Share

4. Lipan Betina (1)

Lipan sudah tak bisa kembali ke posisi semula. Setiap dia berusaha kembali, tombak Miaocai yang panjang dan kuat itu membentur tanah. Berguling ke kanan tertahan tanah. Berguling ke kiri juga tertahan tanah. Sudah tidak ada yang bisa dilakukan oleh lipan raksasa selain menunggu kematian. Tombak sudah menusuk terlalu dalam bahkan sampai menembus.

“Akan kuselesaikan,” kata Yuanrang.

Yuanrang menghunuskan pedang. Pedang itu melayang di udara bebas dengan pengendalian logamnya. Lalu terhenti tepat setinggi dua kaki dari luka lipan yang terbuka. Yuanrang mengkonsentrasikan pengendalian logam dan menusuk bagian yang terbuka lebar itu dengan kecepatan dan tekanan tinggi.

“Menangislah, lipan menjijikkan!” teriak Yuanrang.

            “Kau pintar juga,” kata Mengde.

            “Ya jelas. Mungkin kalian lebih pintar dariku dalam taktik tempur,” kata Yuanrang, “Tapi aku mempelajari cara kalian berpikir dan cara kalian menyikapi suatu momen dalam bertempuran. Aku juga harus berkembang. Aku tak bisa jika aku harus selalu mengandalkan kalian. Bagaimana jika aku harus menghadapi kondisi pelik ketika kalian tidak ada bersamaku? Seperti yang pernah kau katakan, Mengde: kemenangan atau kekalahan dalam pertempuran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan dan senjata tempur saja.”

            Mengde tertawa, “Kau ini cerewet juga, ya, sepupu. Maksudku caramu mengakhiri lipan raksasa ini.”

            “Ya memang bagian lemahnya, kan?” jawab Yuanrang, “Lagi pula, aku tidak mau terkena cairan, getah, ludah, keringat, darah atau apapun yang menjijikkan itu.”

            “Nah itu maksudku. Kalimat terakhirmu itu maksudku.”

            “Sudahlah, kalian berdua. Jangan rewel,” kata Miaocai yang menyandarkan tubuh dan menghela nafas panjang, “Akhirnya selesai juga.”

            Mereka bersandar dan beristirahat di batu selama lima belas menit. Membiarkan lipan raksasa itu berhenti bernafas. Gerakan Yuanrang tadi tidak hanya menusuk. Tapi setelah menusuk, Yuanrang juga membelah hingga merusak rahang bawah lipan. Hingga mulutnya terbelah. Setelah tidak ada tanda-tanda pergerakan pada lipan raksasa, mereka bertiga baru memeriksa.

            “Matamu boleh juga. Kau mendeteksi titik lemahnya,” tanya Mengde, “Bagian bawah tubuh dekat mulut kan?”

            “Benar. Aku berpikir ada celah kosong sehingga kumanfaatkan saja,” kata Yuanrang,

            Mengde mengeluarkan pedang dan menyentuh bagian yang tadi diincar Yuanrang, “Sekarang aku paham. Karena inilah keanehan terjadi,”

            “Keanehan apa maksudmu?” tanya Yuanrang.

            “Kau tahu kan kalau ketika mengejar kita tadi, lipan ini menembakkan cairan-cairan aneh? Setelah kita keluar dari hutan, lipan ini tidak menembakkan cairan lagi,” kata Mengde.

            “Organ yang memproduksi cairan sudah rusak, ya?” kata Miaocai.

            Mengde menepuk bahu Miaocai, “Rusak sejak lipan ini mengejar kita. Berkat jebakan esmu yang merobeknya.”

            Mereka mulai bekerja lagi. Miaocai sibuk mengambil puluhan senjata dan anak panah yang sudah menusuk bagian tubuh lipan. Sementara Yuanrang dan Mengde lalu berjalan ke bagian belakang lipan. Kemudian melihat organ reproduksi. Setelah merobek dengan hati-hati, Mengde memahami kalau ini kabar buruk.

            “Yang kita bunuh lipan jantan,” kata Mengde, “Bayi-bayi lipan tidak mungkin lahir jika hanya lipan jantan.”

            “Berarti masih ada lipan betina,” respon Yuanrang, “Sebagai suami yang baik, lipan jantan ini melindungi istri dan anak mereka. Sampai rela menjadi dinding pertahanan dari serangan penduduk desa. Kita hajar sekarang?”

            Mengde menggeleng, “Kita bantu dulu Miaocai membereskan semua senjata. Sebisanya. Lalu kita istirahat sejenak.”

            Dua jam kemudian, tiga pendekar masuk hutan lagi setelah semuanya selesai. Bagian ini yang membuat Yuanrang mengeluh. Yuanrang adalah seorang petarung. Bukan seorang pencari. Jadi dia lebih menikmati pertarungan daripada pencarian seperti sekarang. Lagi pula, hutan ini juga luas. Menurut Yuanrang, tadi ketika berhasil menemukan gua saja sudah termasuk beruntung. Memang membosankan. Tapi mau bagaimana lagi. Mereka kini masuk ke hutan lagi. Seperti sebelumnya.

            “Darimana kita mulai?” tanya Miaocai.

            “Kita mulai dari gua saja,” kata Mengde.

            “Apakah kita harus masuk?”

            “Entahlah. Kalau kita masuk, aku tidak mau ambil risiko. Kalau tidak masuk, aku khawatir jika kita tidak bisa menemukan lipan betina.”

            Memang kebingungan Mengde ada benarnya. Target mereka segera menyelesaikan misi paling lambat besok. Mereka memang tidak meremehkan lipan. Tapi mereka meremehkan kondisi hutan yang tidak mereka kuasai dan tidak dikenali. Pilihan paling tepat dan cepat untuk segera menemukan lipan memang harus di gua. Entah di ujung hutan manapun, lipan betina kemungkinan besar akan kembali ke gua untuk merawat anak-anaknya.

            “Mengde, berapa kira-kira jumlah telur lipan betina dalam sekali bertelur?” kata Miaocai.

            “Tidak pasti. Dalam rentang sepuluh hingga lima puluh telur,” jawab Mengde.

            “Kau sudah mempelajari lipan?”

            “Ya. Beberapa bagian tubuh lipan raksasa punya sedikit kesamaan dengan lipan biasa. Yang masih tidak aku pahami bagaimana mungkin lipan raksasa mampu menembakkan cairan. Karena lipan biasa tidak akan bisa.”

            “Kau yakin ini lipan raksasa biasa?”

            “Bisa ya dan tidak. Jika ya, karena kita tidak begitu mengenali monster-monster dari daerah utara. Jika tidak, mungkin bisa saja lipan raksasa yang kita hadapi ini sebenarnya lipan biasa. Tapi karena terkena pengaruh sihir atau pengaruh yang tidak natural.”

            Tiga pendekar sekarang berada di depan mulut gua. Tidak ada bayi-bayi lipan di sini. Semua sudah masuk. Di sinilah dilema muncul di hati tiga pendekar ini. Harus bertarung di kandang musuh adalah strategi yang paling dihindari oleh Mengde.

            “Bagaimana?” tanya Miaocai.

            “Aku masih dalam pendirianku. Kita tidak akan bertarung di dalam gua. Selain berisiko tinggi juga minim cahaya,” kata Mengde, “Kita pancing bayi-bayi lipan keluar dan kita bantai mereka.”

            Yuanrang tersenyum ringan, “Olahraga ringan. Sebelum lipan betina muncul. Kira-kira maksimal ada lima puluh lipan, kan?”

            “Bisa saja lebih, Yuanrang,” kata Mengde.

            “Bukankah katamu tadi antara rentang sepuluh hingga lima puluh?” tanya Miaocai.

            “Memang seperti itu. Tapi yang kumaksud itu dalam satu siklus kawin,” kata Mengde, “Yang tidak kita ketahui, sudah berapa siklus kawin yang dilalui dua lipan itu? Dihitung sejak sepasang lipan itu kemari.”

            Akan merepotkan juga perhitungan Mengde. Memang benar kalkulasinya seperti itu. Tapi tidak mungkin juga jika harus mengetahui semua hal secara lengkap dan detail. Mereka juga lupa bertanya pada penduduk desa kapan kemunculan pertama lipan yang terlihat. Jika tahu, mereka akan lebih mudah mengestimasi berapa kira-kira jumlah anak lipan. Namun, tidak mungkin juga jika sekarang harus kembali ke area pengungsian.

            “Memang bagaimanapun, lebih baik kita tetap di depan saja daripada kita harus masuk gua yang sangat berisiko,” kata Mengde, “Jika lipan betina sedang di luar dan mencari mangsa, maka dia akan kembali ke gua ini. Jika lipan betina sedang di dalam, dia akan keluar untuk mencari mangsa. Pasti ujung-ujungnya seperti itu.”

            “Ah, kelamaan, Mengde,” kata Yuanrang yang menatap ke dalam gua.

            Yuanrang mencabut pedang dan memasuki gua. Dia memasuki gua, Namun teguran dari Mengde mengejutkan Yuanrang. Tentu saja Mengde mencemaskan Yuanrang. Mereka tidak tahu jenis kematian seperti apa yang mengancam dari kegelapan gua. Tidak hanya jenis musuh, mereka juga tidak tahu kedalaman gua.

            “Jangan tolol, Yuanrang,” kata Mengde.

            “Iya, iya. Aku tahu. Aku juga tidak mungkin bunuh diri, Mengde,” kata Yuanrang.

            “Kalau sudah tahu, kembalilah!”

            “Aku hanya masuk dua puluh langkah!”

            “Dua puluh langkah itu terlalu tolol! Sepuluh langkah saja, Yuanrang!”

            “Iya, iya!!”

            Yuanrang memasuki gua perlahan-lahan. Diawali dua langkah. Hanya ada kegelapan di sini. Meski kesulitan melihat, Yuanrang menajamkan pendengaran. Dia sudah berlatih bertarung dengan mata tertutup bersama dengan Yudhistira. Tidak ada suara yang mencurigakan. Telinga Yuanrang masih ingat suara langkah bayi-bayi lipan yang mendekat. Karena tidak ada suara apapun, Yuanrang melanjutkan beberapa langkah. Dia sekarang berdiri di titik terjauh sinar matahari memasuki gua. Telinga Yuanrang juga masih bersiaga.

            “Bagaimana?” tanya Miaocai.

            “Situasi masih aman,” kata Yuanrang.

            “Hati-hati juga dengan bagian langit-langit gua,” kata Miaocai, “Siapa tahu ada yang merayap di sana, lalu menjatuhkan diri dan mendarat tepat di kepalamu.”

            “Iya, aman,” balas Yuanrang.

            “Jangan cuma aman, aman, aman dan aman saja, Yuanrang,” komplain Mengde yang membuatkan Yuanrang obor, “Gunakan ini.”

            Yuanrang meenggunakan obor untuk menjelajah lebih jauh. Dari belakang, Mengde dan Miaocai mengikutinya. Sejauh ini tidak ada apa-apa. Meski sudah dilengkapi obor, cahaya obor masih belum mampu menembus semua kegelapan di sini. Cahaya hanya mampu menjangkau beberapa langkah saja. Kegelapan di sini terlalu kuat.

            Mata Yuanrang menangkap sesuatu yang cukup aneh. Dia menyempitkan matanya sambil merunduk. Penasaran dengan apa yang ada di depannya. Sesuatu itu mirip dua pasang bola kecil berwarna kuning dan seperti menyala dalam kegelapan. Sepasang bola terletak lebih tinggi daripada sepasang bola yang lain. Sudah sekitar tiga puluh detik Yuanrang terus menatap benda itu. Tapi dia tidak mau maju. Otaknya sibuk berpikir karena dia belum pernah melihat logam atau bebatuan gua yang berbentuk seperti itu. Mungkinkah emas?

            “Kenapa kau membungkuk begitu, sepupu?” kata Miaocai.

            Yuanrang berkata, “Ada empat bola aneh berwarna kuning. Tak kusangka di sini ada logam. Setelah kita berhasil membantai semua lipan di sini, kita kuasai hutan ini. Lalu kita bisa semakin kay …”

            Kalimat Yuanrang terhenti karena dua pasang bola tadi hilang sesaat lalu muncul lagi. Masih di tempat yang sama. Yuanrang merasa matanya yang rusak atau apa. Tapi dua pasang bola itu sekejap menghilang lalu muncul lagi di tempat yang sama.

            “Apa-apa … an,” kata Yuanrang yang mulai menyadari ada yang aneh di sini, “Mengde!”

            Apapun yang dilihat Yuanrang, dua pasang logam barusan seperti berkedip. Apakah manusia? Jelas tidak mungkin. Mana ada manusia yang dengan santainya berada di sarang lipan raksasa pemakan daging? Kecuali jika ada sepasang manusia gila yang ingin bunuh diri. Apakah ada sesuatu yang barusan lewat di depan dua pasang logam itu? Tapi, pendengaran Yuanrang yang tajam tidak mendengar langkah kaki.

            “Ada apa?” kata Mengde.

            Yuanrang berbisik ke telinga Mengde, “Tolong ciptakan bola-bola api dan lemparkan ke sana,” Yuanrang menunjuk titik di mana dia melihat ‘bola’ kuning misterius itu, “Jangan banyak tanya dan kau akan lihat.”

            “Boleh,” kata Mengde.

            Mengde menciptakan bola api di tangan lalu melemparkan sesuai permintaan sesuai permintaan Yuanrang. Apa yang mereka lihat di sana lumayan membuat mulut menganga. Ada dua orang di sana. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Berbola mata kuning dan bertaring. Mereka memakai jubah hitam bertudung. Para pendekar bisa melihat dua orang misterius itu berkulit sangat pucat. Ketika Mengde melemparkan api ke sana, dua orang misterius langsung kabur. Masuk ke kedalaman gua yang lebih jauh.

            “Tidak, Yuanrang!” teriak Mengde, “Jangan dikejar!”         

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status