Share

Playing Victim

Lania mengambil ponselnya yang berada di nakas. Tubuh gadis itu terlihat lemas, dengan kantung mata yang menghitam. Bibirnya pucat dan matanya sangat sayu. 

Sudah dua minggu sejak hari dimana ia membuat kehidupan mewahnya berada di ujung tanduk. Sejak saat itu pula ia tidak lagi mendapatkan kabar apapun dari Robby, sepertinya memang Robby ingin mengakhiri hubungan mereka, dan meninggalkan Lania karena kesalahannya. 

Lania mencari kontak nomor Ambar, lalu dengan cepat menelpon gadis itu. 

"Hallo, La?" 

"Lo dimana?" Tanya Lania dengan suara yang benar-benar lemas. 

"Di kantorlah, lo kenapa si suaranya lemes gitu? Sakit?"

"Lo cepetan ke apartemen gue, gue butuh bantuan lo!"

"Gue lagi kerja, Lania!"

"Si Dwi gak bakal pecat lo, lo kan simpenan kesayangannya!"

"Mulut lo tuh ya!"

Tanpa mau berdebat lebih panjang, Lania langsung menutup telponnya. Kini ia lanjut berbaring di tempat tidur, ia sungguh lemas dan tidak memiliki tenaga sedikitpun. 

********

Lania membuka matanya setelah ia mendengar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Itu pasti Ambar, gadis itu tidak akan mampu menolak permintaan Lania untuk datang saat di telepon tadi. 

Ambar berjalan masuk ke kamar Lania, gadis itu berhenti sejenak saat melihat Lania terbaring mengenaskan dengan kondisi kamarnya yang cukup berantakan. Ambar perlahan mendekati Lania, beberapa kali kakinya menendang tisu yang berserakan di lantai kamarnya. 

"Lo sekarat?" Tanya Ambar. 

Lania mengangguk lemas. 

Tangan Ambar perlahan menyentuh dahi Lania, lalu ia tarik dengan cepat. "Lo panas banget, La, kita ke dokter ya?"

Lania mengulurkan tangannya, meminta bantuan Ambar untuk duduk.

"Lo bawa mobil?" Tanya Lania setelah gadis itu duduk dengan nyaman. 

"Iya, ayo ke dokter"

Lania menggeleng. 

"Kalo lo mati, cita-cita lo nikah sama Robby gak bakal kesampean!" 

Lania memicingkan matanya, "Begitu?"

Ambar mengerutkan dahinya. 

"Lo tau alasan gue sakit?" Tanya Lania. 

Ambar menggeleng. 

"Supaya gue bisa dapetin Robby lagi" Jawab Lania tersenyum. 

Ambar semakin mengerutkan dahinya, ia belum mengerti sama sekali yang diucapkan Lania. 

Melihat sahabatnya kebingungan Lania tersenyum miring. "Bodoh banget sih, lo. Gak ngerti?"

Ambar menggeleng. 

Lania terbatuk saat ingin menjelaskan lebih jelas, membuat Ambar spontan mencari air tetapi ditolak oleh Lania. 

"Lo inget dua minggu yang lalu, kalo gue punya rencana buat balikin keadaan seperti semua?"

Ambar mengangguk. 

"Ini rencananya" Lania tersenyum. "Selama dua minggu ini gue cuma makan mie instan dan makanan gak sehat lainnya, sampe lima hari yang lalu gue sakit sampe hari ini. Rasanya gue mau mati, karena gue lemes banget. Tapi itu berarti ini waktu yang tepat untuk bertemu Robby dan nyokapnya"

Ambar membuka mulutnya membentuk huruf 'O'. Ternyata rencana yang dikatakan oleh Lania dua minggu lalu adalah sakit. Lania butuh sakit dahulu untuk di dengar oleh Robby. 

Setelah mendengar semua penjelasan Lania, secara tiba-tiba Ambar memukul lengan gadis itu, sehingga ia limbung ke samping. 

Lania menyumpah serapahi Ambar dengan suara seraknya yang sudah tidak lagi bertenaga. Ia merasakan sakit di lengan kanannya karena tinju tiba-tiba dari Ambar. 

"Bodoh kali rupanya kau ini!" Makinya dalam logat Medan kebanggaannya. 

"Lo ngorbanin diri lo buat ngebalikin keadaan? Kalo lo mati gimana, La?!" Ucapnya dengan nada seperti semula. 

Ambar membantu Lania untuk kembali duduk lagi. Ia masih menatap gadis itu dengan kesal. 

"Gak ada cara lain untuk ketemu sama Robby selain ini, Bar"

"Ada bodoh, ada. Ada kalo lo gak berpikiran sempit kaya gini!"

Lania menghela napasnya. Sekujur tubuhnya sangat sakit dan ngilu, tenggorokannya juga sangat sakit. Ia merasa tidak akan bertahan lebih lama lagi. 

"Anterin gue ke rumah Robby, kita bakal bikin kejutan di sana" Ucap Lania tersenyum. 

"Wah sakit lu, sakit bener..."

"Emang gue sakit. Cepetan ambilin jaket gue, btw muka gue meyakinkan kan ya kalo gue sakit beneran?"

Ambar memilih tidak menjawab, gadis itu melempar jaket ke hadapan Lania dan segera dipakai olehnya. 

Ambar membantu Lania berdiri, memapah gadis itu sampai ke parkiran basement. Berkali-kali Ambar mengumpat karena merasa keribetan membawa Lania, Lania sangat berat, padahal tubuhnya langsing. 

Mungkin Lania terlalu banyak menimbun dosa, sehingga ia sangat berat. 

*******

Leon masuk ke dalam ruangan kerja Robby, pria itu membawa map biru yang berisi data seseorang yang sedang mereka cari. 

"Dia dipindahtugaskan, Rob" Ucap Leon tanpa basa-basi. 

Robby mengerutkan dahinya, "Tiba-tiba?"

"Dia dipindahtugaskan sejak dua minggu yang lalu, sekarang apartemennya kosong dan nomor teleponnya gak aktif"

"Siapa dalangnya?" Tanya Robby tiba-tiba. 

"Feeling gue Ambar, karena Lania gak punya akses ke perusahaan itu"

Robby mengangguk. 

"Cari dan bawa dia ke depan gue, gue harus tau semuanya dari mulutnya!"

Leon mengangguk. 

********

"Turun cepetan!" Suruh Ambar. 

Lania melempar tatapan sinis, "Sebentar, ini badan gue lemes banget"

"Ya menurut lo? Sakit gak minum obat, disuruh berobat malah ke sini, apa gak bakalan lemes?" Kesal Ambar.

Lania mengibaskan tangannya agar Ambar berhenti ngoceh, "Ini satu-satunya cara agar Robby dan tante Diana kasihan sama gue dan mau maafin gue"

"Kalo gue jadi nyokapnya Robby sih, lo gak bakal gue maafin, yang ada gue maki-maki!" Ucap Ambar. 

Lania tidak menghiraukan Ambar, gadis itu lebih memilih melihat situasi di sekitar rumah Robby. 

"Lo yakin tante Diana masih di sini?" Tanya Lania. 

Ambar mengangguk mantap. "Tadi pagi gue masih liat dia belanja sama pembantunya di ujung jalan komplek"

Lania mengangguk, kemudian mengambil kaca dari dalam tasnya. Gadis itu ingin melihat betapa menyedihkan wajah pucatnya, semakin pucat wajahnya akan semakin besar simpati yang ia terima. 

"Lo tunggu di sini, pantau semua yang terjadi. Oke?" Titah Lania. 

"Lo pikir gue pengangguran? Gue juga harus kerja, La" 

"Today you're mine!"

Lania langsung bergegas turun dari mobil Ambar, ia menghindari mendengar bantahan dari mulut Ambar. Dengan perlahan, Lania mendekati rumah Robby. Ia beberapa kali memegang kepalanya, rasanya sangat pening, jika Lania tidak memikirkan untuk mengembalikan keadaan seperti semula, Lania sudah memilih untuk pergi ke rumah sakit. 

Penjaga rumah Robby yang melihat Lania langsung berlari menghampiri gadis itu, Lania terlihat sempoyongan. 

"Bu Lania gak pa-pa?" Tanya penjaga. 

Lania menggeleng. "Tante Diana ada kan?"

"Ada, Bu. Mau saya bantu?" Tanya penjaga. 

Lania menggeleng. "Saya masih kuat kok"

Lania berjalan masuk ke rumah Robby, diikuti oleh penjaga dari belakang. Security itu beberapa kali melebarkan tangannya saat Lania ingin terjatuh, ia benar-benar khawatir dengan kekasih majikannya itu. 

Setelah masuk ke rumah besar yang selalu Lania klaim akan menjadi miliknya, Lania mulai merasakan sesuatu dalam ditubuhnya. Ia merasakan semula tubuhnya sangat panas, kini ia merasakan tubuhnya sangat dingin, tapi yang lebih anehnya ia keluar keringat. 

Penjaga yang dari tadi berjalan di belakangnya kini sudah masuk ke dalam dan memberi tahu ibu Robby jika Lania datang. 

Lania merasa benar-benar sudah tidak kuat, kakinya mulai gemetar dan kepalanya semakin pusing. Saat gadis itu hampir terjatuh, ia merasakan ada seseorang yang menangkapnya. 

Lania mengangkat kepalanya, melihat seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan begitu khawatir. 

"Sayang kamu gak pa-pa?" Tanya Diana. 

Lania tersenyum lemah sembari menggeleng. 

"Badan kamu panas, Nak" Ucap Diana yang membelai wajah Lania dengan kasih sayang. 

Diana membawa Lania duduk di sofa, membiarkan gadis itu agar istirahat. 

"Tante, ada sesuatu yang mau aku katakan sama tante" Ucap Lania. 

Diana mengangguk, "Kita bicara nanti ya, Sayang? Kamu istrahat, ya?"

Lania menggeleng, "Kalopun ini hari terakhir aku di dunia ini Tante, aku tetep gak mau istirahat. Aku harus menebus kesalahan aku, Tan!"

Diana mengerutkan dahinya, "Maksud kamu?"

"Pasti Tante sudah melihat berita yang ada di media dua minggu belakangan ini kan? Itu semua benar, Tante!" Ucap Lania. 

Diana membulatkan matanya dengan sempurna. Ia benar-benar sangat terkejut, hal yang semula ia bantah mentah-mentah ternyata sebuah kebenaran? 

"Aku memang selingkuh Tante, aku mengkhianati Robby" Lanjut Lania yang mulai menangis. 

"Lania..." Diana menatap Lania dengan penuh kekecewaan, calon menantu kesayangannya mengkhianati putra yang sangat ia banggakan. 

"Aku harus apa Tante? Robby gak pernah ada waktu untuk aku, bahkan pernikahan kami hanya aku yang lebih banyak mempersiapkannya. Robby terlalu sibuk sama pekerjaannya sampai aku sering kali dia lupain" Lania berhenti sejenak, gadis itu menangis dengan sangat natural. 

"Aku tahu kesibukan Robby bukan alasan yang kuat untuk berselingkuh, tapi aku kesepian, Tante. Aku butuh teman untuk berbagi banyak hal, aku mau diprioritaskan, aku mau ditemui, bukan hanya sesekali saja"

Lania menangis sesegukan, membuat Diana yang semula menatapnya kecewa kini berganti dengan tatapan kasihan. Diana mulai memeluk Lania, memenangkan gadis itu, beberapa kali juga ia mengatakan maaf atas nama Robby. 

"Aku gak pernah niat khianatin Robby, Tante, aku cuma butuh teman cerita dan tanpa sengaja aku bertemu dengan dia. Kami hanya saling berbagi cerita dan menemani satu sama lain, dan itu gak lebih Tante"

"Sekarang Robby bahkan gak mau angkat telepon aku, dia sepertinya mau mengakhiri hubungan kita Tante. Robby juga gak mau dengerin penjelasan aku"

Lania semakin terisak di dalam pelukan Diana, membuat Diana juga menangis karena merasakan bagaimana kesepiannya Lania selama ini karena kesibukan Robby yang sangat padat itu. 

"Aku salah Tante, aku bodoh!"

Diana melepas pelukannya, kini ia menatap dalam-dalam Lania. "Kamu gak salah, Sayang. Di sini semua kesalahan Robby, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya sampai dia melupakan kamu seperti ini. Kamu gak salah, Tante akan bicara sama Robby!"

Diana kembali memeluk Lania, wanita paruh baya itu kembali menangis karena tidak bisa membayangkan betapa sakitnya menjadi Lania. 

Saat Diana berusaha menenangkan Lania, ia baru sadar jika napas Lania semakin melemah. Diana melepaskan pelukannya dan melihat kondisi Lania, dan gadis itu ternyata sudah pingsan dalam pelukan Diana. 

Diana berteriak panik, meminta siapapun yang mendengarnya untuk membantunya menyelematkan calon menantu kesayangannya. Wanita paruh baya itu histeris, ia takut sesuatu terjadi kepada Lania. 

You Lose Me, You Find You

I Lose You, I Lose Me

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status