Share

02. Lembaran Baru

Cornelitta yang akrab dipanggil Litta, perempuan itu adalah teman Yuca sejak SMA hingga saat ini. Litta juga dengan senang hati dijadikan tempat sampah buat Yuca, alias tempat berkeluh-kesah. Seperti sekarang misalnya.

"Nangis lagi ...." Litta geleng-geleng kepala melihat Yuca. "Apa, sih, yang lo tangisin, Na? Tiap curhat nangis terus. Apa lagi yang bikin lo sedih? Udah gue bilang, lo nggak rugi putus sama laki-laki berengsek kayak Naja."

"Tapi dia perhatian," jawab Yuca sambil sesenggukan. Ia membersitkan hidung dengan tisu.

"Perhatiannya kan karena mau dapat perawan lo. Itu udah jelas. Semuanya cuma pura-pura. Lo tau itu, Yuna!"

"Iya, Ta, gue tau. Gue cuma lagi menikmati rasa sakit gue ini aja, kok."

Bantal melayang ke wajah Yuca. "Sakit kok dinikmati!" cibir Litta, tak sanggup lagi melihat kebodohan temannya itu.

"Biar entar kalau gue nulis scene patah hati, gue bisa menjabarkan dengan baik dan sampai ke hati pembaca."

"Ampun, deh. Emang dasar, ada-ada aja lo!" Litta merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya lurus-lurus ke arah plafon putih kamar Yuca. "Mau sampai kapan lo kayak gini, Na?"

"Hari ini, Ta. Terakhir malam ini gue nangisin Naja." Yuca menarik napas dalam-dalam agar lebih tenang. "Gue udah ikhlasin dia."

"Janji?!" seru Litta. Ia memicing menatap Yuca yang kini duduk di sampingnya.

"Janji. Mulai besok gue akan bersikap biasa aja sama Naja. Selayaknya bawahan dan bos." Yuca menarik tisu lalu membersitkan hidungnya.

"Ew ... jorok!" Litta memukul paha Yuca. Namun, temannya itu malah tertawa tanpa merasa bersalah.

"Makasih ya, Ta, udah mau dijadiin tempat sampah gue. Kapan-kapan gue traktir, deh. Kita beli KFC satu ember sama burger sepuas lo."

"Bener?"

"Beneran."

"Di kos gue, oke?"

"Oke!"

***

Setelah obrolannya semalam dengan Litta, Yuca sudah memutuskan untuk berdamai dengan rasa sakitnya. Ia melepaskan Naja dengan hati ikhlas. Berusaha membuang dendam dan perasaan benci, begitu pula perasaan sayang.

"Pagiii," sapa Yuca pada tiga orang timnya, yaitu Rika, Beni, dan Lingling.

"Pagi, Yuca," balas mereka serempak.

Setelah sebulan lebih, akhirnya aura ruangan mereka penuh kobaran semangat. Yap, semangat Yuca untuk segera menyelesaikan proyek ini agar ia bisa segera pergi.

"Em, Beni abisin dulu sarapannya. Setelah itu kita rapat. Oke?"

"Oke, bentar lagi, Ca," jawab Beni lalu memasukkan seluruh sisa rotinya ke mulut. Tindakan itu membuat pipinya gembung.

"Pelan-pelan aja, Ben." Yuca terkekeh melihatnya lalu duduk di kursinya.

Rika dan Lingling saling tatap melihat Yuca tertawa. Seolah kejadian itu hal yang langka, tepatnya setelah kabar putusnya Yuca dan bos mereka.

"Demi apa ... Yuca ketawa?" bisik Rika pada Lingling.

Perempuan berkacamata bulat itu mengangguk beberapa kali. "Sudah move on kayaknya," balas Lingling ikut berbisik.

"Yuca, udah selesai, nih, gue," ucap Beni.

"Hm, beberapa ide kemarin udah dikembangkan? Gue mau lihat hasilnya dulu."

"Waduh, punya gue belum di-print. Gue pikir kirim lewat e-mail, Ca," kata Rika. Buru-buru ia membuka file naskah yang sudah ia kerjakan sebelumnya. Bertepatan dengan itu, suara ponsel Yuca terdengar.

Selama Yuca berbicara di telepon, Rika menggunakan waktu itu untuk mencetak naskahnya.

"Kalian meeting tanpa gue untuk mengembangkan outline selanjutnya, ya?" Yuca tiba-tiba berdiri sambil memasang tas di pundaknya. "Gue harus keluar. Untuk naskah yang sekarang, simpan aja di meja gue, nanti gue cek," kata Yuca. Setelah itu ia berlari keluar ruangan. Ekspresinya jelas menggambarkan bahwa ia sedang panik.

*****

Tanpa sempat berpikir dengan benar, saat sadar Yuca sudah menekan tombol password apartemen di hadapanya. Ia menghela napas lega saat  memorinya masih berfungsi dengan baik dan dapat mengingat enam digit angka sandi tersebut.

Sambil melangkah masuk apartemen, tangan Yuca melesak ke dalam tasnya. Ia ingat betul selalu menyimpan antihistamin— obat yang digunakan untuk menghentikan produksi histamin dalam tubuh yang memicu alergi—dan obat steroid untuk meredakan gatal-gatal akibat alergi. Tepatnya seminggu setelah berpacaran dengan Naja, pria itu tidak sengaja mengkonsumsi kacang saat memakan roti, di mana sendok selai sebelumnya bekas selai kacang. Saat itu Yuca panik melihat keadaan Naja, sehingga setelahnya ia berinisiatif menyetok dua jenis obat tersebut. Tentunya setelah mendapat saran dari dokter yang menangani Naja.

Beberapa kali berkunjung ke apartemen Naja karena diajak pria itu, Yuca masih ingat setiap sudut ruangan ini. Ya, walaupun (ternyata) saat itu hanya akal-akalan Naja saja mengajaknya datang untuk melancarkan niat taruhan Naja, yang syukurnya tidak berhasil.

"Naja!" seru Yuca setelah mendorong kamar pria itu. Mulutnya menganga, terkejut melihat wajah pasi Naja. Pria itu duduk di lantai dan bersandar di kasur, tampak tak punya tenaga lagi untuk bergerak.

Yuca berlari ke dapur mengambil botol air minum serta gelas dan membawanya ke kamar Naja. Tanpa bertanya kronologi kejadian yang membuat Naja seperti ini, Yuca menuangkan air minum ke gelas. Setelah itu ia menyuapi dua obat sekaligus ke mulut Naja, kemudian membantunya untuk minum. Tangan kanan Yuca memegang gelas di depan mulut Naja, lalu sebelahnya lagi menekan pelan tengkuk pria itu.

Wajah pucat Naja sudah berbintik-bintik merah muda. Napasnya terdengar berat. Kedua tangan pria itu terkulai lemas di samping tubuh. Yuca menatapnya prihatin.

"Kamu tadi muntah? Mual?" Naja mengangguk pelan. "Minum lagi kalau gitu biar mualnya berkurang," perintah Yuca lalu kembali membantu Naja minum. Pria itu menurut saja.

Yuca bangkit, meletakkan gelas dan botol air minum ke nakas dengan cekatan. Kemudian langkah perempuan itu bergerak menuju lemari pakaian. "Kita ke rumah sakit, Naj," katanya sambil mengambil satu baju kaus tanpa banyak memilih.

Yuca berjongkok di depan Naja. Ia menarik ke atas ujung kaus pria itu. Lagi-lagi Naja tidak protes saat Yuca melepas bajunya yang basah karena keringat. Karena tidak punya banyak waktu, Yuca hanya mengelapi leher bekeringat Naja dengan baju bekasnya. Kemudian memasangkan baju yang baru.

Pandangan sayu Naja menatap wajah Yuca yang tepat berada di depannya. Wajah bulat itu tidak merubah ekspresinya sejak datang tadi. Kulit wajahnya kaku, matanya membulat dan menatap sesuatu yang ia kerjakan dengan fokus.

"C-Ca ...."

"Nggak, jangan ngomong." Ia tak menatap mata Naja bahkan saat membantu pria itu berdiri. "Tenggorokan kamu sakit," lanjut Yuca memberi alasan atas larangannya.

Karena memang sedang tidak punya banyak sisa tenaga, akhirnya Naja memilih diam. Napasnya pun pendek-pendek walaupun tubuhnya terasa lebih baik. Mungkin karena obat yang diberikan Yuca.

Menyetarakan langkah perempuan yang berada di sisi kirinya, tangan pria itu bertumpu pada pundak kiri Yuca. Sedangkan tangan Yuca melingkar di pinggang Naja.

Mereka melangkah pelan menuju lift untuk turun ke basemant, di mana mobil Yuca berada.

"Ca ...."

Yang dipanggil hanya diam. Pikirannya sedang berperang saat ini, memikirkan tindakan impulsifnya sejak tadi. Ia langsung pergi ketika ditelepon Naja, datang ke apartemen pria itu. Memberinya obat, menggantikan pakaiannya, dan saat ini sedang menyetir mobil ke rumah sakit untuk mengantar Naja.

Sebenarnya, untuk apa semua ini? Bukankah baru tadi malam ia berjanji pada Litta untuk mengikhlaskan segala tentang Naja? Oke, anggap saja ini kemanusiaan. Karena sekali pun bukan Naja yang meneleponnya, ia akan tetap pergi. Tidak mungkin ia membiarkan orang yang dikenalnya terdampar sendirian di dalam kamar apartemen mewah.

"Ca ...," panggil Naja lagi dengan suara tercekat dan serak. Dengan bahu dan kepala bersandar, pria itu menoleh pada Yuca di sampingnya. "Lo nggak mau tanya apa-apa, Ca?"

"Diam, Naj. Tenggorokan lo sakit."

Tawa sumbang Naja terdengar mendengar kata 'lo' dari Yuca. Biasanya mereka memanggil aku-kamu.

"Sori, gue ngerepotin, Ca. Gue sudah nelepon yang lain ... tapi mungkin pagi gini pada sibuk. Akhirnya yang ada di pikiran gue itu lo," jelas Naja agak tersendat. Ia mengikuti cara bicara Yuca tentang sapaan mereka.

Nelepon yang lain, ya? Itu berarti Yuca adalah orang kesekian yang pria itu ingat. Karena tidak ada yang lain, akhirnya Yuca-lah yang dihubungi. Perempuan itu tersenyum miris. Sialnya, mendengar itu masih membuat dada Yuca seperti diremas.

"Hm, it's ok, Naj."

"Lo keringatan. Lo pasti panik, ya? Gue nggak apa-apa, Ca."

Enggak apa-apa, katanya? Berdiri saja sulit begitu dan Naja bilang ia tidak apa-apa? Belum lagi ruam-ruam di kulitnya yang pucat. Rasanya Yuca ingin memukul kepala Naja mendengar itu. Namun, yang kini ia lakukan malah mencengkeram setir kuat-kuat tanpa menatap Naja.

"Udahlah, Naj," jawab Yuca dengan membuang napas di ujung kalimatnya.

"Gue boleh minta sesuatu sama lo?"

Tak menjawab, Yuca menoleh sekilas pada Naja. Pria itu masih memandanginya dengan pandangan sayu. Sebenarnya Yuca takut dengan sesuatu yang akan Naja pinta, tetapi pada akhirnya ia berdeham setuju.

"Bisa kita temanan aja, Ca? Lupain semua masalah kemarin. Anggap taruhan itu nggak pernah ada." Melihat Yuca mengerutkan alis, Naja melanjutkan, "Atau kalau jadi teman berat buat lo, biar kita jadi partner kerja. Sebagaimana waktu awal lo join NF Entertainment."

Mungkin Naja, Dara, maupun Renra bisa menganggap taruhan itu tidak pernah ada. Hal itu karena mereka adalah pihak yang merencanakan dan tidak mendapat dampak apa pun. Berbeda dengan Yuca yang pada akhirnya menangis setiap malam. Gagal move on sampai sebulan lebih, bahkan harus menjalani hari-harinya di NF Entertainmet dengan tersiksa karena desas-sesus karyawan lain.

"Lebih baik anggap kita nggak pernah kenal, Naj." Yuca menghentikan mobilnya di lobby rumah sakit. Ia mengetik sesuatu di ponselnya sebelum akhirnya menatap Naja. "Gue nggak antar lo ke dalam. Gue udah chat Dokter Ben buat jemput lo ke sini."

"Ca ...."

"Setelah lo keluar dari mobil gue, gue harap lo bisa berlaku seperti itu setiap kita ketemu."

"Yuca, gue—"

"Gue mau balik ke kantor."

Naja mengembuskan napasnya berat. Ia menunduk, menatap kosong pada pahanya. Beberapa detik kemudian ia membuka seatbelt. "Thanks, Yuca," ujarnya sebelum keluar dari mobil. Meninggalkan semua harapan pertemanan yang sempat ia tawarkan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu.

Mendadak perasaan Naja tidak enak. Seperti ada tempat yang tiba-tiba kosong di dadanya. Ruang hampa yang sebelumnya penuh dan hangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status