Bianca malam hari dan siang hari memang memiliki tampilan yang jauh berbeda. Jika di malam ia akan berpakaian sexy dengan menonjolkan bentuk tubuhnya, maka, di siang hari wanita cantik itu justru terlihat cute dan manis. Bianca terlihat sangat santai hanya dengan memakai jeans dan juga kaos putih lengan panjang.
Tidak peduli bagaimana gaya Bianca, wanita itu akan tetap cantik dan selalu mempesona dengan pakaian yang ia kenakan.
Bianca yang mondar-mandir melayani pembeli di Cafe itu membuat Ravindra tersenyum tipis. Siapa sangka wanita ketus dan dingin seperti Bianca mau repot-repot melakukan pekerjaan melelahkan seperti menjadi pelayan. Padahal seharusnya pendapatannya di Club sudah cukup menghidupi Bianca.
Pria dengan kaos berwarna kuning dan celana selutut itu memasuki Cafe. Membuat beberapa pelayan melihat ke arahnya karena lonceng yang berbunyi memang menarik perhatian. Tapi, wanita yang dari tadi jadi pusat perhatiannya sama sekali tidak melirik.
Ravindra merutuk dalam hati. Tidak peduli malam atau siang, Bianca memang selalu mengabaikannya.
"Mau pesan apa, Mas?"
Ravindra menoleh, melihat pelayan di bagian kasir bertanya ia jadi melangkah mendekat. Tatapannya turun melihat menu di atas meja.
"Ice Americano," jawabnya sembari mengeluarkan dompet dari saku celana.
Sudut matanya tetap melirik Bianca yang sibuk mondar-mandir mengantarkan pesanan.
"Masnya kenal sama Bianca?" tanya mbak kasir itu sembari tersenyum.
Ravindra yang ketahuan melihat Bianca jadi malu sendiri. Lalu dengan canggung mengangguk.
"Mau di antar Bianca saja minumannya?"
"Emang boleh?" tanya Ravindra excited.
Mbak kasir hanya tersenyum dan mengangguk. "Bisa di atur, Mas. Gampang. Saya ngerti kok kalau mau mendekati Bianca memang engga gampang."
Ravindra kembali tersenyum canggung mendengar kalimat terakhir mbak kasir. Kemudian ia pergi ke tempat duduk kosong. Menunggu pesanannya diantar oleh sang bidadari cantik tapi ketus.
Tidak butuh waktu lama untuk menunggu Bianca datang ke arahnya dengan membawa pesanannya. Wanita itu memasang wajah datar seperti biasa. Tidak ada sapaan ramah atau sekedar senyum.
"Kebetulan kesini apa sengaja mau nemuin gue?" tanya Bianca to the point. Karena ia yakin kedatangan Ravindra ke sini bukan tanpa maksud. Bianca juga tidak akan bertanya dari mana Ravindra tahu dirinya di sini. Ia terjebak hutang saja Ravindra bisa tahu apalagi dengan tempat kerja Bianca.
"Sengaja. Kamu engga bales chat aku semalam."
Bianca memang tidak membalasnya karena merasa kesal. "Gue lagi kesel sama lo."
"Kayaknya yang kemarin aku kasih black card asli," kata Ravindra ketika Bianca sudah berbalik dan ingin pergi.
Wanita itu mendengarnya lalu berbalik dan menatap Ravindra lekat. "Black cardnya memang asli tapi elo engga bilang kalau udah tunangan."
Ravindra mengangkat dua alisnya. "Karena aku sudah tunangan makanya kamu engga bales chat aku?"
Bianca mengangguk mantap.
"Tunggu sini, gue ambil black card lo bentar."
Ravindra menahan tangan mungil Bianca yang akan pergi. Membuat si wanita mengernyit bingung.
"Kamu yakin? Penawaran dari aku engga merugikan kamu, 'kan?"
Helaan napas keluar dari belah bibir sexy milik Bianca. Tidak merugikan bagaimana? Kalau tunangannya Ravindra tahu nanti dirinya pasti akan dibilang pelakor. Belum juga kalau orang tua Melodi tahu.
Bianca tidak akan sanggup hidup dengan hinaan dari orang-orang yang harus ia hadapi karena jadi pelakor nantinya. Ia saja rela bekerja di Cafe agar orang-orang tidak curiga dari mana ia dapat uang, ini kok malah mau jadi pelakor. Bisa dicaci maki satu negara dia nantinya. Bianca benar-benar menjadi sosok penakut kalau sudah menyangkut omongan orang lain.
Kata-kata seperti 'biarkan saja orang lain mau ngomong apa, jalani saja hidupmu' sama sekali tidak bisa mempengaruhi Bianca untuk mengabaikan pendapat orang.
"Kalau ketahuan gue akan sangat dirugikan, Ravindra." Wanita itu menaruh kedua tangannya di atas meja. Mencondongkan tubuh dan menatap lekat wajah tampan si lelaki. "Gue engga butuh banget kok duit dari elo. Jadi, tunggu di sini sebentar. Gue ambil black card lo."
Bianca berjalan cepat menuju ruangan istirahat pegawai. Ia membuka loker dan mengambil black card milik Ravindra. Di pandanginya kartu hitam itu lama. Bohong kalau dirinya rela mengembalikan kartu hitam itu dan menolak penawaran Ravindra.
Dapat keberanian dari mana pula mulutnya tadi berbicara kalau dirinya tidak butuh uang?
Bianca menghela napas. Sudah lah. Kembalikan saja. Bekerja keras lebih lama lagi tidak masalah dari pada jadi pelakor.
"Ini." Bianca menaruh black card hitam itu di atas meja.
Ravindra mengetukkan jarinya di atas meja. Pandangan matanya lurus menatap Bianca yang terlihat sangat keras kepala di depannya.
"Kamu yakin engga bakal menyesal?"
Menyesal? Sudah pasti. Bianca adalah penggila uang, tentu saja penyesalan akan menghantuinya nanti.
"Dari pada jadi pelakor lebih baik kehilangan duit," balas Bianca sewot. "Udah, ya. Sana pergi. Gue mau kerja lagi."
Ravindra menghela napas. Lelaki itu berdiri dari kursi, mengambil black card dan mengangkat benda hitam itu tepat di depan wajah Bianca. Membuat wanita itu berhasrat ingin mengambil kembali.
"Waktumu tiga hari kalau mau berubah pikiran."
Bianca mengenakan pakaian berwarna merah yang memamerkan perut ratanya malam itu. Bersama dengan make up tebal yang menggoda di wajah tipisnya. Aroma mawar yang menguar dari tubuhnya membuat beberapa pasang mata langsung melirik. Tak sedikit pula yang menatapnya memuja. Tidak hanya laki-laki. Perempuan pun juga ada yang memandangnya kagum. Kharisma Bianca memang sekuat itu sampai mampu membuat orang lain tetap fokus melihatnya. "Orang yang menyewa lo malam ini masih dalam perjalanan," ujar Sarah yang menghampiri Bianca. Perempuan cantik yang dibalut pakaian merah itu mengangguk. Kemudian dengan santai duduk di salah satu sofa yang menghadap langsung ke arah panggung. Tempat dimana biasanya penari telanjang beraksi. "Dia minta lo menunggu di luar lima menit lagi," kata Sarah lagi. Bianca menoleh. "Tidak di sini? Dia mau membawaku kemana?" Sarah mengedikkan bahu. "Engga ngerti. Bawa saja tasmu seperti biasanya," balasnya. "Mungkin mau langsung ke hotel." Tidak banyak pelanggan ya
Ravindra pasti sudah gila dengan mengeluarkan kalimat seperti itu. Ia tak ada bedanya dengan para bajingan yang hanya suka menggunakam wanita demi kepuasan nafsu. Lelaki itu mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan keinginan untuk menerjang Bianca sekarang juga."Sorry, aku tidak bermaksud."Binca mengangkat sebelah alisnya. "Tidak bermaksud apanya? Hal yang wajar kok seorang berengsek tanya harga pelacur sepertiku," balas Bianca sarkas. Dirinya juga masih kesal karena pria itu berani menciumnya cuma-cuma.Ravindra spontan menoleh dengan tatapan dingin. Keberatan dengan Bianca yang menyebut dirinya sendiri pelacur. Meskipun itu kebenaran tapi Ravindra tidak menyukainya."Kamu menyukai pekerjaanmu ini?" tanya lelaki itu dengan nada lebih kalem dari sebelumnya.Si cantik berbaju merah itu tampaknya juga lebih tenang dari sebelumnya. Terbukti dari cara Bianca menyamankan dirinya duduk di kursi mobil mewah Ravindra."Sangat. Karena cuma ini yan
"Padahal bisa gue jemput sendiri," kata Bianca begitu Mila memasuki rumahnya. Ada seekor anjing berbulu hitam di gendongan temannya itu."Kan gue yang bawa dia, ya gue yang balikin dong." Mila menaruh anjing milik Bianca itu di lantai. Membiarkannya berlarian senang karena mungkin sudah rindu dengan rumah Bianca."Kuku kangen sama Mommy, ya?" tanya Bianca dengan suaranya yang dibuat lucu. Kedua tangannya direntangkan menyambut Kuku yang berlari ke arahnya.Sudah satu minggu dua makhluk itu tidak saling bertemu. Mila meminjam Kuku untuk dijadikan teman di rumahnya selama suaminya pergi dinas ke luar kota. Dan sebagai teman yang baik, Bianca mengizinkan meski dirinya yang merasa kesepian."Tumbenan lo belum berangkat ke Cafe?"Bianca membawa Kuku duduk di atas pangkuannya. "Libur gue hari ini," balas wanita itu."Capek?"Bianca mengangguk."Ngangkang berapa jam lo semalam?"Bianca berdecak, sikutnya mendorong lengan Mila p
Bianca berdecih mendengar kalimat yang dilontarkan Ravindra. Wanita itu kemudian duduk di sebelah si pria, bukan di atas paha sesuai yang diminta. Membuat Ravindra jadi berdecak sebal. "Kalau aku bilang duduk di sini harusnya kamu nurut," kata Ravindra kesal. "Kenapa?" Ravindra memasang wajah masam. "Tentu saja karena aku sudah membayar cukup mahal." Saat Sarah mengatakan ada tamu untuknya yang membayar mahal, Bianca tidak pernah berpikir kalau orang itu adalah Ravindra. Mengingat bagaimana dirinya selalu menolak dan Ravindra juga tidak lagi menemuinya. Bianca kira Ravindra tidak akan lagi muncul di hadapannya, ternyata ia salah besar. Ravindra masih sangat percaya diri untuk muncul di hadapannya. "Aneh rasanya mendengar seorang Adiwijaya berkata mahal," ujar Bianca sinis. "Usia lo berapa?" "Kenapa tiba-tiba tanya usia?" Ravindra memang sepertinya tidak diberi kesempatan untuk kesal dengan Bianca berlam
Ravindra mencengkram erat pinggang Bianca, tangannya mengusap liar paha yang dibiarkan terbuka seksi itu. Mereka merubah sudut kepala dan semakin memperdalam ciuman. Bianca bahkan tanpa sadar sudah merengkuh tengkuk Ravindra. Menekannya agar semakin memperdalam lagi ciuman berhasrat mereka. Ravindra memutus tautan bibir itu dengan enggan, ia menjauhkan kepalanya dan menatap mata wanitanya yang sayu. Sebagai pria normal yang sudah dewasa, Ravindra jelas tahu apa yang diinginkan wanita itu. Namun, dirinya sekuat tenaga menahan diri. Ia tidak ingin menyentuh Bianca untuk saat ini. Tidak jika Bianca mau dijamah olehnya hanya karena uang. Karena bagi Ravindra, perasaanlah yang terpenting. Ia ingin wanita itu mendekat karena cinta, bukan karena uang. "Tugasmu sudah selesai," bisik Ravindra di depan bibir Bianca yang terbuka. Suaranya yang tiba-tiba serak membuat bulu kuduk Bianca berdiri. Wanita itu meremang dan semakin menginginkan sentuhan dari
Bianca menggeram kesal dan memutar bola matanya malas dalam dekapan Ravindra. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu mendorong bahu si pria, melepaskan pelukan yang Ravindra buat. "Ngapain lo ke sini? Ada apa?" Ravindra menatap dua kotak makanan yang sudah ada di atas meja. "Mau sarapan bareng kamu." Bianca menatap datar makanan yang tadi di bawa Ravindra. Ia tidak suka seperti ini, ia tidak mau orang yang mengenal dirinya sebagai pelacur menjadi dekat. Cukup Mila saja yang selama ini mengetahui sisi buruk dan baiknya. Orang seperti Ravindra tidak perlu. Dirinya tidak mau repot-repot bertanya dari mana pria ini tahu rumahnya, karena Ravindra saja sudah mengetahui hutang yang ditinggalkan orang tuanya. Tetapi, datang ke rumah seperti ini sama sekali tidak pernah Bianca duga sebelumnya. "Pergi!" hardik Bianca. Matanya sudah menatap tajam Ravindra, tetapi si pria malah tetap tenang. Sama sekali tidak merasa ciut dengan bentakan Bianca.
Setelah kepergian Ravindra dari rumahnya, Bianca segera mempersiapkan diri untuk bekerja di cafe. Wanita cantik itu memguncir rambutnya separuh, sedangkan sisanya dibiarkan terurai sampai punggung. Sekali lagi, ia menatap penampilannya yang tampak segar dengan kaos hijau dan jeans abu-abu selutut. Bianca tersenyum puas ketika penampilannya mampu membuat dirinya tampak jauh lebih muda. Sebenarnya ia lebih suka pakaian santai dan sederhana seperti ini, daripada pakaian ketat dan menggoda yang ia pakai di club. Saat Bianca mengeluarkan motor matic dari dalam rumahnya, ia bisa melihat dengan jelas beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul, tengah berbisik sembari melirik padanya. Bianca menghela napas dam mengedikkan bahu tak peduli. Mencoba bodoh amat. Mereka pasti sedang membicarakan Ravindra yang datang ke rumahnya pagi-pagi. "Mbak Bianca." Salah satu dari mereka memanggil. Wanita manis itu hanya mengangguk lalu menjalankan mo
Selama delapan tahun bergelut di dunia gelapnya malam, baru kali ini Bianca tidak menerima satu pelanggan pun. Tidak ada pria yang membooking dirinya malam ini, dan itu berhasil membuat Bianca merasa kesal. Kalau bukan karena hutang yang menumpuk, wanita itu pasti akan senang-senang saja kalau dia lagi sepi seperti ini. Bianca menyugar rambut panjangnya yang terurai. Ia menatap sekeliling, banyak pria kaya tapi sudah ada gadis di sekitar mereka. Bianca pantang merebut incaran orang lain. Lagi pula dirinya selama ini juga tidak pernah mengincar pria lebih dulu. Mereka lah yang rela mendatanginya, melempar uang padanya, dan mendapatkan kepuasan dari tubuh Bianca. "Ini serius gak ada yang booking gue?" tanya Bianca pada sarah, entah sudah keberapa kalinya. "Belum ada, Bi. Gue juga heran, kok. Tunggu aja, masih sore ini." Bianca mendengus. Sore apanya? Ini sudah hampir tengah malam dan club sudah semakin ramai, namun, tak ada s