Share

Chapter 4 - Putra Mahkota?

Detik dalam jam terasa begitu lambat, pun langkah Rose yang menurut Bara seperti keong, menambah sensasi panas dingin dalam dirinya. 

"Jangan mendekat!" Dengan sigap, saat Rose sudah berada tepat satu langkah dari tempatnya tersungkur, Bara menarik dirinya agar mundur dengan menggunakan satu siku, satu tangannya yang lain memberi gestur untuk Rose agar berhenti.

Tapi, Rose tak mau menurut, ia tetap melangkah mengikis jarak di antara dirinya dan Bara, bahkan tak sungkan ia berjongkok tepat di samping Bara tanpa perduli perasaannya yang kini tengah berkecamuk. Bibir Bara gemetar, terlebih ia tak kuat menggerakkan badannya agar dapat bangkit dan kabur secepat mungkin dari hadapan gadis asing itu.

Tak henti di dalam hatinya, Bara merapalkan do'a pada Tuhan untuk memberikannya kesempatan hidup, setidaknya sampai ia mendapatkan cinta dari Lily. 

Ayolah, Bara tidak mau mati muda! Apalagi mati dalam keadaan konyol seperti ini, ketakutan karena sosok seorang gadis cantik yang datang dari tempat tak terdeteksi.

Atmosfer menegangkan begitu menguar hingga ke penjuru ruangan, kala gadis itu mulai mengangkat tangannya. Pikiran Bara semakin tumpang tindih, bermacam dugaan keluar masuk ke dalam pikirannya; apakah gadis ini akan memukulnya? Mencekiknya? Mencabut matanya? Mematahkan hidung mancungnya? Mencakar wajah tampannya? Menarik rambut hingga putus kepalanya? Dan masih banyak lagi dugaan liar di kepala dengan isi pas-pasan itu.

Oh Tuhan, sungguh Bara tak siap, namun, jika benar ia akan mati detik ini juga, apa yang bisa ia lakukan?

Pasrah, sepertinya hanya itulah yang bisa dilakukannya. Matanya seketika memejam kuat, menyiapkan diri untuk merasakan sakit yang mungkin tak terkira akibat ulah makhluk yang belum diketahui apa jenisnya. 

Seperkian detik Bara dalam kondisi itu, mencoba pasrah. Tapi tak ada sentuhan menyakitkan, justru sebaliknya, kelembutanlah yang berhasil dirasa mendarat di bagian hidungnya.

Masih dengan kesadaran terbatas, Bara membuka matanya perlahan. Awalnya hanya mata kanannya yang berhasil terbuka, setelah melihat telunjuk lentik dari jarak begitu dekat menyentuh kulit hidungnya, kedua matanya sontak terbuka lebar fokus menjurus pada jari lentik itu.

"Pangeran?" Rose kembali memanggil nama tengahnya, membuat kesadarannya kembali terkumpul.

Dari telunjuk gadis itu, pandangan Bara beralih untuk menatap jelas sosok di hadapannya. Senyum manis tercetak jelas di bibir mungil Rose, kala netra berhasil menangkap sosoknya. 

"Pa--Pangeran?" Dahi Bara mengkerut heran, bergumam mengulangi satu kata yang terucap oleh gadis itu, menyebut nama tengahnya yang tentu terdengar aneh untuk seseorang yang baru ia temui.

Apakah gadis ini seorang paranormal? Hingga mengetahui namanya. Tunggu, 'seseorang'? Bukankah Bara meragukan itu? Bagaimana bisa seorang manusia keluar dari cermin? terkecuali jika ia memiliki kekuatan sihir. Mungkinkah demikian? Astaga, itu benar-benar mustahil.

Tanpa Bara sadari, tangan Rose sudah menjauh dari hidungnya dan kini justru melambai padanya.  "Hai!" sapa Rose pada Bara dengan senyum ramah.

Bara harus mengakui bahwasanya senyum gadis ini lebih manis dibandingkan senyum Lily. Lagipula, jika diingat Lily tampak jarang tersenyum padanya, hanya sesekali dan itupun termasuk sebuah senyuman miring dengan maksud mengejeknya.

"Lo--lo, kok bisa tau nama gue?" Bara terus mengupayakan diri untuk menghilangkan rasa takutnya, agar ia bisa menelisik mengenai makhluk jenis apa gadis manis ini.

"Benarkan kamu itu pangeran?" Rose balik bertanya. "Pangeran putra mahkota," lanjut gadis itu memperjelas maksudnya.

"Putra mahkota?" 

Gadis itu mengangguk membuat dahi Bara lagi-lagi mengkerut. Seperkian detik berlalu, tiba-tiba Bara tertawa usai memahami apa yang Rose maksud. 

Menurutnya, apa yang dikatakan gadis itu sangat lucu, ia menganggap Bara seorang pangeran putra mahkota? Berarti putra dari seorang raja? Kenapa bisa gadis ini berpikir bahwa ia adalah seorang pangeran? Apa yang dapat disamakan? Oh, big nol! Jelas tidak ada, mana ada pangeran petakilan macam dirinya.

Sebaliknya, Rose malah merasa heran dengan sikap Bara yang malah tertawa. Tapi sepertinya bukan heran, lebih tepatnya gadis itu tidak mengerti dengan apa yang membuat lelaki di hadapannya tertawa.

Karena lama menunggu Bara tertawa, ia mengubah posisinya dari berjongkok menjadi bersimpuh. 

Melihat gadis itu mengubah posisinya, Bara yang tadi masih tertawa terpingkal-pingkal, kini berhenti dan memilih ikut mengubah posisinya yang tak nyaman, yakni berbaring dengan ditahan satu siku bekas dirinya terjungkal.

"Ekhem!" dehemnya setelah memastikan bersila adalah posisi ternyaman untuk duduk.

Rasa takut yang membuat persendiannya kaku, dan hampir mengancam hidupnya, perlahan hilang entah kemana selepas melihat senyum dan kepolosan Rose. Tapi, Bara tetap menjaga jarak, berjaga-jaga jika gadis itu akan berbuat macam-macam dengannya.

"Gini, ya. Nama gue emang Pangeran, tapi bukan gelar yang dimaksud, melainkan cuma nama kepanjangan," ucapnya sebagai awal untuk menjelaskan yang sebenarnya. Lihat, bahkan ia mulai sepenuhnya kembali menjadi dirinya yang banyak omong. "Gue bukan anak Bapak Raja, gue cuma anak Bapak Tentara," pungkasnya sedikit membanggakan diri.

"Anak Bapak Tentara?" Rose mengulangi kata yang barusan ia dengar dengan raut wajah seakan berpikir.

Bara mengangguk. Menangkap raut polos itu, ia dapat mengerti bahwasanya Rose kebingungan. Astaga, sebenarnya gadis ini polos atau ... bodoh? 

"Udah-udah, nggak usah dipikirin. Nggak penting juga," katanya tidak mau pusing menjelaskan lebih lanjut, lagipula mana mungkin seorang pemalas sepertinya mau menjelaskan terperinci, apalagi mengenai hal yang benar-benar sesepele itu.

Ingatan Bara kembali pada kejadian dan asal-usul Rose. Sekali lagi ia berdehem untuk mengurangi rasa gugup dan takut yang kembali hadir, walaupun tidak sebesar beberapa menit lalu.

"Sebenernya ... lo ini apa? Hantu? Monster? Jin? Siluman? Dukun? Atau ... bidadari nyasar?" tanya Bara terperinci, sesuai dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya.

Lama, Rose terdiam masih memasang wajah polos hingga muncul rasa gemas di benak Bara ingin menghujaminya dengan cubitan. 

Meski menurutnya itu manis, tangan Bara menyatu dan tergenggam kuat, takut jawaban yang muncul terdengar lebih menakutkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status