Share

5. Risau.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-10-21 21:43:40

Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.

Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.

Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.

Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”

Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.

Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.

“Kita tetap jualan,” jawabnya tajam. “Tapi yang menjaga di kios hari ini Ayah dan Bang Zulham. Aku dan Ibu libur... demi menyambut kedatangan tamu kehormatan. Anak orang kaya yang ingin merasakan hidup di kandang ayam.” Ia menyeringai sinis.

Nawang tercekat. Anisa menyindirnya.

Anisa menguap lebar, lalu menarik selimut setengah badan. Sebelum menutup matanya lagi, ia menambahkan dengan nada acuh, “Satu kamar ini kita bagi dua. Kasurnya cuma dua. Mbak jangan mengangguku, dan jangan banyak mengeluh. Oh ya, jangan sok manja juga. Di sini bukan rumah mewah Mbak yang dulu.”

Setelah itu, Anisa membalikkan badan dan tertidur lagi tanpa peduli pada Nawang yang masih berdiri kikuk di dekat koper dan tasnya.

Nawang menghela napas panjang. Dirinya yang sudah berusia dua puluh tahun disindir-sindir oleh anak SMP. Dadanya sesak, tapi ia tahu ia tidak boleh baper. Kehadirannya diterima di rumah ini saja, ia harusnya sudah bersyukur.

Nawang menunduk dan mulai mengeluarkan barang-barangnya, menatanya rapi di sudut yang tersisa. Selesai menata barang-barangnya, Nawang memandang seantero kamar. Pandangannya tertuju pada lemari kayu yang pintunya sudah hilang satu. Tampak pakaian, sprei, handuk, dan lainnya terjuntai keluar dari raknya. Sebagian seperti dijejalkan begitu saja tanpa dilipat. Demi membunuh waktu karena Bi Laila keluar untuk mengutip uang penjualan ayam, Nawang mengeluarkan semua kain-kain itu. Ia kemudian duduk di lantai dan mulai melipatnya tanpa suara, satu demi satu.

Sekitar setengah jam kemudian pekerjaannya sudah selesai, dan Anisa masih saja tertidur pulas. Bingung harus mengerjakan apa lagi, Nawang membuka tas ranselnya. Ia pun mengeluarkan laptop. Lebih baik ia mengerjakan tugas kuliahnya sebelum nantinya ia akan disibukkan dengan urusan pasar. Ia harus berguna di rumah ini.

Tanpa terasa satu jam berlalu. Bi Laila sudah kembali, dan Anisa juga sudah bangun. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.

“Ada yang bisa saya bantu, Bi?” Nawang menghampiri bibinya yang tengah menghitung uang hasil kutipan dan mencatatnya dalam sebuah buku.

“Tidak usah. Kamu selesaikan saja tugas kuliahmu.” Bi Laila mengibaskan tangannya.

Nawang pun kembali ke kamar, melewati Anisa yang duduk di kursi plastik dengan kaki selonjor dan wajah cemberut. Anisa tadi meminta uang pada ibunya untuk membeli ponsel baru karena ponsel lamanya layarnya sudah retak. Namun permintaannya ditolak oleh Bi Laila dengan alasan belum memiliki uang. Anisa jadi uring-uringan.

Tak lama, terdengar suara motor berhenti di depan rumah, lalu pintu terbuka. Nawang mengintip melalui pintu kamar yang terbuka separuh. Seorang remaja tanggung muncul dengan baju yang sudah setengah basah oleh keringat, membawa helm di satu tangan dan kantong plastik berisi sisa potongan ayam di tangan lain. Dugaan Nawang, anak laki-laki ini adalah Zulham, putra sulung Bi Laila.

“Bu! Ini ayam-ayam pesanan Pak Mahmud mie ayam dan Bu Parti bakso. Nanti akan aku antar ke kios mereka sekalian jalan ke sekolah,” ujarnya sambil menaruh plastik di meja.

Laila menoleh sekilas. “Oh, ya sudah. Kamu mandi dulu, makan siang, terus ke sekolah.”

Zulham mengangguk, bergegas ke kamar mandi. Suara guyuran air terdengar cepat—Zulham mandi kilat. Lima menit kemudian ia sudah muncul lagi, mengganti baju dengan seragam abu-abu putih yang agak kusut, rambut masih basah. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit, lalu segera makan siang dengan cepat dan lahap.

“Bu, aku berangkat pukul dua belas nanti. Tapi sebelumnya, tolong suruh Anisa menjaga kios. Ayah ngomel-ngomel terus karena belum bisa makan siang. Kios tidak ada yang menjaga katanya.”

Anisa yang sejak tadi duduk malas langsung menegakkan badan, memanyunkan bibir. “Aku capek, Bang! Semalam juga aku yang bantu memotong ayam di pasar. Sekarang aku mau istirahat. Lagian katanya hari ini aku libur.”

“Kamu itu libur sekolah, bukan libur berjualan. Kalau mau lomba capek, yang paling capek itu aku,” sahut Zulham ketus.

Anisa melotot. “Ya sudah, suruh aja si tamu baru itu ke pasar!” Jarinya menuding ke arah kamar, tempat Nawang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. “Katanya mau belajar hidup susah, ya kan? Ya mulai saja dari membantu Ayah jualan!”

Nawang yang mendengar dari dalam kamar langsung tertegun. Jemarinya yang tadi mengetik lincah di atas keyboard terhenti. Ia menahan diri untuk tidak keluar.

Namun Laila segera menegur, suaranya tegas. “Cukup, Nisa! Nawang baru datang, belum tahu apa-apa. Besok dia ikut Ibu ke pasar, biar belajar dulu. Sekarang kamu yang menggantikan Bang Zulham, titik.”

“Ah, Ibu!” protes Anisa, tapi tatapan ibunya membuatnya urung membantah lagi. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi dengan wajah masam. “Ya sudah, aku pergi. Tapi ingat janji Ibu, bawa tamu besar itu ke kios besok pagi,” katanya sebelum berlalu.

Laila hanya menggeleng, separuh kesal separuh lelah. Anak perempuannya itu memang mempunyai lidah yang tajam.

Begitu Anisa pergi dengan langkah menghentak, Zulham yang sudah selesai makan tetap duduk di kursi dan melirik sang ibu yang masih sibuk di dapur. Ia lalu berkata pelan, “Bu, Ayah kan belum setuju. Kenapa Ibu sudah membawanya ke sini?”

Laila yang masih berdiri di dapur berhenti mencuci tangan. Suaranya pasrah saat menjawab, “Mau bagaimana lagi, Zul. Nawang itu tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu.”

Zulham menatap ibunya lama, lalu memberi peringatan. “Tapi Ibu tahu sendiri, Ayah keras kepala. Kalau tahu Ibu membawa tanpa bilang dulu, pasti nanti ribut lagi.”

Laila menatap ke belakang anaknya, lalu menghela napas getir. "Ayahmu itu memang selalu meributkan apa pun. Satu cuplikan lagi tidak akan jadi masalah. Asal kamu tahu, rumah ini bukan hanya diwariskan pada Ibu, tapi juga pada adik Ibu, Laily—ibunya Nawang. Ibu akan Jahat kalau membiarkan anak yatim piatu itu terlunta-lunta di jalan padahal ia masih punya hak di rumah ini."

Keheningan menggantung beberapa detik. Hanya suara tik-tok jam dinding yang terdengar.

Akhirnya Zulham menghela napas panjang, nada suaranya lembut meski tetap hangat. “Asal Ibu kuat saja mendengar ocehan Ayah nanti.”

“Ya terpaksa dikuat-kuatanlah, Zul.Ibu tidak punya pilihan,” ujar Laila pasrah sambil mengeringkan tangannya dengan kain lap.

Zulham tidak membantah lagi. Ia berdiri, merapikan tasnya. “Ya sudah. ​​Saya berangkat, Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan,” jawab Laila, suaranya sedikit lembut.

Setelah pintu menutup dan suara motor menjauh, Nawang keluar perlahan dari kamarnya. Wajahnya canggung, tapi matanya menatap Bi Laila penuh rasa bersalah.

“Maaf, Bi... saya tidak tahu kalau suami Bibi tidak setuju saya di sini,” ucapnya pelan.

Laila menoleh dan tersenyum tipis. "Tidak usah kamu berpikir. Di rumah ini, kamu juga keluarga. Asal kamu mau saling membantu di antara kita, semua akan baik-baik saja."

Nawang mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdebar.

Di luar, matahari semakin terik. Dan di dalam rumah kecil itu, gadis muda itu tahu—badai yang sebenarnya mungkin baru akan dimulai malam nanti, ketika sang paman pulang. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Yang Tak Kunjung Padam   60. Luka dan Rahasia.

    Mereka memesan taksi online dan berangkat dari kampus. Di dalam mobil, Kenes terus mengoceh tentang film baru dan diskon makanan, berusaha mencairkan suasana. Nawang yang tadinya masih galau perlahan tertular semangat Kenes.Saat mendekati mall, mobil mulai melambat.“Jalannya ditutup, Mbak,” kata sopir taksi. “Ada pejabat lewat. Bisa muter, tapi agak jauh.”Kenes menoleh ke luar jendela. “Yah, padahal mall-nya udah kelihatan. Tinggal nyebrang aja, ya?”“Iya, Mbak,” jawab sang sopir.“Kami turun aja deh, Pak,” kata Kenes cepat. “Biar nggak kelamaan. Kami nyebrang dari sini aja.”Mereka turun di pinggir jalan. Mall sudah terlihat di seberang—tinggal menyeberang beberapa meter saja.Nawang mengikuti langkah Kenes yang setengah berlari, tak sabar ingin segera sampai. Sekonyong-konyong sebuah mobil melaju kencang tak terkendali ke arah Kenes.“Awas, Nes—!”Nawang menjerit keras.Dalam hitungan detik, tubuh Kenes terpental. Suara benturan keras membuat Nawang menjerit histeris.“Astagfirul

  • Yang Tak Kunjung Padam   59. Siapa Takut?

    Malam itu, Nawang hampir tidak memejamkan mata. Ia bolak-balik menatap langit-langit kamar; kata-kata Bi Laila berputar-putar di kepalanya.Nawang berbalik. Tatapannya membentur wajah Anisa yang sudah tertidur pulas. Ekspresi wajahnya murung. Nawang menghela napas panjang. Sebelum tidur tadi, Anisa marah padanya karena membiarkan ayahnya dihajar Hilal. Menurut Anisa, walau ayahnya salah, tidak perlu juga dipukuli hingga babak belur begitu. Ayahnya sudah tua. Bagaimana kalau tadi ayahnya sampai meninggal?Sedangkan Zulham, walau tidak mengatakan apa pun, air mukanya berbeda. Seperti Anisa, Zulham juga memendam kekesalan padanya. Cuma bibinya saja yang bersikap netral.Subuh menjelang, Nawang hanya tertidur sebentar. Saat bangun, tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berat.Di kampus, Nawang lebih banyak diam. Ia duduk di bangku kelas seperti biasa, mencatat seperlunya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Wajahnya pucat, matanya sayu.Kenes yang duduk di sebelahnya beberapa kali me

  • Yang Tak Kunjung Padam   58. Cinta Sendirian.

    Rumah kecil itu terasa lebih pengap dari biasanya. Bau antiseptik bercampur dengan aroma jahe rebus yang menguar dari dapur. Anisa sedang menyeka wajah ayahnya yang luka-luka dengan kapas yang sudah dibubuhi alkohol. Sementara Bi Laila menyeka darah kering di dekat alis dan sudut bibir suaminya. Paman Jalal menggerutu pelan, tak terima karena Hilal menghajarnya. Ia terus mengoceh ini dan itu.Nawang baru saja selesai membersihkan diri. Ia keluar dari kamar dengan rambut dibungkus handuk. Wajahnya tampak letih setelah semua peristiwa keributan di pasar.Satu jam kemudian, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ketegangan halus menggantung di udara. Anisa dan Zulham diminta Bi Laila masuk ke kamar masing-masing. Bi Laila ingin berbicara tanpa pihak lain.Bi Laila memulai lebih dulu. Suaranya datar namun tajam. Menuntut dua orang yang duduk di depannya memahami kata-katanya.“Bang Jalal, dengarkan aku baik-baik. Aku capek karena harus terus menerus mengulang kata-kata ini. Dan ini adalah pe

  • Yang Tak Kunjung Padam   57. Rusuh.

    Paman Jalal sempoyongan. Hidungnya berdarah, sudut bibirnya sobek. Namun Hilal belum berhenti. Rahangnya mengeras, matanya gelap seperti hewan buas yang marah."Bang Hilal! Berhenti!"Nawang memeluk lengan Hilal dari belakang, menarik sekuat tenaga.Hilal mengangkat tangan lagi, siap memukul, tetapi tubuhnya seketika kaku ketika Nawang menempelkan kepalanya di punggung Hilal sambil berteriak,"Abang! Tolong cukup... Saya takut!"Suara itu — gemetar menahan tangis — menembus kemarahan Hilal. Tangannya turun perlahan. Napasnya memburu seperti baru selesai berlari jauh. Ia memejamkan mata dan menahan diri.Beberapa pedagang yang belum pulang terdiam dan hanya berani menonton kebrutalan Hilal. Selama hampir enam bulan menjaga pasar, baru kali inilah mereka melihat Hilal marah besar. Beberapa pedagang lainnya menelepon Bi Laila dan Zulham karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tewasnya Pak Jalal di tangan Hilal—misalnya.Paman Jalal bangkit dengan goyah, memegangi rahangnya, w

  • Yang Tak Kunjung Padam   56. Baku Hantam.

    Nawang tidak menggubris kehadirannya. Namun ia juga tidak mengusir saat Pak Gatot mendekatinya. "Saya bantu tutup terpalnya ya, Nawang?" tawar Pak Gatot penuh harap. Nawang berhenti menggulung plastik, wajahnya tetap datar.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri," tolaknya tegas.Pak Gatot menelan ludah. Ia berdiri menatap Nawang yang bekerja dengan wajah lelah. Luka-luka di tubuh Nawang membuatnya makin merasa bersalah. Ia tidak bisa melindungi Nawang. "Mengenai rumah yang saya tawarkan kemarin dulu, bagaimana? Kamu sudah mempertimbangkannya?" tanya Pak Gatot sambil mengangkati kandang ayam dari bambu. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah nyaman tinggal di rumah Bibi. Ia tidak malu mengakui saya sebagai keponakannya dan memperlakukan saya dengan sangat baik. Bapak pulang saja. Saya tidak membutuhkan bantuan Bapak," ucap Nawang dingin. Kata-kata Nawang membuat Pak Gatot tertohok. Nawang terang-terangan menyindir sekaligus mengusirnya. "Kamu... tidak ingin menanyakan soal... ehm hubungan

  • Yang Tak Kunjung Padam   55. Indahnya Cinta.

    "Nama lengkap saya Hilal Ramadhan. Berusia 35 tahun, dengan pangkat AKBP. Kasat Intelkam Polres besar."Hilal mulai menceritakan kehidupan pribadinya kepada Nawang pada suatu sore di pasar. Saat ini Nawang berada di kios sendirian karena Bi Laila sedang sakit. Anisa yang tadi menemaninya sudah pulang lebih dulu untuk merawat ibunya.Ia menemui Nawang di kios ditemani Vonny. Akan janggal jika ia mendekati Nawang tanpa "pacarnya" di depan para pedagang. Saat ini Vonny duduk di sampingnya sambil memakai headset. Ini memang permintaannya. Tidak lucu kalau Vonny mendengar semua rayuan gombalnya pada Nawang."Maaf ya, Bang. Bukannya saya sok pintar… tapi sepengetahuan saya, usia 35 tahun itu ketinggian untuk pangkat AKBP. AKBP juga seharusnya sudah tidak turun ke lapangan kalau menyamar," sela Nawang pelan. Ia teringat cerita Virni bahwa pamannya yang berpangkat AKBP sudah berusia 48 tahun dan hanya duduk di kantor. Paman Virni sudah menjadi Kapolres. "Bisa saja, Nawang. Kalau…"Hilal meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status