Beranda / Historical / Yang Mulia, Ceraikan Aku! / 3. Nona Yang Menarik Perhatian

Share

3. Nona Yang Menarik Perhatian

Penulis: Trah Rona
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-25 14:49:36

Pasangan dengan pangkat tertinggi di seluruh penjuru kerajaan Thaas Rachem itu bertahan tidak lama di pesta. Setelah mengucapkan selamat pada Pangeran dan istrinya, serta memberikan salam hangat pada seluruh bangsawan Querencia--ibukota Thaas Rachem--yang hadir, mereka pergi dengan terhormat. Para bangsawan, yang semula bisa menghembuskan napas lega karena keramahan dan senyum hangat sang Ratu kembali harus menegangkan otot wajah menghadapi kedinginan yang membekukan milik Pangeran.

Sudut bibir Clarence berkedut. Dia merasa kasihan pada mereka, tapi tidak banyak. Hanya sedikit, karena Clarence sadar diri kalau seharusnya dia lah yang paling dikasihani saat ini.

Seumur hidupnya, Clarence harus melihat dan berinteraksi dengan pria berkepribadian seperti tiran ini.

"Apakah tidak apa-apa bila saya tidak berdansa dengan para bangsawan, Yang Mulia?" Clarence memberanikan diri bertanya setelah dari atas kursi pengantin, berkali-kali matanya mendapati para bangsawan pria berkali-kali mencuri pandang padanya.

Mereka pasti ingin berdansa dengannya.

Clarence memandang Pangeran dengan sorot penuh tanya. Tapi alih-alih menjawab, pria yang tidak pernah sekalipun kehilangan keseriusannya itu bertanya dengan nada mengerikan, "Kau sangat ingin berdansa dengan mereka, istriku?"

Itu hanya berarti satu hal; Clarence tidak boleh melakukannya.

Dengan patuh, Clarence memberikan gelengan. "Tidak begitu ingin." jawabnya dengan nada mengambang yang disengaja.

Clarence merasa kesal pada pria yang menjadi suaminya itu. Pada kehidupan-kehidupan yang ia jalani sebagai orang lain, Clarence selalu benci diperintah. Dia menyukai kebebasan, dan membenci hidup dalam peraturan yang mengekang.

Tapi sepertinya, untuk bertahan hidup kali ini, Clarence harus menekan kebenciannya itu kuat-kuat. Dia menyadari kalau suaminya itu bukan orang yang suka dibantah. Dan mengingat perangainya beberapa saat lalu ketika menghadapi kesalahan kecil Raki, Clarence meyakini kalau Pangeran bisa melakukan apapun pada Clarence.

Contoh kecilnya, adalah menghilangkan nyawa Clarence tanpa ampun di malam pertamanya nanti.

Tubuh Clarence bergidik pelan. Tidak. Dia tidak menginginkan itu terjadi. Kematiannya sebelum ini sangat menyakitkan, dan Clarence tidak ingin mengulanginya lagi.

Setidaknya untuk saat ini.

Clarence refleks menghembuskan napas lelah, dan Pangeran langsung memegang tangannya. Ketika Clarence menoleh untuk bertanya tanpa suara, Pangeran kembali mengulang perintahnya beberapa saat lalu, "Kendalikan ekspresimu,"

Ah, itu. "Maafkan saya, Yang Mulia."

Pangeran mengangguk. Pandangan matanya menghadap depan lagi.

Dalam hati Clarence bertanya-tanya. Apa pria itu tidak bosan terus-menerus diam seperti itu? Apakah dia tidak memiliki keinginan untuk turun dan berinteraksi dengan bangsawan lain?

Karena interaksi mereka tadi dan juga pemikirannya tersebut, Clarence menyadari satu hal. Bahwa Pangeran selalu merasa tegang dan awas. Clarence tidak mengerti apa alasannya, jadi dia memutuskan untuk diam dan menurut perintahnya saja--asalkan masih wajar.

Mata Clarence tertuju pada seorang wanita yang baru saja memasuki pintu samping aula. Gaunnya nampak sederhana. Berwarna pink pucat, yang hanya terdapat beberapa renda dan taburan berlian putih. Rambutnya juga hanya ditata dengan sederhana. Tidak ada kemewahan dalam penampilannya, namun, itu tidak bisa menutupi pesona yang ia miliki. Wajahnya sangat cantik, dan anggun. Tiap langkah yang ia ambil sangat mencerminkan kepribadian seorang bangsawan yang sesungguhnya.

Tanpa sadar, Clarence menggumamkan tanya, "Anda melihat wanita yang baru tiba itu, Yang Mulia?"

"Jangan membuat masalah lagi." tegur Pangeran dengan suara tertahan.

"Saya tidak ingin membuat masalah apapun, Yang Mulia. Itu hanya pertanyaan biasa. Anda tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin," Clarence menyahut kesal.

"Kau tidak mengenalnya?" Pangeran tiba-tiba menanyakan itu dengan nada heran.

Clarence menjawab singkat untuk menghindari kecurigaan. Jangan sampai Pangeran tahu tentang jati dirinya. "Saya lupa."

Perlu jeda tiga detik hingga jawaban Pangeran keluar. "Nona Dissy Lein Rosewood, anak angkat Viscount Hamal Rosewood--musuh bebuyutanmu."

"Ah, begitu..."

"Apa yang sedang kau rencanakan?"

"Hm?" Clarence menoleh. "Tidak ada," jawabnya sambil menatap mata sewarna darah Pangeran untuk mendapatkan kepercayaan pria itu. Dia mengulang jawabannya dengan lebih tegas, "Tidak ada, Yang Mulia."

"Lebih baik seperti itu."

Clarence memberikan gumaman tidak jelas. Matanya kembali tertuju pada wanita yang menjadi pusat perhatiannya tadi. Kini, wanita itu sudah berada di pusat kerumunan dan nampak tertawa kecil setelah Nona disebelahnya mengatakan sesuatu. Dan jika Clarence tidak salah mengira, itu adalah sebuah pujian.

Jadi, wanita itu suka dipuji?

Clarence tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. Dia memikirkannya beberapa saat sampai matang untuk menghindari kesalahan. Bisa-bisa, kalau ia salah langkah, ide itu bisa memperburuk citra yang dimilikinya.

Kemudian, setelah merasa kalau ide itu tidak akan menimbulkan masalah, Clarence menatap Pangeran lagi.

Dan secara tidak terduga, Pangeran juga tengah menatapnya dengan mata merah itu. Pandangan mereka langsung bertemu, dan Clarence seketika diserang rasa malu luar biasa.

Pria itu... terlalu tampan. Dia tidak bisa menahan pipinya untuk tidak terasa hangat dan mengeluarkan rona merah saking terkejutnya peraduan mata tiba-tiba itu.

Jadi Clarence mengepalkan tangannya yang ada di atas pangkuan untuk mengendalikan diri.

"Yang Mulia," Clarence akhirnya bisa memanggil setelah beberapa saat membeku.

"..."

"Apakah kau akan percaya jika aku mengatakan kalau aku kehilangan ingatan?" tanya Clarence, mencoba peruntungannya.

Dia tahu ini adalah pilihan impulsif, bisa membahayakan nyawanya, tapi tidak ada salahnya bukan bila mencoba?

Pangeran hanya diam. Menatapnya dengan sorot abstrak yang sangat sulit Clarence terka apa yang ada dalam pikirannya sekarang.

Dan Clarence ikut diam. Jantungnya berdebar keras menantikan respon suaminya itu.

Apa yang akan Pangeran katakan? Apakah pria itu akan marah, atau malah langsung membawanya ke dokter karena dikira sudah gila?

Dua-duanya tidak ada pilihan yang buruk. Namun, Clarence lebih menyukai pilihan terakhir daripada yang pertama. Citra Clarence sepertinya sudah buruk, jadi tidak apa-apa menambah buruk sedikit lagi.

"Clarence," Pangeran menyebut namanya dengan suara serak dan berat itu.

Clarence menoleh takut-takut, "Y-ya, Yang Mulia?"

"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"

"M-maaf?"

Pangeran menatapnya sejenak, lalu memberikan gelengan. Matanya yang merah mengerikan itu, memberi Clarence tatapan peringatan. "Apapun rencana yang ada dalam benakmu sekarang, jangan lakukan."

Clarence mengerjap. Dia linglung hingga beberapa saat untuk mencerna keadaan, hingga kesadarannya kembali. Clarence segera memberikan senyuman tipis yang percaya diri. "Saya tetap akan melakukannya." balasnya yakin. Dan ia menambahkan, "Terutama, tentang kehilangan ingatan itu. Saya dapat membuktikannya pada anda dengan segera, Yang Mulia."

Tidak ada keterkejutan sama sekali di ekspresi Pangeran, seolah pria itu sudah menduga akan penolakannya.

"Lalu apa yang kau lakukan untuk membuktikannya?"

"Sesuatu," jawab Clarence. "Tapi saya harus turun dan bergabung dengan kerumunan untuk melakukan itu."

Pangeran berujar dengan nada dingin, "Aku tidak suka dibantah."

"Saya mengetahuinya dengan jelas, Yang Mulia."

"Lalu?"

Tangan Clarence berkeringat karena sorot mata yang seolah dapat melubanginya itu. "Saya akan tetap melakukannya," jawabnya dengan akhir mengambang, karena tiba-tiba ia merasa ragu dengan keputusannya itu.

"... maka lakukan."

"Jika Yang Mulia--" Clarence terdiam sejenak, terkejut. "Ya, Yang Mulia?" tanyanya syok.

"Lakukan." Pangeran memerintah dengan lempeng. Kala Clarence memperhatikannya, ia menyadari kalau ada sorot berminat di mata Pangeran.

Sudut bibir Clarence berkedut lagi. Apa sekarang Pangeran yang tadi sangat dingin ini berniat menjadikannya badut lelucon?

Tapi tidak masalah. Persetujuan Pangeran adalah pintu terbuka pertama untuknya. Jalan pertamanya menuju kebebasan. Dan untuk memuaskan kebutuhan hiburan Pangeran saat ini, ia harus melakukannya dengan sempurna.

Clarence menyeringai tipis. "Yang menjadi perhatianku sejak tadi adalah wanita itu, Yang Mulia." katanya memberitahu.

"..."

"Dissy Lein Rosewood, maksudku."

Pangeran tersenyum miring, "Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya Pangeran dengan nada tertarik yang amat jelas.

"Anda akan tahu nanti,"

Dan setelah mengatakan itu, Clarence turun dari tempat duduk pengantinnya dan melewati para bangsawan dengan langkah anggun. Tatapan mereka tertuju padanya dengan berbagai sorot mata sejak Clarence bergerak, tapi ia mengabaikannya. Mereka tidak penting untuk saat ini.

Clarence baru berhenti setelah tiba di kelompok wanita itu--Dissy Lein Rosewood. Clarence tersenyum ramah dan mengajukan pertanyaan dengan nada tertarik yang ia usahakan terdengar alami. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Dari sudut matanya, Clarence dapat melihat kalau ekspresi Pangeran berubah. Itu berlaku hal yang sama dengan sorot matanya.

Jika tadi Pangeran menatapnya dengan pandangan tertarik, maka kini hanya ada kekecewaan dalam tatapannya.

Untuk ketiga kalinya, sudut bibir Clarence berkedut lagi.

Entah bagaimana, tapi ia yakin kalau Pangeran kecewa karena dia tidak membuat keributan yang luar biasa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   17. Tantangan

    "A-apa?"Clarence tidak tahu apa yang Leopold maksud. Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya bisa menadapati satu kemungkinan, dan dengan takut-takut bertanya, "Apakah ini adalah..."Cengkeraman Leopold mengendur setelah melihat sorot kebingungan wanita itu. Dia bertanya, "Kau benar-benar tidak tahu?"Mata adalah anggota tubuh yang tidak dapat berbohong. Meski banyak bangsawan disini bisa memanipulasi sorot itu, Leopold adalah orang yang telah berkecimpung di dalam dunia intrik sejak dia lahir, jadi dia sangat bisa membedakan kepalsuan dan kejujuran, tidak peduli seberapa tebal topeng orang tersebut.Dan melihat Clarence benar-benar tampak tidak mengerti apa yang ia maksud, Leopold akhirnya berhenti mengintimidasinya."Putra Mahkota ini bertanya, apa yang kau lakukan disini jika bukan mengikutiku?" tanya Leopold dengan nada dingin.Clarence terdiam sejenak, dan akhirnya mengingat tujuan awalnya. "Aku ingin mengantarkan makanan ringan untukmu, dan juga surat kontrak pernikahan kita. Tap

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   16. Flower and Fragrance

    Weids't Reine adalah kota yang buruk, amat jauh dibandingkan dengan ibukota yang megah. Jika di Querencia banyak pusat hiburan dan kebudayaan, disini hanya ada beberapa bar besar, dan tempat sauna untuk membeli pelacur.Di Thaas Rachem, kota Weids't Reine adalah yang paling terburuk. Tak hanya tertinggal oleh kecemerlangan kota lain, kota ini juga amat sombong, dan tidak menerima aturan dari pemerintah. Mereka hanya menginginkan banyak uang, untuk terus menjalankan tempat perdagangan budak dan sauna pelacurnya.Beberapa menteri dan pegawai pemerintahan yang nakal sering mengambil selir dari tempat pelacuran ini, atau hanya sekedar singgah untuk menikmati jamuan erotis dari beberapa pelacur di dalamnya.Yang paling dicari adalah seseorang dengan tubuh cantik, halus, dan tanpa bekas luka, serta masih perawan. Mereka bahkan rela membayar sepuluh koin perak untuk itu.Di Thaas Rachem, satu koin perunggu bisa menghidupi rakyat jelata selama seminggu, tapi itu tidak berguna bagi orang berku

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   15. Mendapat Masalah

    Clarence adalah seorang wanita, dan dia tidak memiliki senjata di tangannya. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa melawan?Dia merengut sembari berusaha menghindar dari tebasan pedang salah satu bandit. Pinggangnya bergerak dengan lincah, dan tidak nampak goyah ketika pada detik berikutnya, dia menendang tubuh bagian bawah orang yang berniat menyentuhnya.Orang-orang ini gila. Mereka masih sempat-sempatnya berpikiran kotor di tengah pertarungan. Padahal, saat ini, Clarence sudah ngos-ngosan. Di kehidupan sebelumnya, Clarence memang mempelajari beberapa jenis bela diri agar bisa menghentikan takdir buruk. Tapi pada akhirnya dia gagal, dan tetap mati. Jadi, di kehidupan ini, Clarence menjadi malas, dan menunda-nunda berlatih hingga sekarang.Yang pada akhirnya juga sama-sama menyesal, karena baru beberapa waktu berlalu, kulitnya sudah tergores ujung pedang hingga mengeluarkan darah, dan pinggangnya terasa pegal. Gerakan Clarence juga tidak selincah sebelumnya, membuat dia tak bisa menahan

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   14. Posisi Selir

    Itu adalah bayangan hitam yang tiba-tiba melesat entah darimana. Dan di tengah-tengah keterkejutan Clarence, dia tiba-tiba berlutut. Aura dingin dan serius menguar darinya, meski hanya samar-samar.Sesuatu yang mau tidak mau mengingatkan Clarence pada Leopold, entah kenapa."Hormat pada Tuan Putri. Saya adalah penjaga bayangan yang ditugaskan Putra Mahkota untuk menjaga Putri, dan memastikan Putri Mahkota aman di sepanjang perjalanan."Ada fluktuasi di mata Clarence. Dia memandang rumit pada penjaga bayangan itu, berpikir dalam. Clarence sama sekali tidak menyangka kalau Leopold akan sebaik ini padanya. Izin dari Leopold untuk dia menunjukkan kontrak pernikahan yang dibuat Clarence seharusnya sudah menjadi batas toleransi pria itu. Saat ini, jika Clarence tidak salah ingat, adalah permulaan cerita. Konflik utama belum terlihat, hanya meninggalkan sedikit taburan kecil sebagai persiapan. Jadi Leopold seharusnya masih membencinya sepenuh hati hingga tidak bisa menahan untuk menunjukkan

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   13. Dengan Kualifikasi Apa?

    Clarence mondar-mandir di kamar tidurnya sesaat setelah dia selesai berkutat di dapur.Sesekali, tatapannya akan tertuju pada makanan ringan di atas meja, beralih ke pintu, atau pada perjanjian kontrak yang baru dia buat tengah malam tadi.Putra Mahkota mengatakan kalau dia harus mengirimnya saja melalui pelayan, namun Clarence sama sekali tidak bisa percaya pada mereka. Di buku novel, meski ketakutan pada tingkah buruk Clarence, sampai akhir mereka masih berusaha mencela dan menjatuhkannya. Saat kematian Clarence asli lah, mereka menjadi paling bahagia.Apalagi, saat ini, pelayan belum merasa takut padanya, dan masih berani bersikap arogan. Pada Pamannya, Grand Duke August Rivas yang konon katanya memiliki kekuatan setara dengan Kerajaan Thaas Rachem pun, mereka sama sekali tidak takut. Jika begitu, bagaimana dengan dia?"Kecuali, jika aku berhasil mendapatkan kepercayaan Putra Mahkota, dan berteman dengannya." Clarence melanjutkan pemikirannya dengan gumaman penuh tekad.Setelah se

  • Yang Mulia, Ceraikan Aku!   12. Perbincangan Dengan August

    Senyuman aneh Leopold adalah yang Clarence temui ketika jarak mereka hanya tiga meter.Langkah Clarence seketika berhenti. Tubuhnya mengalami tremor kecil. Apa ini? Kenapa Leopold tiba-tiba tersenyum padanya?Dan, bukannya menimbulkan kesan meneduhkan, pria itu malah membuat Clarence berpikir bahwa mendengarkan omelan mertua yang cerewet lebih baik daripada melihat senyuman mengerikan ini."Yang Mulia, saya mendengar anda memanggil saya." Kata Clarence dengan perilaku khas bangsawan.Untungnya, tidak ada yang aneh dalam suaranya. Hanya sedikit getaran, yang Clarence yakin, tidak dapat disadari orang-orang."Datang."Meski takut, Clarence tetap mematuhi perintahnya. Dia mengambil beberapa langkah mendekat dan memangkas jarak, hanya untuk tertegun setelahnya."Ini..."Tangan Leopold tiba-tiba menelusup, dan memegang pinggang Clarence dengan posesif. Dia berujar dingin, "Ya. Paman yang kau rindukan akhirnya datang mengunjungimu, istriku."Tidak ada kehangatan dalam suara maupun gerak-geri

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status