Share

4. Black Card Asli

Ravindra sialan.

Bisa-bisanya pria itu malah memberikan sesuatu yang tidak mungkin Bianca tolak seperti ini. Membayarkan hutang dan memberikan sebuah black card? Shit, Bianca jelas tidak akan menolak kalau ada lelaki yang suka rela malakukan hal seperti itu padanya.

Walau tidak bisa menolak, Bianca juga tidak bisa iya-iya aja. Lelaki didepannya ini menipu dirinya tadi, memberikan harapan palsu padanya tentang uang sepuluh miliar. Bodoh namanya kalau Bianca sekarang terima-terima saja dengan penawaran Ravindra.

"Gue buktiin dulu ini beneran black card apa engga," kata Bianca dengan mata memicing.

Ravindra terkekeh. Walau sebenarnya agak tidak terima juga dengan kalimat Bianca.

"Itu black card asli," balas Ravindra sabar.

"Ya dibuktiin dulu."

Karena Bianca sangat keras kepala dan Ravindra juga tidak dalam kondisi bisa memaksa, maka, ia hanya bisa setuju saat wanita itu bilang akan membawa black card miliknya lebih dulu. Ravindra cukup tahu diri. Bianca tidak mempercayainya memang karena kesalahannya sendiri.

Coba saja tadi dia benar-benar memberi sepuluh miliar, pasti sekarang wanita itu tidak akan meragukannya seperti ini.

Setelahnya, Ravindra tidak lagi mencegah Bianca pergi. Ia membiarkan wanita itu karena Bianca bilang dirinya akan pulang dan menolak ia antar olehnya.

"Elo harus cerita," kata Reza ketika melihat Ravindra yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

"Vodka," kata Ravindra pada bartender di depannya.

"Gue tertarik sama Bianca," kata pria itu tenang.

"Sejak kapan?"

Sebagai seorang teman dekat, tentu saja Reza tidak menyangka kalau Ravindra akan tertarik pada wanita seperti Bianca. Like, Ravindra tuh anak baik-baik. Low profile banget dan tidak pernah macam-macam sebelumnya. Latar belakang dan lingkungan mereka juga berbanding terbalik.

"Waktu itu ketemu subuh di hotel gue. Dia habis dari kamar lo," kata Ravindra masih tenang.

Reza mendelik. Kaget. "Itu cewek habis main sama gue, dianya mau pulang. Terus ketemu sama elo secara engga sengaja. Elo suka sama dianya dari mana? Udah tau habis dari kamar gue," ujar Reza panjang lebar.

Ravindra tahu, paham betul kalau Bianca seorang pelacur. Wanita itu melayani pria setiap harinya dan sikapnya juga tidak baik. Tapi, entah kenapa justru itu lah yang membuat Ravindra tertarik.

Ada keinginan dalam hatinya untuk memeluk Bianca dengan erat dan mendengarkan wanita itu bercerita. Karena Ravindra tahu, kehidupan yang dijalani Bianca tidak lah mudah.

Kenapa Ravindra bisa suka? Itu tidak bisa ia jawab.

"Namanya suka mana bisa pilih mau ke siapa," balas Ravindra cuek.

Reza mendengus. "Padahal udah dikasih cewek manis dan cantik sama keluarga."

Mendengar ucapan Reza membuat Ravindra sadar sesuatu. Ia telah meninggalkan tunagannnya di restoran sendirian. Pria itu langsung merogoh saku celana, mengambil ponsel.

"Holly shit!" umpatnya ketika banyak pesan masuk dari sang mama.

Jangan tanya isinya apa, sudah jelas deretan pesan itu adalah bentuk amarah karena Ravindra meninggalkan tunangannya sendirian.

"Kenapa?"

"Gue ninggalin Melodi di restoran."

"Sendirian?"

"Hm."

"Woah." Reza menunjuk-nunjuk wajah Ravindra. "Udah mulai berengsek lo."

Ravindra berdecak. Membalas pesan mamanya dengan alasan yang dibuat semasuk akal mungkin lalu menenggak one shot vodka yang tersaji di depannya.

"Jangan ngehakimi. Ini pertama kalinya gue tau apa yang gue mau."

"Ya tapi engga pas elo udah ada tunangan, dong. Melodi tuh cewek baik-baik, kasihan kalo batal nikah sama lo," balas Reza masih berusaha merubah pikiran Ravindra.

Walau akan percuma karena pada dasarnya Ravindra adalah keturunan Adiwijaya sejati. Dimana keras kepala sudah menjadi ciri khasnya.

"Udah deh ah, gue pergi," balas Ravindra bosan. Ia malas mendengar ocehan Reza yang terlalu menyudutkan dirinya.

"Ini bayar dulu," teriak Reza. Tapi Ravindra hanya melambaikan tangan sambil terus berjalan.

Reza berdecak, beneran rugi banyak dia hari ini.

Ravindra masuk ke dalam mobilnya, diam sebentar memikirkan perkataan Reza yang terasa masuk akal. Dia memang tidak seharusnya begini, Melodi terlalu baik untuk dia sakiti seperti ini. Tapi sekali lagi, hati tidak bisa diatur.

Lelaki itu kembali meraih ponselnya. Kali ini mengetikkan pesan pada nomor Bianca. Menanyakan apa wanita itu sudah sampai apa belum.

Sepuluh menit berlalu masih belum ada jawaban dari Bianca. Membuat lelaki itu lamgsung bergerak menelpon nomor Bianca. Belum sempat menempelkan benda pipih itu ke samping telinga, telfon lain masuk.

Ravindra melihat siapa yang menghubungi. Helaan napas keluar dari belah bibirnya sebelum ia mengangkat telfon itu lebih dulu.

"Kenapa, Mel?"

"Besok bisa temenin aku belanja, Kak? Aku ada birthday invitation dari temen."

Ravindra tidak bisa mengatakan tidak.

Tidak akan bisa sama sekali.

"Oke. Jam berapa?"

"Besok aku kabari."

"Hm."

Ravindra langsung memutus panggilan tersebut setelah membalasnya dengan gumaman. Kemudian berniat untuk menghubungi Bianca tapi balasan dari si wanita datang.

Baru sampek. Jangan telfon, mau me time.

Ravindra tidak bisa tidak tersenyum. Setiap kata yang Bianca lontarkan meskipun ketus pria itu tetap menyukainya. Ia suka mendengar Bianca yang banyak bicara dan sangat ekspresif.

***

Pagi itu Bianca lebih rajin dari biasanya. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu bangun pagi-pagi sekali. Pukul enam. Padahal biasanya ia tidak pernah bangun dibawah jam tujuh.

Alasannya tentu saja karena malam sebelumnya ia kelelahan. Tapi kan semalam tidak. Ia juga bisa tidur dengan sangat nyenyak.

Jadi, setelah bersih-bersih rumah kecil miliknya. Wanita itu mandi dan membuat sarapan. Pukul delapan pagi, ia berganti pakaian. Memakai crop tee merah muda dan high waist jeans warna grey. Ia juga menguncir tinggi rambutnya dan sepatu yang ia pilih adalah sepatu kets warna putih.

Fashionable. Tentu. Bianca memiliki selera yang bagus dalam penampilan.

Ia memastikan black card dari Ravindra sudah ada di holder card miliknya sebelum ia keluar rumah. Menunggu driver mobil online selama beberapa saat sebelum ia meluncur menuju mall terbesar di pusat kota.

Niatnya hari ini adalah untuk healing. Kalau yang Ravindra berikan adalah black card asli maka akan ia manfaatkan dengan baik. Tapi kalau pun bukan, tidak masalah. Bianca tetap akan berbelanja dengan uang pribadinya.

Bianca memasuki salah satu store luxury brand dan berkeliling memilih beberapa pakaian. Tangannya tanpa ragu mengambil apapun yang ia suka. Dan ia tidak bisa tidak tersenyum ketika kartu Ravindra benar-benar bisa dipakai.

Bianca menatap takjub benda hitam itu setelah membayar.

Wow, dia berasa mendapatkan jackpot.

Baiklah. Karena Ravindra tidak berbohong. Jadi, ayo belanja banyak barang.

Bianca benar-benar belanja banyak barang mewah hari itu. Ia pergi dari satu store ke store yang lain. Bahkan ia tidak merasa keberatan meski tangannya sudah hampir penuh.

Saat Bianca akan memasuki store lain, tatapannya tanpa sengaja menemukan Ravindra bersama wanita lain. Tangan si wanita melingkar mesra di lengan Ravindra dan pria itu juga tidak terlihat masalah sama sekali.

Demi apapun Bianca tidak cemburu. Tapi dia merasa Ravindra berengsek karena sudah memiliki wanita lain tapi masih menginginkannya juga.

"Bianca?"

Ravindra yang melihat keberadaan Bianca tanpa sadar melepas rangkulan tangan Melodi. Lalu menghampiri Bianca yang hanya diam di depan pintu masuk.

"Hei, sendirian?" tanya Ravindra santai.

Bianca mengernyit melihat tingkah Ravindra. Pria yang tidak peka, pikirnya.

Padahal dari sini saja Bianca sudah tahu kalau wanita di sebelah sana, yang tadi bersama Ravindra, sedang menatapnya tidak suka.

"Cewek lo?" tanya Bianca sambil menunjuk Melodi dengan dagunya.

Ravindra menoleh singkat pada Melodi yang sedang berjalan mendatanginya. Lalu tersenyum kaku sebelum mengangguk. "Tunangan."

"Gila!" seru Bianca spontan.

"Ini temen kakak?" tanya Melodi yang jadi bergabung dengan mereka.

Bianca yang melihat Ravindra diam saja mengulurkan tangan pada Melodi. "Temen lama. Bianca."

"Oh," balas Melodi. Kemudian tangannya menjabat tangan Bianca.

Melihat senyum Bianca yang lucu dan menggemaskan membuat Melodi jadi ikut tersenyum. Wanita itu melupakan prasangka buruknya tadi karena berpikir tidak mungkin Ravindra ada hubungan lebih dengan Bianca.

Karena Ravindra terlihat seperti teman lama yang baru bertemu. Terasa canggungnya.

"Aku Melodi, tunangannya Kak Ravi."

Bianca hanya mengangguk. Ravindra sudah mengatakannya tadi dan ia juga tidak akan memberi reaksi berlebihan. Ia dan Ravindra tidak sedekat itu untuk mengobrol lebih banyak.

Ia juga tidak mau mengganggu acara kencan pasangan manis itu. Jadi, Bianca berpamitan.

"Kalu gitu gue pergi, ya. See you guys," katanya sebelum berlalu pergi.

Dalam hati mengumpat karena hampir saja ia menjadi pelakor. Untung dirinya belum mengiyakan tawaran Ravindra.

Ravindra menatap kepergian Bianca dengan pandangan tak terbaca. Dirinya masih ingin mengobrol lebih banyak dan membawakan semua paper bag yang memenuhi tangan kecil Bianca. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya.

Ravindra merasa seperti pecundang ketika ia tidak bisa melakukan apa yang dia mau.

"Kak Bianca temen apa, Kak?" tanya Melodi yang kembali membawa Ravindra masuk ke dalam store.

"Temen yang sekedar kenal."

"Kenal dimana?"

"Luar sekolah," jawab Ravindra cuek.

Tidak ingin membahas Bianca lebih lanjut, Ravindra langsung melepaskan tangan Melodi yang melingkar di lengannya. Pria itu berjalan menuju sofa, duduk santai di sana.

"Aku capek. Kamu milih aja dengan santai," ujar Ravindra lembut.

Meski tidak suka tapi Melodi tidak protes. Karena ia tidak mau Ravindra pergi meninggalkannya lagi seperti kemarin.

Ravindra mengambil ponselnya dari saku celana. Mengetik pesan pada Bianca.

Sharelock rumahmu. Nanti aku mampir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status