Share

3|Selamat Ulang Tahun

Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.

Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.

Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku sedikit terkejut saat Mitsuki melihatku, dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

“Apa kamu sudah sembuh Mitsuki?” Mitsuki hanya mengangguk, “tapi lebih baik kamu pulang saja, dan beristirahat hingga sembuh sepenuhnya. Setelah itu…” 

“Setelah itu…? Apa?” tanya Mitsuki.

“Setelah itu kita pergi bermain lagi seperti biasanya. Maaf sebenarnya hari ini aku tidak bisa pergi bermain dulu.”

“B-begitu ya… kalau begitu aku pulang saja ya… sampai jumpa lagi…”

Mitsuki mengatakan itu tanpa menatapku sama sekali, dia hanya menunduk dan tersenyum. Setelah itu Mitsuki berjalan pergi dari depan rumahku. Yang aku lakukan hanyalah melarikan diri, padahal saat Mitsuki sakit aku selalu menantikan kesembuhannya untuk bisa bertemu lagi dengannya, menyedihkan sekali aku ini… Aku benar-benar merasa bersalah padanya.

Tunggu Mitsuki… Payah, aku tidak bisa memanggilnya. Entah kenapa suaraku seolah tersangkut di tenggorokan…

“Mitsuki…! kalau besok sepertinya aku bisa!” Gawat, aku malah berteriak terlalu keras. Memalukan sekali…

Mitsuki hanya mengangguk sambil tersenyum padaku. Melihat itu benar-benar membuat hatiku tenang…

Besoknya, begitu selesai sarapan aku mendengar suara rintikan hujan dari balik jendela, dan saat aku periksa ternyata hujan turun cukup deras di pagi ini, hawa dinginnya membuatku ingin kembali ke tempat tidur. Kenapa masih pagi-pagi begini harus turun hujan…? Aku hanya bisa menunggu hujan ini reda dari balik jendela, sambil terus menatapi jam dinding berkali-kali, dan ternyata waktu biasanya aku pergi bersama Mitsuki sudah terlewat.

Menunggu dan terus menunggu. Saat siang hari tiba akhirnya hujan reda, begitu reda aku langsung pergi berlari menuju taman. Setelah hujan hawa dingin di luar rumah begitu terasa, jalanan yang masih basah, dan juga licin hampir membuatku terjatuh beberapa kali. Semakin aku berlari rasanya jantungku semakin berdebar…

Jarak taman semakin dekat. Aku mulai berlari semakin lambat, dan terus melambat… hingga akhirnya aku sampai di taman. Tempat biasanya aku bertemu dengan Mitsuki, tempat biasanya aku melihat dia terduduk sambil menatapi langit. Dengan nafas yang masih terengah-engah mataku berusaha mencari Mitsuki di setiap sudut taman, tapi aku tidak menemukannya. Taman ini sepi, tak ada siapapun disini.

Aku memutuskan untuk pulang setelah langit terlihat mendung kembali. Biasanya saat memikirkan Mitsuki itu membuatku sedikit tenang. Tapi, sekarang aku khawatir padanya. Aku bingung akan melakukan apa lagi, hingga akhirnya terlelap tidur.

“Alaaan! Bangun! Ini kamar kamu masih berantakan sama baju, ayo cepet beresin. Besok siang kita berangkat.”

Suara ibuku yang nyaring membuatku terbangun. Aku masih merasa lemas saat terbangun, dan merasa sedikit pusing. 

“Ayo cepat turun, makan malamnya sudah siap. Oh iya tadi sore ada Mitsuki-chan kesini nyariin kamu, tapi kamunya tidur.”

Setelah itu ibu keluar dari kamarku. Aku terkejut saat mendengar itu, pikiranku mulai merasa tak karuan, aku menjadi semakin merasa bersalah pada Mitsuki. Setelah mengambil secarik kertas di meja aku berlari keluar kamar, dan menuruni tangga menuju ruang keluarga.

Ayo Alan! Sekarang atau tidak sama sekali. Aku memutuskan untuk menghubungi Mitsuki lewat telpon rumahnya. Satu per satu tombol nomor aku tekan dengan perlahan mengikuti nomor telpon rumah Mitsuki yang tertulis di secarik kertas ini. Jangtungku sedikit berdebar saat menunggu telponnya tersambung.

“Ya hallo… kediaman Akio disini.”

Sepertinya ibu Mitsuki yang menjawab telpon dariku.

“Selamat malam tante. Ini Alan, maaf apa Mitsuki nya ada?”

Ibu Mitsuki mengatakan jika dia akan memanggilkan Mitsuki sebentar, tapi dia meninggalkan telponnya cukup lama.

“H- hallo, Alan?”

Dari balik telpon aku mendengar suara Mitsuki menyapa. Itu benar-benar mendadak, dan membuatku terkejut.

“Mitsuki, maaf soal kemarin, dan juga sore tadi…”

“Aku tidak terlalu memikirkannya kok, tenang saja… Jadi ada apa Alan?”

“Mitsuki… Sebenarnya besok… aku akan pindah, dan itu cukup jauh dari sini. Maaf karena baru memberitahumu malam ini. Sebenarnya aku ingin membicarakan ini lebih awal, tapi… maaf Mitsuki, aku benar-benar minta maaf.”

Mitsuki tak menjawab selama beberapa saat, lalu dia bertanya padaku akan pindah kemana. Saat aku mengatakan tempat aku akan pindah Mitsuki tak mempercayainya, dan sepertinya Mitsuki menjadi sangat marah padaku.

“Indonesia? Bukannya itu jauh banget Alan… itu di luar negeri bukan…?”

“Maaf Mitsuki.”

“Alan bilang… Alan bilang jika kita akan selalu bermain… Alan aku ingin bersamamu lebih lama lagi, aku ingin…”

Dari balik telpon aku bisa mendengar suara Mitsuki menjatuhkan telponnya, kemudian menangis. Suara tangisannya semakin mengecil, dan menjadi tidak terdengar dari telpon.

Tadinya aku berniat untuk langsung menutup telponnya, tapi ibu Mitsuki bertanya padaku penyebab Mitsuki menangis. Aku memberitahu ibu Mitsuki jika aku akan pindahan besok siang. 

“Begitu ya… sayang sekali, padahal kalian cukup dekat kan? Pantas saja Mitsuki menangis, dan langsung mengurung diri di kamarnya. Kalau begitu tante permisi dulu ya, soal besok nanti tante coba beritahu Mitsuki…”

Aku pikir setelah memberitahu Mitsuki soal pindahan akan membuat perasaanku menjadi lega, tapi ternyata ini malah membuatku semakin memikirkan Mitsuki. Aku semakin merasa tidak karuan, aku benar-benar membenci diriku sendiri. Sebuah senyuman yang harusnya aku lindungi, tapi malah aku rusak dengan air mata. Aku ini benar-benar sangat menyedihkan…

“Kamu habis nelpon Mitsuki-chan? Ayo cepat makan dulu.”

Ibu memanggilku, tapi aku masih diam berdiri sambil memegangi gagang telpon, setelah cukup lama melamun pada akhirnya aku merasa lapar, dan berjalan menuju meja makan. Ibu menegurku karena makan dengan terburu-buru. Selesai makan aku langsung menuju kamar, dan menutup pintu.

Melihat beberapa pakaianku yang masih berantakan di kamar, aku memutuskan untuk merapihkannya, dan memasukannya kedalam tas. Di meja aku secara tak sengaja melihat kalung yang kubeli beberapa waktu lalu, aku berniat memberikan kalung ini untuk ulang tahun Mitsuki. Tapi, jika aku tidak akan bertemu lagi dengan Mitsuki bagaimana aku memberikannya ini ya… 

Aku berhenti berpikir, dan langsung memakaikan kalung itu di leherku. Aku langsung tidur setelah merapihkan pakaianku ke dalam tas.

Hari ini 5 Maret. Sekarang adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga hari keberangkatanku. Mengingat dua hal itu membuatku tak ingin terbangun dari tempat tidur. Tapi, ibuku membangunkanku berulang kali hingga akhirnya aku keluar dari kamar, dan pergi bersiap.

Rumah ini mulai terlihat kosong, hampir semua perabotan sudah tidak ada, foto-foto pernikahan ayah dan ibu yang tertempel di dinding juga sudah tidak ada, sepertinya sebagian furniture di rumah ini sudah dijual. Keluargaku di antar oleh rekan kerja ayah menuju bandara dengan sebuah mobil berwarna biru tua.

Perjalanan ini memang cukup memakan waktu karena jarak rumahku menuju bandara cukup jauh, tapi terkadang waktu tidak begitu terasa hingga akhirnya aku sampai di bandara. Di bandara aku melihat banyak orang terlihat kesal, begitu juga dengan ayahku. Apa yang aku lewatkan…? Saat aku bertanya pada ayah ternyata pesawat mengalami penundaan penerbangan karena cuaca buruk di jalur penerbangan. Sejujurnya aku sedikit lega mendengar itu, aku jadi bisa lebih lama berada disini. 

Ternyata penundaannya lebih lama dari dugaanku, sekitar 20 menit sudah berlalu, tapi masih belum ada perkembangan informasi. Karena merasa mengantuk aku pergi menuju toilet untuk membasuh wajah. 

Airnya cukup dingin saat menyentuh wajahku, dan itu langsung membuatku segar kembali. Setelah berkaca sebentar, dan merapihkan rambut aku langsung keluar dari toilet. Saat baru saja berjalan keluar dari toilet seseorang menabrakku dengan cukup keras dari belakang, dan membuatku terjatuh. 

 “Aduh! Apa kamu baik-baik saja?”

Aku langsung bangun, dan memastikan keadaan orang yang menabrakku tadi. Tadi itu cukup sakit, sepertinya dia sedang berlari terburu-buru.  

“Ah maaf… maaf. Aku sedang terburu-buru,” ucapnya sambil berusaha untuk berdiri bangun dari lantai.

Karena dia terlihat kesulitan untuk berdiri aku pun membantunya. Begitu aku melihat wajahnya… ternyata itu adalah Mitsuki.

“M-Mitsuki…!? kenapa kamu ada disini?” mata Mitsuki terlihat berkaca-kaca, “t- tunggu, jangan menangis Mitsuki… Maaf, aku benar-benar minta maaf tentang ini…”

“Jangan pergi… Alan. Jangan pergi…”

“Meskipun kamu bilang begitu juga… itu tetap gak bisa Mitsuki. Oh iya Mitsuki, ini…,” aku melepas kalung di leherku, dan memakaikannya di leher Mitsuki, “selamat ulang tahun. Jangan menangis lagi ya Mitsuki…” Aku mengusap air matanya itu sambil tersenyum.

“Terima kasih… Apa menurutmu kita akan bertemu lagi Alan…?” tanya Mitsuki.

“Aku tidak tahu kapan, tapi kita pasti akan bertemu lagi. Maaf, aku harus pergi Mitsuki…”

“Ya, sampai jumpa lagi Alan.” Mitsuki tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca, dan itu sebuah senyuman yang belum pernah aku lihat sebelumnya, senyumannya terlihat berbeda dari biasanya, dan entah kenapa rasanya sedikit menyakitkan jika melihatnya menangis seperti ini. Aku tidak ingin melihatnya menangis lagi…

Aku pikir Mitsuki datang sendirian kemari, tapi rasanya itu memang tidak mungkin. Aku melihat ibu Mitsuki dari kejauhan, dia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Ya ampun… bikin khawatir saja.

Saat berjalan pergi meninggalkan Mitsuki tanpa aku sadari mataku juga mulai berkaca-kaca, dan mulai meneteskan air mata. Aku langsung mengusap mataku secepat mungkin agar bersih dari air mata sebelum memasuki pesawat.

“Kamu lama sekali, ngomong-ngomong kalungmu kemana Alan?” tanya ayahku.

“Sepertinya terjatuh, tapi biarlah…,” timpalku.

Dari dalam pesawat aku masih berusaha mengusap mataku yang masih sedikit berkaca-kaca.

“Mata kamu kenapa Alan?” tanya ibu

Aku langsung memalingkan pandanganku ketika ibu menatap mataku.

“H-hanya kemasukan debu saja… bukan apa-apa.”

Ini akan menjadi sesuatu yang berat bagiku. Aku sudah cukup lama mengenal Mitsuki, rasanya aku benar-benar ingin kabur saja saat bertemu dengannya di bandara tadi. Sebagai anak penurut aku hanya bisa ikut dengan kedua orang tuaku saja ya...

Aku lemah terhadap air mata seorang gadis, itu membuatku lemah. Aku tidak tahan melihatnya. Mungkin lain kali, tidak. Lain kali aku tidak akan membuatnya menangis lagi, terutama penyebabnya adalah diriku sendiri.

Perjalanan Tokyo menuju Bandung pun dimulai. Ini akan menjadi perjalanan yang benar-benar membosankan, setahuku perjalanan ini akan menghabiskan waktu 8 jam lebih, tidak ada hal menarik lain selain tidur yang bisa aku pikirkan. Aku terus berusaha tidur sambil mengingat-ingat senyuman Mitsuki, hanya itu yang selalu membuatku senang, dan bersemangat. 

Baiklah, kira-kira apa yang akan aku temui di Indonesia nanti ya...?

Aku tidak sabar untuk mengabari Mitsuki saat sampai disana nanti. Sepertinya satu atau dua jam saja tidak akan cukup untuk menceritakan apa yang aku temui disana nanti pada Mitsuki...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
agneslovely2014
jadi baper deh hiks
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status