Share

Giselle Fransisca Oetomo-Rapuh Seperti Kaca

Tahun 1988

Jakarta

Kini aku bertanya dalam hati

Di balik semua itu

Adakah misteri?

Di balik sinar matamu nan tajam

Kulihat ada suatu misteri, suatu misteri!

Aku berteriak, melengking, menyanyikan lagu Penari Ular-nya Ita Purnamasari yang terkenal saat ini. Tubuhku meliuk-liuk mengikuti gaya penyanyi yang sedang naik daun itu. Namun tiba-tiba keadaan senyap, aku mendongak. Ternyata Mommy yang menekan tombol on-off di walkman-ku.

            “Teriak-teriak nggak jelas,” omel Mommy.

            Aku merengut, tapi mengangguk juga. Siapa yang berani melawan Mommy? Acara TVRI baru akan mulai setengah lima nanti, aku hanya ingin hiburan.

“Kamu udah siap?” tanya Mommy kemudian, menarikku berdiri dari ranjang menuju cermin besar.

Aku mengangguk dengan senyum lebar. “Mommy, aku udah cantik?”

“Cantik, Sayang. Cantik banget!”

Mommy menatapku dari pantulan cermin, senyuman merekah. Bibirnya dipulas lipstik berwarna pink, sama seperti yang dipulaskannya di bibirku.

Gaunku berwarna kuning, hari ini ulang tahunku yang kedua belas. Jam empat sore nanti, semua teman-temanku akan datang. Aku sudah tidak sabar lagi. Akan ada banyak kado untukku  dan kado dari Mommy dan Daddy pasti yang paling besar nantinya. Seperti biasanya.

Jam kecil di sisi tempat tidurku masih menunjukkan angka tiga, masih sejam lagi.

“Mommy dandan dulu, kamu tunggu di sini, dandanannya jangan sampai rusak. Jangan banyak gerak, nanti gaun kamu kusut.”

“Iya, Mommy.”

Pasti aku tidak akan ke mana-mana, kamarku adalah tempat ternyaman di dunia, banyak mainan dan selalu dingin seperti kulkas karena ada AC, itu, kotak besar yang mengeluarkan udara dingin.

Kamarku penuh dengan hiasan bergambar Princess, karena aku ingin seperti mereka. Namun rasa bosan menerpa beberapa menit kemudian, aku melepaskan sepatu baruku yang berkilat. Menggeser tubuhku lebih ke tengah ranjang lagi, lalu meraih game watch yang ada di sudut ranjang, tersembunyi di balik bantal.

 Selanjutnya aku sudah sibuk dengan duniaku sendiri, tenggelam dengan permainan di tanganku.

Yes!” Aku berteriak bangga ketika aku bisa melalui level yang lebih tinggi.

“Giselle!”

Mama memanggil, kuletakkan mainanku, memakai sepatuku cepat-cepat, lalu berjalan perlahan keluar kamar dengan dagu terangkat.

Berjalan anggun, kata Mommy, bukan pelan seperti kura-kura atau grasa-grusu seperti orang tidak tahu aturan.

Mommy menunggu di luar kamar, terlihat sangat cantik.

Gaunnya panjang, warnanya kuning juga tapi lebih pucat. Daddy juga baru keluar kamar.

Daddy payah, hanya memakai jas abu-abu yang biasanya dia pakai ke kantor.

“Ayo Giselle,” Mommy menuntunku turun ke lantai bawah. “Pasang senyum.” Aku menarik bibir ke samping, seperti yang selalu Mommy ajarkan.

Lagu “Happy Birthday” menggema dari loud speaker. Aku tersenyum bahagia. Ruangan dihias indah, kertas krep warna-warni digantung di langit-langit, dan balon-balon aneka warna bertebaran di setiap sudut ruangan.

Di tengah ruangan ada meja dengan kue ulangtahun tiga susun. Patung kecil Princess ada di puncak paling atas. Tulisan namaku tertera di sana, Giselle Fransisca Oetomo dan angka 12 dari lilin berwarna hijau.

Ketika satu persatu temanku datang, dengan bingkisan tangan berbungkus cantik, aku sudah tenggelam dalam kegembiraan yang luar biasa.

Saat Sophia sahabatku datang, aku terpekik menyambut dirinya yang tersenyum lebar.

Mommy menegurku lirih atas pekikanku tadi, aku menutup mulutku tiba-tiba. Aku harus anggun, menjaga sikapku di depan orang-orang. Bukan menjadi barbar.

Sophia menarik tanganku ke sisi ruangan, matanya menunjukkan aku harus mengikutinya.

“Aku tadi pagi mens…” bisiknya.

Oh.

Aku tahu artinya itu, berdarah-darah tanpa sebab. Kami pernah ngobrol tentang itu.

Aku juga pernah dengar orang berbicara tentang itu di televisi. Mommy pernah menjelaskan artinya padaku, saat aku bertanya tentang benda berwarna putih yang ada di lemari kamar mandinya.

“Sakit?” bisikku.

“Kayak mules. Mama nyuruh pakai pembalut wanita,” jawabnya dengan nada masih berbisik. “Kamu udah dapat?”

Aku menggeleng.

“Kata mamaku usia kita pasti akan dapet kok,” ucap Sophia.

“Aku kapan?”

“Mana aku tahu.”

Lalu percakapan kami berhenti saat Mommy menarik tanganku untuk berfoto di dekat kue ulang tahun.

Sejak saat itu, aku selalu melihat Sophia menyelipkan sebuah pembalut ke dalam kantong rok seragam sekolah. Kadang aku menemaninya, melihatnya mengganti pembalut lama dengan yang baru dengan cekatan. Jijik sih melihat darah seperti itu. Tapi heran, Sophia tidak pernah mengeluh kesakitan.

Satu persatu temanku dengan suara berbisik saling memberitahu satu sama lain, “aku mens hari ini”. Lalu mereka akan tertawa malu bersama-sama, saling menertawakan. Semua, kecuali aku.

Ini menjadi sesuatu yang akhirnya aku dambakan. Menjadi orang yang berbeda bukan hal yang menyenangkan. Setiap hari, aku mengharapkan sesuatu itu datang, agar aku menjadi sama seperti mereka. Agar aku tidak terlihat seperti makhluk asing. Tetapi tidak ada, hingga setahun kemudian, hingga dua tahun kemudian, hingga aku dan Sophia melewati masa sekolah menengah pertama.

Mommy dan Daddy selalu sibuk bekerja, sebentar-sebentar mereka pergi ke luar negeri dan sebentar-sebentar kamarku penuh dengan oleh-oleh dari mereka.Kepada siapa aku harus bicara? Bahwa aku “tidak normal” seperti teman-temanku yang lain?

“Kamu belum mens juga?!?” kata Sophia setengah berteriak padaku. “Udah ngomong sama mama kamu?”

“Belum.”

“Payah.”

 Sophia benar, aku harus bertanya kepada Mommy, mengapa aku tidak mendapatkan menstruasi seperti laiknya seorang wanita dewasa.

Aku berusia 17 tahun saat mendekati Mommy yang sedang luluran. Wangi bunga melati terurai di udara, aku mendekati Mommy dan memutuskan untuk berbicara.

Mbak dari Spa langganan mama tersenyum melihatku. Aku menimbang apakah layak aku berbicara tentang menstruasi di depan orang lain. Kuputuskan tidak apa-apa, kapan lagi aku bisa bertemu Mommy tanpa setumpuk kertas kerjaan di dekatnya?

“Mom...”

Mommy mengangkat kepalanya.

“Ada apa Giselle?”

“Aku mau ngomong sesuatu sama Mommy,” kataku sambil melirik Mbak dari Spa yang sedang melulur kaki Mommy.

Mommy mengerti isyarat mataku.

“Mbak, bisa tolong berhenti dulu, tinggalkan saya berdua dengan anak saya.”

“Baik, Bu. Saya menunggu di depan kamar,” sahutnya sambil melangkah keluar.

Mommy masih berbaring dengan tubuh hanya ditutupi selembar kain yang baru dibeli Mommy di Paris bulan lalu.

“Ada apa, Sayang?”

Aku duduk di kursi dekat Mommy.

“Aku belum mens, Mom.”

Mommy mengernyitkan dahinya. Lalu wajahnya berubah tegang.

“Maksud kamu, bulan ini kamu belum mens?!?” tanyanya setengah berteriak.

Aku menatap Mommy bingung.

“Aku belum pernah mens, Mom…” kataku.

Sejenak wajah tegangnya luruh. Namun kecemasan kini mulai terbentuk.

“Maksud kamu? Bulan-bulan kemarin….”

Aku menggeleng dengan menggigit bibir. Kenapa aku merasa sesuatu yang “bahaya” di sini?

”Sama sekali??”

Aku menggeleng lagi. Kerut di dahinya menjadi-jadi.

“Pernah ada bercak darah di celana kamu?”

“Nggak ada, Mom. Semua teman aku udah mens sejak dulu, tapi aku belum pernah.”

Ternyata masalahku menarik perhatian Mommy sepenuhnya. Mommy bangkit, lalu duduk menghadapku.

“Kamu yakin??”

Aku mengangguk.

Wajah Mommy sebentar terlihat heran, sebentar kemudian kembali terlihat cemas.

“Kita ke dokter besok.”

Aku menatap Mommy.

Ke dokter? Segitu parahnya? Hanya karena aku tidak mens?

“Memang perlu, Mom?”

“Sangat,” jawab Mommy pendek dan dia segera berdiri, mengikat erat kainnya ke seputar tubuhnya lalu meraih gagang telepon di meja sudut ruang.

“Siapa? Dokter Aviv Siswoyo. Oke, thanks, Mir.”

Mommy ternyata menelepon Tante Mira, karibnya.

Mommy memutar sederet nomor lagi.

“Klinik Love & Care?”

Mama diam sejenak.

“Iya, saya ingin mendaftar, dokter kandungan Aviv Siswoyo. Baik. Atas nama Giselle…. Baik. Oke.” Mommy menutup teleponnya. “Besok kita ke klinik, periksa.”

“Iya, Mom.” Segawat apakah hal ini hingga Mommy terlihat panik?

Aku meninggalkan kamar Mommy, membiarkannya sendirian. Kudengar sekilas sebelum kututup pintu, dia menyuruh sekretarisnya untuk membatalkan semua agenda untuk hari besok.

Ini lebih genting dari yang kukira ternyata.

Besoknya, Mommy melarangku sekolah.

Gawat!

Sekolah saja yang begitu diagung-agungkan oleh Mommy, ternyata kalah oleh menstruasi.

“Kenapa kamu nggak kasi tahu Mommy dari awal?”

Aku mengkerut di kursi mobil dengan bibir mengerucut.

“Mommy kan sibuk,” jawabku.

Mommy diam.

Sepanjang perjalanan aku dan Mommy diam tak saling bicara. Aku sibuk memikirkan kesenangan apa lagi yang Sophia nikmati di sekolah hari ini, jangan-jangan dia lagi nonton cowok incarannya main basket.

Mobil Mommy memasuki sebuah rumah dengan gerbang yang terbuka lebar. Di atas pintu masuk ada neon box besar bertuliskan klinik Love & Care. Ini sudah di pinggiran kota Jakarta.

Aku dan Mommy memasuki ruangan, ada beberapa orang di sana, sebagian berpakaian seragam. Mungkin perawat. Mommy menghampiri meja resepsionis sedangkan aku duduk  di salah satu sofa di ruang itu. Ruangan ber-AC, enak dingin, sofanya juga empuk. Tiba-tiba Mommy duduk di sebelahku.

“Antri. Kita dapat nomor 10. Bisa sejam lagi katanya.”

Aku berlagak melemaskan tubuh, apa yang harus kulakukan dengan waktu sejamku?

Tapi aku ternyata salah, Mommy memulai percakapan terlebih dahulu.

“Kamu masih dekat sama Sophia?”

“Masih, Mom.”

“Sophia udah punya pacar?”

Aku menoleh menatap mata Mommy. Mommy tersenyum tipis.

Ini jebakan, bukan?

“Nggak tau.” Aku mencari aman.

“Umur 17, okelah kalau mau cari pacar.”

Oh My God! Itu benar-benar keluar dari mulut Mommy!

“Lagi deket aja sih, Mom…”

“Kakak kelas?”

Aku mendelik heran.

“Kok tahu sih, Mom?”

Mommy tertawa renyah. Sudah lama aku tidak mendengar Mommy tertawa santai seperti ini.

“Mommy juga pernah muda, kan?”

Aku mulai tertawa, mengiyakan jawabannya.

“Kamu?”

Aku menunduk, bayangan seorang cowok dari klub karate berkelebat.

“Cuma suka doang, Mom…” kataku lirih masih menunduk. Bahkan Sophia belum tahu aku diam-diam suka memperhatikan sosok cowok bertubuh kurus itu.

“Wah … anak mana??” tanya Mommy terdengar antusias. Aku menatap matanya, agak bingung. Mama nggak marah!

Maka, ibarat got mampet disodok kuat, mengalirlah cerita dari mulutku. Panjang lebar, dipotong oleh pertanyaan ini-itu oleh Mommy.

Aku tidak pernah menyangka, aku bisa terbuka seperti ini. Mommy memang ibuku. Tapi kami saling berjauhan, tidak pernah dekat seperti ini. Dulu, saat aku kecil, masih ada saat-saat Mommy bermain denganku, tapi sekarang Mommy seperti bintang bersinar di langit yang gelap. Berkilau indah, ingin kugapai tapi tak pernah bisa tersentuh.

Kini Mommy berada di dekatku, seperti sedang bersama Sophia, seakan tidak ada jarak antara kami. Entah berapa lama kami saling berbincang, lalu aku memeluk tubuhnya.

Mommy adalah tetap seorang ibu. Sebagaimana renggangnya hubunganku dengannya, masih kurasakan ikatan batin yang kuat. Rasa nyaman seakan terlindungi kurasakan dari dirinya. 

Dia membalas pelukanku. Sudah lama aku tidak memeluknya seperti ini. Mencium bau tubuhnya yang didominasi wangi parfum, mendengarkan detak jantungnya dengan telinga yang menempel di dadanya.

Aku merindukan saat-saat seperti ini.

“Giselle!”

Panggilan seorang perawat menyentak kami berdua. Mommy melepaskan pelukannya dan kami bergegas memasuki ruang praktek dokter, ada tulisan Dr. Aviv Siswoyo SpOG di pintunya.

Dokter Aviv Siswoyo, dokter kandungan yang masih belum terlalu tua. Tapi kata Mommy, Dokter Aviv hebat, dia sudah bisa punya klinik ini sendiri.

“Selamat sore, Dok.” Mommy memberi salam.

“Sore.”

Dokter Aviv menjabat tangan kami berdua.

“Ya, bagaimana?” tanyanya.

“Ini anak saya…” Mommy menceritakan kondisiku pada dokter.

“Ada keluhan selama ini? Di bagian perut kamu. Sakit? Nyeri?” tanya Dokter Aviv padaku. Aku menggeleng kencang-kencang.

“Ayo, saya periksa dulu.”

Seorang perawat menunjuk tempat tidur pemeriksaan. Aku menoleh ke arah Mommy. Mommy mengangguk kepadaku. Aku berdiri lalu berjalan dengan penuh keraguan. Suster menyuruhku berbaring di tempat tidur itu sembari menututp tirai di sekitarnya.

“Dibuka ya…” kata perawat sambil membuka kancing celana panjangku.

Aku melihat perawat itu dengan penuh tanda tanya dan refleks aku menekuk kaki. Rasanya aneh sekali ada seorang asing yang menyentuhku seperti itu.

“Nggak apa-apa, hanya diperiksa kok, dilurusin aja kakinya,” kata perawat itu lagi sambil tersenyum seakan mengerti keresahanku. Dia menarik celana dalamku hingga ke bawah pusar, lalu menuangkan sesuatu yang terasa dingin di atas perut bagian bawahku. Aku mengintip, sesuatu yang bening. Aku bingung, apa yang akan dia lakukan?

Dokter Aviv, masuk kemudian mengambil sebuah alat mirip mikrofon lalu meletakkannya di atas perutku yang diolesi cairan tadi dan menggerak-gerakkannya. Mata Dokter Aviv tak lepas dari sebuah monitor kecil yang menunjukkan gambar hitam putih bintik-bintik seperti televisi milik Daddy yang lama.

Beberapa kali Dokter Aviv mengernyit, lalu menatap layar itu lebih dekat lagi seakan mengamati. Alat yang dipegangnya menekan dan berputar di perutku, terasa geli.

Entah apa yang digumamkan dokter, perawat menuangkan cairan itu lagi. Gerakan tangan Dokter Aviv berhenti di sisi kiri perut bawahku, lama. Lalu bergerak ke sisi kanan.

Tiba-tiba dia meletakkan alatnya dan menyibak tirai untuk keluar.

Perawat meraih tisu untuk membersihkan cairan bening itu dari perutku dan membantu merapikan lagi celanaku.

“Bagaimana, Dok?”

Kudengar Mommy bertanya. Aku turun dari tempat tidur dan duduk lagi di samping Mommy.

“Pernahkah ada bercak sedikit darah selama ini?”

Mommy menoleh ke arahku.

“Nggak ada…” jawabku pelan.

Dokter Aviv memandangku lekat, lalu memindahkan matanya pada Mommy.

“Berdasarkan pengalaman dan pemeriksaan USG[1] tadi, ada kelainan di anak Ibu.”

“Kelainan?? Maksudnya???” Mommy memajukan badannya sedangkan aku hanya menatap dokter yang berwajah sedikit mirip orang Timur Tengah itu.

“Tidak ada ovarium di dalam rahim anak ibu, tidak ada pabrik tempat sel telur dibuat. Itu yang menyebabkan tidak pernah terjadi peluruhan sel telur yang matang.”

Lalu aku melihat Mommy seperti kaget, hanya diam mematung menatap Dokter Aviv.

“Artinya…” lanjut Mommy ragu.

Dokter Aviv mengangguk, sebagai jawaban.

Seperti kode rahasia. Artinya? Apa artinya??

“Tidak mungkin, Dok! Dokter mungkin salah lihat! Anak saya tidak mungkin mandul! Tidak boleh!” Mommy semakin mendekatkan badannya ke meja dokter. Tangannya ikut bergerak-gerak mengikuti nada suaranya.

“Saya sudah melihat dua kali tadi, Bu. Tidak ada penampakan ovarium baik di kanan atau pun kiri.”

Aku menatap Dokter Aviv dengan bingung sedangkan Mommy diam lagi.

“Ada cara untuk … menumbuhkannya mungkin? Suntik hormon atau apalah yang Dokter tau?” tanya Mommy tak lama kemudian.

Dokter menggeleng-geleng.

“Tidak bisa. Tidak mungkin. Ini adalah kelainan idiopatik, kelainan yang tidak pernah ada penjelasan medisnya. Kalau Ibu mau lebih yakin, saya sarankan untuk mendapatkan opini kedua di tempat lain.”

Aku menatap Dokter Aviv dan Mommy bergantian kini. Aku benar-benar tidak mengerti. Aku pernah mendengar tentang indung telur dan lain sebagainya itu pas pelajaran anatomi tubuh, tetapi apa yang sebenarnya terjadi padaku? Kenapa Mommy begitu heboh?

Dengan langkah lunglai aku dan Mommy keluar dari ruangan dokter.

“Memang kenapa kalau nggak punya indung telur, Mom?” tanyaku pelan ketika berada di dalam mobil.

Mommy memandangku lekat.

“Kamu nggak akan bisa punya bayi ketika kamu menikah nanti.”

“Tapi aku emang nggak pingin punya bayi.”

Mommy diam.

Dan ternyata memang Mommy yang benar-benar ingin aku punya bayi, Mommy membawaku ke Penang, Malaysia, ke salah satu rumah sakit besar di sana.

Aku di USG, seperti yang dilakukan oleh Dokter Aviv. Hasilnya sama. Ketika Mommy ngotot harus harus ada pemeriksaan lanjutan, Dokter menyuruhku untuk melakukan HSG2 . Prosedur ini lebih kepada untuk meyakinkan Mommy saja, kata si dokter, berterus terang.

Hasilnya, tidak ditemukan indung telur di ujung…apa namanya…hmm…Tuba Fallopi3-ku.

Apa pun hasilnya, aku tidak merasakan apa-apa, tidak ada perubahan apa-apa. Kenapa harus dicemaskan? Aku heran Mommy begitu mendramatisir masalah ini.

Aku yang ‘sakit’ tetapi aku yang menepuk-nepuk punggung Mommy saat Mommy tiba-tiba menangis tersedu-sedu di kamar hotel sepulang dari rumah sakit.

Hari-hariku berjalan normal, biasa saja walaupun tanpa Si Pabrik Telur di tubuhku. Hanya Mommy yang terkadang begitu melankolis saat berduaan denganku. Tiba-tiba saja memelukku. Tiba-tiba saja menangis. Daddy tidak mengatakan apa-apa, sama sekali. Tapi aku yakin Mommy sudah bercerita tentang keadaanku.

Ketika kuberitahu Sophia, dia pun hanya manggut-manggut; tidak mengerti, katanya. Malah bersyukur tidak perlu ribet dengan segala urusan ganti mengganti pembalut atau merasakan nyeri di perut setiap bulannya.

Aku pun tidak perlu merasa malu yang sangat besar ketika cairan kemerahan tembus ke luar hingga menempel di kursi sekolah. Sophia pernah mengalaminya, saat kami kelas tiga SMA.

Hanya Sophia, temanku, yang mengetahui masalah ini.

Ketika Sophia melanjutkan kuliahnya di luar negeri, aku masih di Jakarta. Ahirnya kepada Emma-lah aku akhirnya bercerita setelah dia bertanya, selama tiga tahun pertemanan dengannya tidak pernah melihatku sekali pun membawa pembalut. 

Emma bereaksi lebih dibanding Sophia dulu, namun tidak seheboh Mommy. Mulutnya mengerucut, aku tahu dari matanya dia ingin bertanya sesuatu, tetapi tidak pernah diucapkannya.

“Nanti malam ke sini, Em. Daddy rayain ulang tahunnya.”

Aku menelepon Emma sambil mengunyah sebutir anggur di mulut.

“Siapa aja yang diundang?” tanyanya.

“Relasi papa dan keluarga mereka.”

Dress code?”

“Asal nggak telanjang aja.”

Emma tertawa dan aku menyusulnya dalam rasa geli yang tiba-tiba muncul begitu saja, rasa tergelitik yang tidak bisa kujelaskan setiap kali bersama Emma, atau saat bersama Sophia dulu.

“Paling nggak, lo bisa ngecengin para cowok yang hadir, daripada meratapi Billy.” Aku mengingatkan Emma pada cintanya yang kandas di tengah jalan.

“Dan lo bisa nyari pejantan tangguh nanti. Yaelah, umur udah dua puluh satu tahun tapi belum pernah pacaran. Yang benar aja….”

Aku tertawa. Bukan salahku aku belum mendapatkan seseorang yang pas di hati. Dan aku bukan tipe coba sana-sini. Maaf, aku tidak bermaksud merendahkan siapa pun yang bisa bergonta-ganti pacar. Bukan gayaku—itu saja.

Emma datang tepat jam tujuh malam, dengan gaun sederhana berwarna salem. Cantik. Sedangkan aku mengenakan gaun berwarna biru panjang menutupi mata kaki.

Relasi papa berdatangan, satu persatu, mengucapkan selamat. Aku dan Emma, berdiri di salah satu sisi ruangan dekat dengan meja berisi makanan ringan. Sambil mengobrol tangannya tak berhenti mengambil kue-kue berukuran mini di sana.

Mataku tak lepas dari band yang menyanyikan lagu-lagu kenangan Mommy dan Daddy.

“Jam tiga. Baru masuk,” katanya seperti mendesis, sikutnya tajam menyodok pinggangku.

Aku menoleh ke kanan, arah pintu masuk.

Mommy dan Daddy menyalami seorang tamu yang baru datang, seorang yang sudah seumuran Daddy bersama seorang cowok.

Dan … duniaku berhenti beputar seketika, ketika melihat dia.

Oh….

Lututku kehilangan ototnya, tanganku layu meraih lengan Emma. Aku menatapnya tak berkedip, Emma mulai cekikikan.

Wajahnya….

Senyumnya….

Semua indah. Dia bagaikan pahatan tangan dewa.  Andai  dia menjadi pemuas mata saja di ruangan, aku tak akan pernah berpuas diri memujanya.

“Cakep, kan?”

Aku mengangguk tanpa sadar, suara Emma terdengar jauh. Aku sudah berada dalam duniaku sendiri. Dadaku berdebar kencang tiba-tiba. Perawakannya yang tinggi dengan bentuk proporsional dan paras yang luar biasa indah telah mengunciku begitu erat.

“Makhluk paling keren yang gua pernah lihat…” bisik Emma lagi.

Sebenarnya suara Emma hanya terdengar seperti orang berkumur-kumur di telingaku.

Mereka masuk ke ruangan, berbaur dengan yang lainnya. Ketika bayangan pria muda itu menghilang, ada kekecewaan yang menerpaku.

Mataku berkeliaran mencarinya, namun tak kutemukan. Emma mengerti maksudku, matanya ikut jelalatan bak seorang mata-mata.

“Permisi … maaf saya mau ambil … itu….”

Suara berat seorang pria terdengar dari sisi kanan.

Ya, Tuhan!

Cowok itu!

Entah bagaimana caranya dia meloloskan diri dari pandangan empat mata kami berdua, lalu tiba-tiba muncul di sisiku seperti pemain sulap.

Emma terperangah, aku lebih-lebih.

Emma yang tersadar duluan, dia tersenyum dan menarik tanganku agar minggir.

Aku mengangguk pada makhluk indah itu dan menepi, memberinya ruang untuk mengambil apa pun yang dia mau—termasuk hatiku.

Emma dan diriku bertingkah seperti dua anak kecil yang baru saja melihat mainan baru. Namun Emma tidak separah diriku.

“Aku ke teras depan dulu…” bisiknya sambil mengambil beberapa penganan di tangannya.

Iya … mungkin ke luar planet lebih baik, Sob!

Aku menyeringai setengah puas pada Emma.

Cowok itu, yang kuduga akan menyingkir setelah mendapatkan yang diingininya, malah berdiri di dekatku. Sangat dekat, hingga aku bisa mencium wangi mint dari tubuhnya. Begitu segar, melebihi lemon squash yang ada di tanganku.

Untuk beberapa saat dia hanya mengunyah dan mengunyah. Matanya tetap lurus menikmati sajian musik di hadapan kami. Beda denganku yang kukira—orang akan melihatku menjadi alien—dengan bola mata kiri lurus menatap kaki penyanyi dan mata kanan meliriknya.

Dia bertepuk tangan setiap kali lagu berganti, dan tiba-tiba saja aku merasa ingin menjadi penyanyi yang mendapatkan applause-nya itu.

“Aku David. David Wicaksono. Panggil aja Dave. Kamu?”

Suara berat itu tertangkap oleh pendengaranku yang mencapai puncak kesensitifannya. Tidak ada orang lain di dekatnya atau di dekatku, berarti rangkaian kata itu untukku.

Aku tergagap, seperti pencuri yang ketahuan basah, mata kananku secepat angin menjadi normal kembali.

“Aku … Aku….”

Aku! Seorang Kapiten! Mempunyai pedang panjang!

Sial-sial-sial!

Kenapa aku harus gagap di saat seperti ini?

Aku menunduk. Sempurna. Dia pasti akan meninggalkanku dalam hitungan detik.

Satu, dua, tiga….

“Kok nggak dijawab?”

Perlahan aku mengangkat wajahku. Dia tersenyum! Dia ternyata tersenyum, dan senyumannya membuatku mampu untuk bertukar apa pun juga.

Demi … demikian … ahhhh! Ada apa denganku?? Menjawab pertanyaannya saja aku tidak mampu!

Mataku mencari Emma sekarang. Paling tidak Emma akan bisa mengambil alih kekikukan yang terjadi saat ini. Mungkin Emma akan bisa menyelamatkanku dari situasi canggung yang entah apa dirasakan oleh … siapa tadi? David. David Wicaksono. Dave.

Lagu berirama slow mulai mengalun, master of ceremony  mengajak semua tamu untuk melantai.

Tiba-tiba Dave mengulurkan tangannya, aku menatapnya bingung. Mungkin wajahku seperti dagelan lucu, dia tersenyum lebar memperlihatkan barisan rapi berwarna putih.

Tangannya masih terulur, otakku bekerja keras.

Sekarang … atau tidak sama sekali!

Dan … dengan malu-malu tanganku menyambut tangannya tanpa suara. Tanganku lebih pintar dari mulutku.

Dave menarikku ke tengah ruangan. Tidak menunggu lama, aku sudah berada dalam dekapannya, mengikuti alunan musik dan berbaur dengan beberapa pasangan lainnya.  Jantungku berdegub kencang, seperti tamborin ramai dibunyikan. Seperti di film-film romantis yang pernah aku tonton, aku merebahkan daguku di bahu bidangnya.

Kedua tangannya erat memeluk lekukan pinggangku, tangan kananku memeluk pinggangnya juga, dan tangan kiriku menempel di dadanya.

Sudah beberapa lagu berlalu, kami masih seperti dua ekor cicak yang terjepit di belakang sofa. Lengket satu sama lainnya.

Ketika lagu berganti dengan yang lebih ceria, Dave melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.

Napasku tersengal, seharusnya tidak mengeluarkan banyak tenaga hanya untuk berdansa seperti ini. Tapi itu kenyataannya, aku tersengal. Napasku berembus pendek-pendek seperti baru saja melakukan sprint.

Aku membalas tatapan matanya yang indah dengan pupil berwarna cokelat. Baru kulihat dengan jelas, bibirnya yang merah, dan hidung mancung yang sangat sesuai dengan raut wajahnya.

Aku melepaskan tanganku yang masih menempel di dadanya dengan enggan.

“Aku … Aku Giselle. Giselle Fransisca Oetomo,” kataku dengan keberanian yang tiba-tiba seperti tersulut. Aku tidak mau menjadi seperti putri Cinderella yang harus meninggalkan dulu sepatunya hanya agar bisa bertemu kembali. Haruskah kusebutkan juga nomor teleponku agar tidak perlu lagi menunggu sang peri penolong sang putri?

“Aku tahu,” jawabnya enteng, lalu menarik tanganku menepi, memberi kesempatan kepada para pasangan berumur untuk kembali bernostalgia, ajojing dengan lagu-lagu di masanya.

Apaaa? Apaaa??

Oh???

Oh….

Hatiku mendadak memiliki sayap, dia melayang-layang terbang mengitari ragaku yang terasa begitu tak berbeban. Dave sudah mengetahui namaku sejak awal, berarti dia memang sengaja mendekatiku.

Alasan dia mengambil kue-kue itu hanya bagian dari usahanya untuk dekat denganku. Itu kesimpulanku sementara. Apalagi selain itu? Apa aku harus berkesimpulan dia mengetahui namaku dari yellow pages?

Sisa malam itu aku habiskan berdua dengan Dave, obrolan yang tak putus-putus, seputar duniaku, duniaku, dan duniaku. Aku baru sadar dia sudah mengorek banyak hal tentang diriku saat pesta usai, dan aku telah membuka diriku sejelas buku yang terbuka helai kertasnya. Dia pamit padaku dengan meninggalkan senyum merekah di bibirnya. Meninggalkan selembar jiwa yang tiba-tiba merasakan layu seperti bunga tercabut dari tanah yang dicengkeramnya.

Tak ada satu hal pun yang kukorek tentang dirinya, dan kini aku merasa butuh ibu peri. Saat bayangannya hanya tinggal setitik di mataku, aku berlari keluar ruangan, persis seperti Cinderella, tapi Cinderella yang ingin melemparkan sepatu kacanya pada pangeran Dave. Aku ingin Dave mencariku!

Terlambat, mobilnya sudah melaju, meninggalkan pekarangan yang luas.

Aku menatap nanar, duniaku terasa kosong.

Dengan gontai aku kembali masuk ruangan, kucari dengan rasa malas, Emma. Ke mana Emma? Dia tidak ada di mana-mana.

Apa dia masih di planet lain?

Aku harus mengeluarkan uneg-unegku padanya. Mungkin sudah pulang duluan karena aku hanya menjadikannya obat nyamuk malam ini. Mungkin besok aku akan mendengar ocehannya yang sepanjang jalan kenangan.

Aku menaiki tangga dengan langkah layu, wajah tertunduk dan bibir tertekuk.

Saat membuka pintu kamar, ternyata di sanalah Emma berada, di atas kasurku, tertidur dengan dengkuran halus keluar dari mulutnya.

Aku tersenyum atas kemurniannya, karena di saat seperti ini tanpa ucapan sepotong kata pun aku merasakan arti sebuah persahabatan.

Setelah menukar baju pesta dengan baju tidur dan membersihkan segala make-up yang menempel di wajah, aku membaringkan tubuh di sebelahnya. Biarlah malam ini bergelayut di lengan letih sang waktu, agar esok tak lagi lelah mencumbu.

z

Dua hari kemudian, Daddy menjadi bapak periku. Aku dipanggil ke ruang kerjanya.

“Kamu kenal David Wicaksono? Putra pertama Angkasa Wicaksono?”

Aku tidak bisa menutupi rasa girang yang menyerangku seketika. Dave! My Dave!

Aku berusaha mengontrol bahasa tubuhku, tapi aku yakin gagal, Daddy pasti akan bisa melihat saat pupil mataku bergerak melebar, tumitku yang berjinjit tinggi, kebiasaan yang selalu aku lakukan apabila aku berada dalam euphoria, dan yang paling mencolok adalah senyuman lebar yang kuyakin begitu lebarnya hingga mulutku mungkin terbuka hingga mencapai ujung cuping telinga.

Tapi kenapa menghubungi Daddy??

Senyumku perlahan menghilang, begitu pun kerutan di dahi Daddy. Sekarang Daddy yang tersenyum lebar.

“Ada apa sih?” tanya Daddy, berdiri menghampiriku dan mengguncang tubuhku dengan pelukannya.

Ah, Daddy….

“Kok dari tersenyum lebar jadi kusut begini?”

“Kenapa Dave nelpon Daddy?” tanyaku sambil meremas-remas tangan.

“Dave nelpon Daddy karena dia nanya nomor telepon kamu. Puas?”

Aku menoleh ke arah Daddy lagi, dan putri tunggalnya ini mempersembahkan  senyum yang terkembang lebar seperti layar tancap.

Thanks, Dad!”

“Udah dicek handphone kamu?”

Aku berhenti bergerak dalam rangkulan Daddy, kemudian secepat kilat keluar dari ruangan Daddy melesat bak anak panah menuju kamarku. Di belakangku, gerai tawa Daddy terdengar.

Seperti atlit lompat jauh, aku menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan tangan meraih handphone yang tergeletak di atas bantal.

Aku menghidupkan layarnya penuh harap.

Ah, ternyata tidak ada pesan apa-apa … tidak ada panggilan tak terjawab juga.

Aku cemotis, cemberut otomatis seketika.

Apa yang harus kulakukan?

Aku masih termangu ketika handphone-ku berbunyi. Jantungku berdegup lebih kencang dan mendahului kecepatan gerakan mataku untuk melihat siapa yang menelepon.

Ternyata Emma.

“Ke kampus?”

Aku melirik jam beker di sebelah kepalaku, jam 11 siang.

“Ngapain? Nggak ada mata kuliah hari ini,” jawabku malas.

Dave telah berhasil membawa pergi semangatku hari ini. Seharusnya aku bergembira karena Dave telah sebegitu nekatnya menelepon Daddy untuk mengetahui nomorku. Perbuatan nekat … tapi bukan, itu adalah perbuatan seorang yang telah dewasa.

Menghadapi langsung sang singa penjaga seperti seorang gladiator. Yah, Dave layak aku sebut sebagai gladiator. Gladiator cinta. Ah! Aku menggelepar.

“Hoi! Masih hidup lo?” terdengar Emma berteriak kencang di telingaku.

Aku tersenyum sendiri, menjauhkan handphone-ku dari telinga. Kuceritakan apa yang Dave lakukan hari ini. Emma menjerit histeris.

Aku memutuskan untuk ikut Emma ke kampus, daripada aku terbelit oleh jerat-jerat ketidakpastian perasaanku sendiri.

Hari berikutnya, Dave belum meneleponku juga.

Tiga hari kemudian, belum juga ada SMS apalagi panggilan dari dia.

Seminggu kemudian, aku sudah berusaha melupakannya. Walaupun terasa berat rasanya, melupakan Dave menjadi ritual pagi harian, karena setiap malam aku memimpikannya. Menjadi sepasang kekasih yang saling memadu cinta, membuatku melayang begitu tinggi. Dan di saat terbangun, aku terhempas dengan hati terkoyak. Itu hanya mimpi.

Menelepon Dave?

Itu pernah Emma usulkan padaku, aku bisa minta tolong Daddy untuk mencari tahu nomor Dave, tapi bukan itu yang aku mau. Aku mau pangeranku yang mencari.

“Non Giselle?”

Ketukan di pintu kamarku menarikku ke alam nyata. Aku turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Mbak Yus.

“Iya, Mbak?”

“Ada tamunya, Non Giselle.”

“Siapa?”

“Kurang tahu, Non.”

“Bukan tamu Daddy atau Mommy?”

“Bukan, Non. Nanyanya Non Giselle.”

“Orangnya seperti apa?” tanyaku penasaran.

“Laki-laki, Non…”

Laki-laki?

Mungkinkah?

Dadaku berdebar lebih cepat dari sedetik yang lalu. Aku mengangguk perlahan pada Mbak Yus.

Aku mengikat rambut panjangku, melihat ke cermin sekilas sebelum keluar kamar. Turun ke bawah menuju pintu depan dengan seribu pertanyaan hinggap di kepalaku.

Semakin dekat dengan pintu depan,  debaran itu menguat.

Hanya sepuluh langkah lagi … lima langkah … dua langkah … aku membuka pintu dengan detak jantung yang sudah mengalahkan pikiran warasku. Apa yang akan kulakukan ketika melihatnya? Tersenyum? Memeluknya? Atau pingsan di hadapannya?

Pintu terbuka lebar. Selebar hatiku.

Oh….

Dia….

Oh….

Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat duniaku teguncang seketika. Debaran jantung dibekap seketika oleh rasa … terkejut!

Dia memegang bungkusan kecil di tangan, berpakaian rapi dan senyuman tersungging di wajahnya.

“Selamat siang. Giselle Fransisca Oetomo? Saya mengirimkan pesanan atas nama Mbak Giselle.”

Dari sekarang kubuang jauh-jauh impianku tentang seorang adam di bumi yang bernama David Wicaksono.

Kuterima bungkusan dengn senyum masam. Paket ini memang sudah kutunggu sejak beberapa hari lalu, tapi kini sudah tidak menarik lagi.

Lupakan Dave, lupakan patung Yunani bernyawa itu pernah membuka hatiku.

Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan jatuh cinta. Namun semua kandas bahkan sebelum aku bisa mengecap indahnya cinta itu.

Emma menghiburku, katanya masih banyak patung-patung lainnya yang akan bisa menggantikan pria yang tidak bertanggung jawab itu. Patung di rumah lilin, sambungnya dengan tawa yang menyebalkan sekali.

“Gua nggak hamil, Bego…” rutukku.

“Sama aja. Dia nggak bertanggung jawab atas akibat dari sentuhan-sentuhan yang disengajanya waktu pesta kemarin. Ya, kan? Pemberi harapan palsu,” sambung Emma dengan nada menyebalkan.

Apa pun alasannya, yang pasti aku harus melupakan Dave.

Hangout bersama Emma menjadi salah satu cara efektif menghilangkan rasa sakit karena cinta bertepuk sebelah tangan. Begitu kata artikel di sebuah majalah. Salah satu cara untuk move on adalah dengan bergaul dan membuka hati akan keberadaan para kumbang yang sebenarnya sangat memikat.

Emma mengenalkanku pada seseorang malam ini, saudara jauhnya, kata Emma. Baru menyelesaikan tugas berbulan-bulan lamanya di Kalimantan. Benar-benar jauh.

Namanya Rifky Handoko.

Dia menarik, sangat menarik. Sekilas ada kemiripan dengan Dave, warna kulitnya, senyumannya.

“Kamu ada waktu hari Sabtu malam nanti, Gis?”

Itu kata Rifky ketika dia mengantarku dan Emma ke tempat parkiran mobil.

Emma tersenyum lebar ketika aku menoleh padanya. Rifky tersenyum manis dengan rasa percaya diri yang sangat besar, dan wangi seksi yang menyeruak dari tubuhnya karena dia berdiri sangat dekat.

“Mau apa?”

“Kita nonton.”

“Sama Emma?”

Pertanyaan bodoh.

“Kita berdua. Aku jemput jam 7 malam, Sabtu ini.”

“Iya,” jawabku dengan nada tercekik.

Aku yakin Emma menertawakanku dalam hati.

“Bagus. Sekarang langsung pulang, hati-hati di jalan.”

Aku mengangguk, lalu mengangguk lagi, dan dengan gugup mengikuti Emma yang masuk ke mobil.  Mobil melaju perlahan meninggalkan Rifky di belakang. Aku mengintip terus dari kaca spion, Rifky masih berdiri tegap dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Mataku masih melirik kaca spion hingga mobil berbelok dan bayangannya menghilang.

“Bagaimana? Dia cakep kan?”

“Banget…” jawabku.

Emma tertawa dan aku hanya tersenyum sendiri.

Rifky Handoko.

Malam minggu kedua aku bersama Rifky, setelah sukses minggu lalu nonton bersamanya. Rifky humoris dan sangat perhatian padaku.

“Mau ke mana?”

“Ke mana aja.”

“Ke bulan mau?”

Aku tertawa.

“Kita makan aja, aku ajak kamu makan iga bakar, enak,” katanya memutuskan.

Aku mengikuti ke mana pun dia mengajakku.

Minggu ketiga bersamanya, aku mulai merasa nyaman. Candanya mampu membuat hari-hariku cerah. Kadang dia meneleponku pagi hari hanya untuk bertanya apakah aku sudah bangun. Atau teleponnya di siang hari hanya untuk mengatakan dia tidak bisa menelan makan siangnya sebelum mendengar suaraku. Setiap kali aku menutup sambungan teleponnya, aku hanya akan termangu, apa yang sebenarnya aku rasakan?

“Pingin ke mana? Udah makan siang?” tanyanya dengan lembut dan mata yang menyiratkan perhatian padaku saat dia melepaskan pandangannya dari jalan raya yang padat.

“Aku pingin makan sushi,” cetusku tiba-tiba.

“Apa?? Kamu pingin makan Mbak Susi? Ckck ... kanibal ternyata….”

Aku tertawa dan kucubit lengannya dengan gemas. “Garing.”

Rifky tertawa lebar.

Mobil memasuki halaman depan sebuah restauran Jepang di Jakarta Selatan. Aku membiarkan tangan Rifky melingkar di pundak, menuntunku memasuki ruangan yang suasana Jepang-nya sangat terasa. Dua orang pelayan berpakaian kimono menyambut kami dengan senyuman dan salam hangat dalam bahasa Negeri Sakura itu.

Rifky mengajakku duduk di sushi bar.

Mataku berkeliling menikmati suasana cozy tempat makan ini. Posisi tempat dudukku memungkinkan aku untuk bisa melihat tamu-tamu yang datang dan pergi.

Senyumku terkembang, namun seketika menguncup ketika aku melihat seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Sempat aku tidak percaya pada penglihatanku, namun setelah berkali-kali meyakinkan diri, aku tidak salah.

Dave…

Itu Dave!

Dave bersama seorang pria berumur, yang kuduga orang Jepang.

Aku tercekat, napasku seolah terhenti begitu saja.

Walaupun baru sekali aku bertemu Dave, tapi aku yakin itu dia.

Aku memohon dalam hati, jangan sampai Dave juga melihatku!

Terlambat, dia menghentikan tiba-tiba percakapannya dengan koleganya saat dia melihatku. Untuk beberapa detik pandangan kami saling mengunci.

Aku menelan ludah. Dave terlihat kembali memusatkan perhatian pada orang yang bersamanya. Mereka mengambil tempat yang berbeda denganku di ruangan yang tidak begitu luas ini.

Ternyata Rifky memperhatikan, “Ada apa?” tanyanya.

“Nggak ada apa-apa, aku pikir tadi di luar ada yang aneh, ternyata bukan,” elakku sambil berusaha menenangkan debaran jantung yang melonjak. Entah mengapa aku merasa cemas bukan main, keringat mulai membasahi telapak tanganku.

Posisi Dave ada di belakangku, dan demi Tuhan, aku ingin melihatnya sekali lagi. Menoleh dengan sengaja padanya tidak mungkin aku lakukan.

“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Rifky lembut sambil menyentuh lenganku. “Tangan kamu dingin.” Dia berusaha menggenggam tanganku namun aku menariknya secara halus.

“Aku … hanya ingin ke toilet sebentar…” bisikku padanya. Rifky tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan tergopoh-gopoh ke arah toilet.

Aku sudah memasuki lorong menuju rest room restauran, ketika sesuatu menyambar lenganku. Aku tersentak kaget dan semakin terkejut saat melihat siapa yang melakukan itu.

Dave!

Dengan wajah dingin dia menyentak lenganku, mendorongku secara tidak langsung menempel di sisi dinding lorong.

Dave mengunci lenganku dengan tangannya.  Aku hanya menatapnya bingung. Dia mendekatkan wajahnya padaku, begitu dekat hingga bisa kulihat pori-pori kulit wajahnya.

“Siapa dia?!”

“Siapa ... apa?” tanyaku masih dalam lingkup kebingungan.

“Yang duduk bersama kamu di sana…” desisnya.

“Rifky, dia hanya—”

“Siapa pun dia, kamu harus ingat, kamu milikku,” potongnya tajam.

Keningku berkerut dan melihat langsung ke kedalaman matanya. Miliknya?? Sejak kapan??

“Aku … aku nggak tahu … kamu nggak pernah menghubungiku…” jawabku bingung dengan mata menelusuri wajah tampannya. Aku ragu, apa yang harus kuucapkan padanya. Ini terlalu membingungkan dan tidak jelas sama sekali. Jawabanku ini hanya asumsiku bahwa dia sebenarnya mencintaiku.

Dave menggerakkan tubuhnya semakin merapat hingga hangat napasnya terasa membelai wajahku.

“Aku sibuk di Jepang akhir-akhir ini, baru hari ini aku pulang … dan aku melihat kamu bersama cowok lain. Aku nggak suka.” Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, suaranya bagaikan desahan menggoda yang membuatku bergidik. Jantungku bertalu-talu tak tahu diri dan perutku terasa melilit. Dave telah berhasil mengintimidasi.

Aku menelan ludah. Seorang tamu berjalan melewati kami, aku tidak tahu apakah orang itu memperhatikan tingkah laku kami berdua. Dave tidak berusaha bersikap biasa malah mulai membelai rahangku. Aku berusaha berpikir rasional. Hal yang paling tidak bisa kita lakukan saat bersama orang yang telah membelit dengan cintanya. Perlahan namun pasti, ada emosi bergelegak, mencuat begitu saja.

“Kamu milikku, sejak pertama aku melihat kamu di pesta itu,” bisiknya lagi, kini napasnya menyentuh telingaku. Aku terombang-ambing oleh rasa aneh yang mencumbu dan emosi yang siap meletus dari dalam kepalaku.

Dia anggap aku apa???

Ini kesimpulanku. Aku menatap matanya garang. Seenak itukah dia meng-klaim kepemilikan atas diriku?? Setelah dia mencabik-cabik perasaanku secara tidak langsung dengan menghilang begitu saja??? Aku ingin mengeluarkan sekwintal ledakan yang mengendap di hati, tetapi lidahku kelu, hanya gemuruh di dada yang kian membuncah.

Aku menepis lengannya dan tanpa menoleh lagi berjalan cepat menjauh ke dalam area toilet cewek lalu masuk ke salah satu bilik.

Aku menyandarkan tubuh ke partisi yang membentuk bilik dan memejamkan mata, mencoba menenangkan gejolak emosi di dada.

Sialan Dave!

Sialllll!

Mengapa dia datang saat aku mulai membuka diri pada orang lain?

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kuat. Berkali-kali, hingga aku yakin yang tersisa di otakku hanyalah pikiran jernih.

Setelah yakin aku bisa mengontrol emosi, aku keluar. Rifky menatapku dari kejauhan dengan senyuman aneh.

“Bongkar muatan?” tanyanya.

“Truk kaleee…” jawabku dengan wajah kupaksakan tersenyum. Aku melirik ke tempat Dave duduk, dan seperti yang kuduga, dia tengah mengamatiku. Perasaanku bertambah galau, kata-katanya tadi menyelipkan harapan di antara kemarahanku.

“Aku pingin pulang, nggak enak badan,” kataku sambil meraih tas dari atas kursi.

“Pulang?” tanya Rifky dengan bingung.

“Iya. Pulang. Kalau kamu mau di sini, aku naik taksi pulang sendiri.”

Rifky meletakkan sumpitnya dan cepat-cepat meletakkan sejumlah uang di meja untuk membayar makanan yang bahkan belum kusentuh. Aku berjalan bagai robot. Genggaman tangan Rifky seperti bara panas. Aku melepaskannya. Hatiku berkata, Dave sedang memperhatikan gerakan sekecil apa pun yang kubuat. Aku merasa salah tingkah. Emosi yang tadinya berkoar-koar, kini sudah meredup. Ada jerih menyelinap, rasa ... menyesal. Aku tadi marah, tetapi aku menyesalinya sekarang.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, membisu seperti maneken toko baju. Candaan Rifky hanya berasa hambar tanpa greget siang ini. Aku memang diam, tetapi pikiranku berkelana, kembali kepada kejadian di toilet, pertemuan pertama, dan semua itu bermuara kepada Dave.

Rifky kuminta untuk pulang setelah mengantarku, karena aku sedang tidak ingin berbasa-basi, aku ingin sendirian. Dia terlihat berusaha mengerti. Aku merasa telah berbuat jahat padanya, tetapi aku tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja. Ketika dia pamit pulang, aku hanya mengangguk pelan.

Aku membantingkan tubuh ke tempat tidur. Kupukul kasur dengan kepalan tangan, aku marah lagi! Bayangan Dave menggoda. Dia, laki-laki pertama yang membuatku seperti ini.

Aku berusaha meredam amarah, dan hanya air mata yang mampu mendinginkannya. Aku menangis hingga suara segukan terdengar dan mataku sudah terasa sepat.

Aku benci Dave!

Entah berapa lama aku tertidur. Terbangun ketika langit di luar jendela kamar seakan mengikuti suasana hatiku—kelam. Aku buru-buru ke kamar mandi, membasuh diri, mungkin apabila badan terasa segar, otakku pun akan kembali normal.

Rumah sunyi senyap, seperti biasa Daddy dan Mommy tidak di rumah, travelling ke manca negara demi bisnis yang mereka bangun.

Setelah mencoba menelepon Emma, tetapai tidak tersambung, aku duduk di ruang tamu. Menyalakan televisi dan membiarkannya di stasiun mana pun yang pertama kali muncul saat kutekan tombol remote.

Kutekuk lututku ke atas, dan meletakkan daguku di sana.

Acara televisi hanya benar-benar menjadi pengisi kekosongan, menjadi latar belakang, karena aku hanya memandanginya dengan tatapan kosong. Suara televisi itu menggema di tengah kesunyian. Aku terbiasa sendiri seperti ini, tetapi hari ini, terasa berbeda. Kesunyian ini membuatku merasa sedih.

Bunyi bel rumah menggema lembut ke seantero ruangan, menarik paksa diriku keluar dari lamunan yang tak menentu.

Mbak Yus dari arah dapur setengah berlari ke depan, lalu tak lama kemudian menghampiriku.

“Non … itu, tamunya Non.”

Aku melirik Mbak Yus acuh tak acuh.

“Bawa bungkusan?”

Mbak Yus tersenyum. “Iya, iya, iya benar, Non,” jawabnya lalu kembali ke arah dapur.

Aku berdiri dengan enggan, mengingat-ingat pesanan buku apa lagi yang belum dikirim oleh toko langgananku.

Aku membuka pintu lebar-lebar, dan….

Rifky berdiri di hadapanku dengan seikat bunga segar, mawar merah.

“Aku boleh masuk sebentar atau aku hanya boleh berdiri di sini?” kata Rifky sambil menyerahkan karangan bunga itu padaku.

Aku tersenyum. Aku menggeser tubuh, membiarkan dia melewatiku kemudian duduk di salah satu sofa ruang tamu.

 “Kamu nggak apa-apa, Giselle? Tadi kamu bertingkah aneh banget. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa, makanya aku ke sini,” kata Rifky dengan senyum lembutnya.

Oh … so sweet….

“Nggak apa-apa. Tadi cuma berasa nggak enak badan aja,” ucapku pelan. Aku sedang tidak ingin berbincang, apa lagi dengannya. Aku bergerak gelisah, batinku berbisik, bukan Rifky yang kuharapkan kedatangannya. Bukan pula kurir toko.

“Ya, udah, kamu mau istirahat?”

Aku menatap matanya, dan aku yakin seratus persen, Rifky mengharapkan jawaban tidak dari mulutku.

“Iya, aku capek.”

Matanya meredup. Aku sudah menutup hatiku padanya.

Maafkan aku Rifky, kamu hadir di saat yang kurang tepat.

“Ya, udah, kamu istirahat, besok aku telepon kamu, oke?”

Aku mengangguk. Rifky berdiri dan aku mendahuluinya ke pintu depan untuk membukakan pintu untuknya.

Saat itulah, aku melongo menatap sosok tinggi menjulang di depan pintu dengan lengan terangkat seperti hendak menekan bel pintu. Tangannya turun perlahan, dan senyuman yang disunggingkannya menebas habis isi perutku, membuat rasa yang tak karuan. Bukan sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut, tapi seperti habis minum obat pencahar sepuluh biji.

Dave???

Bajunya masih sama seperti yang aku lihat tadi siang di restauran, berarti dia belum pulang ke rumah.

Rifky menghampiri di belakangku.

Oh, my God!

Dua orang laki-laki itu saling menatap!

Entah tatapan apa yang dikeluarkan oleh Rifky, tetapi tatapan Dave begitu dingin, menusuk jantungku secara tidak langsung.

“Dave?” panggilku pelan. Dave melirikku sekilas, lalu menggerakkan tubuhnya ke pinggir, seolah memberi jalan ... pada Rifky.  

Rifky keluar dengan perlahan, sesaat mereka bertatapan lagi, dan aku seperti kehilangan seluruh berat tubuhku.

Rifky menoleh kepadaku, “Aku telepon kamu besok.”

Aku hanya mampu mengangguk.

Dave masih menatapku, kini bukan pandangan sedingin iceberg, namun sepanas lava. Dia masuk tanpa kusuruh dan langsung menutup pintu. Aku berdiri bagai tikus yang terjepit, siap diterkam kucing buas di hadapanku.

Aku menatapnya tak kalah meradang. Rasa kesalku muncul lagi.

Dave mencengkeram lenganku lalu mendorongku hingga aku terduduk di sofa. Dia mencondongkan badannya, dengan dua tangan mencengkeram sisi sofa yang kududuki. 

Dadaku naik turun karena emosi yang tiba-tiba terkumpul begitu saja dan siap meletupkan titik-titik amarah.

Dave memiringkan kepalanya, menatapku lekat.

“Dia lagi. Aku tahu kamu nggak berhubungan apa-apa dengan orang itu. Karena kamu adalah milikku….”

Milikku! Milikku! Bah! Sebegitu posesif-nya-kah dirinya??

“Aku bukan barang yang bisa dimiliki seenaknya. Kamu selalu bilang aku milikmu! Aku masih bebas, nggak ada yang mengikatku!”

“Kalau aku bilang kamu milikku, maka kamu adalah milikku.”

Lalu tanpa aba-aba, tanpa peringatan apa pun, Dave mencium bibirku, dengan lembut. Aku menegang, syaraf-syaraf di tubuhku seolah mati mendadak. Sentuhan kulit bibirnya membuat daya kejut luar biasa. Alih-alih mendorongnya sebagai penolakan, sentuhan itu malah meredam amarahku. Dia terus menyecap bibirku, dengan kesabarannya, dengan kehangatannya. Aku terlena, mataku terpejam, dan kurasakan manis sentuhannya memenuhi rongga mulutku.

Apa yang keluar dari mulutku kemudian, membuatku heran. Aku mendesah. Aku malu, tapi aku mau.

Apa yang kulakukan kemudian, membuatku terpana. Aku menggapai lehernya, jemariku memainkan rambut kepalanya. Wangi tubuhnya memperparah keadaanku yang seolah terbang ke nirwana.

Dan, apa yang kulakukan saat dia melepaskan ciumannya, membuatku kehilangan rasa malu. Aku menarik kepalanya lagi dengan napas terengah. Aku tidak mau berhenti.

Ini ciuman pertama bagiku dan ternyata sangat memabukkan.

Dave menciumku lagi, kini kedua tangannya merengkuh rahangku dengan gelora yang terasa begitu besar.

Dave tersenyum, penuh kemenangan. Aku lunglai di sofa dengan wajah terasa panas.

“Aku jatuh cinta padamu, saat pertama kali aku melihatmu di pesta itu, Giselle,” katanya, perlahan namun dalam.

Apa yang harus aku katakan? Bahwa aku sudah tergila-gila padanya bahkan sebelum dia menampakkan diri?

“Aku tahu kamu juga memiliki perasaan yang sama….”

Sok tahu, tapi itu benar.

“Jadi, sekarang kamu tahu, aku adalah milikmu. Ganti baju, kita makan di luar.”

Lalu seperti terhipnotis, aku hanya mengangguk, berdiri, naik ke kamarku. Langkahku seolah tak memijak bumi lagi. Begitu ringan dan seakan aku berada di dimensi yang berbeda. Jangan bertanya tentang detak jantungku, bertalu-talu, membuat telapak tanganku dingin dan berkeringat. Aku membuka lemari, deretan panjang baju di dalam lemari membuatku bingung. Baju apa yang harus kupakai? Dengan cepat, satu per satu aku memindai, memilih. Bolak-balik memilih hingga akhirnya rok dan atasan berwarna biru tua aku pilih.  Aku menatap ke dalam cermin memulas bibirku dengan warna pink dan memutuskan untuk membiarkan rambutku tergerai begitu saja.

Saat berada di hadapan Dave, dia hanya memandang dari atas ke bawah, lalu berdiri dan menggenggam jariku dengan kuat. Berjalan bersama Dave, tidak sama rasanya saat bersama Rifky. Tak ada lagi rasa hampa dan semuanya kini tampak indah berbunga-bunga.

Ke mana perginya emosi yang tadinya menggelegak kuat? Lenyap bersamaan dengan ciumannya, lenyap saat getar cinta kurasakan begitu kuat dari sentuhan-sentuhannya. Gemuruh di dalam dadaku masih berlanjut sampai kami selesai makan malam, hingga Dave mengantarku pulang. Dia benar-benar memperlakukanku seolah aku ini wanita yang paling berharga baginya. Aku tersanjung.

Kecupan hangat di bibirku ditorehkannya lagi sebelum dia meninggalkan rumahku, memberiku sayap-sayap kecil yang mengangkat tubuhku menjadi seringan kapas.

Aku ingin tertidur pulas dengan mimpi indah di sepanjang malamku, maka aku mengetik pesan kepadanya: I love you.

Lalu tiket menuju mimpi indah aku terima beberapa saat kemudian.

I love you too, Giselle.

Aku terpekik dengan wajah bersemburat kemerahan—aku rasa—karena rasa hangat menjalar begitu saja di mukaku. Alih-alih tertidur pulas, jantungku terpompa kuat, membuatku terjaga hingga jarum jam menunjukkan angka tiga. Aku tertidur lelap, tanpa mimpi.

Apa yang terjadi dengan Rifky, kuserahkan semuanya pada Emma. Saat kuberitahu aku sudah sah menjadi pacar Dave, wajahnya ditekuk, namun kemudian memelukku.

Aku meminta maaf padanya, pada Rifky, perasaanku tak bisa kubohongi. Aku telah memilih Dave.

Rifky meneleponku, sekadar say hello, dan mengingatkanku bahwa ada seorang Rifky di dunia ini yang akan selalu ada saat aku membutuhkannya. Nada getir terdengar dari suaranya, ingin rasanya aku memutar ulang waktu, agar pahit yang ditenggaknya tak pernah terjadi.

Cinta adalah masalah hati. Bukan sesuatu yang bisa ditawar.

Aku memberitahu hubunganku dengan Dave, Daddy hanya tersenyum dan Mommy memelukku. Itu berarti mereka merestuiku.

Aku bahagia!  

Hubunganku dengan Dave seperti layaknya jalan tol, mulus, kadang tersendat juga saat Dave sibuk dengan pekerjaannya, pergi ke suatu negara berhari-hari. Aku sudah akan sangat merindukannya saat itu.

Bulan keenam hubunganku, Dave datang ke rumah. Aku mengajaknya duduk di teras, menikmati suara malam di depan taman luas yang penuh dengan Bonsai cemara udang koleksi Daddy. Suara air terjun mini menjadi pemanis malam kami.

Aku memainkan jari tangannya selama obrolan ringan berlangsung.

“Aku pingin kamu menjadi istriku secepatnya, Giselle.”

Aku menghentikan gerakan tanganku, menoleh padanya dengan perasaan malu yang mencuat tiba-tiba.

“Kamu mau, kan?”

Aku hanya menatapnya. Tidak seperti adegan dalam film, lamaran Dave jauh dari kata romantis.

“Kamu … udah mikir baik-baik?” tanyaku akhirnya.

“Udah, dari beberapa jam yang lalu.”

Oh, my God! Dave!

“Hanya kamu yang pantas menjadi ibu anak-anakku kelak…” bisik Dave kini di telingaku.

Angin berdesir pelan, membuka lembar demi lembar tabir rahasia yang kusimpan rapat selama ini. Kata-katanya telah membuka penutup ruang hatiku yang terdalam, yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya, ruang panik. Aku panik.

ANAK!

Dave menginginkan anak dariku, sedangkan aku….

Aku yakin wajahku berubah menjadi pucat pasi, karena Dave menatapku dengan bingung.

“Kamu sakit?”

Hatiku … iya, hatiku yang sakit.

Apa yang harus aku lakukan? Gamang.

Sisa malamku menjadi monolog seorang David Wicaksono, tak ada untaian kata keluar dari mulutku. Lidahku benar-benar kelu. Omongan yang keluar dari mulutnya hanya hinggap seperti bunyi-bunyian yang ada di sekitarku. Aku sedang berputar-putar sendiri dalam kekalutan yang tak berujung. Hingga akhirnya Dave pamit pulang, yang bisa kulakukan hanya mengangguk dan memalingkan wajah ketika Dave hendak mencium bibirku. Sejenak wajahnya terpana, menelitiku, dan aku berharap dia tidak menemukan kemelut yang tengah kurasakan. Dia hanya tersenyum tipis, mengatakan lagi untuk memikirkan lamarannya, kemudian membalikkan badan untuk pulang.

Tubuhku merosot ke lantai. Meneguk ludahku berkali-kali, seolah-olah kerongkonganku mengering. Ucapan Dave tentang “anak” mengiang di telinga. Tiba-tiba ada rasa takut menyergap, menderaku tanpa ampun. Dari sisi mana pun, tak ada jalan keluar. Aku adalah wanita cacat. Hanya keajaiban dari Tuhan yang bisa menghilangkan cacatku itu. Aku tergugu, mencoba melepas rasa sesak yang menghantam. Lalu bagai tandan air yang jebol, aku menumpahkannya dalam tangisan kencang. Aku terus menangis, menyesali, menyalahkan diri sendiri, bahkan menyalahkan Tuhan-ku. Rasa putus asa dengan jahat mencabik-cabik jiwaku.

Mbak Yus datang menghampiri, satu-satunya orang rumah yang dekat denganku selain kedua orangtuaku. Dia menghampiriku ragu, bertanya berupa bisikan kepadaku yang kujawab hanya dengan gelengan kepala. Aku mencoba berdiri, dan ketika tubuhku limbung, dia memapahku hingga ke dalam kamar. 

Berhari-hari kemudian aku memikirkannya. Jika dulu aku sanggup mengacuhkan cacat yang ada di tubuhku, kini hal itu telah menjadi belenggu tak kasat mata yang menelikung kedua kakiku. Semakin aku bertambah dewasa, semakin aku memahami kecemasan Mommy. Kini aku paham arti tatapannya, arti pelukan, dan arti setiap butir airmatanya.

Apa yang harus kulakukan? Jika aku menutupi kenyataan ini, aku telah berbohong padanya. Bukankah suatu hubungan akan semakin kuat karena cinta yang berselimut kejujuran?

Jika aku membuka cacatku ini, aku mungkin akan menelan simalakama, takdirku untuk kehilangan Dave.

Mommy di Eropa saat ini, level gundahku sudah akut, aku tidak bisa menjawab pertanyaan Dave tentang lamarannya, apalagi tentang peri-peri kecil yang katanya akan menghiasi rumah tangga kami.

Aku nekat menelepon Mommy.

Jawaban Mommy malah memaku diriku di titik yang sama.

“Anak itu hadiah dari Tuhan. Jalani pernikahan dulu, masalah anak bisa kalian selesaikan nanti. Entah adopsi, atau banyak cara lainnya.”

Aku mengerti, Mommy tidak mau anaknya menjadi perawan seumur hidup, ada ketakutan yang kutangkap dalam suaranya. Keturunan seorang Oetomo berhenti di masaku. Aku sudah tidak bisa melanjutkan nama Daddy. Aku generasi terakhir. Aku yang menyebabkan terputusnya darah Oetomo. Ini membuat beban baru dalam batinku.

Aku mencari Emma, kekhawatirannya sama seperti Mommy.

Bagaimana kalau David pergi karena hal itu?

Aku tidak bisa menjawab.

“Lebih baik lo tutupi dulu masalah ini, setelah pernikahan, dia pasti akan lebih mengerti.”

Aku masih di titik yang sama. Madu di tangan kananku dan racun di tangan kiriku.

Berhari-hari aku merenung. Ingin rasanya aku menjadi orang yang paling egois di dunia. Ingin rasanya aku punya kemampuan untuk membalikkan fakta. Sudah beberapa hari Dave tidak bisa ke rumah, karena pekerjaannya di Jepang. Aku memakai masa itu untuk berpikir dalam.

Hingga di satu saat, atas nama cintaku pada David, aku sudah memutuskan.

Dave kuajak makan malam di rumah begitu dia kembali ke Indonesia, masakan spesial koki rumah. Aku berharap bisa memanjakan perut dan melembutkan perasaannya. Kubiarkan Dave menghabiskan makanannya. Dia tersenyum puas padaku dari seberang meja.

“Dave, aku mau ngomong…” kataku pelan sembari mendorong piring kami ke sisi meja.

Dave menoleh, “Ada apa?”

Aku tertunduk. Tiba-tiba saja mataku terasa panas, dan ada dorongan sangat kuat dari dalam diriku yang membuatku seolah akan meledak. Aku berusaha menahannya, tetapi aku gagal.

Aku terisak.

“Ada apa, Giselle?”

Aku menatapnya dengan derai air mata yang tak bisa kuhentikan. Rasa sakit kehilangan dirinya begitu merejam. Aku … aku … tidak mau kehilangan Dave! Kebimbangan menyeruak lagi.

Madu dan racun disodorkan di depan mataku.

Tapi aku terlalu mencintainya untuk menyodorkannya kebohongan.

Aku meremas baju, mencari kekuatan. Bayangan Dave hanya berupa samar-samar karena terhalang air mata. 

“Giselle … ada apa?” tanya Dave.

“Kamu tahu … kenapa aku nggak sanggup menjawab lamaran kamu?”

Dave diam, hanya keningnya berkerut. Isakanku semakin parah. Aku seperti sedang berjalan menghadapi hukuman pancung diriku sendiri. Bagaimana jika ... jika ...

“Aku nggak mau kamu kecewa…” kataku lirih.

“Karena?” desak Dave cepat.

“Aku cacat….”

“Maksudmu??”

Aku menelan ludah dan menarik napas panjang. Kupandang wajahnya lekat-lekat, mungkin hari ini adalah hari terakhir aku bisa menikmati wajah tampannya, cintanya.

Aku memberanikan diri. Apa pun resikonya, aku akan tanggung. Demi cinta, apa pun aku akan lakukan, termasuk mengorbankan kebahagiaanku sendiri.

“Aku nggak punya indung telur,” kataku singkat.

“Maksud kamu?” Dia memiringkan kepala, menatapku dengan kerutan di antara alisnya.

“Aku nggak akan pernah bisa memberi kamu seorang anak. Aku mandul.”

David menganga. Iya, menganga, dan ekspresi wajahnya semakin membuat hatiku hancur. Dia tidak bisa menerima kenyataan ini! Lalu tangisanku semakin kuat. Dan ... telah kuikhlaskan dirinya untuk pergi meninggalkanku.

“Kamu … kamu … nggak bisa terima ini, kan Dave?” tanyaku tercekat.

Dave menghampiriku, tanpa memberi jawaban, hanya memelukku dengan erat.

Pelukan terakhir.

Ledakan emosiku memuncak, aku menjerit putus asa, menggerung. Aku memeluk pinggangnya erat. Rasa pedih merajang begitu kuat.

Dave tidak mengatakan apa-apa, namun menarik tubuhku utnuk berdiri lalu menuntunku ke sofa. Dia memberiku kehangatan dengan pelukannya. Beberapa lama kami hanya diam. Ketika tangisku sudah mulai berkurang, dia mulai berbicara, dan menunggu ucapannya adalah siksaan bagiku.

“Kamu udah periksa ke dokter?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk pelan.

“Ada cara untuk menyembuhkannya?”

Aku menggeleng.

Dia masih mengharapkan derap kaki “Dave kecil” meramaikan hatinya.

“Sudah periksa ke luar negri?”

“Ke Malaysia….”

“Lalu hasilnya?”

Aku menatap nanar lurus ke depan, entah ke televisi atau remote yang tergeletak di dekatnya. Aku semakin merasa hampa. Dave sudah sangat jelas tidak bisa menerima keadaanku. Aku menarik napas panjang, ada rasa perih di setiap embusannya.

“Aku cacat.”

Dave berhenti bertanya.

Berhenti jugakah cintanya padaku?

Mataku sudah terasa sepat, ketika Dave pamit pulang. Satu jam lamanya kami berdua hanya menatap kosong ke depan. Sentuhan Dave menjadi duri tajam menyentuh kulitku. Ragaku sudah ber-antipati padanya.

Aku pasrah. Demi orang yang kucintai setulus hatiku. Kebahagiannya adalah kebahagianku. Kalau aku tidak bisa membahagiakannya, kurelakan dia keluar dari hidupku.

Langkah Dave-pun tak seperti biasanya. Kini terlihat gontai. Kecupan ringan di bibir dan kening pun kini tak kudapatkan. Sebegitu besarnya rasa kecewa yang menimpa? Aku adalah pelaku, jika aku sendiri merasa kecewa kepada keadaan ini, maka kekecewaannya berlipat lebih besar. Tidak ada yang bisa kulakukan, memandang punggung hangat dan bahu yang selama ini menjadi tempatku untuk berkeluh-kesah menjauh perlahan. Sekejap mengharapkan ada keajaiban atas nama cinta, bahwa dia akan membalikkan badan, tersenyum, membentangkan lengannya lebar-lebar, merengkuhku kembali ke dalam dekapannya, menerimaku apa adanya—tanpa syarat. 

Aku ambruk lunglai seperti kertas yang basah, ketika kudengar suara mobilnya berlalu pergi. Tidak ada cinta yang besarnya sanggup menerima kenyataan semacam ini. Dave sudah memutuskan melalui sikapnya, dirinya bukan untukku.

Entah berapa lama aku hanya bersimpuh di lantai teras, dengan tangis yang tak kututup-tutupi. Kuremas ujung gaunku, kuhantam lantai dengan kepalan tangan, menyalurkan semua kekesalan yang tiba-tiba menumpuk begitu saja. Kecewa telah berganti menjadi rasa kesal, ketika rasa kesal menjadi amarah, lengkingan keluar dari mulutku.

Amarah kepada siapa?

Mommy?

Daddy?

Atau Tuhan?

Setiap kali tangisku mereda, kukira sudah berkurang juga rejaman di hati. Tetapi saat itu pula aku kembali terkenang pada kemanisan cinta masa lalu. Iya, masa lalu, ini membuatku kembali menggerung.

Aku letih. Ini yang membuatku berhenti menangis. Udara malam terasa sejuk, seolah hendak menghibur. Jangankan udara sejuk, apa pun—apa pun—tak akan mampu meredam perih ini. Aku mencoba berdiri, menahan tubuh dengan tangan bertumpu pada tiang teras hanya untuk memandang jauh ke titik dimana mobil Dave terlihat untuk terakhir kalinya lalu menarik napas sebanyak aku bisa. Satu dua senggukan terjadi di ujung tarikannya.

Selamat tinggal, Dave….

Aku menelepon Emma tentang Dave dan  hanya mampu mengucapkan tiga kata: “aku”, “Dave”, “pisah”, setelah itu aku sudah menangis lagi.  Satu jam kemudian Emma sudah berada di kamarku, memelukku. Menghiburku dengan percuma.

Aku berkeluh-kesah lagi, kini pada Emma.

Emma mengucurkan airmatanya, bagiku. Dia memelukku erat.

Dua minggu berlalu, aku masih menjadi manusia kamar. Hanya berdiam diri di dalam kamar, menangis, lalu berhenti, menangis lagi, lalu tertidur. Ketika aku terbangun dan teringat Dave, aku menangis lagi. Kata Emma, ada hikmah yang akan bisa kuraih karena kecacatanku, ada makna yang indah di baliknya. Bolehkah aku tidak perlu mendapatkan hikmah itu? Bolehkah aku memilih untuk tidak merasa kehilangan seperti ini? Bolehkah aku menolak patah hati?

Aku memandang handphone-ku dengan pikiran kosong. Mengharapkan Dave menelepon ibarat menunggu hujan es di khatulistiwa.

Aku menarik napas panjang, mengisi sepenuhnya paru-paruku dengan udara segar.

Seminggu kemudian pun, aku masih seperti mayat hidup.

“Sampai kapan lo akan karatan begini, Gis?” Emma bertanya padaku kemarin. Mungkin dia benar. Aku mungkin akan sangat mengalami kesulitan untuk move on, tetapi bukan berarti aku menghentikan hidupku yang masih terus melaju.

Aku duduk di depan cermin rias, menatap pantulan wajah di sana, muka sembap dan rambut awut-awutan. Aku mengambil sisir dan mulai menyikat rambut panjangku.

Apa yang sedang Dave lakukan sekarang?

Apakah Dave sedang bersama pacarnya yang baru?

Pacar baru Dave pasti cantik!

Apakah Dave menggenggam erat tangannya?

Apakah Dave mengiriminya kalimat-kalimat penuh cinta?

Apakah Dave juga berlaku posesif pada pacarnya yang sekarang?

Pikiranku berkelana, tanpa bisa kutolak rasa sakit menusuk di dada, lalu air mata berderai tak bisa dicegah lagi. Dave pasti sedang bermesraan dengan wanita lain. Dia sudah bahagia. Bahagianya adalah bahagiaku.          

Tanganku masih menyikat rambut namun kepalaku sudah tertunduk dan bergoyang-goyang karena isakan tangis.

Untuk beberapa saat aku hanya duduk berdiam diri hingga bunyi telepon kamarku berdering. Emma yang menelepon.

“Gua ke sana sekarang,” katanya lalu mematikan telepon begitu saja.

Hari masih sore, aku membuka jendela yang sudah lama tertutup karena mendung bergelayut di hati. Menarik napas sepanjang mungkin, merasakan udara mengisi paru-paruku. Untuk pertama kalinya, aku merasakan kepasrahan yang seutuhnya.

Matahari sore bersinar terang, namun tidak terik. Aku melihat jauh ke depan, memperhatikan tukang kebun sedang merapikan taman depan rumah. Aku memutuskan untuk keluar, menunggu Emma. Mungkin dengan memandangi taman yang indah akan membantu suasana hatiku menjadi lebih baik.

Perkiraanku benar, menyaksikan tukang kebun merapikan dan menyiangi tanaman, membuatku lebih rileks. Aku bisa berpikir lebih jernih di sini. Bahkan aku sudah berpikir untuk mengikuti ke mana pun ajakan Emma nanti.

Aku tersenyum sendiri sembari menatap bunga Lily yang bergerombol indah di sepanjang jalan setapak menuju air terjun mini. Menikmati segerombolan ikan koi di kolam di bawah air terjun yang tak pernah letih untuk berenang ke sana kemari. Seulas senyum terbentuk begitu saja melihat dua ekor dari mereka saling berkejaran. Aku duduk di bangku taman di sisi kolam, menikmati hiburan yang bagiku tak ternilai harganya saat ini.

“Non … ada tamunya…” Tukang kebun memanggilku.

Aku tersenyum padanya, Emma sudah datang. Setengah berlari aku keluar dari taman menuju beranda rumah. Aku akan mengajak Emma untuk duduk di taman saja. Banyak hal yang ingin kuceritakan, banyak hal yang ingin aku tuangkan dan lupakan.

Aku melangkah lebih ringan. Aku pikir sudah waktunya untuk melepas masa lalu. Aku menarik napas panjang dan kusiapkan senyum di wajah.

Berjalan perlahan menelusuri jalan setapak taman, menyeberangi jalan menuju beranda samping, tempat Emma biasanya memarkir mobil.

Saat aku mendekati beranda, aku sudah melihat bayangan mobil di sana. Aku menambah kecepatan langkahku, tetapi kuhentikan mendadak sesaat setelah melihat wujud mobil itu seutuhnya. 

Itu … bukan mobil Emma! Itu ... mobil ... Dave….

Aku menghentikan langkah, tercekat, dan tanpa diperintah, dadaku sudah bergemuruh oleh rasa rindu yang dengan jahatnya tumbuh begitu saja. Aku ingin mendekat, namun kaki seolah menginjak medan magnet yang membuatku menempel di bumi yang kupijak.

Ketika aku melihat sesosok pria yang sedang berdiri membelakangiku, napasku berhenti.

Aku tidak mungkin salah, punggung, bahu, kepala, itu semua milik Dave! Aku mundur selangkah.

Sebelum aku sempat membalikkan tubuh untuk lari dan menghindar, Dave sudah membalikkan tubuhnya. Dan aku mulai susah bernapas! Aku panik, apa yang harus kulakukan?? Saat Dave semakin mendekat, rasanya aku akan pingsan karena jantungku berpacu begitu cepat.

“Giselle…” sapa Dave di jarak 30 sentimeter dariku.

“Hai…” sapaku kaku.

“Hai...” katanya lagi.

Aku memperhatikan wajahnya, terlihat lebih kurus dari yang kuingat. Terlihat berantakan, bahkan cambangnya sudah mulai tumbuh. Seperti bukan Dave, Dave yang kutahu selalu menjaga penampilannya.

“Kamu baik-baik saja, Dave?” tanyaku.

Bodoh! Tentu saja dia baik-baik saja! Apa yang kamu harapkan Giselle? Dave menangis menggerung dan mengurung diri seperti dirimu??

“Nggak. Aku nggak baik-baik aja. Kamu?” Dave balik bertanya.

“Aku….”

Tidakkah dia melihat mataku sembab dengan lingkaran hitam di bawahnya?

“Kita sama,” kata Dave memutuskan. “Ada yang harus kita bicarakan….”

“Apa lagi?” tanyaku getir. Dave menatapku intens, membuat jantungku berpacu lebih cepat hingga terasa seolah akan copot dan jatuh ke ujung kakiku. Aku menunduk.

“Aku minta maaf … tiga minggu ini aku nggak menghubungi kamu.”

Oh … hanya untuk minta maaf ternyata. Aku menatapnya, putus asa. Apakah aku harus mengalami lagi rasa sakit itu? Apakah ini hukumanku? Aku menelan ludah dengan terpaksa. 

“Kamu tahu kenapa?” tanyanya, masih dengan ketenangan yang sama.

Aku mengangkat wajah.

“Karena aku, terus terang, nggak bisa menerima penjelasan kamu.”

Bagus … dan kamu baru saja menyiramkan cuka di atas lukaku, Dave. Bisakah kamu lebih berperasaan dan menghilanglah dari hidupku tanpa prolog seperti ini??

Aku menunduk dan berusaha sekuat daya menahan bulir-bulir air mata yang siap mengalir dalam hitungan mikrodetik.

“Tapi aku lebih nggak bisa lagi melupakan kamu….”

Aku mengangkat wajah, dan gerakanku dengan sukses menggoyang genangan airmata hingga turun deras mengalir di pipi.

Salahkah pendengaranku? Please, ucapkan sekali lagi David Wicaksono! Ucapkan lagi, sialan!

Lalu perbuatan selanjutnya membuatku percaya bahwa dongeng cinta abadi pangeran dan putri itu ada. Aku percaya apa yang disebut cinta tulus. Cinta yang menerima keadaan apa pun yang terjadi di antara dua hati.

Dave berlutut di satu kaki di hadapanku, tangannya merogoh kantong bajunya, mengeluarkan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam angan-angan. Dia membuka kotak beludru berwarna abu-abu tua, memperlihatkan sebentuk cincin bermata indah di dalamnya.

Will you marry me, Giselle Fransisca Oetomo?”

Aku meledak!

Aku menangis sesenggukan, menunduk dengan bahu yang kuyakin bergerak-gerak seiring dengan entakan rasa yang kucurahkan saat itu.

Rasa haru dan euphoria bercampur menjadi satu!

Dave memegang tanganku, meremas.

“Giselle?” panggilnya lembut.

Aku mengangguk … aku hanya bisa mengangguk!

Aku mengangguk berkali-kali hingga ingusku mengucur deras keluar dari hidungku.

“Jawab, Sayang...” pintanya.

“Iya ... iya, Dave … iya....”

AHHH!

Ledakan perasaan mencapai klimaks, Dave berdiri, mengambil cincin dari kotaknya

dan menyematkannya di jariku. Tubuhku bergetar kuat.

Oh, Tuhan … terima kasih….

Tangisku mereda, Dave mengambil sesuatu lagi dari dalam kantong bajunya.

Saputangan, dia menyerahkan saputangannya padaku.

“Bersihin,” katanya pendek. Aku tersenyum dengan bibir bergetar, membersihkan air

mata, dan segala tetek bengek di wajahku. Dave mengambil alih saputangan itu dan dengan telaten dia membersihkan—entah apa pun juga yang menurutnya harus dibersihkan.

Dave tersenyum lembut kepadaku, meraih wajahku dengan kedua tangannya dan mengecupku seperti saat pertama kali dia menyentuhku. Lembut dan penuh perasaan.

“Aku mencintai kamu, Giselle,” bisiknya setelah ciuman kami berakhir.

“Aku mencintaimu, Dave,” balasku dan memeluk tubuhnya begitu erat.

Saat memeluk Dave, ekor mataku menangkap bayangan mobil Emma, mundur untuk keluar dari halaman rumah. Aku yakin Emma melihat mobil Dave dan memutuskan untuk tidak menggangguku.

Cerita selanjutnya sama seperti novel-novel roman yang pernah kubaca. Hubungan yang sangat indah, penuh kemesraan, dan Dave ternyata orang yang sangat romantis. Posesif romantis. Perpaduan luarbiasa yang membuatku tersanjung, membuatku menjadi wanita yang paling istimewa.

Beberapa bulan kemudian, kami menikah. Secara mewah atas permintaan kedua orang tua kami. Dan aku menjadi Cinderella hari itu, dengan sepatu transparan yang dipesan khusus, namun kini tak perlu lagi aku meninggalkan sepatu ini atau melemparkannya karena sang pangeran sudah ada di sisiku.

Malam pertama?

Sensor.

Dave memberiku kenikmatan yang luarbiasa yang belum pernah kualami sebelumnya, dan dia … hebat. Sangat hebat!

Tahun demi tahun berlalu, tak ada topik tentang anak dalam setiap perbincangan kami. Kami cukup bahagia dengan keadaan kami apa adanya. Emma menyusulku beberapa bulan kemudian, dia menikah dengan seorang laki-laki yang baru dipacarinya beberapa bulan, pengusaha batu bara. Tak terperikan rasa bahagiaku untuknya.

z

Tahun 2003             

Tahun keenam pernikahan.

           

Aku sudah berdandan dan gaun pendek selutut berwarna pink gelap yang kupakai terasa sangat serasi dengan bentuk tubuhku,kemudian langsung mematutkan diri didepan cermin besar di kamar, bergerak ke kiri ke kanan, memandang dari segala sisi yang mungkin dilihat oleh orang.  

Aku menyukai penampilanku hari ini, rambut pirang panjang dengan ikal diujungnya, berayun-ayun mengikuti setiap gerakan tubuhku. Tak ada make up tebal di wajah, hanya mascara tipis dan polesan lip gloss di bibir yang membuatku tampil lebih segar. Aku menatap puas.

Dave sudah berangkat kerja, dia juga memuji penampilanku tadi. Gaun ini hadiah darinya, saat dia melakukan negoisasi bisnis di Jepang. Namun dia sempat berbisik di telingaku, bahwa aku terlihat lebih cantik saat tak mengenakan apa-apa. Aku tersipu. Nanti malam, Sayang… itu bisiknya lagi setelah mengecup kedua pipiku.

Jam masih menunjukkan angka sembilan, masih ada sedikit waktu untuk mampir ke mall, membeli sedikit kudapan untuk acara nanti. Arisan bulanan.

Aku membuka lemari besar di sisi cermin, sederet sepatu terpampang, berbagai model dan warna. Lama aku berdiri sebelum memutuskan untuk mengambil sepatu open toe[2] yang baru kubeli kemarin.

Aku keluar kamar dan menutup pintunya rapat, lalu memanggil Pembantu Rumah Tangga, memberinya instruksi untuk semua hal yang kuingat, juga untuk menyiapkan sop kepala ikan kesukaan Dave untuk makan malam.

Aku keluar rumah, sopirku sudah menungguku di teras, langsung membukakan pintu mobil ketika dia melihatku.

Mall Megah masih terasa lengang ketika aku menginjakkan kaki di sana. Aku langsung ke tempat kue langganan, lalu berputar-putar sekadar membuang waktu. Beberapa kali aku berhenti di depan toko mainan anak, atau toko peralatan untuk bayi. Aku tersenyum, bukan senyum berbinar, hanya senyuman pasrah. Akhirnya aku menghabiskan setengah jam di dalam toko peralatan bayi, menyentuh dan menimang barang-barang mungil yang membuat bagian dari dalam diriku bergolak. Pertanyaan-pertanyaan dari SPG hanya membuatku tersenyum garing dan menganggap mereka seperti angin lalu.

Bayinya umur berapa, Bu?

Cowok atau cewek?

Silakan dilihat koleksi terbaru kami.

Bla bla bla.

Jam sebelas lebih aku meninggalkan mall, dan baru kurasakan kakiku sakit. Betis dan tumit kakiku pegal. Salah satu bentuk pengorbanan seorang wanita demi penampilan. Demi Dave, aku akan selalu membuat penampilanku segar. Hanya itu kekuatanku, kurasa hanya itu yang bisa mengikatnya.

“Langsung ke rumah Bu Emma, Bu?” tanya Pak  Kosim.

Aku menatap matanya melalui kaca spion tengah dan kuberi dia anggukan kecil tanpa suara.

Mobil bergerak hening, mataku menatap keluar jendela, menikmati hiruk-pikuk Jakarta di siang hari. Anganku melayang kembali ke sederetan perlengkapan bayi di toko tadi. Selama ini Dave tidak pernah mengungkap lagi tentang cacatku, aku merasa bersyukur, tetapi di sisi lain, aku merasa ini seperti bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Bukannya aku tidak memercayai suamiku sendiri, tetapi manusia bisa berubah. Hati bisa berubah. Siapkah diriku menerima perubahan itu?

Tidak.

Aku mengeluarkan handphone dan delapan pesan ternyata sudah masuk tanpa kusadari. Hampir semuanya dari Emma, dan satu pesan balasan dari Dave, dia akan pulang seperti biasanya. Aku tersenyum, ini berarti aku harus memastikan diriku sudah ada di rumah sebelum Dave tiba, sebelum jam delapan malam.

Sejam kemudian, sebuah rumah besar bergaya minimalis sudah terlihat di depan mata, rumah Emma. Setiap bulan aku ke sini, arisan tertutup, hanya untuk kalangan—yang menurut Emma—tertentu saja dengan selera yang tidak memalukan: The Haves. Terserahlah apa kata dia, karena aku hanya menikmati pertemanan ini. Sepuluh orang wanita berusia hampir sama denganku, dengan berbagai macam karakter dan strata kekayaan imbang.

Pintu pagar besi tempa berukuran besar langsung terbuka ketika mobilku berada di depannya. Penjaga rumah Emma sudah sangat hafal mobilku.

Aku turun dari mobil dan langsung menekan bel pintu depan. Seorang wanita berseragam pelayan membukakan pintu dan tersenyum begitu melihatku. Aku tersenyum balik padanya kemudian menyerahkan bingkisan lalu langsung memasuki rumah yang semua perabotannya bertema minimalis.

Beberapa orang sudah riung riuh di taman belakang rumah Emma.

“Gis! Sini!”Aku mencari asal suara, Emma memanggil dari salah satu saung yang berderet di dua sisi taman yang luas. Aku bergegas menghampirinya. Beberapa orang berada di dekat meja yang penuh makanan menyapa dan memberi pelukan ringan, yang lainnya tampak serius berbincang di pinggir kolam renang.

Emma sedang bersama Diana, dua buah kotak beludru terbuka di hadapan mereka berdua. Isinya seperti biasa yang kulihat, satu set perhiasan berlian.

Aku membuka sepatu dan mendadak merasa lega, lalu duduk di sebelah Emma.

“Bagus?”

Aku mengangguk padanya,”Bagus!” kataku untuk lebih meyakinkannya.

            “Oke, gua ambil yang ini aja, Na,” kata Emma mantap.

Diana tersenyum lebar, sang penjual perhiasan itu terlihat puas berhasil menjual dagangannya. Hobinya mengumpulkan perhiasan berlian memberinya celah untuk mendapatkan uang lagi, hanya di kalangan sendiri, di lingkup arisan ini. Emma bergegas membawa masuk kotak perhiasannya ke dalam rumah dan muncul kembali tak lama kemudian.

“Spadaaaa!”

Kami bertiga menoleh ke arah pintu, seorang wanita dengan gaun berwarna biru muda tampak memperlihatkan senyuman lebar. Satu-dua orang temanku menyambut wanita itu dengan heboh, yang lainnya tersenyum dengan pandangan menyelidik.

Diana menatapku, aku mengedik. Aku dan Diana menatap Emma.

Emma menoleh sedikit dan dengan suara rendah memberitahu kami berdua, “Kalian nggak tahu? Dia istri pengusaha kayu….”

Aku dan Diana membentuk huruf O di ujung mulut kami.

“Kenapa dia disini?”

“Arisan kita terakhir hari ini. Bulan depan kita buka yang baru, gua ajak dia gabung. Gua ketemu dia di tempat fitness.”

Aku dan Diana menyimak penjelasan Emma dengan seksama, penasaran, karena Emma tidak pernah mengajak orang lain untuk bergabung apabila orang itu tidak memiliki keistimewaan.

Kepala Diana dan kepalaku masih terjulur mendekat pada Emma.

“Dia gosiper hot! Segala macam gosip yang beredar dia tahu. Dia juga menjalani bisnis agen … semacan makelar gitulah. Nggak begitu kaya … tapi lumayan kita bisa dapat hiburan dan informasi.”

“Agen? Agen apaan?” tanya Diana.

“Dia menjadi perantara apa pun. Lo cari mak comblang? Cari dia. Lo mau cari brondong? Dia pasti dapatin buat lo!”

Aku dan Diana terkikik mendengar uraian Emma, apalagi dengan ekspresi wajahnya yang begitu pas. Pantas.

“Siapa namanya?” tanyaku penasaran.

“Monica Geraldine.”

Aku menatap dari kejauhan, wanita yang dipanggil Monica itu, dia tampak luwes. Suara tawanya yang keras sesekali mampir di telingaku.

“Monic!” Emma berteriak memanggil. Yang dipanggil menoleh, entah mengatakan apa kepada temanku yang sedang mengajaknya berbincang, dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan anggun menghampiri kami bertiga.

Aku dan Diana serentak menggeserkan tubuh duduk lebih ke dalam saung.

“Duduk sini! Ini kenalin, Diana dan Giselle.”

Monica mengulurkan tangannya, aku dan Diana bergantian menerima jabat tangannya itu.

“Diana … sang Ratu Berlian….” kata Monica sambil tersenyum kepada Diana.

Oh. Dia tahu tentang Diana juga. Emma benar. Apa yang dia tahu tentangku? Aku menatapnya masygul.

Dia lalu melihat ke arahku, entah mengapa aku merasakan tatapan matanya berubah, seakan dia bersimpati, ikut bersedih … seperti tatapan pada orang yang sedang berduka. Apa maksudnya? Apa itu hanya khayalanku saja? Apa perasaanku saja?

Atau dia benar-benar mengetahui juga segalanya tentang diriku?

“Ada gosip apa, Mon?” tanya Emma memecah lamunanku. Monica mengibaskan rambut ke belakang, sorot matanya sudah berubah lagi, bersemangat mendengar pertanyaan Emma. Ini mungkin menjadi semacam tantangan baginya.

Monica menatap mata kami satu persatu, dan seperti tersihir olehnya, kami semua terdiam dengan semua mata tertuju padanya.

“Kalian tahu Rieke? Rieke Guntoro, istri William Guntoro. Besok mereka sidang cerai! Kalian lihat aja nanti lusa di televisi, liputannya pasti rame!”

Mulut kami bertiga terngangah, pemilik jaringan hotel terbesar di Indonesia itu terkenal sebagai pasangan yang serasi, bagaimana mungkin mereka bercerai? Tunggu! Bagaimana Emma bisa mengetahuinya kalau memang stasiun televisi baru akan meliput berita itu besok lusa?

“Lo jangan becanda, Mon!” seru Emma dengan tatapan tak percayanya.

“Terserah. Kalau berita itu nggak ada dalam minggu ini, kalian boleh cap gua pembohong.”

“Kenapa bercerai?” tanyaku penasaran.

Monica menatapku lekat lagi, hanya sedetik.

“Karena masalah keturunan. Mereka nggak punya anak, rahim Rieke sudah diangkat bertahun-tahun lalu karena penyakitnya saat itu.”

Mulut Diana dan Emma membentuk huruf O besar.

“Lo tahu dari mana?” tanya Diana setelah terbebas dari rasa kagetnya.

Rasa penasaran menggerogoti kami semua. Monica hanya tersenyum dan tertawa kecil. Dia mengibaskan rambutnya lagi. Merasa di atas angin.

“Sumber terpercaya lahhh…” katanya memandang puas kepada kami semua.

Kami tersenyum.  Waktu yang akan membuktikan omongannya.

“Mereka nggak angkat anak?” Emma bertanya, posisi duduknya kini berpindah, bersandar ke tiang saung, di sudut.

“Suaminya menolak. Hubungan makin dingin, udah deh, bubar jalan.”

“Emang nggak ada jalan lain?” tanyaku lirih. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa tercekat. Emma menatapku, lama, dari matanya aku tahu dia bersamaku.

“Sebenarnya ada beberapa jalan. Begini….” Monica bak seorang konsultan ahli membeberkan isi kepalanya. Diana mengangguk-angguk, Emma sebentar-sebentar melirikku sedangkan aku menyimak uraian panjang seperti murid mendengarkan gurunya.

“… tinggal pilih aja mana yang lebih cocok, ya kan?” Ini kalimat penutupnya.

“Iya, paling tidak begitu, harus ambil alternatif lain untuk mempertahankan rumah tangganya.” Diana berkata sambil berdiri, merapikan gaun selututnya, lalu kembali duduk. Monica seakan menyihir kami dengan pengetahuan luasnya.

Aku menyandarkan punggung ke pembatas saung sembari meluruskan kaki. Emma beringsut mendekat, menemaniku. Lidahku terasa kelu, cerita Monica begitu membekas dalam hati.

Ketika acara arisan bubar, aku meringkuk di pojok sofa ruang keluarga Emma. Pikiranku melayang. Dua tahun lalu aku pikir aku bisa melakukan program  bayi tabung, tapi masalahnya aku tidak memiliki sel telur untuk dibuahi. Program itu mental begitu saja dan terlupakan, hingga hari ini. Apa alternatif lainnya? Semacam “atas nama ‘demi Dave’, mengizinkan dia menghamili wanita lain atau mengizinkan suamiku untuk memiliki istri kedua”?

Otakku terus berputar, mengolah segala kemungkinan, membuang yang pasti tidak akan pernah rela untuk kulakukan. Mungkin … hanya ada satu cara….

Emma menyerahkan segelas minuman padaku dan ikut meringkuk di sisi sofa lainnya, tepat pada saaat aku selesai menyaring semua itu dalam pikiran. Aku menarik napas panjang, disertai desahan, aku ingin membuang rasa sesak di dada yang tiba-tiba bergelayut dan menjadi beban yang ingin kulempar jauh-jauh dari kehidupanku.

“Kenapa?” tanya Emma.

Ah, aku lupa, Emma pasti tahu aku sedang gelisah. Selalu tahu.

“Mommyyyy!” Sebuah jeritan terdengar dari dalam rumah. Seorang anak kecil, Tiffany, anak perempuan Emma yang berumur tiga tahun berlari menghampiri, dan seorang suster tergopoh-gopoh mengikuti dari belakang.

Emma mengangkat anaknya, menggendong dan menciumi wajahnya. Mata bulat bening Tiffany menatapku dan memberiku senyuman polos terindah yang pernah kulihat.

Aku ingin punya anak!!!

Batinku menjerit dan semakin pilu ketika kubayangkan Dave pasti akan mengalami perasaan yang sama denganku ketika melihat seorang anak kecil. Perasaan Dave pasti hancur. Begitukah?

Emma berusaha menyerahkan Tiffany ke babysitter-nya tetapi dia  meronta dari paksaan sang pengasuh. Namun iming-iming sepotong cokelat dari wanita muda yang telah merawat Tiffany dari orok telah mengalihkan perhatiannya.  Emma vs Cokelat. 0-1.

“Gua iri sama lo, Em ... lo punya anak, lo bahagia…” bisikku lirih.

“Nggak ada yang perlu lo iri-in. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menjadi bahagia.”

Mungkin Emma benar, aku berbahagia selama ini dengan caraku sendiri, sepanjang pernikahanku dengan Dave. Tak ada sedikit pun penyesalan terurai.

“Gua udah pikirin dari tadi Em….”

“Tentang?”

“Omongan Monica. Gua mau ambil cara itu…”

Itu???”

Emma menatapku lama. Dunia seakan lengang seketika, yang terdengar hanya degub jantungku, bertalu-talu mengiringi semilir rasa cemas dan secercah harap.

“Lo yakin?” tanyanya.

“Gua yakin.”

“Pikir—”

Please, Emma.”

Emma menarik napas panjang lalu meraih handphone-nya, menekan tombol di sana, menatapku sekali lagi sebelum dari mulutnya keluar kata “halo Monica”.

***

[1] USG : Ultrasonography

[2] Open toe : sepatu wanita yang bagian depannya terbuka.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
HeNov
seruuuu...
goodnovel comment avatar
Wresni Wirawati
Apakah masih ada kelanjutannya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status