Share

You Are Mine
You Are Mine
Penulis: yuneverknow

00. Prolog

Terpaan angin di siang hari yang terik menyapa rambut sepunggung milik seorang perempuan yang tengah melangkah buru-buru di zebra cross. Surai yang sesekali menutupi mata membuatnya tampak kesulitan menyugar rambut karena sedang membawa tumpukan kertas dan laptop. Ia menghela napas panjang sesampainya di ujung jalan, lalu melangkah lebih santai ke arah kafe yang ia tuju. Melirik jam tangan, ia berdecak karena terlambat sepuluh menit. Syukur-syukur kalau pacarnya mau menunggu.

Senyum wanita itu mengembang saat melihat orang yang ia cari sedang duduk di salah satu kursi dekat jendela, duduk melingkari meja bundar dengan teman-temannya. Akhir-akhir ini sangat sulit untuk mereka bisa bertemu, entah kenapa. Padahal jadwalnya sendiri masih sama seperti biasa.

Perlahan langkah wanita itu mendekat dan sayup-sayup percakapan sang kekasih dengan teman-temannya terdengar.

"Jadi kapan lo mau traktir kita? Eh, Naja, jangan lupa juga kunci mobil lo serahin gue. Itu punya gue sekarang," ujar wanita yang duduk di depan seorang pria yang ia panggil Naja. Wanita itu menaik-turunkan alis dengan senyum merekah, seperti baru saja memenangkan sesuatu.

Naja menyugar rambutnya. Pria itu tampak gusar. "Sialan! Susah banget temen lo itu digodain, Dar. Pantes masih perawan di usia dua lima," gerurunya sambil merogoh saku celana bahannya lalu melempar kunci mobil ke meja.

"Udah gue bilang Yuca emang gitu orangnya. Dulu, satu jurusan juga tau itu." Dara, wanita itu terkekeh sambil mengambil kunci mobil Naja.

Langkah wanita itu berhenti ketika nama Yuca disebut. Yuca, itu adalah nama penanya dan nama yang biasa dipakai teman-teman untuk memanggilnya. Yuca berjalan ke arah toilet, berdiri di samping tembok dan menguping obrolan tiga orang di sana. Entah mengapa ia merasa harus mendengarkan percakapan itu lebih lanjut.

Yuca memeluk laptop dan tumpukan kertas naskah skenario yang sedang ia garap di depan dada. Perasaannya mulai tidak enak. Ada rasa nyeri di ulu hatinya yang entah datang dari mana. Seolah titik itu sudah bisa mencerna obrolan tadi sebelum otaknya bekerja.

"Jadi lo mau putusin Yuca atau lanjut, Naj?" tanya seorang pria yang memakai kemeja biru muda di samping Dara.

"Ya, putuslah, Renra Adiguna!" jawab Naja yakin, "tapi gue nggak mau mutusin. Udah dua minggu gue ngejauh, gue yakin, sih, Yuca sadar itu. Ini dia ngajak ketemu, palingan mau nanyain gue kenapa." Naja celingukan ke arah pintu kafe lalu melirik arlojinya. "Tapi lama banget itu orang."

"Kalau Yuca nggak mutusin?" tanya Dara.

"Berarti dia cewek bego karena mempertahankan laki-laki yang jelas-jelas nggak mau sama dia lagi."

Seperti ada jarum-jarum kecil tak kasat mata yang menusuk dada Yuca saat mendengar itu. Tanpa sadar ia memeluk laptopnya lebih erat lagi. Jadi, selama ini ....

"Naj ... Naj, taruhan dua bulan buat jebolin perawan anak gadis orang, bukannya dapat puas, malah hilang mobil," ujar Renra sambil geleng-geleng. Ia menyeruput kopinya dengan santai. "Untung aja nggak dapat, sih, kasihan Yuca. Terlihat seperti cewek baik-baik."

"Tapi kata Dara, di salah satu novel Yuca ada adegan dewasanya."

"Otak lo dikemanain, sih, Naj? Sudah jelas itu cuma karya fiksi yang kebetulan dibuat Yuca. Lo ini pemilik NF Entertainment, PH di bawah naungan perusahaan lo sudah memproduksi banyak film yang ditonton jutaan kali dan mejeng lama di layar lebar, tapi kenapa urusan begini lo nggak bisa memahami?" kata Renra. Ia geleng-geleng. "Semua itu cuma fiksi. Buatan, buah pikiran Yuca, bukan apa yang pernah atau ingin Yuca lakukan. Dalam menulis, Yuca bisa riset."

Dara mengangkat kunci mobil Naja—yang kini jadi miliknya—dan menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri. "Track record lo perlu dipertanyakan, deh, Naj. Masa dua bulan nggak bisa nidurin Yuca. Dan benar kata Renra. Lo bego banget kalau cuma karena Yuca penulis dan di salah satu karyanya ada adegan dewasa, lo pikir bisa dengan mudah nidurin dia. Penulis fantasi nggak tinggal di dunia fantasi yang ia buat, Naj. Begitu pula penulis romance," timpal Dara. Padahal, jelas-jelas Dara dan Renra tahu bahwa Naja paham betul tentang itu. Namun, sepertinya pria itu hanya butuh diingatkan lagi agar bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada.

Pikiran Yuca kosong mendengar itu semua. Ternyata selama ini ia hanya bahan taruhan. Pantas dua minggu terakhir Naja seperti menghindar. Itu karena sudah lewat dua bulan masa taruhan mereka dan Naja kalah. Mereka—ia dan Naja—memang tidak pernah have sex selama dua bulan itu walaupun beberapa kali Naja terang-terangan memintanya. Banyak kali pula pria itu menggodanya dan sangat sering memberi perhatian lewat temu. Namun, ternyata semuanya palsu. Itu semua hanya demi taruhan.

Kepala Yuca seperti dipukul, ia pening. Wanita itu melangkah lunglai keluar kafe tanpa benar-benar berusaha agar keberadaannya tidak disadari.

Brak!

"Aw!" Yuca meringis saat tanpa sengaja menabrak meja. Ia mengelusi pahanya yang terbentur benda keras itu. 

"Yuca?"

Yuca menoleh, dilihatnya Naja sudah berdiri sambil menatapnya bingung. Kemudian pandangan pria itu jatuh pada Dara dan Renra, mereka saling lempar tatap yang sama bingungnya. Seolah sama-sama memastikan bahwa apa yang ada di kepala mereka saat ini sama, bahwa Yuca sudah mendengar semuanya.

Tidak mau menanggapi lebih, Yuca berpaling. Ia kembali melanjutkan langkah keluar kafe. Sudah cukup, ia sudah tau semua sandiwara Naja. 

"Sialan!" umpat Yuca sambil mengusap pipinya yang basah. Entah mengumpati air mata itu atau perlakuan Naja padanya.

Tanpa menunggu lampu berubah merah, Yuca menyeberang sambil berlari. Suara-suara klakson berbunyi memekakkan telinga. Mobil-mobil mendadak berhenti dan berbelok menghindari tubuh berisi Yuca. Namun, Yuca sudah tidak ingat apa-apa lagi selain fakta bahwa ia hanyalah taruhan disertai berbagai alasan bahwa ia memang pantas jadi bahan taruhan. 

Selama dua bulan bersama Naja, lelaki itu pasti memandangnya seperti target yang siap dilahap kapan saja. Harusnya Yuca sadar, pria yang dikagumi banyak wanita seperti Naja tidak akan mungkin tertarik padanya yang jauh dari kata wanita ideal. Tingginya bahkan hanya 155 cm dengan berat 53 kg. Tidak jarang ia dikatai gendut dan disuruh diet setiap bertemu sepupu-sepupunya yang rela tidak makan demi tubuh langsing. Padahal, Yuca rasa ia tidak seburuk itu. Namun, perlakuan Naja membuatnya kembali dibanting. Ternyata dirinya memang setidak pantas itu bersanding dengan Naja.

"Brengsek, Naja!" umpat Yuca sambil mengusap pipinya kasar. "Dua bulan sialan!"

Yuca sudah berjalan di trotoar. Ternyata Tuhan masih melindunginya walaupun sumpah serapah ia dapatkan dari para pengendara. 

Menoleh ke belakang, Yuca terkekeh sumbang saat tidak melihat Naja. Pria itu bahkan tidak mengerjarnya untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Oh, salah. Sudah jelas tidak ada kesalahpahaman, semua yang Yuca dengar itu fakta. Keluar dari mulut Naja, Dara, dan Renra sendiri. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status