Tahun 1993
Selopeng-Madura
Hari ini pipisku berwarna merah, seperti darah yang pernah kulihat saat Eppa’[1] membuat ayam peliharaanku menjadi ayam goreng.
Ebo’ yang melihatku di kamar mandi. Aku sudah lama berdiri seakan kakiku terpasak ke bumi, menunduk memandangi lantai yang tergenang cairan kemerahan. Dalam hati ketar-ketir, apakah di dalam perutku ada penyembelihan sesuatu yang membuatku seperti ayam itu? Tapi aku tidak merasakan sakit, mungkin ayamnya yang kesakitan. Iya, pasti itu.
“Rosa, ada apa?” Itu ibuku, nada suaranya seperti keheranan. Dia menatapku dari pintu kamar mandi yang tidak aku tutup saat melaksanakan hajat kecilku tadi. Aku merasa, hanya Ebo’ yang bisa menjelaskannya padaku.
“Pipis Oca merah…” jawabku pelan. Sepelan angin sepoi-sepoi yang masuk melalui ventilasi di dinding atas kamar mandi.
Ebo’ hanya menengok di lantai lalu tersenyum lembut.
“Alhamdulillah. Ba’na la raja, Bing[2]. Itu darah kotor yang keluar dari tubuh, namanya haid, menstruasi, atau datang bulan.”
“Bulan? Datang ke mana?” tanyaku semakin bingung dengan kata-katanya.
Ebo’ tertawa, tanpa menjawab apa pun, hanya menyuruhku membasuh diri sebaik mungkin, lalu memberiku pelajaran untuk mencuci bersih celana dalam yang ternyata terkena darah.
Di kamar, Ebo’ memberiku kain kecil seperti saputangan, tapi kasar seperti handuk. Aku pernah beberapa kali melihat Ebo’ memegang kain itu di kamar.
“Ini. Pasang ini di dalam celana dalam.
Lalu Ebo’ menunjukkan cara menjahit jelujur kain itu ke celana dalamku. Katanya darahku akan diserap di sana, nanti apabila aku mandi, aku bisa mencucinya. Aku memegang celana dalamku yang kini terasa aneh, dengan sedikit ragu lalu memandang Ebo’ bingung, menyerangnya dengan seribu pertanyaan tanpa kata.
Aku pikir aku perlu obat, sama seperti kalau aku batuk, Ebo’ akan memberiku obat batuk. Sekarang katanya aku berdarah, seharusnya aku akan mendapat obat juga. Dulu jariku pernah tergores besi tajam, berdarah, dan itu rasanya sakit sekali. Tapi sekarang aku berdarah di mana? Kenapa tidak terasa sakit sama sekali?
Ebo’ menyuruh aku memakai celana itu.
Aku deg-degan, apa yang akan terjadi nanti?
Ternyata tidak ada yang yang terjadi, hanya perasaan seperti ada yang mengganjal di antara kaki.
Ebo’ menarik tanganku untuk duduk disampingnya.
“Kamu sudah haid, berarti kamu wanita dewasa sekarang.”
Dewasa? Aku terkadang bingung dengan kelakuan orangtua. Kala aku minta disuapi makan, mereka bilang, “kok sudah besar masih minta disuapin?” Lalu ketika aku mau ikut ke acara halal bihalal Pak Rozak kemarin, mereka bilang jangan, ghi’ ta’ tao moang bile’[3]. Itu katanya karena aku masih kecil.
Apa aku bisa besar dan bisa kecil?
“Perempuan yang sudah mengalami haid berarti tubuhnya sudah bisa memproduksi telur, siap mempunyai bayi apabila menikah seperti Eppa’ dan Ebo’ nanti.”
Telur? Aku bisa mengeluarkan telur? Seperti ayam? Ayam yang sudah mati tadi?
Apakah saat aku berjongkok nanti, beberapa telur ayam keluar, menggelinding lalu pecah mengeluarkan bayi, seperti bayi tetangga sebelah?
Umurku tiga belas tahun, usia yang mulai matang kata orang-orang. Aku sendiri tidak mengerti maksud mereka. Matang? Seperti buah mangga? Atau sayuran yang biasa Ebo’[4] masak?
Aku hanya memandang Ebo’, mendengar tapi tak mengerti. Ah sudahlah, aku menyudahi ceramahnya dengan anggukan kepala.
“Kalau kamu sudah merasa kainnya penuh, cepat-cepat ganti.”
“Dhelem[5], Bo’.”
Aku meminta izin untuk melanjutkan bermain bersama teman-temanku. Warsito, Desman, Wati dan Soca, mereka pasti menungguku.
“Pulang sebelum azan Magrib,” pesan Ebo’.
Iya, sudah pasti itu. Aku tidak mau ada bi’ibi[6] berkeliaran di saat magrib mencari anak-anak yang masih bermain melupakan waktu salat, dan aku tidak bisa membayangkan apabila aku yang tertangkap oleh hantu-hantu menyeramkan itu.
Aku berlari, namun segera kukurangi kecepatan, pembalutku seperti rem pakem sepeda. Benar-benar terasa tidak nyaman. Tapi, kata Ebo’ aku mulai besar, jadi itu sedikit menghibur. Aku sudah dewasa, kan?
Aku mengambil sepeda mini berwarna merah muda, hadiah ulang tahun saat aku masih kelas 4 SD. Aku mengayuh cepat, tak kupedulikan sekarang ganjalan yang menekan jok sepeda. Malah kupikir sekarang jok sepedaku terasa lebih empuk. Ha ha ha ha.
Perjalanan terasa panjang, angin laut menebarkan aroma asin yang lekat. Pohon kelapa berderet sepanjang perjalanan, sesekali pohon ta’al terlihat. Aku jadi ingin minum la’ang, minuman dari buah ta’al itu. Aku pernah melihat orang memanjat pohon ta’al, menyadap tunas mudanya, menadah setiap tetesan air yang keluar dengan menggunakan timba yang terbuat dari daun ta’al itu sendiri. Orang itu bilang, baru keesokan sorenya dia akan panen hasil sadapannya.
Satu dua motor melintas, dengan keranjang besar di belakangnya. Bau amis tercium begitu motor itu lewat. Dia pasti nelayan yang membawa ikannya ke pasar, atau acan? Entah, tak banyak perbedaan baunya.
Mereka—teman-temanku—menungguku di pantai Slopeng. Itu janji kami berlima kemaren. Selepas zuhur di Slopeng.
Hari ini bukan hari libur atau hari Sabtu atau hari Minggu. Tidak banyak pengunjung datang ke pantai ini. Slopeng menjadi tempat wisata kebanggaan warga di sini dan sumber penghasilan. Tatkala banyak pengunjung yang datang, mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari berjualan rojak, soto lontong sampai mainan anak-anak.
Aku meletakkan sepeda disamping sepeda ontel milik Warsito, disandarkan di salah satu pohon nyeor. Kulepaskan sandal jepit dan kuletakkan di bawahnya. Lembut pasir putih pantai menyentuh telapak kaki, rasanya nyaman, dan dingin. Makin kau masukkan kaki ke dalam pasir, makin dingin yang terasa.
Suara gelak tertawa terdengar, semangatku terpacu, aku bergegas menaiki bukit pasir putih di pinggir pantai. Bukan bukit sebenarnya, tetapi gundukan pasir yang dibentuk oleh alam sejak dulu.
Debur ombak menyaingi jerit ceria mereka. Angin pantai yang panas mengobrak-abrik rambut panjangku yang tak kuikat karet kali ini. Angin yang sama membentuk goresan alur di permukaan pasir basah, sementara riak dan buih ombak menghapus mahakarya sang alam.
“Rosa! Ayo!” Soca berteriak memanggilku.
Aku menyipitkan mata, lalu memanggil Soca agar mendekat.
Rambut Soca berkibar dan senyum lebarnya merekah. Aku menarik lengannya lalu membisikkan cerita tentang haid pertamaku. Hanya mulutnya yang terbuka lebar. Sebelum dia bertanya ini-itu, aku menarik tangannya, berlari dengan langkah berat di atas pasir.
Kami menghampiri mereka yang sedang bermain luncuran di sisi bukit pasir. Menggunakan pelepah besar kelapa yang sudah kering, mendudukinya, memegang ujung pelepah erat-erat, dan sensasi meluncur menyenangkan akan kau rasakan.
Pandanganku mengitari sekitar bukit pasir yang banyak ditanami pohon kelapa, dan menangkap sebatang pelepah besar, teronggok begitu saja seakan-akan menggodaku untuk meraihnya.
Aku menarik pelepah itu sekuat tenaga dan menariknya ke atas. Desman membantu akhirnya, dia tersenyum, gigi kuningnya tampak kontras oleh warna kulit yang hitam. Dia memotong tangkai panjangnya dengan belati yang selalu dia bawa ke mana-mana.
Udara pantai dan panasnya matahari memang telah membuat kulit penduduk asli daerah sini berwarna cokelat gelap. Kecuali aku. Aku menjadi satu-satunya anak yang berkulit putih.
Faktor keturunan tidak bisa membohongi. Kata Ebo’, aku mendapatkan warna kulit seperti ini dari generasi keenam sebelum diriku, seorang perantauan keturunan Tionghoa. Tjhoa Hian Sing, itu nama kakek-kakeknya-kakekku. Kapalnya merapat di pesisir Dungkek, lalu jatuh cinta dan membentuk keluarga dengan penduduk lokal, nenek-neneknya-nenekku, Sulastri.
Sebentar kemudian permainan luncuran sudah terasa membosankan. Desman dan Warsito berkejaran, menuruni sisi bukit pasir yang menghadap pantai. Aku, Soca dan Wati menyusul mereka serempak. Angin benar-benar menerpa dengan meninggalkan rasa lengket garam di kulitku.
Debur ombak menyaingi suara tawa kami berlima. Kakiku menyentuh air laut pantai. Tidak begitu bening, tapi tidak kotor juga. Hanya satu-dua bulu babi laut yang sudah jadi bangkai mengikuti permainan ombak, hingga mereka akan terdampar abadi di antara butir keemasan pasir pantai yang kering. Rambutku berkibar, aku berdiri menantang angin, merasakan rasa kebas aneh di wajahku.
“Cari demmes[7]! Ayo, aku yang jadi juri, kalau aku bilang mulai, mulai cari! Kalau aku bilang berhenti, harus berhenti! Aku yang nanti menghitung berapa demmes yang kalian dapatkan!” Warsito berteriak di antara suara ombak, angin dan teriakan kami para gadis.
Ketika tawa kami berhenti saat teriakan ‘mulai’nya terdengar, Warsito, sang juri dadakan menghitung keras-keras, “Settong! Duwa’! Tello’[8]!”
Aku menggerakkan kaki cepat, seolah menggali. Ini cara yang dulu Bapak pernah tunjukkan padaku. Porak-porandakan pasir pantainya, maka demmes-demmes kecil itu akan terlihat muncul dari kedalaman pasir basah.
Beberapa demmes itu mulai terlihat dan seperti berusaha menyelamatkan diri, mereka akan bergerak cepat dengan menjulurkan ‘kaki’nya masuk kembali ke dalam pasir pantai.
Entah sampai angka berapa Warsito menghitung, teriakan ‘berhenti’nya terdengar.
Entah pula siapa yang menang, karena Desman secara usil tiba-tiba menunjukkan kepiting kecil pada Soca. Sedangkan Soca takut pada makhluk mungil itu.
Orang pesisir takut pada kepiting kecil. Apa kata dunia??
Soca berteriak histeris, melemparkan demmes yang ada di genggamannya, dan histerisnya berefek domino pada Wati dan diriku. Semua menjerit histeris. Permainan bubar. Warsito dan Desman tergelak seakan besok akan ada larangan untuk tertawa.
Desman meraih lagi seekor kepiting kecil yang berusaha menyelamatkan nyawanya dengan membiarkan dirinya terhanut oleh riak ombak yang menepi, lalu melemparkannya padaku.
“Desman!” Aku menjerit histeris. Aku berani memegang kepiting kecil sejenis ini sebenarnya, tapi aku terbawa situasi kepanikan Soca. Desman tertawa terbahak dan aku tidak terima dengan perlakuannya, aku mengejarnya sekuat yang kakiku bisa lakukan. Ia tertawa, sesekali kepalanya menengok ke arahku, meledek. Atau ia berhenti sejenak meraup air laut dengan kedua tangkup telapak tangannya, lalu melemparkannya padaku. Selalu begitu.
Aku selalu menjadi bulan-bulanan ledekan Desman. Namun hanya dia pula yang lebih sering menolongku mengerjakan PR sekolah. Tak mengenal waktu, ia akan datang ke rumah untuk mengajariku.
Deru angin menabrak wajah dan menutup telingaku dengan gemuruhnya. Saat Desman berputar arah, aku masih belum bisa menangkapnya. Ledekannya usai ketika dia berhenti berlari di dekat Warsito dan membiarkan lengannya menjadi korban cubitanku.
Angin mulai terasa sejuk, aku tahu sebentar lagi aku harus pulang. Aku mengingatkan yang lain, mereka menurut, satu persatu berlari kencang meninggalkan jejak di pasir pantai.
Aku membonceng Wati, yang berbadan paling kecil. Warsito membonceng Soca. Sedangkan Desman berjalan kaki dan sesekali berlari kencang, rumahnya hanya beberapa ratus meter dari pantai.
Wati melambai lalu membentuk corong dengan tangannya, “Besok main lagi!” teriaknya. Aku menoleh sejenak, hanya tersenyum lalu mengayuh sepeda secepat mungkin.
Tiba di rumah, aku mendengar Ebo’ menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Jarang-jarang kudengar Ebo’ menangis. Aku berhenti di depan kamar, ternyata Eppa’ ada di dalam juga. Beberapa kali terdengar Ebo’ mengomel panjang, diselingi bentakan Eppa’. Mereka bertengkar.
***
[1] Eppa’ : panggilan Ayah dalam bahasa Madura.
[2] Ba’na la raja, Bing : bahasa Madura, artinya kamu sudah besar, Nak.
[3] Gi’ ta’ tao moang bilek : peribahasa Madura (belum tahu cara buang kotoran mata) artinya masih kanak-kanak.
[4] Ebo’ : panggilan Ibu dalam bahasa Madura.
[5] Dhelem : bahasa Madura, artinya iya.
[6] Bi’ibi : bahasa Madura, mitos hantu penculik anak.
[7] Demmes : sejenis kerang kecil.
[8] Settong! Duwa’! Tello’! : bahasa Madura yang berarti Satu! Dua! Tiga!
Aku tidak tahu harus bagaimana, akhirnya masuk kamarku sendiri, mengambil baju kemudian ke kamar mandi.Tak ada suara apa-apa saat aku keluar dari kamar mandi. Aku kembali masuk ke kamar, menyisir pelan rambut panjangku yang terasa gimbal—lengket satu sama lain—karena ulah angin tadi.Kutatap wajahku di cermin kecil berbingkai Hello Kitty, hadiah dari teman-temanku. Ulang tahunku lagi, tapi yang kesebelas.Suara azan magrib terdengar sayup-sayup. Dari cermin aku melihat bayangan Ebo’. Ia menghampiri, bertanya apakah aku mengganti pembalutku dengan yang baru dan membuang yang lama ke tempat sampah setelah aku mencuci bersih dan membungkusnya rapi dengan kertas bekas. Aku mengangguk dan Ebo’ tersenyum puas. Matanya terlihat merah, aneh bagiku, matanya menangis, tapi tersenyum padaku.“Ayo makan, jangan sholat dulu, kamu sedang halangan.” &l
Ucapan Desman terdengar begitu jelas. Tak salah lagi. Perutku memang kenyang, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng merah dan segelas fanta hijau, tapi oksigen masih cukup memenuhi otakku untuk mencerna ucapannya. Aku menunduk. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ini semua. Aku memang dekat padanya, tapi—“Ca?”“Aku … Desman….” Lidahku kelu. Pikiranku buntu, oksigennya sudah berebut memenuhi lambung. Aku hanya menganggap Desman sebagai teman. Pernyataan cintanya sungguh di luar dugaan dan harapan. Harapan? Iya, tak pernah aku berharap ada cinta di antara kami. Selama ini cukup sudah dengan status “teman”.Ia berusaha menggenggam tanganku namun kutarik pelan. Tak ada yang namanya “kesetrum”, “meleleh” atau apa pun istilah yang digunakan oleh novel-novel remaja yang sering Soca pinjamkan kepadaku. Yang ada hanya perasaan asing, kosong, bahkan yang katanya cewek akan terbuai oleh
Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.Eppa’ mengangguk.“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA Ambunten kupandang
“Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?
Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk
Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be
Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se
Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah