Kantor Dakṣa cabang Indonesia sudah menunjukkan kebisingan meskipun mentari baru saja tampak lebih tinggi menghiasi cakrawala pagi. Setiap orang berbisik membicarakan suatu hal yang sepertinya begitu menarik, terutama para kaum hawa. Hal yang menjadi perbincangan hangat orang-orang kantor seminggu belakangan ini.Jam masuk kerja memang masih satu jam lagi, biasanya kantor masihlah terasa sepi. Namun, terkhusus untuk hari ini ada yang berbeda, bahkan beberapa karyawan dan karyawati telah berjejer rapi berdiri di sisi kanan dan kiri pintu masuk gedung megah sebuah perusahaan penyedia layanan transportasi."Kudengar pagi ini akan ada orang penting yang berkunjung ke kantor kita. Kau sudah mendengarnya?" bisikan lirih terdengar dari salah satu mulut karyawati berambut panjang legam pada teman di sisinya. "Tentu saja sudah. Makanya hari ini aku berdandan secantik mungkin untuk menyambut tamu penting itu," sahut wanita lain di sebelahnya. Ia baru saja kembali memoleskan sebuah lipstik berwa
Waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Kini rona jingga telah tampak mendominasi angkasa di atas sana, begitu memanjakan mata. Daniel tampak kembali mengecek jarum pendek pada jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya, sebelum kembali menyesap secangkir kopi di atas meja.Kafe yang dirinya kunjungi memang tampak sedikit rame di kala senja, banyak pasangan kekasih yang mampir hanya sekedar untuk melepas penat sepulang kerja. Dan di sinilah Daniel, duduk seorang diri pada salah satu meja. Pria itu tengah menunggu kedatangan seseorang yang hendak ditemuinya. Seseorang yang ia telepon siang tadi.Dan ... tak perlu menunggu terlalu lama sosok tersebut akhirnya mampu tertangkap pandangan mata birunya. Sosok seorang wanita cantik bernama Karin dengan seorang pria kecil yang bergandengan tangan dengannya tampak berjalan mendekat, tentu diiringi lengkungan senyuman manis yang terpatri di kedua belah bibir ranumnya."Selamat sore, maaf saya terlambat," ucap wanita itu, sedikit
La fleur café, sebuah tempat makan ala Perancis dengan dinding kaca yang mengelilingi bangunannya. Terdapat berbagai jenis bunga merambat yang menghiasi setiap sudut tempat, beraneka warna, membuat kafe itu terlihat begitu menarik pandangan mata, sesuai dengan namanya. Setelah menepikan mobil yang ia kendarai, Daniel memperhatikan tempat itu dari balik kemudi. Menatap begitu ramainya pengunjung kafe kala jam makan siang telah tiba, sebelum akhirnya mata biru itu menoleh pada wanita yang duduk dengan tenang pada kursi penumpang di sisinya."Turunlah ...." sembari membuka seat belt, pria pirang itu berucap.Tentu wanita cantik dengan rambut tergerai rapi itu segera menuruti perintah pria di sampingnya. Ia turut membuka seat belt yang melingkupi tubuhnya, lantas membuka pintu alat transportasi roda empat yang ia naiki. "Kenapa kita harus jauh-jauh ke kafe ini hanya untuk makan siang, Mas?" tanyanya kemudian ketika telah menjejakkan kedua kakinya pada permukaan paving di bawah tubuhnya
"Wah, sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Dan lagi ... dengan siapa dia?""M-mungkin kekasihnya." Atas pertanyaan Anindita, Kinara menjawabnya dengan lirih kemudian menundukkan kepala, menatap kosong sisa makan siangnya."Kau ... baik-baik saja?" Anindita memajukan wajah, meneliti raut wajah sahabat baiknya dengan khawatir. Tentu ia tahu bagaimana cintanya Kinara pada pria di ujung sana. Dan melihat pria yang dicintai membersamai wanita lain tentulah terasa sangat menyakitkan, Anindita tahu itu.Namun, kelopak mata Kinara memejam seiring air matanya jatuh berlinangan. Wanita itu menghapusnya kasar, lantas memaksakan sebuah senyuman—yang justru terlihat menyedihkan. "I'm okay ... aku turut bahagia jika ia telah mendapatkan kebahagiaannya."Bullshit!Anindita tentu tahu jika Kinara membohonginya. Air mata yang mengaliri kedua pipi wanita itu seakan menjelaskan apa yang tak terucap oleh kedua belah bibir sahabat baiknya."Kau masih mencintainya, mana mungkin kau merasa bahagia melihatn
Syal rajut merah tebal tampak melingkari lehernya yang jenjang, sedangkan rambut gelap nan lurus alami itu ia biarkan tergerai di punggungnya. Anting mutiara yang melekat pada kedua daun telinganya mempermanis penampilan Kinara, meskipun hal tersebut tak menutupi fakta bahwa wajah jelita itu tampak sedikit pucat. Suhu tubuh Kinara naik beberapa derajat dari suhu normal sejak pagi tadi; ia demam setelah menangis semalam suntuk, tanpa mampu sedikit pun memejamkan mata. Meskipun ia sudah mencurahkan segala yang ia rasa pada Dirga, nyatanya hal tersebut tak membuat hatinya merasa lebih baik. Entahlah ... kenangan masa lalu indahnya bersama Daniel Christiadjie yang kembali terbayang dalam angan justru membuat dadanya sesak. Jantungnya seakan diremas tangan tak kasat mata kala ia menyadari bahwa kisah mereka telah berakhir, bahkan sirna. Hanya Axel, satu-satunya entitas yang pria itu tinggalkan untuknya. Hanya pria kecilnya itulah yang menjadi bukti bahwa mereka pernah saling mencintai.
Rahang tegas itu mengetat, wajah rupawannya dipenuhi kekesalan. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan tanpa mau sedikit pun kehilangan jejak mobil sedan di depan. Moodnya yang sudah buruk, semakin memburuk saja. Daniel lagi-lagi mendapati Dirga yang tengah berkunjung ke rumah Kinara—tentu tanpa sepengetahuan mereka, seperti semalam. Ia yang pada awalnya ingin menemui sang putra sekaligus memberikan mainan yang telah ia janjikan, dengan terpaksa harus menunda niatannya. Selain karena enggan bertegur sapa dengan pria itu, sejujurnya ... ia merasa kalah. Kinara tampak lebih menerima kehadiran mantan suaminya itu ketimbang dirinya. Dan hal tersebut telah cukup melukai harga dirinya sebagai seorang pria, pula sebagai ayah kandung dari Axel, putranya.Tatapan matanya tetap lurus ke depan. Setelah bermenit-menit menempuh perjalanan, pada akhirnya ia telah sampai di depan butik milik Kinara. Daniel menepikan mobilnya, menjaga jarak aman sembari tetap memasang mata, melihat interaks
Tubuh Kinara merosot, jatuh terduduk di atas lantai keramik dingin itu. Kedua kakinya tiba-tiba terasa lemas kala menyaksikan mobil hitam metalik di luar sana perlahan melaju meninggalkan halaman butik miliknya.Bahu rapuh itu tampak berguncang, sedangkan kedua telapak tangan tampak menutupi wajahnya yang semakin pasi. Ia mencoba semampunya meredam isak tangis yang kian menggema seiring rasa perih yang tercipta dalam dada. Mendapati kenyataan bahwa kini Daniel telah benar-benar memiliki kekasih baru nyatanya terasa begitu menyesakkan, mengoyak hati dan juga perasaannya. Ia sadar betul jika hal tersebut sebenarnya memanglah keinginannya, namun nyatanya tak mampu ia tampik rasa pedih yang kian menghunjam.Hukum karma memang benar adanya, kini ia memahami bagaimana sakitnya hati Daniel dulu ketika ia menikahi Dirga. Dan ia akan menerima segala rasa sakitnya sebagai penebus dosa atas apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Semua hal yang terjadi hari ini merupakan konsekuensi yang berha
"Setelah semua ini, apakah ... kau membenci ibunya?" suara lembut Karin teralun ragu. Namun, ia segera meralat pertanyaannya sendiri setelahnya. Ia merasa tak enak hati. "Maaf, jika kau merasa tak nyaman dengan pertanyaanku, kau boleh tidak menjawabnya." Daniel tak langsung menjawab, pria itu tampak menegakkan posisi duduknya terlebih dahulu lantas menarik napas panjang. Tak lama, sorot mata biru itu berubah hampa kala bersibobrok dengan kedua mata wanita di sisinya."Rasa benci itu jelas ada. Sangat banyak, bertumpuk di dalam sini," ujar pria itu, salah satu tangan besarnya meremas kemeja bagian dada kiri. "Tapi, Karin ... sebenci apa pun aku padanya, entah bagaimana aku masih mampu merasakan bahwa rasa cinta itu masih ada, sekuat apa pun aku berusaha menampiknya." Dan kedua mata itu terpejam dengan pedih setelahnya. Entahlah, hatinya terkadang memang tidak bisa sejalan dengan logika."...."Sedangkan Karin tak menjawab atau pun menanggapi ucapan pria pirang di sampingnya. Selain ka