Ravindra sialan.
Bisa-bisanya pria itu malah memberikan sesuatu yang tidak mungkin Bianca tolak seperti ini. Membayarkan hutang dan memberikan sebuah black card? Shit, Bianca jelas tidak akan menolak kalau ada lelaki yang suka rela malakukan hal seperti itu padanya.
Walau tidak bisa menolak, Bianca juga tidak bisa iya-iya aja. Lelaki didepannya ini menipu dirinya tadi, memberikan harapan palsu padanya tentang uang sepuluh miliar. Bodoh namanya kalau Bianca sekarang terima-terima saja dengan penawaran Ravindra.
"Gue buktiin dulu ini beneran black card apa engga," kata Bianca dengan mata memicing.
Ravindra terkekeh. Walau sebenarnya agak tidak terima juga dengan kalimat Bianca.
"Itu black card asli," balas Ravindra sabar.
"Ya dibuktiin dulu."
Karena Bianca sangat keras kepala dan Ravindra juga tidak dalam kondisi bisa memaksa, maka, ia hanya bisa setuju saat wanita itu bilang akan membawa black card miliknya lebih dulu. Ravindra cukup tahu diri. Bianca tidak mempercayainya memang karena kesalahannya sendiri.
Coba saja tadi dia benar-benar memberi sepuluh miliar, pasti sekarang wanita itu tidak akan meragukannya seperti ini.
Setelahnya, Ravindra tidak lagi mencegah Bianca pergi. Ia membiarkan wanita itu karena Bianca bilang dirinya akan pulang dan menolak ia antar olehnya.
"Elo harus cerita," kata Reza ketika melihat Ravindra yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Vodka," kata Ravindra pada bartender di depannya.
"Gue tertarik sama Bianca," kata pria itu tenang.
"Sejak kapan?"
Sebagai seorang teman dekat, tentu saja Reza tidak menyangka kalau Ravindra akan tertarik pada wanita seperti Bianca. Like, Ravindra tuh anak baik-baik. Low profile banget dan tidak pernah macam-macam sebelumnya. Latar belakang dan lingkungan mereka juga berbanding terbalik.
"Waktu itu ketemu subuh di hotel gue. Dia habis dari kamar lo," kata Ravindra masih tenang.
Reza mendelik. Kaget. "Itu cewek habis main sama gue, dianya mau pulang. Terus ketemu sama elo secara engga sengaja. Elo suka sama dianya dari mana? Udah tau habis dari kamar gue," ujar Reza panjang lebar.
Ravindra tahu, paham betul kalau Bianca seorang pelacur. Wanita itu melayani pria setiap harinya dan sikapnya juga tidak baik. Tapi, entah kenapa justru itu lah yang membuat Ravindra tertarik.
Ada keinginan dalam hatinya untuk memeluk Bianca dengan erat dan mendengarkan wanita itu bercerita. Karena Ravindra tahu, kehidupan yang dijalani Bianca tidak lah mudah.
Kenapa Ravindra bisa suka? Itu tidak bisa ia jawab.
"Namanya suka mana bisa pilih mau ke siapa," balas Ravindra cuek.
Reza mendengus. "Padahal udah dikasih cewek manis dan cantik sama keluarga."
Mendengar ucapan Reza membuat Ravindra sadar sesuatu. Ia telah meninggalkan tunagannnya di restoran sendirian. Pria itu langsung merogoh saku celana, mengambil ponsel.
"Holly shit!" umpatnya ketika banyak pesan masuk dari sang mama.
Jangan tanya isinya apa, sudah jelas deretan pesan itu adalah bentuk amarah karena Ravindra meninggalkan tunangannya sendirian.
"Kenapa?"
"Gue ninggalin Melodi di restoran."
"Sendirian?"
"Hm."
"Woah." Reza menunjuk-nunjuk wajah Ravindra. "Udah mulai berengsek lo."
Ravindra berdecak. Membalas pesan mamanya dengan alasan yang dibuat semasuk akal mungkin lalu menenggak one shot vodka yang tersaji di depannya.
"Jangan ngehakimi. Ini pertama kalinya gue tau apa yang gue mau."
"Ya tapi engga pas elo udah ada tunangan, dong. Melodi tuh cewek baik-baik, kasihan kalo batal nikah sama lo," balas Reza masih berusaha merubah pikiran Ravindra.
Walau akan percuma karena pada dasarnya Ravindra adalah keturunan Adiwijaya sejati. Dimana keras kepala sudah menjadi ciri khasnya.
"Udah deh ah, gue pergi," balas Ravindra bosan. Ia malas mendengar ocehan Reza yang terlalu menyudutkan dirinya.
"Ini bayar dulu," teriak Reza. Tapi Ravindra hanya melambaikan tangan sambil terus berjalan.
Reza berdecak, beneran rugi banyak dia hari ini.
Ravindra masuk ke dalam mobilnya, diam sebentar memikirkan perkataan Reza yang terasa masuk akal. Dia memang tidak seharusnya begini, Melodi terlalu baik untuk dia sakiti seperti ini. Tapi sekali lagi, hati tidak bisa diatur.
Lelaki itu kembali meraih ponselnya. Kali ini mengetikkan pesan pada nomor Bianca. Menanyakan apa wanita itu sudah sampai apa belum.
Sepuluh menit berlalu masih belum ada jawaban dari Bianca. Membuat lelaki itu lamgsung bergerak menelpon nomor Bianca. Belum sempat menempelkan benda pipih itu ke samping telinga, telfon lain masuk.
Ravindra melihat siapa yang menghubungi. Helaan napas keluar dari belah bibirnya sebelum ia mengangkat telfon itu lebih dulu.
"Kenapa, Mel?"
"Besok bisa temenin aku belanja, Kak? Aku ada birthday invitation dari temen."
Ravindra tidak bisa mengatakan tidak.
Tidak akan bisa sama sekali.
"Oke. Jam berapa?"
"Besok aku kabari."
"Hm."
Ravindra langsung memutus panggilan tersebut setelah membalasnya dengan gumaman. Kemudian berniat untuk menghubungi Bianca tapi balasan dari si wanita datang.
Baru sampek. Jangan telfon, mau me time.
Ravindra tidak bisa tidak tersenyum. Setiap kata yang Bianca lontarkan meskipun ketus pria itu tetap menyukainya. Ia suka mendengar Bianca yang banyak bicara dan sangat ekspresif.
***
Pagi itu Bianca lebih rajin dari biasanya. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu bangun pagi-pagi sekali. Pukul enam. Padahal biasanya ia tidak pernah bangun dibawah jam tujuh.
Alasannya tentu saja karena malam sebelumnya ia kelelahan. Tapi kan semalam tidak. Ia juga bisa tidur dengan sangat nyenyak.
Jadi, setelah bersih-bersih rumah kecil miliknya. Wanita itu mandi dan membuat sarapan. Pukul delapan pagi, ia berganti pakaian. Memakai crop tee merah muda dan high waist jeans warna grey. Ia juga menguncir tinggi rambutnya dan sepatu yang ia pilih adalah sepatu kets warna putih.
Fashionable. Tentu. Bianca memiliki selera yang bagus dalam penampilan.
Ia memastikan black card dari Ravindra sudah ada di holder card miliknya sebelum ia keluar rumah. Menunggu driver mobil online selama beberapa saat sebelum ia meluncur menuju mall terbesar di pusat kota.
Niatnya hari ini adalah untuk healing. Kalau yang Ravindra berikan adalah black card asli maka akan ia manfaatkan dengan baik. Tapi kalau pun bukan, tidak masalah. Bianca tetap akan berbelanja dengan uang pribadinya.
Bianca memasuki salah satu store luxury brand dan berkeliling memilih beberapa pakaian. Tangannya tanpa ragu mengambil apapun yang ia suka. Dan ia tidak bisa tidak tersenyum ketika kartu Ravindra benar-benar bisa dipakai.
Bianca menatap takjub benda hitam itu setelah membayar.
Wow, dia berasa mendapatkan jackpot.
Baiklah. Karena Ravindra tidak berbohong. Jadi, ayo belanja banyak barang.
Bianca benar-benar belanja banyak barang mewah hari itu. Ia pergi dari satu store ke store yang lain. Bahkan ia tidak merasa keberatan meski tangannya sudah hampir penuh.
Saat Bianca akan memasuki store lain, tatapannya tanpa sengaja menemukan Ravindra bersama wanita lain. Tangan si wanita melingkar mesra di lengan Ravindra dan pria itu juga tidak terlihat masalah sama sekali.
Demi apapun Bianca tidak cemburu. Tapi dia merasa Ravindra berengsek karena sudah memiliki wanita lain tapi masih menginginkannya juga.
"Bianca?"
Ravindra yang melihat keberadaan Bianca tanpa sadar melepas rangkulan tangan Melodi. Lalu menghampiri Bianca yang hanya diam di depan pintu masuk.
"Hei, sendirian?" tanya Ravindra santai.
Bianca mengernyit melihat tingkah Ravindra. Pria yang tidak peka, pikirnya.
Padahal dari sini saja Bianca sudah tahu kalau wanita di sebelah sana, yang tadi bersama Ravindra, sedang menatapnya tidak suka.
"Cewek lo?" tanya Bianca sambil menunjuk Melodi dengan dagunya.
Ravindra menoleh singkat pada Melodi yang sedang berjalan mendatanginya. Lalu tersenyum kaku sebelum mengangguk. "Tunangan."
"Gila!" seru Bianca spontan.
"Ini temen kakak?" tanya Melodi yang jadi bergabung dengan mereka.
Bianca yang melihat Ravindra diam saja mengulurkan tangan pada Melodi. "Temen lama. Bianca."
"Oh," balas Melodi. Kemudian tangannya menjabat tangan Bianca.
Melihat senyum Bianca yang lucu dan menggemaskan membuat Melodi jadi ikut tersenyum. Wanita itu melupakan prasangka buruknya tadi karena berpikir tidak mungkin Ravindra ada hubungan lebih dengan Bianca.
Karena Ravindra terlihat seperti teman lama yang baru bertemu. Terasa canggungnya.
"Aku Melodi, tunangannya Kak Ravi."
Bianca hanya mengangguk. Ravindra sudah mengatakannya tadi dan ia juga tidak akan memberi reaksi berlebihan. Ia dan Ravindra tidak sedekat itu untuk mengobrol lebih banyak.
Ia juga tidak mau mengganggu acara kencan pasangan manis itu. Jadi, Bianca berpamitan.
"Kalu gitu gue pergi, ya. See you guys," katanya sebelum berlalu pergi.
Dalam hati mengumpat karena hampir saja ia menjadi pelakor. Untung dirinya belum mengiyakan tawaran Ravindra.
Ravindra menatap kepergian Bianca dengan pandangan tak terbaca. Dirinya masih ingin mengobrol lebih banyak dan membawakan semua paper bag yang memenuhi tangan kecil Bianca. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya.
Ravindra merasa seperti pecundang ketika ia tidak bisa melakukan apa yang dia mau.
"Kak Bianca temen apa, Kak?" tanya Melodi yang kembali membawa Ravindra masuk ke dalam store.
"Temen yang sekedar kenal."
"Kenal dimana?"
"Luar sekolah," jawab Ravindra cuek.
Tidak ingin membahas Bianca lebih lanjut, Ravindra langsung melepaskan tangan Melodi yang melingkar di lengannya. Pria itu berjalan menuju sofa, duduk santai di sana.
"Aku capek. Kamu milih aja dengan santai," ujar Ravindra lembut.
Meski tidak suka tapi Melodi tidak protes. Karena ia tidak mau Ravindra pergi meninggalkannya lagi seperti kemarin.
Ravindra mengambil ponselnya dari saku celana. Mengetik pesan pada Bianca.
Sharelock rumahmu. Nanti aku mampir.
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Bianca membuka matanya perlahan, tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa risih. Berniat segera bangun dan menemui Kuku, namun ia merasakan sesuatu yang berat di perutnya. Wanita itu menoleh dan langsung menemukan Ravindra yang tertidur pulas. Bianca mengerjap perlahan, kemudian menghela napas setelah mengingat alasan Ravindra tidur di sebelahnya. Lelaki itu tidak ingin tidur terpisah dengannya. Wajah pulas Ravindra yang imut membuat Bianca menyunggingkan senyum. Tangan lentiknya mengusap rambut si pria, dengan lembut. Merasa semakin tertarik untuk memperhatikan lebih, Bianca merubah posisinya miring menatap Ravindra. "Lucu banget, sih," ujarnya pelan lalu terkikik. Bianca gemas sendiri melihat wajah Ravindra yang polos. Tidak ada raut wajah berengsek atau pun dingin, yang ada hanya wajah bayi yang lucu dan seakan menarik Bianca untuk menciumnya. Wanita itu menggigit bibir bawah sembari tangannya menusuk dada si lelaki beberapa kali. Merasa kalau Ravindra tak akan bangu
Bianca termenung di sudut lift, memikirkan semua kalimat Mila. Tentang bagaimana jadinya hubungan dia dengan Ravindra. Bianca memang tidak berharap lebih, lelaki itu cukup memberikan dia hidup yang layak saja sudah cukup. Tapi, perasaan manusia bisa saja berubah, right? Lihatlah dirinya. Dulu begitu gigih menolak semua tawaran Ravindra. Dengan yakin mampu berdiri dibawah kakinya sendiri dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, sekarang Bianca menjilat ludahnya sendiri. Dia menjadi simpanan, selingkuhan atau apapun itu sebutannya bagi Ravindra. Dia juga tidak lagi bekerja, pengeluarannya ditanggung oleh bungsu Adiwijaya itu. Dentingan pintu lift membuat Bianca menegakkan tubuh, bersiap keluar. Langkahnya melambat menuju satu-satunya pintu di lantai tertinggi gedung apartemen ini. Masih belum menyangka kalau sekarang di sini lah tempat dia tinggal. Bianca menaruh sidik jarinya sebelum membuka pintu. "Udah pulang?"Ravindra langsung keluar dari dapur ketika mendengar pintu terb
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang