Share

4. Lipan Betina (1)

Penulis: Henry Hafidz
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-09 22:54:11

Lipan sudah tak bisa kembali ke posisi semula. Setiap dia berusaha kembali, tombak Miaocai yang panjang dan kuat itu membentur tanah. Berguling ke kanan tertahan tanah. Berguling ke kiri juga tertahan tanah. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh lipan raksasa selain menunggu kematian. Tombak sudah menusuk terlalu dalam bahkan sampai menembus.

“Akan kuselesaikan,” kata Yuanrang.

Yuanrang menghunuskan pedang. Pedang itu melayang di udara bebas dengan pengendalian logamnya. Lalu terhenti tepat setinggi dua kaki dari luka lipan yang terbuka. Yuanrang mengkonsentrasikan pengendalian logam dan menusuk bagian yang terbuka lebar itu dengan kecepatan dan tekanan tinggi.

“Menangislah, lipan menjijikkan!” teriak Yuanrang.

            “Kau pintar juga,” kata Mengde.

            “Ya jelas. Mungkin kalian lebih pintar dariku dalam taktik tempur,” kata Yuanrang, “Tapi aku mempelajari cara kalian berpikir dan cara kalian menyikapi suatu momen dalam bertempuran. Aku juga harus berkembang. Aku tak bisa jika aku harus selalu mengandalkan kalian. Bagaimana jika aku harus menghadapi kondisi pelik ketika kalian tidak ada bersamaku? Seperti yang pernah kau katakan, Mengde: kemenangan atau kekalahan dalam pertempuran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan dan senjata tempur saja.”

            Mengde tertawa, “Kau ini cerewet juga, ya, sepupu. Maksudku caramu mengakhiri lipan raksasa ini.”

            “Ya memang bagian lemahnya, kan?” jawab Yuanrang, “Lagi pula, aku tidak mau terkena cairan, getah, ludah, keringat, darah atau apapun yang menjijikkan itu.”

            “Nah itu maksudku. Kalimat terakhirmu itu maksudku.”

            “Sudahlah, kalian berdua. Jangan rewel,” kata Miaocai yang menyandarkan tubuh dan menghela nafas panjang, “Akhirnya selesai juga.”

            Mereka bersandar dan beristirahat di batu selama lima belas menit. Membiarkan lipan raksasa itu berhenti bernafas. Gerakan Yuanrang tadi tidak hanya menusuk. Tapi setelah menusuk, Yuanrang juga membelah hingga merusak rahang bawah lipan. Hingga mulutnya terbelah. Setelah tidak ada tanda-tanda pergerakan pada lipan raksasa, mereka bertiga baru memeriksa.

            “Matamu boleh juga. Kau mendeteksi titik lemahnya,” tanya Mengde, “Bagian bawah tubuh dekat mulut kan?”

            “Benar. Aku berpikir ada celah kosong sehingga kumanfaatkan saja,” kata Yuanrang,

            Mengde mengeluarkan pedang dan menyentuh bagian yang tadi diincar Yuanrang, “Sekarang aku paham. Karena inilah keanehan terjadi,”

            “Keanehan apa maksudmu?” tanya Yuanrang.

            “Kau tahu kan kalau ketika mengejar kita tadi, lipan ini menembakkan cairan-cairan aneh? Setelah kita keluar dari hutan, lipan ini tidak menembakkan cairan lagi,” kata Mengde.

            “Organ yang memproduksi cairan sudah rusak, ya?” kata Miaocai.

            Mengde menepuk bahu Miaocai, “Rusak sejak lipan ini mengejar kita. Berkat jebakan esmu yang merobeknya.”

            Mereka mulai bekerja lagi. Miaocai sibuk mengambil puluhan senjata dan anak panah yang sudah menusuk bagian tubuh lipan. Sementara Yuanrang dan Mengde lalu berjalan ke bagian belakang lipan. Kemudian melihat organ reproduksi. Setelah merobek dengan hati-hati, Mengde memahami kalau ini kabar buruk.

            “Yang kita bunuh lipan jantan,” kata Mengde, “Bayi-bayi lipan tidak mungkin lahir jika hanya lipan jantan.”

            “Berarti masih ada lipan betina,” respon Yuanrang, “Sebagai suami yang baik, lipan jantan ini melindungi istri dan anak mereka. Sampai rela menjadi dinding pertahanan dari serangan penduduk desa. Kita hajar sekarang?”

            Mengde menggeleng, “Kita bantu dulu Miaocai membereskan semua senjata. Sebisanya. Lalu kita istirahat sejenak.”

            Dua jam kemudian, tiga pendekar masuk hutan lagi setelah semuanya selesai. Bagian ini yang membuat Yuanrang mengeluh. Yuanrang adalah seorang petarung. Bukan seorang pencari. Jadi dia lebih menikmati pertarungan daripada pencarian seperti sekarang. Lagi pula, hutan ini juga luas. Menurut Yuanrang, tadi ketika berhasil menemukan gua saja sudah termasuk beruntung. Memang membosankan. Tapi mau bagaimana lagi. Mereka kini masuk ke hutan lagi. Seperti sebelumnya.

            “Darimana kita mulai?” tanya Miaocai.

            “Kita mulai dari gua saja,” kata Mengde.

            “Apakah kita harus masuk?”

            “Entahlah. Kalau kita masuk, aku tidak mau ambil risiko. Kalau tidak masuk, aku khawatir jika kita tidak bisa menemukan lipan betina.”

            Memang kebingungan Mengde ada benarnya. Target mereka segera menyelesaikan misi paling lambat besok. Mereka memang tidak meremehkan lipan. Tapi mereka meremehkan kondisi hutan yang tidak mereka kuasai dan tidak dikenali. Pilihan paling tepat dan cepat untuk segera menemukan lipan memang harus di gua. Entah di ujung hutan manapun, lipan betina kemungkinan besar akan kembali ke gua untuk merawat anak-anaknya.

            “Mengde, berapa kira-kira jumlah telur lipan betina dalam sekali bertelur?” kata Miaocai.

            “Tidak pasti. Dalam rentang sepuluh hingga lima puluh telur,” jawab Mengde.

            “Kau sudah mempelajari lipan?”

            “Ya. Beberapa bagian tubuh lipan raksasa punya sedikit kesamaan dengan lipan biasa. Yang masih tidak aku pahami bagaimana mungkin lipan raksasa mampu menembakkan cairan. Karena lipan biasa tidak akan bisa.”

            “Kau yakin ini lipan raksasa biasa?”

            “Bisa ya dan tidak. Jika ya, karena kita tidak begitu mengenali monster-monster dari daerah utara. Jika tidak, mungkin bisa saja lipan raksasa yang kita hadapi ini sebenarnya lipan biasa. Tapi karena terkena pengaruh sihir atau pengaruh yang tidak natural.”

            Tiga pendekar sekarang berada di depan mulut gua. Tidak ada bayi-bayi lipan di sini. Semua sudah masuk. Di sinilah dilema muncul di hati tiga pendekar ini. Harus bertarung di kandang musuh adalah strategi yang paling dihindari oleh Mengde.

            “Bagaimana?” tanya Miaocai.

            “Aku masih dalam pendirianku. Kita tidak akan bertarung di dalam gua. Selain berisiko tinggi juga minim cahaya,” kata Mengde, “Kita pancing bayi-bayi lipan keluar dan kita bantai mereka.”

            Yuanrang tersenyum ringan, “Olahraga ringan. Sebelum lipan betina muncul. Kira-kira maksimal ada lima puluh lipan, kan?”

            “Bisa saja lebih, Yuanrang,” kata Mengde.

            “Bukankah katamu tadi antara rentang sepuluh hingga lima puluh?” tanya Miaocai.

            “Memang seperti itu. Tapi yang kumaksud itu dalam satu siklus kawin,” kata Mengde, “Yang tidak kita ketahui, sudah berapa siklus kawin yang dilalui dua lipan itu? Dihitung sejak sepasang lipan itu kemari.”

            Akan merepotkan juga perhitungan Mengde. Memang benar kalkulasinya seperti itu. Tapi tidak mungkin juga jika harus mengetahui semua hal secara lengkap dan detail. Mereka juga lupa bertanya pada penduduk desa kapan kemunculan pertama lipan yang terlihat. Jika tahu, mereka akan lebih mudah mengestimasi berapa kira-kira jumlah anak lipan. Namun, tidak mungkin juga jika sekarang harus kembali ke area pengungsian.

            “Memang bagaimanapun, lebih baik kita tetap di depan saja daripada kita harus masuk gua yang sangat berisiko,” kata Mengde, “Jika lipan betina sedang di luar dan mencari mangsa, maka dia akan kembali ke gua ini. Jika lipan betina sedang di dalam, dia akan keluar untuk mencari mangsa. Pasti ujung-ujungnya seperti itu.”

            “Ah, kelamaan, Mengde,” kata Yuanrang yang menatap ke dalam gua.

            Yuanrang mencabut pedang dan memasuki gua. Dia memasuki gua, Namun teguran dari Mengde mengejutkan Yuanrang. Tentu saja Mengde mencemaskan Yuanrang. Mereka tidak tahu jenis kematian seperti apa yang mengancam dari kegelapan gua. Tidak hanya jenis musuh, mereka juga tidak tahu kedalaman gua.

            “Jangan tolol, Yuanrang,” kata Mengde.

            “Iya, iya. Aku tahu. Aku juga tidak mungkin bunuh diri, Mengde,” kata Yuanrang.

            “Kalau sudah tahu, kembalilah!”

            “Aku hanya masuk dua puluh langkah!”

            “Dua puluh langkah itu terlalu tolol! Sepuluh langkah saja, Yuanrang!”

            “Iya, iya!!”

            Yuanrang memasuki gua perlahan-lahan. Diawali dua langkah. Hanya ada kegelapan di sini. Meski kesulitan melihat, Yuanrang menajamkan pendengaran. Dia sudah berlatih bertarung dengan mata tertutup bersama dengan Yudhistira. Tidak ada suara yang mencurigakan. Telinga Yuanrang masih ingat suara langkah bayi-bayi lipan yang mendekat. Karena tidak ada suara apapun, Yuanrang melanjutkan beberapa langkah. Dia sekarang berdiri di titik terjauh sinar matahari memasuki gua. Telinga Yuanrang juga masih bersiaga.

            “Bagaimana?” tanya Miaocai.

            “Situasi masih aman,” kata Yuanrang.

            “Hati-hati juga dengan bagian langit-langit gua,” kata Miaocai, “Siapa tahu ada yang merayap di sana, lalu menjatuhkan diri dan mendarat tepat di kepalamu.”

            “Iya, aman,” balas Yuanrang.

            “Jangan cuma aman, aman, aman dan aman saja, Yuanrang,” komplain Mengde yang membuatkan Yuanrang obor, “Gunakan ini.”

            Yuanrang meenggunakan obor untuk menjelajah lebih jauh. Dari belakang, Mengde dan Miaocai mengikutinya. Sejauh ini tidak ada apa-apa. Meski sudah dilengkapi obor, cahaya obor masih belum mampu menembus semua kegelapan di sini. Cahaya hanya mampu menjangkau beberapa langkah saja. Kegelapan di sini terlalu kuat.

            Mata Yuanrang menangkap sesuatu yang cukup aneh. Dia menyempitkan matanya sambil merunduk. Penasaran dengan apa yang ada di depannya. Sesuatu itu mirip dua pasang bola kecil berwarna kuning dan seperti menyala dalam kegelapan. Sepasang bola terletak lebih tinggi daripada sepasang bola yang lain. Sudah sekitar tiga puluh detik Yuanrang terus menatap benda itu. Tapi dia tidak mau maju. Otaknya sibuk berpikir karena dia belum pernah melihat logam atau bebatuan gua yang berbentuk seperti itu. Mungkinkah emas?

            “Kenapa kau membungkuk begitu, sepupu?” kata Miaocai.

            Yuanrang berkata, “Ada empat bola aneh berwarna kuning. Tak kusangka di sini ada logam. Setelah kita berhasil membantai semua lipan di sini, kita kuasai hutan ini. Lalu kita bisa semakin kay …”

            Kalimat Yuanrang terhenti karena dua pasang bola tadi hilang sesaat lalu muncul lagi. Masih di tempat yang sama. Yuanrang merasa matanya yang rusak atau apa. Tapi dua pasang bola itu sekejap menghilang lalu muncul lagi di tempat yang sama.

            “Apa-apa … an,” kata Yuanrang yang mulai menyadari ada yang aneh di sini, “Mengde!”

            Apapun yang dilihat Yuanrang, dua pasang logam barusan seperti berkedip. Apakah manusia? Jelas tidak mungkin. Mana ada manusia yang dengan santainya berada di sarang lipan raksasa pemakan daging? Kecuali jika ada sepasang manusia gila yang ingin bunuh diri. Apakah ada sesuatu yang barusan lewat di depan dua pasang logam itu? Tapi, pendengaran Yuanrang yang tajam tidak mendengar langkah kaki.

            “Ada apa?” kata Mengde.

            Yuanrang berbisik ke telinga Mengde, “Tolong ciptakan bola-bola api dan lemparkan ke sana,” Yuanrang menunjuk titik di mana dia melihat ‘bola’ kuning misterius itu, “Jangan banyak tanya dan kau akan lihat.”

            “Boleh,” kata Mengde.

            Mengde menciptakan bola api di tangan lalu melemparkan sesuai permintaan sesuai permintaan Yuanrang. Apa yang mereka lihat di sana lumayan membuat mulut menganga. Ada dua orang di sana. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Berbola mata kuning dan bertaring. Mereka memakai jubah hitam bertudung. Para pendekar bisa melihat dua orang misterius itu berkulit sangat pucat. Ketika Mengde melemparkan api ke sana, dua orang misterius langsung kabur. Masuk ke kedalaman gua yang lebih jauh.

            “Tidak, Yuanrang!” teriak Mengde, “Jangan dikejar!”         

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   20. Yuanrang Versus Livilla

    Yuanrang berpamitan dengan Xing Lian dan rombongan. Setelah kepala ular beres. Sekarang dia harus mengabari misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Yaitu menyampaikan surat ke Livilla.“Kalau bertemu monster yang aneh-aneh lagi, pergilah,” kata Xing Lian, “Aku tidak yakin kau bisa menghadapi ini semua.”“Ah, kau meremehkanku,” kata Yuanrang.“Bukan meremehkan. Kita belum mengungkap misteri kenapa para monster berdatangan dari utara. Jangan mati dululah.Yuanrang pun tertawa, “Iya. Iya. Aku mengerti.”Mereka berdua pun berpisah. Xing Lian memacu kudanya ke selatan. Yuanrang masuk ke hutan. Bukan hal yang sulit bagi Yuanrang untuk menemukan gua. Dia sudah ke sana tiga kali.Sesampainya di gua, Yuanrang masuk ke permukaan. Tak ada siapapun di sana. Juga tak ada cahaya. Yang ada keheningan. Dia juga tak berani masuk terlalu dalam. Di samping karena tak ada cahaya, Yuanrang belum menguasai gua sepenuhnya. Jadi dia hanya memanggil-manggil nama Livilla saja.“Livilla!! Livilla

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   18. Dua Surat

    “Tidak. Aku tidak sependapat denganmu, Guru,” kata Mengde.“Kenapa?” Tanya Yudhistira.“Tidak efektif jika kita semua harus bergerak bersama-sama ke Bukit Lang Xue. Lebih baik kita menyebar. Dua orang ke Bukit Lang Xue. Dua orang mengabari Livilla.”“Ide yang baik, Mengde. Tapi, bukankah kalian tidak bisa Bahasa Romawi?”Pertanyaan balik Yudhistira mendiamkan tiga pendekar. Memang bagian itulah yang dilupakan tiga pendekar. Di sini hanya Yudhistira yang mampu Bahasa Romawi.“Bagaimana jika guru saja yang menemui Livilla? Kami bertiga akan pergi ke Lang Xue,” tanya Yuanrang.“Jangan tolol, Yuanrang,” kata Yudhistira, “Dua alasan. Pertama, Kita semua tidak tahu seperti itu 'bajingan tua' yang diceritakan oleh Qiong Qi ini. Kalau 'bajingan tua' itu mampu menebas sayap Qiong Qi dan bahkan mampu memanfaatkan Qiong Qi untuk melakukan agendanya, berarti dia sangat kuat. Kupertegas lagi. Meski yang kita hadapi barusan jenis Qiong Qi terlemah, pada dasarnya, Qiong Qi adalah monster yang cukup

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   17. Qiong Qi

    “Guru, kita kan belum bicara dengan Livilla,” kata Mengde yang berbisik pada gurunya supaya tidak terdengar Xing Lian, “Apakah kira-kira mereka setuju soal tempat tinggal mereka berikutnya? Warga Romawi tinggal di sarang kumuh bandit?”Yudhistira tersenyum dan balas berbisik pula, “Kalau menurutku, lebih banyak setuju daripada tidak setuju. Karena letaknya lebih condong ke utara, minimal sudah layak ditinggali manusia, jauh dari pemukiman penduduk dan terkenal banyak serigala di sini. Organisasi mereka juga dilatih untuk siap menghadapi banyak kondisi. Yah, kalau memang mereka tidak berminat, bisa kita carikan tempat lain. Yang penting mereka pindah dulu.”Para pendekar dan Xing Lian sudah hampir sampai di kaki bukit Lang Xue. Di depan, Yuanrang bisa melihat keindahan perbukitan Lang Xue. Bukit Lang Xue menjulang di atas dataran sekitarnya. Mungkin, dari atas, Yuanrang bisa melihat pemandangan daerah sekitarnya yang sangat indah. Bukit Lang Xue ditutupi tanaman hijau subur. Ada d

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   16. Yuanrang and Qiong Qi

    “Sebentar, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Yudhistira, “Kita tidak mengira kalau strigoi di dalam gua ternyata netral dan baik. Yang pasti, jangan sampai para penduduk desa dan semuanya tahu detailnya. Hanya kita dan penguasa yang boleh tahu.”“Termasuk Xing Lian?” Kata Mengde.“Termasuk Xing Lian,” tegas Yudhistira.“Kalau begitu, kita bilang saja ke Xing Lian dan tentara yang mengawalnya kalau kita belum menyelesaikan dua orang aneh itu,” kata Yuanrang, “Kalimatku memang jujur kan? Kita belum menyelesaikan mereka. Kalau Xing Lian tanya lebih spesifik, kita jawab saja situasi di dalam sangat gelap. Bahkan cahaya api Mengde pun kesusahan untuk menjangkau. Kita laporkan saja kalau kita berhasil membunuh lipan.”“Masalahnya, apakah Xing Lian sudah memberitahu ke penduduk desa kalau ada sesuatu di sana selain lipan?” tanya Miaocai.“Xing Lian berkata padaku kalau dia belum memberitahu. Setelah surat kalian sampai padaku, aku pun memperingatkan Xing Lian supaya tidak memberitahu

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   15. Livilla

    “Apakah di antara kalian yang diam-diam mempelajari pengendalian air atau tiba-tiba mampu mengendalikan air?” kata Mengde.“Jangan bodoh, Mengde,” kata Yuanrang, “Tidak ada yang namanya diam-diam dan tiba-tiba mampu.”Tiba-tiba air di kolam seolah bergelombang seperti ditiup angin. Yuanrang yang mulai curiga segera bersiap. Air-air kemudian melayang di udara dan mulai menghujani api-api buatan Mengde. Beberapa gumpalan api pun padam.“Pengendalian air asli,” kata Yuanrang, “Mengde, jangan sampai kita kehilangan cahaya.”“Ya,” jawab Mengde.“Semua tetap tenang!” kata Yudhistira yang melangkah ke depan untuk melindungi tiga muridnya.Mengde pun menebarkan api lagi dan kali ini lebih banyak. Terlalu berisiko jika mereka tidak bisa melihat di tempat yang tak mendapat cahaya seperti di sini. Jelas ada orang lain di sini. Bahkan berpotensi berbahaya karena mampu mengendalikan air.Seiring banyaknya api yang ada, area ini semakan terang. Seiring menguatnya cahaya, empat pendekar pun melihat

  • Yuanrang Pendekar Pemburu Monster   14. Pembantaian Bayi Lipan

    Ketika sampai di tanah lapang, mereka Memotong bangkai induk lipan menjadi beberapa bagian. Kemudian mengangkut ke gerobak. Setelah semua selesai, mereka lanjut memasuki hutan dan berjalan menuju gua.“Pintar juga kau, Miaocai,” kata Yudhistira yang melihat gumpalan es yang membungkus tubuh lipan raksasa “Mengawetkan tubuh bangkai.”“Aku sendiri tidak tahu apakah lipan mengenal kanibalisme atau tidak,” kata Miaocai.“Entahlah,” kata Yudhistira, “Tapi sepengetahuanku, jika kita menganalogikan dengan lipan kecil, normalnya mereka memakan daging atau tumbuhan. Umumnya mereka menyerang hewan yang lebih kecil dari diri mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka akan memakan tubuh induk mereka. Selama mencium bau daging. Tidak tahu lagi kalau lipan raksasa. Aku memang pernah membunuh lipan raksasa ketika di daerah utara. Cuma untuk kebiasaan makan mereka, tidak sedetail itu.”“Hewan apa yang jadi predator lipan?” tanya Yuanrang.“Beberapa jenis burung pemakan daging atau serangga,” jawab Yudhist

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status