Share

Yang Mulia, Ceraikan Aku!
Yang Mulia, Ceraikan Aku!
Penulis: Trah Rona

1. Become an Antagonist

Saat itu tengah malam, dan dalam gemerisik angin musim gugur, bulan sabit tergantung di langit yang mendung. Jeritan sedih dan sengsara keluar dari dalam rumah. Suara itu mengerikan dan amat memilukan, seperti berasal dari keputusasaan.

Semua yang mendengar ini merasa hampa di hati.

Di halaman istana, seorang wanita berusia lima belas tahun dibaringkan diatas besi panas. Tangan dan kakinya terpanggang dengan mengerikan. Pakaiannya compang-camping dengan beberapa sudut terbakar, dan tempat lainnya sobek karena bekas cambuk.

Ada dua pelayan yang memegangi lengannya yang setipis tongkat. Mereka mencengkeramnya acap kali wanita itu memberontak karena rasa sakit.

Rambut wanita itu acak-acakan dan wajahnya pucat pasi. Napasnya hanya terdengar samar. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat dingin, dan bersamaan dengan itu, darah mengalir bak hujan darah.

Tampilannya sepenuhnya mengerikan.

Namun, di hadapannya, seorang wanita tua dengan pakaian mulia masih duduk dengan anggun. Aura wibawa memancar darinya. Dia mengangkat alis dan menatap dengan santai. "Clarence, menantuku yang luar biasa, apakah kamu sudah mengakui apa kesalahanmu?" Jika dia tidak mengakuinya, maka wanita tua itu tidak keberatan menyiksanya dengan lebih keras.

Tidak ada jawaban. Clarence hanya menatap dengan sorot menyedihkan. Air mata membasahi mata hitamnya. Pandangannya seolah bertanya-tanya, mengapa wanita tua itu tega melakukan ini padanya.

Tawa wanita tua itu mengalun dengan lembut ketika dia membalas pandangan menantunya dengan sorot pengertian. "Jadi kamu masih belum mengerti juga?" tanyanya, dengan nada suara kejam yang sama sekali berlawanan dengan tatapan lembutnya.

"Baiklah, jika kamu memaksa, maka Ibu tidak akan bertindak lembut lagi."

Kemudian, dia memberi pandangan pada pelayan, dan tubuh Clarence dicambuk kembali dengan intensitas yang lebih kuat.

Segera, jerit kesakitan kembali mengudara.

Itu terjadi cukup lama, hingga wanita tua yang memiliki status sebagai Permaisuri itu merasa bosan. Dia berdiri dengan anggun, dan menatap menantunya lurus. "Cambukan itu baru akan berhenti setelah kamu mengatakannya. Jika tidak, kamu akan berakhir seperti yang lain, menantuku."

Jelas saja, pilihannya hanya dua; mengakui kesalahan yang tidak pernah dia perbuat atau mati.

Melihatnya mengatupkan rahang dan keras kepala hanya diam, Permaisuri mendesah. Dengan diiringi beberapa pelayan, dia pergi dari halaman istana dingin itu dan berniat kembali ke istananya sendiri.

Namun, baru beberapa langkah Permaisuri itu pergi, jeritan ketakutan dari beberapa pelayan terdengar.

"Ahh! Putri!!"

Langkah Permaisuri itu seketika terhenti. Air mukanya berubah menjadi kebingungan, seiring dengan gerak tubuhnya untuk berbalik.

Permaisuri semula berharap akan melihat beberapa pelayan yang jatuh karena kesalahannya sendiri. Tapi, siapa yang akan menduga bahwa menantunya, yang seharusnya sekarat atau bahkan mati, justru berdiri dengan tegak di sebelah panggangan?

Tak hanya itu, saat ini, tangan menantunya itu sedang mencekal seorang dayang, dan mengarahkan pedang tajam ke lehernya.

Pupil mata Permaisuri bergetar.

Sebelum dia dapat mengatakan apapun, menantunya itu tiba-tiba tersenyum. Tatapannya, yang kosong, menatap Permaisuri seolah-olah sedang melihat sampah yang tidak berarti.

"Ibu mertua... apakah kamu terkejut?" tanyanya, dengan nada angkuh yang tersamarkan.

_____

Namanya adalah Vassilia Auva. Dia merupakan gadis yatim piatu dengan kehidupan menyedihkan, yang menerima ajal di tangan keluarga asuhnya sendiri demi harta warisan yang ternyata Auva miliki.

Auva dijebak. Dia pandai bertarung, tapi di hari-hari terakhir hidupnya, orang tua angkatnya dengan sengaja membuatnya kehilangan lidah, penglihatan, dan juga kemampuan berjalan. Dengan menggunakan orang yang dia cintai, mereka membuat Auva tersiksa tapi tidak memiliki pilihan selain bertahan.

Mereka menggunakan kekasihnya sebagai alat untuk mengancamnya. Auva mencoba melawan, namun mereka justru membunuh kekasihnya itu. Hingga akhirnya, Auva dibunuh ketika dia sedang memeluk kekasihnya untuk yang terakhir kali.

Rasanya menyakitkan.

Panas.

Perih.

Sensasi ketika pisau daging menembus jantungnya itu tidak terlukiskan, terlalu menyakitkan!

Tubuhnya perlahan-lahan mendingin.

Auva berusaha meraih napas ketika sakit di dadanya terasa semakin tak tertahankan.

Dia mengira, bahwa hidupnya akan berakhir disini. Mati dalam kondisi menaruh dendam pada keluarga angkatnya. Kehilangan hidup sambil diliputi penyesalan. Meregang nyawa, dalam pelukan kekasihnya yang telah tiada.

Di saat-saat terakhirnya, setetes air mata jatuh. Auva berharap, bahwa ada kesempatan kedua untuknya memperbaiki semua ini....

.

Tapi dia tidak pernah menduga bahwa harapan terakhirnya akan terkabul.

Dia masih hidup. Dia masih bisa menarik dan menghembuskan napas, dan pisau daging itu tidak lagi menembus jantungnya dengan kejam.

Meski kondisinya sekarang juga tidak bisa dibilang baik-baik saja, Auva tetap bersyukur karena dia diberi kesempatan kedua. Dia masih hidup, walau dengan tubuh lain. Saat ini, ada ingatan dari pemilik tubuh asli yang membanjiri kepalanya, seolah-olah telah menyerahkan segala kendali pada Auva.

Sayangnya, ini bukan dunianya. Auva hidup di zaman modern, sedangkan ini lebih seperti kehidupan kuno di masa lampau. Semua orang mengenakan pakaian aneh yang tampak ketinggalan zaman sekali.

Lebih tepatnya, ini adalah sebuah novel bergenre romansa tragis yang Auva baca pada hari-hari terakhir hidupnya.

Penulisnya sepertinya menyukai plot darah anjing. Tak hanya membuat nasib sang antagonis sangat buruk hingga kematiannya, penulis juga tidak membuat tokoh utama tidak bersatu. Alurnya sangat tidak masuk akal. Setelah kematian antagonis, pemeran utama pria justru diliputi penyesalan karena telah membunuhnya. Dia baru menyadari bahwa harinya sejak lama sudah dimiliki istrinya itu.

Dan sialnya, saat ini Auva sedang menempati tubuh antagonis. Tentu saja, pemeran utama pria adalah Putra Mahkota, yang merupakan suaminya. Kelak, pria itu akan membuat hidupnya tersiksa dengan melemparkan tubuh sang istri ke kandang anjing pemburu yang kelaparan. Setelah anjing itu berhasil mengoyak daging istrinya, Putra Mahkota mengambilnya, lalu membunuhnya didepan semua orang.

Antagonis memiliki keangkuhan dan kebanggaan diri yang tak terkendali. Karena itu, hukuman mati di hadapan semua orang tentu saja menjadi tamparan besar baginya.

Melihat wanita tua yang seharusnya menjadi ibu mertua dari pemilik asli tubuh ini sedang menatapnya terkejut, bibir Auva melengkungkan senyum dingin. Seluruh badannya seolah menjerit ngilu ketika ia memaksakan kekuatan untuk berdiri.

"Ibu mertua... apakah kamu terkejut?" tanyanya, dengan nada angkuh yang tersamarkan.

Permaisuri menggertakkan gigi, tampak marah. Walau begitu, ada jejak kebingungan di matanya, yang terpancar dengan jelas.

Bagaimana bisa Clarence berdiri tegak seperti itu alih-alih sekarat karena rasa sakit luar biasa?

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Permaisuri dengan suara rendah yang terdengar menakutkan.

Tapi Auva sama sekali tidak terpengaruh dengan nada menakutkan itu. Di kehidupan sebelumnya, dia sudah menemui banyak orang yang lebih mengerikan, sehingga perkara seperti ini terasa sepele.

"Menurut Yang Mulia, apa yang saya lakukan?" tanya Auva, dengan seringai tipis di bibirnya.

Walau baru berada di tubuh ini, Auva bisa memilah-milah beberapa ingatan yang berguna mengenai Permaisuri. Dia adalah sosok berkuasa yang hanya baik pada pemilik tubuh asli di permukaan. Sedangkan di baliknya, Permaisuri amat membencinya. Dia selalu menghukum Clarence Divn Rivas -pemilik tubuh asli- atas kesalahan yang tidak dia buat.

Permaisuri, juga beberapa kali sengaja menciptakan suatu kekacauan besar dan membingkai Clarence sebagai dalangnya. Hal tersebut tak hanya melukai Clarence dan menodai reputasinya, tapi juga menyebabkan Leopold Dale Wilburn, Sang Putra Mahkota yang menjadi suaminya, membencinya lebih dari apapun di dunia ini.

Permaisuri menganggap pemilik tubuh asli sebagai duri di matanya. Karena itu, sebagai pengguna baru tubuh ini, Auva tidak akan menganggap enteng wanita didepannya ini.

Segera, Permaisuri meledak karena jawabannya. "Clarence, jangan lancang"

"Ah?" Auva tertawa sinis, sementara tangannya yang berada di sisi tubuh mengepal karena kebencian. "Aku sesungguhnya tidak berniat lancang, Yang Mulia. Aku hanya ingin mengingatkan Yang Mulia, bahwa besok adalah waktunya aku dan Putra Mahkota tinggal di istana Malam. Tentu saja, anda tidak mungkin mau Putra Mahkota menemukan bekas luka di tubuhku, bukan?"

Wanita ini berubah, bukan? Kenapa Permaisuri merasa bahwa dia sedang berbicara dengan orang lain alih-alih menantunya yang bodoh?

Permaisuri menatapnya seolah-olah Auva baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. Dia mengingatkan dengan lembut, "Putri, sebagai ibu mertuamu, aku menyarankan kau jangan tidak tahu malu seperti itu." Putranya tidak mungkin mau tidur bersama wanita buruk ini!

Secara tidak terduga, Auva tampak tertegun, dan kelopak matanya menurun. Dia menggumam dengan penuh kesedihan. "Yang Mulia benar. Sampai saat ini, aku masih berharap Putra Mahkota mau melihatku untuk sebentar saja."

Ada unsur kepuasan dalam diri Permaisuri ketika mendengar keputusasaan dalam nada suara menantunya ketika mengatakan itu.

Karena dia belum lama berada di dunia ini, maka Auva tidak ingin gegabah. Dia belum mencerna ingatan baru. Auva ingin mengenal dan menilai situasi terlebih dahulu sebelum memutuskan mengambil langkah pada Permaisuri.

Melipat bibirnya ke dalam, Auva menunjukkan ekspresi penyesalan yang sungguh-sungguh. Dia melepaskan pelayan itu, membuang pedang, lalu membungkuk sedikit guna meyakinkan Permaisuri. "Namun, setelah dipikirkan lagi, sepertinya aku memang lancang, Yang Mulia. Karena itu, dengan kebaikan hati Yang Mulia, aku memohon ampunan pada anda, Yang Mulia."

Merupakan hal bagus bagi Permaisuri karena ketaatan itu.

"Karena kamu mengerti, maka aku akan menerima permintaan maafmu." kata Permaisuri dengan berwibawa. Kemudian, dia memerintahkan pada pelayan, "Bawa Sang Putri ke istananya dan rawat lukanya!"

"Baik, Yang Mulia."

Wajah Clarence tanpa ekspresi ketika memandangi punggung Permaisuri yang perlahan-lahan menjauh.

Nyatanya, antagonis dalam novel ini hanyalah judul. Clarence Divn Rivas merupakan karakter menyedihkan yang dibenci banyak orang. Dia hancur luar dalam. Hanya rasa cinta pada suaminya yang membuatnya bertahan.

Hingga pada suatu hari, ketika mengetahui bahwa suaminya menemukan cinta pertama dan berniat mencampakkannya, Clarence tidak terima. Dengan kekuatan dari keluarganya, dia berkali-kali menyakiti Dissy Lein Rosewood, hanya untuk membuatnya jera dan menjauh.

Tapi, siapa yang akan menduga bahwa itu justru mengantarkan kematian pada dirinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status