Saat itu tengah malam, dan dalam gemerisik angin musim gugur, bulan sabit tergantung di langit yang mendung. Jeritan sedih dan sengsara keluar dari dalam rumah. Suara itu mengerikan dan amat memilukan, seperti berasal dari keputusasaan.
Semua yang mendengar ini merasa hampa di hati.Di halaman istana, seorang wanita berusia lima belas tahun dibaringkan diatas besi panas. Tangan dan kakinya terpanggang dengan mengerikan. Pakaiannya compang-camping dengan beberapa sudut terbakar, dan tempat lainnya sobek karena bekas cambuk.Ada dua pelayan yang memegangi lengannya yang setipis tongkat. Mereka mencengkeramnya acap kali wanita itu memberontak karena rasa sakit.Rambut wanita itu acak-acakan dan wajahnya pucat pasi. Napasnya hanya terdengar samar. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat dingin, dan bersamaan dengan itu, darah mengalir bak hujan darah.Tampilannya sepenuhnya mengerikan.Namun, di hadapannya, seorang wanita tua dengan pakaian mulia masih duduk dengan anggun. Aura wibawa memancar darinya. Dia mengangkat alis dan menatap dengan santai. "Clarence, menantuku yang luar biasa, apakah kamu sudah mengakui apa kesalahanmu?" Jika dia tidak mengakuinya, maka wanita tua itu tidak keberatan menyiksanya dengan lebih keras.Tidak ada jawaban. Clarence hanya menatap dengan sorot menyedihkan. Air mata membasahi mata hitamnya. Pandangannya seolah bertanya-tanya, mengapa wanita tua itu tega melakukan ini padanya.Tawa wanita tua itu mengalun dengan lembut ketika dia membalas pandangan menantunya dengan sorot pengertian. "Jadi kamu masih belum mengerti juga?" tanyanya, dengan nada suara kejam yang sama sekali berlawanan dengan tatapan lembutnya."Baiklah, jika kamu memaksa, maka Ibu tidak akan bertindak lembut lagi."Kemudian, dia memberi pandangan pada pelayan, dan tubuh Clarence dicambuk kembali dengan intensitas yang lebih kuat.Segera, jerit kesakitan kembali mengudara.Itu terjadi cukup lama, hingga wanita tua yang memiliki status sebagai Permaisuri itu merasa bosan. Dia berdiri dengan anggun, dan menatap menantunya lurus. "Cambukan itu baru akan berhenti setelah kamu mengatakannya. Jika tidak, kamu akan berakhir seperti yang lain, menantuku."Jelas saja, pilihannya hanya dua; mengakui kesalahan yang tidak pernah dia perbuat atau mati.Melihatnya mengatupkan rahang dan keras kepala hanya diam, Permaisuri mendesah. Dengan diiringi beberapa pelayan, dia pergi dari halaman istana dingin itu dan berniat kembali ke istananya sendiri.Namun, baru beberapa langkah Permaisuri itu pergi, jeritan ketakutan dari beberapa pelayan terdengar."Ahh! Putri!!"Langkah Permaisuri itu seketika terhenti. Air mukanya berubah menjadi kebingungan, seiring dengan gerak tubuhnya untuk berbalik.Permaisuri semula berharap akan melihat beberapa pelayan yang jatuh karena kesalahannya sendiri. Tapi, siapa yang akan menduga bahwa menantunya, yang seharusnya sekarat atau bahkan mati, justru berdiri dengan tegak di sebelah panggangan?Tak hanya itu, saat ini, tangan menantunya itu sedang mencekal seorang dayang, dan mengarahkan pedang tajam ke lehernya.Pupil mata Permaisuri bergetar.Sebelum dia dapat mengatakan apapun, menantunya itu tiba-tiba tersenyum. Tatapannya, yang kosong, menatap Permaisuri seolah-olah sedang melihat sampah yang tidak berarti."Ibu mertua... apakah kamu terkejut?" tanyanya, dengan nada angkuh yang tersamarkan._____Namanya adalah Vassilia Auva. Dia merupakan gadis yatim piatu dengan kehidupan menyedihkan, yang menerima ajal di tangan keluarga asuhnya sendiri demi harta warisan yang ternyata Auva miliki.Auva dijebak. Dia pandai bertarung, tapi di hari-hari terakhir hidupnya, orang tua angkatnya dengan sengaja membuatnya kehilangan lidah, penglihatan, dan juga kemampuan berjalan. Dengan menggunakan orang yang dia cintai, mereka membuat Auva tersiksa tapi tidak memiliki pilihan selain bertahan.Mereka menggunakan kekasihnya sebagai alat untuk mengancamnya. Auva mencoba melawan, namun mereka justru membunuh kekasihnya itu. Hingga akhirnya, Auva dibunuh ketika dia sedang memeluk kekasihnya untuk yang terakhir kali.Rasanya menyakitkan.Panas.Perih.Sensasi ketika pisau daging menembus jantungnya itu tidak terlukiskan, terlalu menyakitkan!Tubuhnya perlahan-lahan mendingin.Auva berusaha meraih napas ketika sakit di dadanya terasa semakin tak tertahankan.Dia mengira, bahwa hidupnya akan berakhir disini. Mati dalam kondisi menaruh dendam pada keluarga angkatnya. Kehilangan hidup sambil diliputi penyesalan. Meregang nyawa, dalam pelukan kekasihnya yang telah tiada.Di saat-saat terakhirnya, setetes air mata jatuh. Auva berharap, bahwa ada kesempatan kedua untuknya memperbaiki semua ini.....Tapi dia tidak pernah menduga bahwa harapan terakhirnya akan terkabul.Dia masih hidup. Dia masih bisa menarik dan menghembuskan napas, dan pisau daging itu tidak lagi menembus jantungnya dengan kejam.Meski kondisinya sekarang juga tidak bisa dibilang baik-baik saja, Auva tetap bersyukur karena dia diberi kesempatan kedua. Dia masih hidup, walau dengan tubuh lain. Saat ini, ada ingatan dari pemilik tubuh asli yang membanjiri kepalanya, seolah-olah telah menyerahkan segala kendali pada Auva.Sayangnya, ini bukan dunianya. Auva hidup di zaman modern, sedangkan ini lebih seperti kehidupan kuno di masa lampau. Semua orang mengenakan pakaian aneh yang tampak ketinggalan zaman sekali.Lebih tepatnya, ini adalah sebuah novel bergenre romansa tragis yang Auva baca pada hari-hari terakhir hidupnya.Penulisnya sepertinya menyukai plot darah anjing. Tak hanya membuat nasib sang antagonis sangat buruk hingga kematiannya, penulis juga tidak membuat tokoh utama tidak bersatu. Alurnya sangat tidak masuk akal. Setelah kematian antagonis, pemeran utama pria justru diliputi penyesalan karena telah membunuhnya. Dia baru menyadari bahwa harinya sejak lama sudah dimiliki istrinya itu.Dan sialnya, saat ini Auva sedang menempati tubuh antagonis. Tentu saja, pemeran utama pria adalah Putra Mahkota, yang merupakan suaminya. Kelak, pria itu akan membuat hidupnya tersiksa dengan melemparkan tubuh sang istri ke kandang anjing pemburu yang kelaparan. Setelah anjing itu berhasil mengoyak daging istrinya, Putra Mahkota mengambilnya, lalu membunuhnya didepan semua orang.Antagonis memiliki keangkuhan dan kebanggaan diri yang tak terkendali. Karena itu, hukuman mati di hadapan semua orang tentu saja menjadi tamparan besar baginya.Melihat wanita tua yang seharusnya menjadi ibu mertua dari pemilik asli tubuh ini sedang menatapnya terkejut, bibir Auva melengkungkan senyum dingin. Seluruh badannya seolah menjerit ngilu ketika ia memaksakan kekuatan untuk berdiri."Ibu mertua... apakah kamu terkejut?" tanyanya, dengan nada angkuh yang tersamarkan.Permaisuri menggertakkan gigi, tampak marah. Walau begitu, ada jejak kebingungan di matanya, yang terpancar dengan jelas.Bagaimana bisa Clarence berdiri tegak seperti itu alih-alih sekarat karena rasa sakit luar biasa?"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Permaisuri dengan suara rendah yang terdengar menakutkan.Tapi Auva sama sekali tidak terpengaruh dengan nada menakutkan itu. Di kehidupan sebelumnya, dia sudah menemui banyak orang yang lebih mengerikan, sehingga perkara seperti ini terasa sepele."Menurut Yang Mulia, apa yang saya lakukan?" tanya Auva, dengan seringai tipis di bibirnya.Walau baru berada di tubuh ini, Auva bisa memilah-milah beberapa ingatan yang berguna mengenai Permaisuri. Dia adalah sosok berkuasa yang hanya baik pada pemilik tubuh asli di permukaan. Sedangkan di baliknya, Permaisuri amat membencinya. Dia selalu menghukum Clarence Divn Rivas -pemilik tubuh asli- atas kesalahan yang tidak dia buat.Permaisuri, juga beberapa kali sengaja menciptakan suatu kekacauan besar dan membingkai Clarence sebagai dalangnya. Hal tersebut tak hanya melukai Clarence dan menodai reputasinya, tapi juga menyebabkan Leopold Dale Wilburn, Sang Putra Mahkota yang menjadi suaminya, membencinya lebih dari apapun di dunia ini.Permaisuri menganggap pemilik tubuh asli sebagai duri di matanya. Karena itu, sebagai pengguna baru tubuh ini, Auva tidak akan menganggap enteng wanita didepannya ini.Segera, Permaisuri meledak karena jawabannya. "Clarence, jangan lancang""Ah?" Auva tertawa sinis, sementara tangannya yang berada di sisi tubuh mengepal karena kebencian. "Aku sesungguhnya tidak berniat lancang, Yang Mulia. Aku hanya ingin mengingatkan Yang Mulia, bahwa besok adalah waktunya aku dan Putra Mahkota tinggal di istana Malam. Tentu saja, anda tidak mungkin mau Putra Mahkota menemukan bekas luka di tubuhku, bukan?"Wanita ini berubah, bukan? Kenapa Permaisuri merasa bahwa dia sedang berbicara dengan orang lain alih-alih menantunya yang bodoh?Permaisuri menatapnya seolah-olah Auva baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. Dia mengingatkan dengan lembut, "Putri, sebagai ibu mertuamu, aku menyarankan kau jangan tidak tahu malu seperti itu." Putranya tidak mungkin mau tidur bersama wanita buruk ini!Secara tidak terduga, Auva tampak tertegun, dan kelopak matanya menurun. Dia menggumam dengan penuh kesedihan. "Yang Mulia benar. Sampai saat ini, aku masih berharap Putra Mahkota mau melihatku untuk sebentar saja."Ada unsur kepuasan dalam diri Permaisuri ketika mendengar keputusasaan dalam nada suara menantunya ketika mengatakan itu.Karena dia belum lama berada di dunia ini, maka Auva tidak ingin gegabah. Dia belum mencerna ingatan baru. Auva ingin mengenal dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum memutuskan mengambil langkah pada Permaisuri.Melipat bibirnya ke dalam, Auva menunjukkan ekspresi penyesalan yang sungguh-sungguh. Dia melepaskan pelayan itu, membuang pedang, lalu membungkuk sedikit guna meyakinkan Permaisuri. "Namun, setelah dipikirkan lagi, sepertinya aku memang lancang, Yang Mulia. Karena itu, dengan kebaikan hati Yang Mulia, aku memohon ampunan pada anda, Yang Mulia."Merupakan hal bagus bagi Permaisuri karena ketaatan itu."Karena kamu mengerti, maka aku akan menerima permintaan maafmu." kata Permaisuri dengan berwibawa. Kemudian, dia memerintahkan pada pelayan, "Bawa Sang Putri ke istananya dan rawat lukanya!""Baik, Yang Mulia."Wajah Clarence tanpa ekspresi ketika memandangi punggung Permaisuri yang perlahan-lahan menjauh.Nyatanya, antagonis dalam novel ini hanyalah judul. Clarence Divn Rivas merupakan karakter menyedihkan yang dibenci banyak orang. Dia hancur luar dalam. Hanya rasa cinta pada suaminya yang membuatnya bertahan.Hingga pada suatu hari, ketika mengetahui bahwa suaminya menemukan cinta pertama dan berniat mencampakkannya, Clarence tidak terima. Dengan kekuatan dari keluarganya, dia berkali-kali menyakiti Dissy Lein Rosewood, hanya untuk membuatnya jera dan menjauh.Tapi, siapa yang akan menduga bahwa itu justru mengantarkan kematian pada dirinya?"Saya ingin mengajukan kesepakatan yang menguntungkan Yang Mulia." kata Clarence setelah tautan bibir mereka terlepas. Suaranya sedang, tidak lirih atau pun keras sehingga tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka selain mereka berdua.Pangeran mengusap bibir istrinya dengan pelan, sebelum menjauhkan diri. "Dan apa itu? Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada dingin yang sama dengan tadi.Clarence, yang tercenung karena kelembutan tangan Pangeran ketika mengusap bibirnya, baru bisa menjawab setelah beberapa detik terlewati. "Sebelum itu, aku memiliki beberapa pertanyaan untuk Yang Mulia. Tapi, nanti. Aku tidak bisa mengatakannya di tempat ini karena mungkin akan menodai citra Yang Mulia." "Yah, katakan saja sekarang. Istana baru, wilayah, tambang batu mulia, nyawa seseorang, pesta terbesar di benua. Dari semua itu, apa yang kau inginkan?" "Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Clarence, tersinggung. Semua tawaran itu memang terdengar menggiurkan. Dia bisa melakukan apapun d
Pasangan dengan pangkat tertinggi di seluruh penjuru kerajaan Thaas Rachem itu bertahan tidak lama di pesta. Setelah mengucapkan selamat pada Pangeran dan istrinya, serta memberikan salam hangat pada seluruh bangsawan Querencia--ibukota Thaas Rachem--yang hadir, mereka pergi dengan terhormat. Para bangsawan, yang semula bisa menghembuskan napas lega karena keramahan dan senyum hangat sang Ratu kembali harus menegangkan otot wajah menghadapi kedinginan yang membekukan milik Pangeran.Sudut bibir Clarence berkedut. Dia merasa kasihan pada mereka, tapi tidak banyak. Hanya sedikit, karena Clarence sadar diri kalau seharusnya dia lah yang paling dikasihani saat ini.Seumur hidupnya, Clarence harus melihat dan berinteraksi dengan pria berkepribadian seperti tiran ini."Apakah tidak apa-apa bila saya tidak berdansa dengan para bangsawan, Yang Mulia?" Clarence memberanikan diri bertanya setelah dari atas kursi pengantin, berkali-kali matanya mendapati para bangsawan pria berkali-kali mencuri p
"P-putri Wilburn." salah satu wanita muda yang memakai gaun berwarna putih dengan bentuk bunga primrose menyebut nama lengkap Clarence dengan gugup."P-putri, salam."Niat awal Clarence mendatangi para wanita bangsawan itu adalah untuk menemui Dissy Lein Rosewood, seorang wanita muda bangsawan yang menurut Pangeran adalah musuh bebuyutannya. Clarence ingin berbicara secara langsung dengan musuh Clarence asli, untuk mengetahui siapa yang paling jahat. Pemilik tubuh ini, atau Dissy?Clarence juga perlu mengenal 'siapa' itu Clarence Wilburn yang asli. Karena bertanya pada Pangeran tidak memberikannya jawaban yang diinginkan, Clarence memutuskan untuk memulai langkah pertamanya dengan Dissy Lein Rosewood.Namun sayang, ketika Clarence menghampiri mereka semua, ekspresi ketakutan——yang semula Clarence pikir hanya ditujukan pada Pangeran——kembali menghiasi ekspresi mereka. Wajah yang dibubuhi oleh bedak tebal itu makin terlihat memucat. Ini membuat Clarence penasaran. Dia tertarik mencari ta
Meminta sesuatu pada takdir kematiannya adalah pilihan yang buruk.Dan sayangnya, Clarence baru menyadari hal itu setelah ucapannya keluar. Dia terdiam, dan membeku. Diam-diam menyalahkan diri sendiri karena telah bertindak impulsif tadi.Tidak ada tanggapan dalam waktu yang lama.Keheningan yang menyesakkan terjadi selama beberapa saat, dan baru menghilang saat Leopold tertawa mengerikan.Pundak Clarence seketika menegang. Terutama, saat tanpa sengaja dia menatap mata biru Leopold yang kini bak binatang buas, menatapnya dengan tajam."Yang Mulia——" Clarence menggigit lidahnya. Kehilangan kata-kata. Dimana keberaniannya yang sangat membeludak tadi? "S-saya..."Tiba-tiba saja, Leopold berdiri, membuat kalimat Clarence terhenti dengan paksa. Dada bidangnya kini berada tepat didepan matanya. Ketika Clarence mengangkat kepalanya sedikit, dia langsung berhadapan dengan dagu Leopold, yang... seksi.Clarence meneguk saliva dengan kasar. 'Bukan waktunya untuk memikirkan hal itu, Cla' dia mene
Clarence mengulum bibirnya ke dalam. Meminta perceraian secara langsung gagal. Jelas saja, itu adalah rencana yang buruk. Tidak mungkin ada orang yang akan menyetujui perceraian di hari pernikahannya.Jadi, Clarence harus beralih pada rencana lain. Namun apa itu?Dia tidak tahu. Dia masih akan memikirkannya. Yang jelas, saat ini, ada hal paling penting yang harus dia lakukan.Dan apa itu?Clarence mengembangkan senyum secerah matahari sembari melangkah dengan anggun menuju kamar milik pangeran Leopold. Pesta pernikahan sebetulnya belum selesai, masih ada beberapa rangkaian acara lagi. Namun, karena tipu daya yang ia lakukan, ia akhirnya berhasil menyelinap keluar dari aula tanpa diketahui oleh siapapun, bahkan pangeran Leopold sendiri.Yah, dia tidak bisa membayangkan apa yang ada di kepala orang-orang nanti saat menyadari, bahwa tokoh utama dalam acara ini malah menghilang. Pangeran Leopold mungkin akan marah, tapi Clarence berusaha untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ha
"Apa ini?" Clarence mengambil pigura foto dengan latar belakang kebun. Keningnya mengerut. Ini adalah pertama kalinya dia melihat gambar tersebut, tapi rasanya sangat familiar. Deja vu, yang cukup berat.Seakan-akan... itu adalah benda yang pernah ia lihat sebelumnya.Dibelakangnya, Erun dalam balutan baju handuk tersenyum. Dia mendekat, dan memeluk pinggang Clarence erat dari arah belakang. "Itu adalah foto yang kau ambil lima bulan yang lalu, Cla.""Mm-hm." Clarence bergumam tidak jelas. Dia memegang tangan Erun, lantas menjauh dari rengkuhan pria itu. "Aku gerah." Kata Clarence beralasan. Padahal, kenyataannya adalah dia merasa was-was. Ini adalah novel dengan latar kerajaan, dan tentu saja etiket dan adab sangat dijunjung tinggi. Makanya, Clarence ingin meminimalisir kemungkinan ketahuan.Pokoknya, tidak boleh ada masalah sebelum dia bertindak untuk merubah alur.Ada perubahan dalam ekspresi Erun——dia kecewa. Tapi, pada akhirnya, Erun tidak memaksa Clarence. Dia menuruti apapun yan
Dia tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Ingatannya berhenti pada saat dirinya menaiki kereta, dan kemudian karena kenyamanan fasilitas, dia mungkin tertidur.Namun...Clarence membeku. Dia mengangkat tangannya, yang terdapat memar di pergelangan, lantas beralih ke jendela. Kaca besar itu menampilkan pemandangan malam. Langit tanpa bintang dan bulan, tertutup malam hitam yang membuat segalanya makin gelap.Ya. Gelap. Begitu Clarence terbangun, dia dalam keadaan berbaring di ranjang, di ruangan temaram. Tidak ada yang familiar disini, kecuali aroma wewangian yang mirip bunga melati.Siapa yang membawanya kesini?Pertanyaan itu akan dapat ia jawab apabila bisa melihat seisi ruangan dengan jelas. Namun sayangnya, Clarence bahkan tidak bisa bangun dari ranjang karena kedua kakinya dirantai. Dia sudah berusaha melepaskannya, tapi itu sia-sia. Bahkan sampai tangannya memar, borgol itu masih terpasang erat disana.Clarence mulai panik. Dia kemungkinan besar diculik. Mungkin oleh musuh A
Clarence menjadi sangat penurut hari ini. Itu lah yang menyebabkan Leopold merasa aneh. Ada perasaan gusar yang menyeruak di dalam hatinya, menyebabkannya bertanya-tanya. Bagaimana mungkin, seorang pemberontak seperti ini menjadi patuh tanpa sebab. Pernikahan ini memang hanya sebuah aliansi tanpa nama. Kerajaan ingin 'menggenggam' kekuatan Duke August, memastikan bahwa tidak akan ada pemberontakan di kemudian hari. Raja meminta, dan dia menyetujui tanpa syarat. Tentu saja, setelah sebelumnya menyelidiki tentang calon istrinya itu, dan mengetahui segalanya tentang dia. Tapi Leopold tidak menyangka, bahwa hanya dengan sedikit tekanan saja, Clarence bisa tunduk seperti ini. Matanya melihat wanita yang terengah-engah di bawahnya dengan sorot dingin. Pada awalnya, Leopold berpikir bahwa istrinya ini sedang merencanakan sesuatu yang bisa menodai nama baiknya. Namun... "Wanita yang diceraikan dengan tidak hormat oleh Pangeran setelah menjalani malam penyatuan, hanya akan berakhir dengan