Share

3. Nona Yang Menarik Perhatian

Pasangan dengan pangkat tertinggi di seluruh penjuru kerajaan Thaas Rachem itu bertahan tidak lama di pesta. Setelah mengucapkan selamat pada Pangeran dan istrinya, serta memberikan salam hangat pada seluruh bangsawan Querencia--ibukota Thaas Rachem--yang hadir, mereka pergi dengan terhormat. Para bangsawan, yang semula bisa menghembuskan napas lega karena keramahan dan senyum hangat sang Ratu kembali harus menegangkan otot wajah menghadapi kedinginan yang membekukan milik Pangeran.

Sudut bibir Clarence berkedut. Dia merasa kasihan pada mereka, tapi tidak banyak. Hanya sedikit, karena Clarence sadar diri kalau seharusnya dia lah yang paling dikasihani saat ini.

Seumur hidupnya, Clarence harus melihat dan berinteraksi dengan pria berkepribadian seperti tiran ini.

"Apakah tidak apa-apa bila saya tidak berdansa dengan para bangsawan, Yang Mulia?" Clarence memberanikan diri bertanya setelah dari atas kursi pengantin, berkali-kali matanya mendapati para bangsawan pria berkali-kali mencuri pandang padanya.

Mereka pasti ingin berdansa dengannya.

Clarence memandang Pangeran dengan sorot penuh tanya. Tapi alih-alih menjawab, pria yang tidak pernah sekalipun kehilangan keseriusannya itu bertanya dengan nada mengerikan, "Kau sangat ingin berdansa dengan mereka, istriku?"

Itu hanya berarti satu hal; Clarence tidak boleh melakukannya.

Dengan patuh, Clarence memberikan gelengan. "Tidak begitu ingin." jawabnya dengan nada mengambang yang disengaja.

Clarence merasa kesal pada pria yang menjadi suaminya itu. Pada kehidupan-kehidupan yang ia jalani sebagai orang lain, Clarence selalu benci diperintah. Dia menyukai kebebasan, dan membenci hidup dalam peraturan yang mengekang.

Tapi sepertinya, untuk bertahan hidup kali ini, Clarence harus menekan kebenciannya itu kuat-kuat. Dia menyadari kalau suaminya itu bukan orang yang suka dibantah. Dan mengingat perangainya beberapa saat lalu ketika menghadapi kesalahan kecil Raki, Clarence meyakini kalau Pangeran bisa melakukan apapun pada Clarence.

Contoh kecilnya, adalah menghilangkan nyawa Clarence tanpa ampun di malam pertamanya nanti.

Tubuh Clarence bergidik pelan. Tidak. Dia tidak menginginkan itu terjadi. Kematiannya sebelum ini sangat menyakitkan, dan Clarence tidak ingin mengulanginya lagi.

Setidaknya untuk saat ini.

Clarence refleks menghembuskan napas lelah, dan Pangeran langsung memegang tangannya. Ketika Clarence menoleh untuk bertanya tanpa suara, Pangeran kembali mengulang perintahnya beberapa saat lalu, "Kendalikan ekspresimu,"

Ah, itu. "Maafkan saya, Yang Mulia."

Pangeran mengangguk. Pandangan matanya menghadap depan lagi.

Dalam hati Clarence bertanya-tanya. Apa pria itu tidak bosan terus-menerus diam seperti itu? Apakah dia tidak memiliki keinginan untuk turun dan berinteraksi dengan bangsawan lain?

Karena interaksi mereka tadi dan juga pemikirannya tersebut, Clarence menyadari satu hal. Bahwa Pangeran selalu merasa tegang dan awas. Clarence tidak mengerti apa alasannya, jadi dia memutuskan untuk diam dan menurut perintahnya saja--asalkan masih wajar.

Mata Clarence tertuju pada seorang wanita yang baru saja memasuki pintu samping aula. Gaunnya nampak sederhana. Berwarna pink pucat, yang hanya terdapat beberapa renda dan taburan berlian putih. Rambutnya juga hanya ditata dengan sederhana. Tidak ada kemewahan dalam penampilannya, namun, itu tidak bisa menutupi pesona yang ia miliki. Wajahnya sangat cantik, dan anggun. Tiap langkah yang ia ambil sangat mencerminkan kepribadian seorang bangsawan yang sesungguhnya.

Tanpa sadar, Clarence menggumamkan tanya, "Anda melihat wanita yang baru tiba itu, Yang Mulia?"

"Jangan membuat masalah lagi." tegur Pangeran dengan suara tertahan.

"Saya tidak ingin membuat masalah apapun, Yang Mulia. Itu hanya pertanyaan biasa. Anda tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin," Clarence menyahut kesal.

"Kau tidak mengenalnya?" Pangeran tiba-tiba menanyakan itu dengan nada heran.

Clarence menjawab singkat untuk menghindari kecurigaan. Jangan sampai Pangeran tahu tentang jati dirinya. "Saya lupa."

Perlu jeda tiga detik hingga jawaban Pangeran keluar. "Nona Dissy Lein Rosewood, anak angkat Viscount Hamal Rosewood--musuh bebuyutanmu."

"Ah, begitu..."

"Apa yang sedang kau rencanakan?"

"Hm?" Clarence menoleh. "Tidak ada," jawabnya sambil menatap mata sewarna darah Pangeran untuk mendapatkan kepercayaan pria itu. Dia mengulang jawabannya dengan lebih tegas, "Tidak ada, Yang Mulia."

"Lebih baik seperti itu."

Clarence memberikan gumaman tidak jelas. Matanya kembali tertuju pada wanita yang menjadi pusat perhatiannya tadi. Kini, wanita itu sudah berada di pusat kerumunan dan nampak tertawa kecil setelah Nona disebelahnya mengatakan sesuatu. Dan jika Clarence tidak salah mengira, itu adalah sebuah pujian.

Jadi, wanita itu suka dipuji?

Clarence tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. Dia memikirkannya beberapa saat sampai matang untuk menghindari kesalahan. Bisa-bisa, kalau ia salah langkah, ide itu bisa memperburuk citra yang dimilikinya.

Kemudian, setelah merasa kalau ide itu tidak akan menimbulkan masalah, Clarence menatap Pangeran lagi.

Dan secara tidak terduga, Pangeran juga tengah menatapnya dengan mata merah itu. Pandangan mereka langsung bertemu, dan Clarence seketika diserang rasa malu luar biasa.

Pria itu... terlalu tampan. Dia tidak bisa menahan pipinya untuk tidak terasa hangat dan mengeluarkan rona merah saking terkejutnya peraduan mata tiba-tiba itu.

Jadi Clarence mengepalkan tangannya yang ada di atas pangkuan untuk mengendalikan diri.

"Yang Mulia," Clarence akhirnya bisa memanggil setelah beberapa saat membeku.

"..."

"Apakah kau akan percaya jika aku mengatakan kalau aku kehilangan ingatan?" tanya Clarence, mencoba peruntungannya.

Dia tahu ini adalah pilihan impulsif, bisa membahayakan nyawanya, tapi tidak ada salahnya bukan bila mencoba?

Pangeran hanya diam. Menatapnya dengan sorot abstrak yang sangat sulit Clarence terka apa yang ada dalam pikirannya sekarang.

Dan Clarence ikut diam. Jantungnya berdebar keras menantikan respon suaminya itu.

Apa yang akan Pangeran katakan? Apakah pria itu akan marah, atau malah langsung membawanya ke dokter karena dikira sudah gila?

Dua-duanya tidak ada pilihan yang buruk. Namun, Clarence lebih menyukai pilihan terakhir daripada yang pertama. Citra Clarence sepertinya sudah buruk, jadi tidak apa-apa menambah buruk sedikit lagi.

"Clarence," Pangeran menyebut namanya dengan suara serak dan berat itu.

Clarence menoleh takut-takut, "Y-ya, Yang Mulia?"

"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"

"M-maaf?"

Pangeran menatapnya sejenak, lalu memberikan gelengan. Matanya yang merah mengerikan itu, memberi Clarence tatapan peringatan. "Apapun rencana yang ada dalam benakmu sekarang, jangan lakukan."

Clarence mengerjap. Dia linglung hingga beberapa saat untuk mencerna keadaan, hingga kesadarannya kembali. Clarence segera memberikan senyuman tipis yang percaya diri. "Saya tetap akan melakukannya." balasnya yakin. Dan ia menambahkan, "Terutama, tentang kehilangan ingatan itu. Saya dapat membuktikannya pada anda dengan segera, Yang Mulia."

Tidak ada keterkejutan sama sekali di ekspresi Pangeran, seolah pria itu sudah menduga akan penolakannya.

"Lalu apa yang kau lakukan untuk membuktikannya?"

"Sesuatu," jawab Clarence. "Tapi saya harus turun dan bergabung dengan kerumunan untuk melakukan itu."

Pangeran berujar dengan nada dingin, "Aku tidak suka dibantah."

"Saya mengetahuinya dengan jelas, Yang Mulia."

"Lalu?"

Tangan Clarence berkeringat karena sorot mata yang seolah dapat melubanginya itu. "Saya akan tetap melakukannya," jawabnya dengan akhir mengambang, karena tiba-tiba ia merasa ragu dengan keputusannya itu.

"... maka lakukan."

"Jika Yang Mulia--" Clarence terdiam sejenak, terkejut. "Ya, Yang Mulia?" tanyanya syok.

"Lakukan." Pangeran memerintah dengan lempeng. Kala Clarence memperhatikannya, ia menyadari kalau ada sorot berminat di mata Pangeran.

Sudut bibir Clarence berkedut lagi. Apa sekarang Pangeran yang tadi sangat dingin ini berniat menjadikannya badut lelucon?

Tapi tidak masalah. Persetujuan Pangeran adalah pintu terbuka pertama untuknya. Jalan pertamanya menuju kebebasan. Dan untuk memuaskan kebutuhan hiburan Pangeran saat ini, ia harus melakukannya dengan sempurna.

Clarence menyeringai tipis. "Yang menjadi perhatianku sejak tadi adalah wanita itu, Yang Mulia." katanya memberitahu.

"..."

"Dissy Lein Rosewood, maksudku."

Pangeran tersenyum miring, "Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya Pangeran dengan nada tertarik yang amat jelas.

"Anda akan tahu nanti,"

Dan setelah mengatakan itu, Clarence turun dari tempat duduk pengantinnya dan melewati para bangsawan dengan langkah anggun. Tatapan mereka tertuju padanya dengan berbagai sorot mata sejak Clarence bergerak, tapi ia mengabaikannya. Mereka tidak penting untuk saat ini.

Clarence baru berhenti setelah tiba di kelompok wanita itu--Dissy Lein Rosewood. Clarence tersenyum ramah dan mengajukan pertanyaan dengan nada tertarik yang ia usahakan terdengar alami. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Dari sudut matanya, Clarence dapat melihat kalau ekspresi Pangeran berubah. Itu berlaku hal yang sama dengan sorot matanya.

Jika tadi Pangeran menatapnya dengan pandangan tertarik, maka kini hanya ada kekecewaan dalam tatapannya.

Untuk ketiga kalinya, sudut bibir Clarence berkedut lagi.

Entah bagaimana, tapi ia yakin kalau Pangeran kecewa karena dia tidak membuat keributan yang luar biasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status