Share

01. Dua Bulan

Pernah pacaran dua tahun, saat putus nangisnya semalaman dan setelahnya tidak lagi.

Pacaran dua bulan, nangisnya sudah sebulan dan belum berhenti hingga sekarang.

Yuca miris dengan kehidupan percintaannya kali ini. Ia tidak pernah merasa se-bucin ini padahal baru pacaran dua bulan, dan jelas-jelas hanya dijadikan bahan taruhan. Namun, bagaimana ia bisa move on kalau hampir setiap hari wajah mantannya itu bisa ia temui? Dengan tampang yang tidak ada sedih-sedihnya sama sekali pula. Kurang berengsek apa lagi coba mantannya itu? Hal apa sebenarnya yang membuat Yuca tidak bisa move on juga padahal sudah sebulan berlalu? Jawabannya, Yuca juga tidak tahu!

Membersitkan hidung lalu menarik napas dalam-dalam, Yuca berusaha terlihat lebih baik. Sekali lagi ia melihat penampilannya di cermin, memastikan bahwa hidungnya sudah tidak merah. Yuca berbalik badan hendak keluar toilet, sialnya ia malah bertemu dengan Dara.

"Ca ...."

Yuca menepis tangan Dara yang menahannya. Amarah tercetak jelas di wajah bulat Yuca.

Sudah sebulan ini Dara mencoba meminta maaf karena telah menjadikan Yuca bahan taruhan dengan Naja. Namun, Yuca sudah terlanjur kecewa. Ia dan Dara berteman sejak kuliah, sekali pun mereka tidak terlalu akrab, tetap saja tindakan Dara itu sangat jahat.

"Yuca, please ... gue minta maaf. Gue udah balikin mobil Naja, taruhannya—"

"Taruhannya tetap pernah terjadi!" potong Yuca. Ia berbalik menatap Dara yang refleks berhenti melangkah. "Udahlah, Dar. Nggak usah kejar-kejar gue lagi buat minta maaf." Yuca kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi.

Mendorong pintu bertuliskan 'Web Series Project', Yuca masuk ke sana. Obrolan yang semula terdengar, sontak berhenti saat ia datang. Kalau bukan karena kontrak, sudah sejak sebulan yang lalu dia angkat kaki dari perusahaan ini. Jadi penulis NF Entertainment tidak sekeren itu hingga ia harus merelakan hatinya tercabik-cabik setiap melihat Naja.

Ia terlalu bahagia empat bulan lalu saat mendapat tawaran menjadi penulis utama pada proyek baru NF Entertainment. Yuca tidak menyangka ia yang selalu berhati-hati dengan pria begitu mudah tersandung oleh rayuan Naja. Namun, seorang Naja memang semudah itu menjerat perempuan bahkan hanya dengan tatapan tajamnya. Sial! Yuca membayangkan wajah pria itu lagi.

Telepon berdering, rekan Yuca bergegas menjawabnya. Awalnya Yuca tak ingin peduli sebelum namanya disebut.

"Baik, Bu. Saya sampaikan pada Yuca."

"Kenapa, Rik?" tanya Yuca pada perempuan berusia dua tahun di bawahnya itu.

"Yang nelepon Bu Nining, katanya lo dipanggil ke ruangan Pak Naja."

Sebagai bawahan, Rika memang terlalu santai bicara pada Yuca. Namun, karena masa kerja mereka bersama hanya enam bulan aktif, yaitu di kantor, lalu dua bulan pasif saat masuk masa syuting, Yuca memutuskan mereka bersikap santai saja agar komunikasi mudah nyambung. Apalagi mengingat usia mereka dalam satu tim tidak berbeda jauh. Delapan bulan itu sendiri bisa semakin cepat jika syuting berjalan lancar. Huh, Yuca tidak sabar rasanya angkat kaki dari agensi ini.

"Ngapain?" tanya Yuca, tiba-tiba tensinya naik mendengar perintah itu.

"Eng ... enggak tau," jawab Rika ragu-ragu sambil menggeleng. Mereka semua tahu betapa tragis akhir kisah cinta Yuca dan bos mereka, Naja. Hal itu yang membuat Yuca semakin tak betah. Ia merasa jadi bulan-bulanan di kantor.

Dengan terpaksa Yuca beranjak. Ruangannya dan Naja tidak jauh. Masih satu lantai dan berdampingan. Sehingga saat keluar ruangan, sudah bisa ia lihat Bu Nining, sekretaris Naja, yang mejanya berada di dekat pintu ruangan pria itu.

"Bu, Saya dipanggil Pak Naja?" tanya Yuca ketika sampai di depan meja Bu Nining.

"Iya, Ca. Udah ditungguin," jawab Bu Nining.

Mengangguk, Yuca mengetuk pintu dua kali lalu mendorongnya hingga terbuka. Ia disambut oleh tatapan Naja seolah pria itu memang menunggunya.

"Duduk, Ca," kata Naja. Menunjuk sofa di depan mejanya. Cara bicara itu terdengar sangat santai, berbeda dengan Yuca yang jantungnya terasa ingin meledak.

Setelah menutup pintu, Yuca duduk di sofa seperti perintah Naja. Ia enggan menatap Naja yang kini berjalan menghampirinya lalu duduk di sofa depan Yuca.

"Ca ...."

Hening, Yuca tak berminat menjawab.

"Yuca ...."

"Lanjutin."

"Lihat aku."

"'Saya' saja, Pak. Begitu sebaiknya atasan dan bawahan," ralat Yuca. Ia tidak juga menatap Naja. Karena ia tahu saat menatap manik cokelat itu, ia akan dibawa mundur ke masa di mana perasaannya sangat bahagia bersama Naja. Kemudian dilanjutkan kejadian di kafe saat ia tahu semuanya lalu kejadian setelah itu; obrolannya dengan Naja yang membanting harga dirinya hingga hancur menjadi butiran-butiran yang akhirnya terbang ditiup angin. Singkatnya, di depan Naja, Yuca sudah tidak punya harga diri lagi.

"Ca, Dara bilang sama aku kalau kamu masih marah sama dia. Dara bilang dia nyesal, Ca. Mobilnya juga sudah dia balikin. Dara bilang—"

"Kalau Pak Naja cuma mau kasih tau saya 'apa yang Dara bilang', lebih baik saya keluar. Ada tanggung jawab saya di kantor ini yang harus saya kerjakan," potong Yuca. Persetan dengan sopan santun.

"Kenapa kamu semarah itu, Ca? Kita kan nggak sempat having sex juga. Jadi nggak ada masalah lagi, 'kan? Mobil taruhannya juga udah dibalikin. Jejak taruhannya sudah nggak ada, Ca."

Masalahnya gue udah baper sama lo sampai ke tulang!

"Hm ...." Yuca tersenyum miris. Memang hanya dia di sini pihak yang paling bodoh.

"Ca ...."

"Saya keluar, Pak," ucap Yuca, berusaha sekuat hati untuk tetap sopan dan profesional. "Kalau ingin membahas hal pribadi, bukankah sebaiknya tidak di kantor. Iya, 'kan, Pak?" Yuca beranjak, ia berjalan keluar ruangan Naja.

Namun, tampaknya Naja belum selesai. Ia menahan tangan Yuca dan ikut berdiri.

"Pak!" Yuca mengentakkan tangannya.

"Dua bulan harusnya nggak seberarti itu, Ca, sampai kamu semarah ini. Kita satu kantor, lho. Dara juga temanmu, temanku, rekan satu kantor juga. Jujur aku nggak nyaman—"

"Menurut kamu emang dua bulan itu nggak berarti karena kamu ngejalaninnya cuma karena taruhan!" potong Yuca. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar kalimat-kalimat Naja yang berhasil membuat pria itu semakin berengsek di matanya. "Tapi aku, Naj ...." Yuca memukul dadanya yang sesak. "Dua bulan itu aku jalani pakai hati. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Emang aku yang bego, baru pacaran dua bulan udah halu bisa jadi perempuan terakhir di hidup kamu. Seperti yang kamu bilang waktu itu, aku bukan tipemu. Tapi tetap aja perasaan aku nggak bisa hilang gitu aja!"

Naja mengusap wajahnya kasar. Entah apa yang ada di kepala pria itu saat ini.

"Padahal kamu sudah seberengsek itu. Jadiin aku taruhan, bilang aku bukan tipe kamu, ngetawain aku sama teman-teman kamu, bahkan kamu meremehkan perasaan aku. Tapi, Naj, perasaan aku ini nggak mudah hilang. Aku juga nggak mau suka sama laki-laki nggak punya hati kayak kamu. Nggak bisa menghargai perempuan, bisanya cuma menjadikan perempuan objek untuk memuaskan nafsu biadab kamu itu. Aku benci sama kamu. Tapi di sisi lain aku juga masih sayang sama kamu," hardik Yuca panjang lebar, benar-benar berusaha meluapkan seluruh amarahnya. "Jadi biarin aku sama perasaan aku, itu jadi urusan aku. Stop minta aku maafin Dara atau berlaku normal seperti sebelum kamu jadikan aku target muasin kelamin kamu itu!" Terang-terangan Yuca menunjuk ke arah selangkangan Naja. Ia berkedip, meloloskan air mata yang sejak tadi siap meluncur dari peraduannya.

"Aku nggak tau kalau kamu jadinya bakal serumit ini."

Kan, Naja itu memang tidak punya perasaan!

"Kalau bisa selama aku masih di sini kita nggak usah saling tegur. Kalau kamu mau tanya progres naskah untuk web series, kamu bisa tanya Rika atau tim aku yang lain," pinta Yuca, "atau kalau bisa, sekalian kamu putuskan aja kontrak kerja sama kita. Nggak usah bayar denda, aku nggak masalah."

***

"Yey!" seru Yuca setelah meletakkan semangkuk ayam dimasak bistik ke meja makan. Ia memandangi seluruh lauk hasil tangannya itu dengan puas. "Mama, Papa, ayo makan malam!"

Tidak berselang lama, orang tua Yuca datang ke dapur. Sepasang suami istri itu bergandengan tangan yang membuat Yuca mencebik. Bahkan setelah dua puluh tujuh tahun menikah, orang tuanya itu masih romantis.

"Wah, emang pinter banget anak mama ini masak. Kalau Bi Endang nggak balik lagi, mungkin kita nggak usah cari ART kali, Pa, ya? Biar Yuna yang masak setiap hari."

Yuna Niscala Abram, kalau di rumah ia dipanggil Yuna. Sedangkan di luar dipanggil Yuca. Yuca juga menjadi nama penanya sebagai penulis novel.

"Ih, nggak mau!" tolak Yuca mentah-mentah.

Hadi Abram, papa Yuca, terkekeh. "Kenapa nggak mau?" tanyanya sambil duduk di kursi meja makan di samping sang istri.

"Yuna kan sibuk, Papa," jawab Yuca sambil menuangkan air minum ke gelas untuknya, papa, dan untuk mama.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal sibuk. Kontrak kamu di NF Entertainment sampai kapan, Na?" tanya Dira, mama Yuca.

"Kontraknya empat bulan lagi, Ma. Tapi aktif ngantor kayaknya nggak sampai dua bulan lagi. Setelah itu palingan cuma revisi-revisi aja kalau emang diperlukan. Siapa tau ada yang perlu diubah waktu syuting. Itu juga bisa dikerjakan dari rumah."

Dira manggut-manggut. "Mama nggak sengaja dengar obrolan kamu sama Litta beberapa minggu lalu, kamu bilang mau memutuskan kontrak. Bener?"

Tangan Yuca yang hendak mengambil ayam berhenti bergerak. Ia memandangi mamanya bingung. "Mama ... denger?"

"Sedikit aja," jawab Dira sambil mengunyah. "Mama nunggu kamu cerita ke mama, tapi sampai hari ini mama tungguin nggak ada."

"Hm, nggak jadi, Ma." Yuca melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

"Nggak nyaman di sana?" tanya Hadi, ikut menimpali.

Menghela napas berat, Yuca menggeleng. Ia memilih untuk tidak merespons lebih banyak.

"Kenapa? Nggak mau cerita?" tanya papanya lagi.

"Ya ... ada masalah dikit waktu itu. Tapi udah clear," jawab Yuca akhirnya, sedikit berbohong. Karena faktanya hingga kini ia masih tidak betah karena harus bertemu Naja. "Lagian mutusin kontrak dendanya gede kali, Pa. Sayang duit Yuna."

"Berapa dendanya? Kok nggak bilang sama papa, Na? Papa siap bayarin dendanya berapa pun kalau Yuna emang nggak suka di sana."

"Udah, ah. Ayooo lanjut makan aja!" ujar Yuna, menolak membahas lebih lanjut. "Nanti selera makannya hilang, lho, karena kebanyakan ngobrol."

Selama dua bulan pacaran dengan Naja, Yuca memang belum memperkenalkan pria itu pada orang tuanya. Bukan Yuca tidak ingin, tetapi Naja selalu beralasan setiap ia ajak mampir. Kini Yuca tahu jawabannya, karena Naja tidak pernah berniat serius.

Naja hanya menjadikannya taruhan selama dua bulan. Itu saja, tidak lebih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status