Share

Nikah?

"Ya ampun, Ibu. Aku udah panik banget, lho, kirain kecelakaan gimana gitu. Ternyata cuman kegores sama pisau dikit doang, ya Allah." Lawren mengusap dadanya, ia harus sabar menghadapi ibunya yang terlalu dramatis.

"Lagian kamu, Ren, suka kebiasaan pulang malem terus. Ibu, tuh, khawatir. Anak gadis kok pulangnya nggak diatur. Kamu yang ngelakuin, tetangga tuh yang repot!" Racun—ibu Lawren mengoceh.

"Tetangga terus, tetangga aja tuh urusin. Apa-apa bahasnya tetangga, anak sendiri gak dibelain!" Lawren membalas ucapan ibunya.

"Jadi anak kelewat bobrok, ya, kamu. Ngomong sama orang tua kayak gitu, nggak sopan banget!"

"Lagian ibu, sih, in—"

"Gue pulang dulu, ya, Ren," ucap Nikel yang dari tadi menyimak perdebatan kedua orang itu. "Saya pamit, Tante," lanjut Nikel melirik ibu Lawren.

Ibu dan anak itu saling menyenggol, tentu saja mereka lupa bahwa ada Nikel di sana. Karena, Nikel yang mengantar Lawren pulang. Ah, mereka menjadi tak enak pada pria tampan satu ini.

"Eits ... jangan dulu! Kita belum makan malam sama-sama." Racun mencegah Nikel agar tak pulang buru-buru.

"Aduh, Tante. Nikel udah makan banyak tadi," ucap Nikel jujur.

"Iya, Bu. Lawren juga masih kenyang."

"Pokoknya, kalian harus makan lagi, cepet!" Racun menarik lengan kedua anak muda itu, membawanya ke ruang makan. Nikel dan Lawren hanya menurut pasrah.

°°°

Di sisi lain, suara desahan terdengar bersahutan, sepertinya ada orang yang sedang bersenggama. Desahan mereka pastinya sangat nikmat, melampiaskan efek dari obat perangsang yang ditaruh di dalam minuman yang mereka minum. Sialan, entah siapa pelakunya.

"Ahhhh ... sssttt ... lo enak, Sel," ucap Xenon seraya memompa miliknya.

"Terus, Xen, ahhhh," sahut Selen yang sama menikmatinya.

Pompaan di bawah sana dipercepat, mereka sama-sama akan melepas orgasmenya. Sebenarnya, sejak tadi mereka telah beberapa kali orgasme, tetapi masih merasa belum puas. Efek dari obat itu terlalu tinggi.

"Lebih cepet lagi, Xen, aaaahhhh!"

"Terus, aaaahh!"

"Iya sayangngggghhhhhhhhh."

"Aahhhhhhh," ucap mereka bersamaan, tubuh mereka lemas. Xenon menindih tubuh Selen, memeluknya erat.

Setelah aksi ciuman di dalam mobil, Xenon benar membawa Selen ke apartement-nya. Dia tak mau menggantungkan aktivitasnya, Selen harus tuntas malam itu juga. Selen yang sama dalam pengaruh obat, tak menolak sedikit pun, ia dengan suka rela digendong oleh Xenon masuk ke dalam apartement.

Akibat obat perangsang itu, kini Selen tengah bersenggama dengan Xenon—pria yang dicintainya, meskipun caranya sungguh di luar dugaan. Selen melepas keperawanannya malam itu juga, di bawah kungkungan badan kekar Xenon. Meskipun ada sedikit tak rela dalam hatinya, tetap saja Selen menikmati setiap sentuhan Xenon pada tubuhnya.

Xenon kembali mencium bibir Selen secara perlahan, tidak brutal seperti sebelumnya. Kini, Xenon menciumnya penuh kelembutan, seakan tak mau lepas dari pagutan mereka. Balasan ciuman dari Selen menjadi candu bagi Xenon. Tangannya tak mau tinggal diam, terus saja memainkan puting payudara Selen, membuat si empunya tak karuan.

Ciuman Xenon turun ke leher, menggigit, dan menghisapnya secara perlahan, menimbulkan bercak merah keunguan di sana. Setelahnya, ciuman itu terus turun ke bawah, tepat pada payudara Selen. Xenon mencium, dan menghisap putingnya kuat, tangannya bermain di payudara yang satunya, terus bergantian.

"Udah, Xen, gue capek." Selen memelas.

"Tubuh lo masih mau. Satu kali lagi, ya?"

Memang benar, reaksi tubuh Selen berbeda dari yang diucapkan. Akhirnya, ia pun mengangguk tanda setuju. Setidaknya Selen harus bersyukur, karena yang mengambil keperawanannya adalah orang yang ia cintai.

Aksi mereka terus berlanjut, sampai keduanya merasa kelelahan. Akhirnya, mereka pun tertidur saling memeluk satu sama lain, badan mereka polos tanpa sehelai benang. Hanya saja, akibat cuaca yang dingin, Xenon mengambil selimut untuk menutupi tubuh keduanya.

                              °°°

Ting!

Suara lift terbuka, sepasang suami-istri berjalan bergandeng tangan. Tujuan mereka adalah menemui anaknya yang tinggal di apartement lantai 10. Kini, mereka telah sampai, memencet bel yang ada di depan pintu apartement, tak kunjung ada yang membukanya.

"Kayaknya dia nggak ada, deh, Pah," ucap sang istri pada suaminya.

"Coba pencet lagi, Mah!" perintah sang suami.

Titanium pun mengangguk, dia mulai memencet tombol bel itu kembali, tetap saja nihil. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka tasnya, mengambil ponsel yang ditaruh di sana.

"Mamah mau telpon dia?" tanya Seng—sang suami.

"Nggak, Pah. Waktu itu mamah pernah dikasih kode pintunya, bentar mamah cari dulu," jawab sang istri. Seng hanya mengangguk, tanda setuju.

"Ketemu, Pah!" serunya antusias, setelah beberapa detik scroll chat antara dia dan anaknya.

"Ya udah, sini," ucap sang suami, yang langsung memencet satu per satu angka untuk membuka pintunya .

Kode berhasil, pintu pun terbuka. Akhirnya mereka bisa masuk ke dalam apartement tersebut, Titanium beberapa kali memanggil nama anaknya, tak kunjung ada jawaban. Mereka memutuskan untuk masuk ke dalam kamar pribadi anaknya, kebetulan tak dikunci.

"Astagfirullah, Pah!" Sang istri langsung memeluk tubuh suaminya, matanya berkaca-kaca.

"Kenapa?" tanya Seng, dia langsung mengikuti arah telunjuk istrinya.

Dadanya naik turun tak karuan, dia emosi bukan main. Istrinya menangis di pelukannya. "Ssttt ... jangan nangis! Biar papah yang kasih dia pelajaran," ucapnya mengelus puncak kepala istrinya. Dia melepaskan pelukan sang istri, lalu mendekat ke arah anaknya.

"Xenon, bangun kamu!" teriaknya menggema di seluruh ruangan.

Suara itu mampu membangunkan kedua insan yang tengah tertidur pulas, Xenon dan Selen terbangun dengan wajah kebingungan. Xenon terkejut bukan main, tatkala melihat papahnya yang menatap garang, dia melirik ke arah samping kiri ibunya tengah menangis. Suara isakan pun terdengar di dekatnya, ya, Selen ikut menangis.

Demi apa pun Selen kaget, pasalnya orang yang berteriak memanggil nama Xenon, lalu dilihat dirinya tertidur bersama Xenon. Bayangan semalam terlintas dalam benaknya, begitu kotornya dia sekarang ini. Kini, keperawanannya telah hilang, meskipun dia mencintai Xenon, tapi bukan cara seperti ini yang Selen mau.

"Apa yang sudah kamu lakukan dengan dia, Xenon?" tanya papahnya.

"Pah, aku bisa jelasin," jawab Xenon lemah.

Plak!

"Bajingan!" 

Tamparan keras mengenai wajah Xenon, sudut bibir yang terkena tamparan papahnya mengeluarkan cairan merah kental. Tentu saja sangat perih, tetapi tak sebanding dengan perih hatinya. Papahnya kecewa, begitu pun dengan mamahnya sudah pasti. Apalagi Selen, meskipun Xenon cuek, dia masih memikirkan perasaan Selen yang menangis di sampingnya saat ini.

"Maaf," ucap Xenon pelan.

"Bersihkan tubuh kalian, kami tunggu di ruang tamu!" perintah Seng—papahnya Xenon. Dia ke luar dari kamar, merangkul istrinya yang masih saja menangis. Xenon mengangguk, begitu pun dengan Selen di tengah isakannya.

“Maafin gue,” ucap Xenon merangkul tubuh Selen.

“Gue emang cinta sama lo, tapi bukan mau kayak gini. Gue juga bodoh, nggak bisa nolak lo,” ucap Selen menyesal.

“Maaf.” Xenon mengusap air mata Selen. Tidak ada jawaban dari Selen, dia juga tahu bukan hanya Xenon yang bersalah, tapi dirinya. Memang salah keduanya, sama-sama tidak bisa mengontrol efek dari obat sialan itu. Yang paling sialan, adalah pelaku di balik itu semua yang menjebak mereka.

“Lo mandi duluan, gih, ntar gue belakangan. Kita udah ditungguin.” Hal terpanjang yang Xenon katakan pada Selen, gadis itu mengangguk. Selen melilitkan selimut pada tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Sementara Xenon memalingkan dirinya agar tidak menatap Selen, lebih tepatnya tubuh Selen.

                              °°°

Thalium mondar-mandir tak karuan, ia sangat khawatir dengan keadaan Selen. Pasalnya, gadis itu semalaman tak pulang ke rumah. Selen biasanya memberikan kabar jika akan menginap di rumah siapa pun. Untuk bertanya pada teman-teman Selen pun, Thalium tak mempunyai nomor telepon mereka.

“Ah, gue kepoin i*******m non Selen aja.” Thalium membuka layar benda pipihnya, langsung meluncur pada aplikasi i*******m. Ia mencari siapa teman terdekat Selen melalui foto yang diunggah, di sana banyak foto bertiga.

“Nah, ini Nikel, sama Lawren,” ucap Thalium. Ia meng-klik satu per satu nama yang dicurigai akun sahabatnya Selen. Sebenarnya Thalium mengetahui kedua orang itu, sayangnya tidak terlalu akrab. Kebetulan, di bio i*******m Lawren ada nomor ponselnya, langsung saja Thalium menyalin nomor tersebut dan memanggilnya lewat telepon biasa.

“Semoga aja diangkat.” Thalium harap-harap cemas. Terdengar suara nada dering, tetapi tak kunjung mendapatkan jawaban dari Lawren. Thalium mencobanya berulang-ulang hingga telepon tersebut tersambung.

“Hallo,” sapa Lawren di seberang sana. “Ini siapa, ya?” tanyanya.

“Hallo, ini Lawren temennya Selen, ya? Gue Thalium, orang yang kerja di rumah Selen. Mohon maaf, lo tahu Selen di mana?” tanya Selen to the point.

“Iya, gue Lawren. Loh, emangnya Selen nggak pulang, Kak?” tanya Lawren.

“Nggak, makanya gue nanya ke lo,” jawab Thalium.

Detik itu juga Lawren panik bukan main, ia merasa bersalah telah pulang duluan bersama Nikel. Bahkan, Lawren tidak menelpon Selen lagi, dikarenakan ia langsung tertidur setelah acara makan malam kedua bersama ibunya, dan Nikel.

“Hallo?” Thalium menyadarkan Lawren di seberang sana.

“Jadi, gini, Kak. Semalem gue sama Nikel pulang duluan, karena ibu gue kecelakaan. Gue buru-buru, kirain gue, ibu kecelakaan parah, ternyata kegores pisau doang. Nah, terus gue ketiduran selepas makan kedua bareng ibu, lupa juga gak nelpon Selen. Gue kira tuh anak pulang ke rumah,” jelas Lawren.

“Gini aja deh, Kak. Gue ke sana sekarang, kita cari Selen sama-sama,” ucap Lawren menenangkan Thalium.

“Oke, gue tunggu.”

Kekhawatiran Thalium semakin meningkat, sahabat Selen pun tidak mengetahui keberadaan gadis itu. Memang, Thalium sangat menyayangi Selen layaknya adik kandung sendiri. Dia takut terjadi hal yang tak diinginkan pada Selen. Demi apa pun, Thalium sungguh mengkhawatirkannya.

                              °°°

“Ayo, kita temuin orang tua gue!” ajak Xenon berusaha tenang.

“Gue takut,” ucap Selen jujur.

“Nggak papa.” Xenon menggenggam tangan Selen erat. Mereka berjalan menuju ruang tamu, jantung mereka berpacu lebih cepat.

“Duduk!” perintah Seng—papah Xenon.

Xenon dan Selen pun duduk di sofa, seraya menunduk. Mereka merasa malu atas tindakan tak senonohnya. Seng dan Titanium memperhatikan mereka lekat. Sungguh, Titanium tak tega dengan gadis yang telah disetubuhi oleh putranya. Mau bagaimana pun ceritanya, atas dasar suka sama suka sekali pun, tetap saja putranya bersalah telah merenggut mahkota seorang perempuan.

“Jelaskan secara rinci kejadiannya!” Seng menatap Xenon dan Selen secara bergantian.

Xenon menceritakan semuanya secara detail, dari awal hingga akhirnya mereka melakukan hal itu. Sungguh, bukan sesuatu yang direncanakan memang, mereka sama-sama terjebak. Seng dan Titanium menyimak apa yang dijelaskan oleh putranya.

“Benar begitu, Nak?” tanya Titanium pada Selen, hal itu diangguki oleh Selen.

“Siapa namamu?” tanya Titanium.

“Selenium Rutherfordium,” jawab Selen seraya menunduk.

“Aku kenal orang tuamu dengan baik, Nak. Aku akan hubungi mereka sekarang untuk membahas pernikahan kalian.” Seng berujar tegas.

Selen dan Xenon bertatapan. “N-nikah?” tanya keduanya bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status