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk tiba, Yang Mulia." kata Pangeran. Suaranya terlalu dingin. Sangat aneh mendengar seorang putra berbicara dengan nada seperti itu pada orangtuanya.

"Salam," Ratu menyahut singkat.

Kemudian, tatapan Ratu berhenti pada Clarence. Cukup lama. Tanpa berkedip, tanpa sedikit pun riak.

Clarence tahu apa ini. Ratu sedang mengujinya. Meski dia tidak mengerti apa alasan di balik itu, dia tetap menyanggupi tantangan tersirat nya. Clarence membalas tatapan Ratu dengan sopan, diiringi senyum yang sesuai. Tidak terlalu lebar atau tipis. Pas.

"Ponakan Duke August Rivas." Ratu bergumam setelah mengakhiri sesi tatapan mereka. Ratu tersenyum, "Semoga Paman-mu tidak mengingkari janjinya, Putri."

Janji? Janji apa?

Clarence mengangguk, masih dengan senyum yang sama. Tidak ada satupun riak yang menandakan ketidaktahuan di wajahnya, meski dia sama sekali tidak mengerti janji apa yang Ratu maksud. "Saya yakin Paman adalah orang baik. Paman tidak akan menjilat ludahnya sendiri, Yang Mulia." dia mengarang jawabannya.

"Astaga..." Ratu tertawa. "Aku tidak tahu kalau August ternyata 'menjaga' ponakannya dengan sangat baik."

Alih-alih menghindari sarkas itu, Clarence langsung menerimanya begitu saja. "Bagaimana anda mengetahuinya, Yang Mulia? Paman memang merawatku dengan sangat baik. Aku tidak pernah merasa terluka sedikit pun di dalam mansion itu,"

"Ah, benar kah? Maka itu bagus untuk 'kami', Putri."

"Terimakasih atas pujiannya, Ratuku." Clarence menarik kain gaun dan menekuk kakinya lagi.

Tujuannya sementara ini adalah membuat Pangeran tidak meremehkannya. Tapi, tidak masalah jika Raja dan Ratu memperlakukannya seperti itu. Lebih baik dianggap bodoh daripada musuh yang mengancam, yang bisa melibas lehermu kapan saja.

Berbeda dengan Ratu, Raja kini tengah memandang putranya. Tatapan mereka serupa, dingin. Tidak ada sedikit pun kasih sayang di dalamnya.

"Selamat atas pernikahanmu," ujar Raja.

Pangeran tersenyum mengejek. "Berlaku hal yang sama. Selamat atas kekuasaan mutlak anda, Yang Mulia."

Raja mengangguk. "Ya. Ini adalah hal paling bagus yang pernah ku terima, Pangeran." ujarnya puas.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan pada wanita itu?"

Yang dia maksud adalah Clarence.

"..."

"Kau tidak akan menjawabnya, kan?"

"Tidak."

"Apa alasannya?"

"..."

"..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status