Mag-log inNawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.
Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.
Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”
Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.
Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.
“Kita tetap jualan,” jawabnya tajam. “Tapi yang menjaga di kios hari ini Ayah dan Bang Zulham. Aku dan Ibu libur... demi menyambut kedatangan tamu kehormatan. Anak orang kaya yang ingin merasakan hidup di kandang ayam.” Ia menyeringai sinis.
Nawang tercekat. Anisa menyindirnya.
Anisa menguap lebar, lalu menarik selimut setengah badan. Sebelum menutup matanya lagi, ia menambahkan dengan nada acuh, “Satu kamar ini kita bagi dua. Kasurnya cuma dua. Mbak jangan mengangguku, dan jangan banyak mengeluh. Oh ya, jangan sok manja juga. Di sini bukan rumah mewah Mbak yang dulu.”
Setelah itu, Anisa membalikkan badan dan tertidur lagi tanpa peduli pada Nawang yang masih berdiri kikuk di dekat koper dan tasnya.
Nawang menghela napas panjang. Dirinya yang sudah berusia dua puluh tahun disindir-sindir oleh anak SMP. Dadanya sesak, tapi ia tahu ia tidak boleh baper. Kehadirannya diterima di rumah ini saja, ia harusnya sudah bersyukur.
Nawang menunduk dan mulai mengeluarkan barang-barangnya, menatanya rapi di sudut yang tersisa. Selesai menata barang-barangnya, Nawang memandang seantero kamar. Pandangannya tertuju pada lemari kayu yang pintunya sudah hilang satu. Tampak pakaian, sprei, handuk, dan lainnya terjuntai keluar dari raknya. Sebagian seperti dijejalkan begitu saja tanpa dilipat. Demi membunuh waktu karena Bi Laila keluar untuk mengutip uang penjualan ayam, Nawang mengeluarkan semua kain-kain itu. Ia kemudian duduk di lantai dan mulai melipatnya tanpa suara, satu demi satu.
Sekitar setengah jam kemudian pekerjaannya sudah selesai, dan Anisa masih saja tertidur pulas. Bingung harus mengerjakan apa lagi, Nawang membuka tas ranselnya. Ia pun mengeluarkan laptop. Lebih baik ia mengerjakan tugas kuliahnya sebelum nantinya ia akan disibukkan dengan urusan pasar. Ia harus berguna di rumah ini.
Tanpa terasa satu jam berlalu. Bi Laila sudah kembali, dan Anisa juga sudah bangun. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.
“Ada yang bisa saya bantu, Bi?” Nawang menghampiri bibinya yang tengah menghitung uang hasil kutipan dan mencatatnya dalam sebuah buku.
“Tidak usah. Kamu selesaikan saja tugas kuliahmu.” Bi Laila mengibaskan tangannya.
Nawang pun kembali ke kamar, melewati Anisa yang duduk di kursi plastik dengan kaki selonjor dan wajah cemberut. Anisa tadi meminta uang pada ibunya untuk membeli ponsel baru karena ponsel lamanya layarnya sudah retak. Namun permintaannya ditolak oleh Bi Laila dengan alasan belum memiliki uang. Anisa jadi uring-uringan.
Tak lama, terdengar suara motor berhenti di depan rumah, lalu pintu terbuka. Nawang mengintip melalui pintu kamar yang terbuka separuh. Seorang remaja tanggung muncul dengan baju yang sudah setengah basah oleh keringat, membawa helm di satu tangan dan kantong plastik berisi sisa potongan ayam di tangan lain. Dugaan Nawang, anak laki-laki ini adalah Zulham, putra sulung Bi Laila.
“Bu! Ini ayam-ayam pesanan Pak Mahmud mie ayam dan Bu Parti bakso. Nanti akan aku antar ke kios mereka sekalian jalan ke sekolah,” ujarnya sambil menaruh plastik di meja.
Laila menoleh sekilas. “Oh, ya sudah. Kamu mandi dulu, makan siang, terus ke sekolah.”
Zulham mengangguk, bergegas ke kamar mandi. Suara guyuran air terdengar cepat—Zulham mandi kilat. Lima menit kemudian ia sudah muncul lagi, mengganti baju dengan seragam abu-abu putih yang agak kusut, rambut masih basah. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit, lalu segera makan siang dengan cepat dan lahap.
“Bu, aku berangkat pukul dua belas nanti. Tapi sebelumnya, tolong suruh Anisa menjaga kios. Ayah ngomel-ngomel terus karena belum bisa makan siang. Kios tidak ada yang menjaga katanya.”
Anisa yang sejak tadi duduk malas langsung menegakkan badan, memanyunkan bibir. “Aku capek, Bang! Semalam juga aku yang bantu memotong ayam di pasar. Sekarang aku mau istirahat. Lagian katanya hari ini aku libur.”
“Kamu itu libur sekolah, bukan libur berjualan. Kalau mau lomba capek, yang paling capek itu aku,” sahut Zulham ketus.
Anisa melotot. “Ya sudah, suruh aja si tamu baru itu ke pasar!” Jarinya menuding ke arah kamar, tempat Nawang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. “Katanya mau belajar hidup susah, ya kan? Ya mulai saja dari membantu Ayah jualan!”
Nawang yang mendengar dari dalam kamar langsung tertegun. Jemarinya yang tadi mengetik lincah di atas keyboard terhenti. Ia menahan diri untuk tidak keluar.
Namun Laila segera menegur, suaranya tegas. “Cukup, Nisa! Nawang baru datang, belum tahu apa-apa. Besok dia ikut Ibu ke pasar, biar belajar dulu. Sekarang kamu yang menggantikan Bang Zulham, titik.”
“Ah, Ibu!” protes Anisa, tapi tatapan ibunya membuatnya urung membantah lagi. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi dengan wajah masam. “Ya sudah, aku pergi. Tapi ingat janji Ibu, bawa tamu besar itu ke kios besok pagi,” katanya sebelum berlalu.
Laila hanya menggeleng, separuh kesal separuh lelah. Anak perempuannya itu memang mempunyai lidah yang tajam.
Begitu Anisa pergi dengan langkah menghentak, Zulham yang sudah selesai makan tetap duduk di kursi dan melirik sang ibu yang masih sibuk di dapur. Ia lalu berkata pelan, “Bu, Ayah kan belum setuju. Kenapa Ibu sudah membawanya ke sini?”
Laila yang masih berdiri di dapur berhenti mencuci tangan. Suaranya pasrah saat menjawab, “Mau bagaimana lagi, Zul. Nawang itu tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu.”
Zulham menatap ibunya lama, lalu memberi peringatan. “Tapi Ibu tahu sendiri, Ayah keras kepala. Kalau tahu Ibu membawa tanpa bilang dulu, pasti nanti ribut lagi.”
Laila menatap ke belakang anaknya, lalu menghela napas getir. "Ayahmu itu memang selalu meributkan apa pun. Satu cuplikan lagi tidak akan jadi masalah. Asal kamu tahu, rumah ini bukan hanya diwariskan pada Ibu, tapi juga pada adik Ibu, Laily—ibunya Nawang. Ibu akan Jahat kalau membiarkan anak yatim piatu itu terlunta-lunta di jalan padahal ia masih punya hak di rumah ini."
Keheningan menggantung beberapa detik. Hanya suara tik-tok jam dinding yang terdengar.
Akhirnya Zulham menghela napas panjang, nada suaranya lembut meski tetap hangat. “Asal Ibu kuat saja mendengar ocehan Ayah nanti.”
“Ya terpaksa dikuat-kuatanlah, Zul.Ibu tidak punya pilihan,” ujar Laila pasrah sambil mengeringkan tangannya dengan kain lap.
Zulham tidak membantah lagi. Ia berdiri, merapikan tasnya. “Ya sudah. Saya berangkat, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan,” jawab Laila, suaranya sedikit lembut.
Setelah pintu menutup dan suara motor menjauh, Nawang keluar perlahan dari kamarnya. Wajahnya canggung, tapi matanya menatap Bi Laila penuh rasa bersalah.
“Maaf, Bi... saya tidak tahu kalau suami Bibi tidak setuju saya di sini,” ucapnya pelan.
Laila menoleh dan tersenyum tipis. "Tidak usah kamu berpikir. Di rumah ini, kamu juga keluarga. Asal kamu mau saling membantu di antara kita, semua akan baik-baik saja."
Nawang mengangguk pelan, meski jantungnya masih berdebar.
Di luar, matahari semakin terik. Dan di dalam rumah kecil itu, gadis muda itu tahu—badai yang sebenarnya mungkin baru akan dimulai malam nanti, ketika sang paman pulang.Senja makin tua ketika Nawang dan Bi Laila pulang ke rumah. Nawang duduk di boncengan motor, berpegangan erat pada sisi jok. Motor milik Paman Jalal itu sudah dimodifikasi dengan dua kantongan besar di kanan-kiri untuk tempat ayam, membuat Nawang harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi agar tidak tersenggol besi penopangnya.“Pegangan yang kuat, Nawang. Bibi akan mengebut. Sudah sore sekali. Bibi lapar. Kamu juga kan? Semoga pamanmu masak enak,” kata Bi Laila tanpa menoleh.“Iya, Bi,” sahut Nawang sambil menahan keseimbangan. Perutnya juga sudah keroncongan.Beberapa saat kemudian mereka sampai di rumah. Baru saja mesin motor dimatikan, suara berat Paman Jalal langsung terdengar dari dalam rumah.“Lama sekali pulangnya kalian. Aku lapar sekali ini! Kenapa kalian tidak masak, hah?”Bi Laila melepaskan helmnya, napasnya masih tersengal. “Astaghfirullah, Bang. Kami seharian di pasar, mana sempat masak? Biasanya juga kalau aku di pasar sampai sore, Abang yang masak, kan? Kenapa hari ini j
Sore menjelang ketika cahaya matahari mulai miring ke barat, menembus sela atap seng pasar yang berdebu. Kios ayam milik Laila mulai sepi; tinggal beberapa potong ayam di meja, dan sisa air cucian mengalir pelan ke parit kecil di bawah. Bi Laila sedang menghitung uang hasil penjualan, sementara Nawang membersihkan meja yang belepotan darah ayam dan serpihan bulu. Setelah kejadian tadi pagi, ia masih merasa tegang, tapi dalam diam ia juga merasa bangga — entah bagaimana, ia berhasil bertahan di tengah kekacauan. Setelah pekerjaannya selesai Nawang duduk di bangku kayu, mengipasi diri dengan karton. Punggungnya pegal, tapi ada rasa puas karena berhasil melewati hari pertama tanpa bencana lain. “Lumayan, ya, Bi. Ayamnya cuma sisa tiga potong," kata Nawang setelah melihat bibinya selesai menghitung uang.Laila menoleh sekilas, wajahnya masih lelah namun tampak puas. “Ya, lumayan. Untuk hari pertama kamu ikut, tidak buruk.”Nawang tersenyum kecil. Ia senang bisa berguna di pasar. Laila
Waktu berjalan cepat. Matahari mulai naik, sinarnya menembus sela atap pasar. Keringat mengalir di pelipis Nawang, tapi hatinya hangat. Setiap kali pembeli datang, ia mulai bisa menebak jenis ayam yang diminta. Ia juga menolak dengan sopan jika ada yang menawar terlalu rendah. Harga ayamnya sudah sesuai pasaran. "Nawang, Bibi kebelet mau ke belakang. Kamu Bibi tinggal sebentar bisa?" tanya Laila. Saat ini Zulham tengah mengantar pesanan ayam ke beberapa kedai nasi. "Bisa, Bi. Tapi jangan lama-lama ya," ucap Nawang sedikit khawatir. Pembeli masih cukup ramai. "Iya. Ngapain juga Bibi toilet umum lama-lama," kilah Laila sambil meringis. Perutnya mulas dan melilit. Pembeli terus berdatangan. Sendirian Nawang melayani para pembeli. Ia menimbang dan memotong ayam sesuai permintaan pembeli. Walau ia keteteran karena tangannya tidak selincah Bi Laila, ia berusaha melayani pembeli sebaik mungkin. Sampai tiba-tiba—suara jeritan keras terdengar.“Aduh! Lepasin, Bang!”Semua kepala menoleh.
Subuh belum sempurna turun ketika Bi Laila mengetuk pintu kamar perlahan."Nawang... bangun. Sudah jam setengah empat."Suara lembut itu membangunkan Nawang dari tidur yang belum genap tiga jam. Ia tadi membantu pamannya dan Zulham memotong ayam. Selain dari agen, pamannya menjual ayam yang ia pelihara sendiri kalau pasokan dari agen sedikit. Nawang memaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Udara dini hari menusuk, dingin seperti menggigit tulang. Ia segera ke kanar mandi membasuh muka dengan air dingin. Seketika tubuhnya menggigil, tapi justru menyadarkannya sepenuhnya.Dari dapur, terdengar suara gemerisik plastik dan ayam yang berkokok bersahutan. Bibinya tengah sibuk menyiapkan kotak bekal dan botol minuman. Ada juga satu termos kecil yang berisi teh panas."Bantuin Bibi angkat ini, ya. Berikan pada Zulham di depan."Laila menunjuk keranjang berisi bekal dan minuman yang ia letakkan di bawah meja. Di sampingnya ada dua keranjang besar yang sudah terisi penuh oleh ayam-ayam
Senja turun perlahan di atas rumah kayu itu. Cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah dinding, menggambar bayangan panjang di lantai semen. Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan piring logam—Bi Laila sedang menyiapkan makan malam seadanya: nasi hangat, sambal bawang, dan tumis ayam sisa jualan.Nawang membantu memotong cabai dan bawang serta menata piring di meja kecil. Walau ia tahu potongan cabai dan bawangnya tidak sempurna, Bi Laila tidak komplain. Ia hanya mengatakan harus sering latihan akan hasilnya makin baik. Suasana dapur terasa tenang, tapi hati Nawang gelisah. Sejak siang, kata-kata Zulham masih terngiang di telinganya: Ayah belum setuju...Angin sore membawa bau kandang ayam dari belakang rumah. Sesekali terdengar suara anak-anak kecil yang bermain di depan rumah. Nawang menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.Namun ketenangan itu pecah ketika suara sepeda motor yang berhenti, diikuti langkah berat terdengar di luar. Lalu derit pintu kayu yang dibuka ka
Nawang melangkah masuk ke kamar yang disediakan untuknya.Ruangan itu sempit, dindingnya kusam, dan aroma lembap bercampur bau kotoran ayam samar-samar menyusup dari sebuah jendela kecil. Kasur tipis terhampar di sudut ruangan, lengkap dengan sprei lusuh yang sudah kehilangan warna aslinya. Di sebelahnya, ada sebuah kasur lain—tempat seorang gadis muda tengah terbaring miring, membelakangi pintu.Itu Anisa, putri Bi Laila yang tadi menyajikan teh.Begitu mendengar langkah kaki masuk, Anisa mendengkus, lalu menggeliat pelan dan membuka mata. Ia menatap Nawang dengan malas, lalu mengomel, “Jangan ribut. Aku mau istirahat. Hari ini aku libur sekolah dan libur jualan.”Nawang mengangguk cepat, merasa bersalah. Ia mulai menurunkan koper dan tasnya pelan-pelan, berusaha tidak membuat suara.Namun saat ia memberanikan diri bertanya, “Tapi... kok bisa libur jualan juga, ya? Bukannya jualan ayam tiap hari?” — Anisa langsung membalikkan badan, menatapnya dari atas ke bawah.“Kita tetap jualan,”







