Tubuh Kinara merosot, jatuh terduduk di atas lantai keramik dingin itu. Kedua kakinya tiba-tiba terasa lemas kala menyaksikan mobil hitam metalik di luar sana perlahan melaju meninggalkan halaman butik miliknya.Bahu rapuh itu tampak berguncang, sedangkan kedua telapak tangan tampak menutupi wajahnya yang semakin pasi. Ia mencoba semampunya meredam isak tangis yang kian menggema seiring rasa perih yang tercipta dalam dada. Mendapati kenyataan bahwa kini Daniel telah benar-benar memiliki kekasih baru nyatanya terasa begitu menyesakkan, mengoyak hati dan juga perasaannya. Ia sadar betul jika hal tersebut sebenarnya memanglah keinginannya, namun nyatanya tak mampu ia tampik rasa pedih yang kian menghunjam.Hukum karma memang benar adanya, kini ia memahami bagaimana sakitnya hati Daniel dulu ketika ia menikahi Dirga. Dan ia akan menerima segala rasa sakitnya sebagai penebus dosa atas apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Semua hal yang terjadi hari ini merupakan konsekuensi yang berha
"Setelah semua ini, apakah ... kau membenci ibunya?" suara lembut Karin teralun ragu. Namun, ia segera meralat pertanyaannya sendiri setelahnya. Ia merasa tak enak hati. "Maaf, jika kau merasa tak nyaman dengan pertanyaanku, kau boleh tidak menjawabnya." Daniel tak langsung menjawab, pria itu tampak menegakkan posisi duduknya terlebih dahulu lantas menarik napas panjang. Tak lama, sorot mata biru itu berubah hampa kala bersibobrok dengan kedua mata wanita di sisinya."Rasa benci itu jelas ada. Sangat banyak, bertumpuk di dalam sini," ujar pria itu, salah satu tangan besarnya meremas kemeja bagian dada kiri. "Tapi, Karin ... sebenci apa pun aku padanya, entah bagaimana aku masih mampu merasakan bahwa rasa cinta itu masih ada, sekuat apa pun aku berusaha menampiknya." Dan kedua mata itu terpejam dengan pedih setelahnya. Entahlah, hatinya terkadang memang tidak bisa sejalan dengan logika."...."Sedangkan Karin tak menjawab atau pun menanggapi ucapan pria pirang di sampingnya. Selain ka
Wajah rupawan nan menggemaskan Axel terlihat begitu damai ketika terlelap, Kinara tak sedikit pun mampu mengalihkan atensinya barang sejenak. Hatinya diliputi keresahan sekarang hingga pada akhirnya ia memilih untuk tidur di kamar Axel, ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan putra semata wayangnya setelah seharian terpisah. Semalam ketika Daniel mengantar anaknya pulang, ia sengaja menghindar, membiarkan sang ayah yang menemui pria pirang itu sebelum kembali berangkat untuk perjalanan bisnis ke luar negeri. Sedangkan dirinya menunggu dengan tidak sabar di dalam kamar bernuansa biru itu. Ia merasa tak punya nyali untuk bertemu mengingat pertemuan terakhir mereka di butik berakhir kurang menyenangkan.Tak seperti biasanya wanita itu terlihat begitu memperhatikan sang putra sedetail itu. Entahlah, setelah Axel pergi bersama Daniel, rasa takut akan kehilangan pria kecilnya semakin menyeruak. Ia seakan tengah mematri setiap inchi raut sang putra, raut wajah yang nyaris serupa den
"Kau benar-benar sudah baik-baik saja, Sima?" sembari mencatat stok kain yang baru datang, Kinara bertanya. Atensi kedua netra indah itu lantas beralih sepenuhnya pada wajah jelita Sima, salah satu sahabat baiknya selain Anindita. Wanita yang tengah hamil muda itu tampak semakin pucat sore ini. "Jangan dipaksakan jika masih belum kuat."Kepala dengan rambut menjuntai panjang itu menoleh, sesaat menghentikan kegiatannya menata gaun-gaun terbaru pada display di hadapannya. "Aku baik, Nara ... aku masih butuh uang, makanya aku harus berangkat bekerja." Ia lantas kembali melanjutkan pekerjaannya."Ah, apakah suamimu yang pelukis itu sudah gulung tikar?" Anindita—dengan sebuah gaun berwarna peach di kedua tangannya—menimpali sembari mengangkat satu alisnya kala bersitatap dengan Sima, namun tiada menghentikan langkah kakinya menuju meja kasir. Sedangkan di belakang tubuh ramping itu terlihat dua sosok yang mengekorinya. Ah, wanita itu sedang melayani pelanggan rupanya.Tentu Sima menoleh c
Kedua netra indah itu tampak sayu, memandang tak fokus pada botol-botol soju di atas meja; tepat di hadapannya. Tangan kanannya tampak memutar-mutar gelas berkaki yang separuh terisi dengan gerakan bosan. Sedangkan dirinya tampak duduk bersimpuh di kaki sofa, pada permadani merah yang tergelar di bawah tubuhnya.Ingatannya mundur pada beberapa jam ke belakang, mengingat kejadian setelah mengantar Anindita pulang. Sungguh, pemandangan ketika ia tanpa sengaja melihat Daniel dan anaknya tengah bercengkerama dengan Karin selalu berputar dalam angan. Di mata Kinara, mereka terlihat begitu bahagia. Tentu melihat hal tersebut sukses kembali menggores hatinya, menambah jajaran luka. Ah, harinya semakin kelam saja. Lebih muram lagi karena sang ayah sedang tiada di rumah, sehingga ia tiada memiliki tempat untuk berkeluh kesah.Setelah kejadian tersebut, pada akhirnya ia memutuskan untuk membeli beberapa botol soju untuk menemani malamnya. Ia berpikir, ia butuh cairan beralkohol tersebut untuk
Daniel menjatuhkan kedua lututnya di atas karpet tebal yang tergelar, agar mampu menatap wajah wanita di depannya lebih dekat. Raut wajah itu tak pernah berubah di mata birunya, tetap cantik nan mempesona seperti dahulu kala. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mungil namun mancung, dan kedua belah bibir sewarna cherry yang ranum. Bibir itu ... bibir yang dahulu menjadi candu baginya. Ada setitik hasrat untuk kembali memagutnya saat itu juga. Tetapi, ia memilih untuk menahan, ia bukanlah pria yang senang mencuri kesempatan.Tanpa terasa kedua bibir pria itu melengkungkan senyuman, seiring angannya kembali mengingat masa silam. Masa ketika Kinara pertama kali mencoba menenggak alkohol setelah hari kelulusan sekolahnya, tentu ia mendampinginya. Sebagai kekasih yang baik ia tentu berusaha menjaga miliknya, apalagi ia lebih dewasa dari Kinara; tiga tahun jarak usia mereka.Kala itu ia menjadi satu-satunya pria yang menyaksikan bagaimana gilanya wanita itu ketika kehilangan kesadara
[Maaf.]Hanya satu kata.Ya, hanya satu kata yang Kinara baca kala membuka chat yang baru masuk dalam handphonenya, tentu saja dari Daniel; pria yang membagi kehangatan dengan dirinya semalaman.Ia tersenyum miris sembari mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dengan posisi setengah terlentang, pula handphone yang erat tergenggam, ia menatap sendu sisi tempat tidurnya. Titik tersebut yang beberapa jam lalu masih terasa hangat, kini mendingin setelah pria itu pergi meninggalkan dirinya. Seorang diri. Seperti sedia kala.Tanpa ia sadari, air bening pada kedua sudut matanya mengalir, seakan berlomba menuruni pipi tirus yang belakangan ini sering berderai air mata. Ia merasa bagai pelacur yang baru saja ditinggalkan pelanggannya sekarang. Ia merasa bagai wanita murahan yang dengan mudahnya memberikan tubuhnya pada sang pria Kanada; meskipun ia dalam pengaruh alkohol. Meskipun samar, sejujurnya Kinara mengingatnya. Mengingat bagaimana sentuhan tangan pria itu ketika mencumbui s
Langkah panjang itu terayun dengan pasti memasuki bangunan butik lebih dalam lagi, membuat obrolan kedua wanita di sana terhenti. Sedangkan balita tampan yang sedari tadi sibuk bermain, kini segera bangkit berdiri kala menyadari kehadirannya. Sosok kecil itu lantas berlari terseok menerjang tubuh besar sang pria berambut bak arunika. Benar, Daniel adalah seseorang yang datang ketika langit senja mulai memayungi cakrawala. Ia memang sengaja mengunjungi butik milik sang mantan kekasih untuk menemuinya; untuk membahas kejadian semalam tentu saja. Namun, nyatanya ia cukup beruntung karena dapat sekaligus bertemu sang putra tercinta. "Paman~ Axel lindu." Pria kecil kopian sang pria Kanada berteriak riang sebelum akhirnya langkah kecil itu menjejak udara ketika kedua tangan besar Daniel meraih tubuhnya, lantas menghujaninya dengan ciuman.Sungguh, hati pria itu terasa menghangat setiap kali mendekap anaknya. Dadanya membuncah takjub setiap kali menyadari bahwa entitas dalam gendongannya a