Share

2|Mitsuki

“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”

Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.

“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan

“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.

“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”

Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang, meskipun aku tidak pernah tau kenapa dia tak menjawab, saat aku menanyai namanya waktu itu. Mitsuki juga sepertinya tidak  mencoba untuk menyembunyikan namanya sendiri. 

Namanya Mitsuki ya… nama yang indah. Ingin sekali aku memuji namanya, tapi sepertinya itu hal yang memalukan, jadi aku mengurungkan niatku. Setelah mengetahui namanya aku malah menjadi sedikit penasaran tentang dimana rumahnya, mungkin karena setiap kali dia pulang aku suka melihatnya pergi ke arah yang berdekatan dengan rumahku. 

“Sudah sore, kita pulang saja yuk,” ucap Mitsuki sambil mulai menaiki sepedanya.

Baiklah, akan aku coba tanyakan saja di mana rumahnya.

“Mitsuki, aku antar ya?” Tunggu dulu, ini bukan menanyakan di mana rumahnya… ini berbeda.

Beberapa saat sebelum mengayuh sepedanya, Mitsuki berhenti, lalu berbalik menatapku, dia terlihat terkejut saat aku tiba-tiba menanyakan hal tadi. 

“E-eh… b-baiklah. Boleh…”

Kami berdua pergi dengan sepeda masing-masing, sejak kejadian waktu itu Mitsuki menjadi takut untuk berboncengan denganku, dan menyuruhku untuk membawa sepeda sendiri saja, untungnya ayahku tidak pernah memakai sepedanya lagi, jadi aku gunakan saja. Arah menuju rumahnya ternyata memang berdekatan dengan arah rumahku, kenapa aku tidak sadar ya. Mitsuki mengayuh sepedanya dengan santai, dan perlahan. Aku hanya bisa mengikutinya saja dari belakang, sambil sesekali memperhatikan punggungnya yang kecil itu. 

Tanpa kusadari ternyata rumahku baru saja terlewati, sepertinya rumahnya lebih jauh dari dugaanku.

“Kita sampai,” Mitsuki turun dari sepedanya, dan menatapku seolah penasaran dengan reaksiku.

Saat aku lihat… woaaa rumahnya besar sekali. Aku bahkan baru tahu jika di dekat sini ada rumah yang sebesar ini, dan ternyata rumahku hanya berjarak beberapa rumah saja dari sini. Apa rumahnya ini 2 lantai? Tidak-tidak sepertinya ini 3 lantai. Lebih jelasnya aku tidak tahu seperti apa, tapi hanya melihatnya dari luar saja sudah membuatku terkejut. Gerbang rumahnya yang berwarna hitam juga cukup besar, dan tinggi. 

“Besarnya…” Aku terkagum.

“K-kalau begitu sampai jumpa besok… terima kasih Alan.”

Mitsuki mengatakan itu dengan senyum yang biasanya dia tunjukkan. Ya tuhan dia benar-benar manis sekali, aku langsung berpikir jika senyumannya itu harus aku lindungi. Layaknya senyuman ibuku sendiri.

“Ya, sampai jumpa besok Mitsuki.”

Aku langsung pulang setelah Mitsuki memasuki rumahnya. Dari kejauhan aku melihat seorang wanita yang membawa dua buah kresek besar berisi bahan makanan. Wanita berambut pendek itu tersenyum padaku, dan sepertinya dia mulai mendekat ke arahku.

“Apa kamu temannya Mitsuki?” tanya wanita itu.

Dia terlihat senang ketika aku mengiyakan pertanyaannya itu.

“Begitu ya, syukurlah. Apa kamu mau mampir dulu…?”

“Ah, tidak terima kasih… ini sudah sore kak… kalau begitu aku permisi.”

“Hehe betul juga ya. Mohon tetap berteman dengan Mitsuki ya.”

“Tentu saja… Mitsuki gadis yang baik, siapapun pasti ingin berteman dengannya.” 

Wanita itu tersenyum padaku, lalu kembali berjalan masuk menuju rumah yang sama dengan Mitsuki. Setelah itu aku pun pulang dengan sedikit terburu-buru, karena hari sudah mulai semakin gelap. 

Esoknya aku kembali bermain bersama Mitsuki, karena liburan musim panas sudah lama berlalu jadinya aku harus menyelesaikan terlebih dulu jam sekolahku sampai siang hari, dan setelah itu baru aku bisa menemuinya. 

Hari ini seperti biasanya Mitsuki selalu datang lebih awal, dia selalu menungguku dengan duduk manis sambil menatap ke arah langit. Untungnya hari ini terlihat cukup cerah, dan berawan.

“Oiii… Mitsuki?”

“A-Alan? Duh bikin kaget saja…,” Mitsuki terkejut, dan terbangun dari lamunannya.

“Oh iya Mitsuki, kemarin aku disapa oleh seseorang, dan dia terlihat memasuki rumahmu setelah itu. Apa dia kakakmu?”

Ekspresi Mitsuki yang tadinya santai mendengarkan menjadi panik, dan mulai menatapku dari dekat. Sangat dekat, sampai-sampai aku bisa mencium bau sampo nya… wangi sekali.

“A-apa ibuku mengatakan sesuatu yang aneh? Kalian tidak benar-benar mengobrol kan? Kan?” pipinya menjadi merah, dan mulai sedikit mundur dariku, “m-maaf…”

Aku hanya bisa menunggunya selesai bicara saat dihujani pertanyaan olehnya. Tunggu dulu, yang kemarin ibunya Mitsuki? Dia terlihat masih muda sekali, aku kira kakaknya…

“Tidak, ibumu hanya menyapaku saja. Ngomong-ngomong hari ini kita mau kemana?”

Aku menyembunyikan pesan dari ibu Mitsuki kemarin, karena itu terdengar memalukan jika kuceritakan pada Mitsuki. 

Setiap hari aku selalu pergi bermain dengan Mitsuki. Meskipun sering melakukan hal yang sama setiap harinya, entah kenapa aku tidak pernah merasa bosan saat bersamanya. Kami berdua berulang kali bersepeda bersama, makan ramen bersama, atau bahkan ke perpustakaan untuk belajar bersama. Mitsuki benar-benar pintar, dia terkadang mengajariku jika ada tugas sekolah yang sulit.

2 tahun telah berlalu, sekarang umurku 13 tahun, dan kurang dari 1 minggu lagi Mitsuki akan berulang tahun, yaitu pada 5 Maret nanti. Sebenarnya aku sedikit bingung akan memberi Mitsuki apa, saat tahun lalu bahkan saking bingungnya aku jadi tidak memberikan apa-apa padanya. Aku menyesali itu setiap kali sebelum aku tidur…

Disaat merenungkan hal itu di kamar aku mendengar suara ayah di lantai bawah yang sedang berdebat dengan seseorang dari balik telepon, aku tidak terlalu mendengarnya dengan jelas, tapi sepertinya itu dari rekan kerjanya. Ayah cukup jarang berada di rumah, dan hanya sesekali saja aku melihatnya bersantai.

Beberapa saat setelah ayah menutup telponnya, aku pun terlelap tidur. Begitu terbangun di pagi hari aku langsung meninggalkan kamar, lalu pergi menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Pagi ini tumben sekali ayah pergi terburu-buru dengan pakaian rapih, apa dia pergi bekerja…? Tapi ini kan hari libur. 

Selesai sarapan aku pergi berjalan kaki menuju taman, tempat dimana aku, dan Mitsuki biasanya bertemu. 

Disana aku biasanya melihat Mitsuki terduduk di bangku taman, tapi hari ini aku tidak melihatnya. Apa aku coba pergi ke rumahnya saja ya…? Tidak-tidak, lebih baik aku tunggu sebentar… Ya sebentar lagi, dan sebentar lagi. Aku sudah cukup lama menunggu, tapi Mitsuki masih belum datang juga. Baiklah aku coba ke rumahnya saja.  

Sesampainya di rumah Mitsuki aku malah ragu-ragu untuk menekan bel rumahnya. Ditengah keraguanku tiba-tiba saja gerbang rumahnya sedikit terbuka, lalu seorang gadis keluar dari rumah Mitsuki sepertinya dia seumuran denganku, gadis itu berambut pendek, dan berkacamata. Dia langsung pergi setelah mengucap permisi padaku, aku hanya mengangguk canggung padanya. 

Setelah gadis itu pergi aku langsung menekan bel rumah Mitsuki, disana aku juga bisa melihat papan nama keluarganya Mitsuki yang bertuliskan Akio. 

“Eh Alan, ada apa kemari?”

Beberapa saat setelah menekan bel tersebut aku bisa mendengar suara ibu Mitsuki menyapa dari balik speaker bel.

“Apa Mitsuki nya ada? Hari ini saya tidak melihatnya di taman, karena sedikit khawatir jadi saya kemari…”

“Maaf ya… Mitsuki nya sedang sakit, dari semalam suhu tubuhnya masih belum turun.”

“Begitu ya… kalau begitu saya permisi saja, semoga Mitsuki nya cepat sembuh.”

Beberapa saat sebelum pergi ibu Mitsuki menawariku untuk mampir, tapi aku menolak tawarannya karena takut Mitsuki terganggu saat sedang beristirahat. 

“Alan!”

Seseorang memanggilku dari kejauhan, dan saat aku berbalik kebelakang disana ada sekumpulan anak laki-laki yang beberapa diantaranya teman sekolahku sendiri, satu orang diantara mereka membawa sebuah bola sepak.

“Ah, ternyata benar Alan, mau ikut tidak? Bermain bola,” tanya seorang temanku yang bernama Reiji.

“Kebetulan sekali, ayo!” timpalku dengan semangat.

Mendengar jawabanku Reiji ikut bersemangat, begitu juga dengan anak laki-laki yang lainnya. Kami semua berlarian menuju lapangan kosong di dekat sana. Aku bermain bersama mereka hingga siang hari, saat cuaca mulai panas kami semua mulai bosan, dan kelelahan. Tenggorokanku terasa kering, aku mencoba untuk diam-diam pergi, dan membeli minuman. Tapi, Reiji malah berteriak padaku. Kamu mau kemana?! Aku ikut dong. Karena teriakannya itu anak-anak yang lainnya malah memintaku untuk dititipkan beberapa minuman, hah merepotkan saja.

“Tadi pagi kamu ngapain disana Alan?” Reiji melirik wajahku yang kebingungan, “itu di rumah besar tadi.”

“Bukan apa-apa,” timpalku.

“Hmm bikin penasaran saja, beritahu aku dong Alan!” Reiji tersadar jika aku baru saja berjalan pergi meninggalkannya, “Oi, tunggu aku!” Reiji pun berlari menyusulku.

Setelah kembali ke lapangan aku membagikan minuman mereka satu persatu, tak lama setelah beristirahat satu per satu dari mereka semua berpamitan untuk pulang, hingga aku pun ikut memutuskan untuk pergi pulang.

Dalam perjalanan pulang aku mendengar suara seseorang memanggilku. Saat aku mencari-cari sumber suaranya, ternyata seorang kakek memanggilku, dia melambai-lambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.  Aku akan merasa bersalah jika mengabaikannya, jadi aku pun menghampiri toko kakek itu. Toko yang terlihat usang, dan sepi…  

Kakek itu menawariku sebuah kalung tengkorak yang terlihat menyeramkan, dan dengan bohong dia mengatakan jika itu cocok untukku. Aku langsung menolaknya dengan sopan, dan memutuskan untuk pergi. Tapi, aku malah tertarik dengan salah satu kalung yang digantung di sudut ruangan, kalung dengan liontin huruf M itu terlihat berkilau. Selain huruf M dari gantungan itu juga banyak kalung berinisial huruf alfabet lainnya dari A sampai Z.

“Paman ini berapa?” tanyaku sambil menunjuk kea rah kalung-kalung itu.

“Hanya 500 yen saja…,” jawab pria tua itu.

Tanpa berpikir panjang aku langsung membelinya. Meskipun uang tadi adalah uang jajan terakhirku di Minggu ini, aku pikir ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang bagus untuk Mitsuki. Aku berlari pulang setelah itu, sambil menggenggam kalung yang baru saja kubeli tadi. 

“Aku pulang,” saat membuka pintu aku melihat ayah dan ibu sedang mengemasi barang-barang kedalam kardus. 

Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.

“Oh Alan, kamu sudah pulang? ayo cepat bantu ayah mengemasi ini. Jum’at nanti kita akan pindah ke Indonesia. Di Indonesia banyak hal menarik loh…”

Tunggu… apa? Apa ini serius?

Saat menyadari sesuatu aku langsung berlari mencari kalender untuk memastikan sesuatu, dan hari jum’at nanti itu ternyata jatuh pada tanggal 5 Maret, hari itu adalah hari ulang tahun Mitsuki… 

Ya Tuhan aku harus bagaimana… bagaimana aku memberitahu Mitsuki soal ini, aku terlalu takut untuk memberitahunya soal ini… benar-benar terlalu takut…

Aku tidak ingin melihatnya bersedih, aku tidak ingin melihatnya menangis, aku benar-benar tidak ingin meninggalkannya… Aku masih belum siap untuk ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status