Hari ini adalah hari yang berbeda bagi Rosa. Setelah pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Giselle, dia mendapat kabar bahwa prosedur awal mulai harus dilaksanakan.
Konsekuensi dari keputusannya adalah, dia harus keluar dari tempat kerjanya. Kemarin dia sudah menghadap Melan, menjelaskan keputusannya.
“Lo benar-benar udah yakin, Ros?” tanya Melan sambil menaiki tangga. Melan mengajak Rosa ke atas, agar perbincangan mereka tidak didengarkan oleh karyawan yang lain.
“Iya, Ci,” jawab Rosa.
Melan mempersilakan anak buahnya itu untuk duduk.
“Gua hanya ngingetin lo sekali lagi, Ros. Lo sedang menginjak sesuatu yang sangat tipis. Lo ngerti maksud gua?”
2 Maret 2003-MingguTak banyak yang bisa direnungkan kembali oleh Rosa sepulang dari rumah sakit kemarin, semua sudah dia pikirkan sepanjang hari dan malam. Apa yang dia lakukan kemarin bersama dua orang wanita yang sebenarnya adalah orang asing, benar-benar membuatnya merasa berada di dunia yang sangat berbeda. Enning dan Enceng terasa semakin jauh dari benak. Sempat dia menimang ponsel berwarna abu-abu pemberian Mardi, namun ada rasa takut menyelinap bahwa dirinya tidak akan mampu menahan diri untuk bercerita semuanya kepada Enning. Dia meyakini, apa pun yang sampai di telinga Enning, akan sampai di telinga ayahnya. Sang surya sudah berada di peraduannya, malas untuk menyinarkan pesonanya lebih lama. Rosa pun sudah merasa remuk seluruh tulangnya. Malam ini dia memanjakan tubuhnya dengan tertidur pulas sampai pagi menjelang. Tanpa mimpi, bahkan senyum yan
5 Maret 2003-RabuSemburat lembayung di ufuk timur mulai terlihat. Dingin masih menyelimuti sebagian kota metropolitan. Namun ini bukannya tak lekang, kesejukan itu akan segera tersingkir oleh panas matahari dan asap knalpot kendaraan. Lalu layaknya kota besar di negara tropis, panas akan menyengat. Rosa masih tertidur meringkuk di kasurnya, menikmati mimpi panjang tentang menggapai cita-cita. Di mana dia bisa terbang seperti layaknya burung yang bersayap. Di mana dia bisa menggapai buah ranum di dahan yang tinggi dengan hanya sekali lompatan. Sungguh menyenangkan. Dia tertawa di sana, berceloteh dengan bahagia, pada kedua orangtuanya, pada Enning dan Enceng, serta Nyak. Tanpa Mardi. Tak ada bayangan Mardi hadir di sana.&n
25 Maret 2003-SelasaHari HEntah bagaimana harus menyebut pagi ini. Kelabu atau cerah. Kedua perasaan itu bergelayut begitu saja di dada Rosa. Setelah membereskan bajunya semalam, Rosa keluar kamar, namun Mardi sudah masuk ke kamarnya sendiri. Keraguan membuatnya membatalkan niat untuk mengetuk pintu kamar Mardi. Paling tidak, sebenarnya dia ingin menghabiskan waktu beberapa saat lebih lama bersama laki-laki itu. Tadi dia dan Mardi hanya bertatapan muka pagi ini. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan sekecap kata. Rosa mengantar Mardi ke teras dengan kening berkerut dan bibir yang tertarik ke bawah. Gerung motor Mardi yang terakhir terdengar di telinganya. Tidak ada salam perpisahan. Tidak ada seulas senyum pun.
Giselle dan Rosa sedang menikmati hari Minggu mereka di rumah. Selama beberapa hari ini, keduanya sering meluangkan waktu bersama. Membaca koleksi novel milik Giselle, menonton film atau sekadar mengobrol ngalur-ngidul. Giselle berusaha menyerap seluruh cerita tentang kehidupan ibu dari calon anaknya itu. Rosa yang awalnya merasa canggung berada di rumah Giselle, lambat laun mulai bisa beradaptasi. Dia belajar cepat bagaimana kodratnya sebagai makhluk sosial yang dikaruniai akal budi bisa meleburkan diri ke dalam lingkungan yang sama sekali asing. Jika Giselle tidak ada di rumah, Rosa berkeliling rumah. Mengenali setiap sudut kemewahan yang hanya dihuni oleh dua orang. Malah lebih banyak pembantu daripada anggota keluarga pemilik rumah. Sudah seminggu lebi
Tidak banyak penambahan dekorasi untuk acara ulang tahun Giselle malam ini. Dari luar bahkan tidak menampakkan keramaian. Mobil yang berdatangan telah memenuhi halaman rumah, tidak ada yang diparkir di luar. Acara ulang tahun ekslusif, bagi kerabat saja. Orangtua Giselle dan David saling mengobrol di sofa. Adik David yang baru datang dari Inggris juga terlihat di antara kerumunan. Emma terlihat baru datang, bersama anak dan pengasuh anaknya. Ruang keluarga hanya dihias beberapa vas dengan bunga mawar berwarna-warni berukuran besar dan satu rangkaian besar bunga lily sebagai pusat perhatian di ruangan itu. Giselle? Iya, dia pun menjadi Putri Jelita malam ini, ditambah keanggunan luarbiasa yang memesona. Rambutnya tergerai, bergelombang indah, menutupi sebagian besar
Mobil meluncur perlahan keluar dari sebuah butik baju ibu hamil dan bayi.Untuk kesekian kalinya Giselle membelikan Rosa berbagai perlengkapan. Kali ini lengkap dengan baju senam dan matras untuk senam. Rosa membayangkan dirinya senam SKJ sedirian di atas matras itu, seperti saat dirinya masih di Sekolah Dasar. Tapi kali ini Rosa tidak banyak bertanya, karena sebenarnya pikirannya sedang berkelana di tempat lain. Dia tidak berani mengutarakan pada Giselle, jadi sepanjang perjalanan hanya diam membisu. “Tumben kamu diam terus. Kamu lagi sakit?” tanya Giselle. Rosa menggeleng. “Kamu harus terang kalau mau apa, sakit apa, apalah apalah, biar nggak membahayakan si bayi,&r
Rosa berselonjor santai di atas ranjangnya. Badannya bersandar di kepala ranjang yang terasa empuk. Kakinya bergerak-gerak santai, mengikuti alunan musik yang sayup-sayup terdengar merdu. Tubuhnya merasa nyaman. Tadi sempat merasa enek, tetapi sejak beberapa waktu lalu pulang dari dokter kandungan rasa mual itu tidak begitu menyiksanya lagi. Antara tersugesti atau takut pada Giselle. Rosa mengelus lengannya, sesekali menciumi telapak tangannya. Dia sangat menyukai wangi sabun pemberian Giselle. Sabun mahal yang harganya bisa membeli sabun mandi biasa puluhan batang. Belum lagi sampo yang ada di kamar mandi, katanya sampo sehat tanpa deterjen. Entahlah apa maksudnya itu. Yang pasti rambutnya kini semakin sehat bercahaya. “Halo…” Rosa mengangkat ponselnya yang berdering.&
Airmata Giselle bagai anak sungai, bercabang-cabang mengalir di pipinya. Pemandangan yang baru saja disaksikannya, seperti lahar panas menerpa dirinya dalam sekejapan mata. Suaminya mengelus perut perempuan lain??? Apa maksudnya??? “Sayang, percaya aku. Nggak ada apa-apa tadi. Aku berani bersumpah aku nggak bohong,” ujar David, berusaha menjelaskan dengan tenang. “Nggak ada apa-apa bagaimana?! Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri, Rosa mengangkat bajunya di depan kamu!!! Apa yang nggak ada APA-APA?!” “Aku udah jelasin tadi, kan? Aku hanya penasaran bagaimana rasanya pegang perut yang ada bayinya. Itu saja. Kenapa kamu mesti marah-marah begini?” David berusaha merengkuh bahu Giselle, tetapi Giselle mengelak dan menjauh. Suara tan