Share

3. Lipan Raksasa

Tiga pendekar remaja kita berlari menjauh. Di belakang mereka, kematian begitu mengancam. Lipan raksasa memang bergerak begitu cepat. Tapi lebih dari itu. Makhluk itu mampu menembakkan cairan bening yang mencurigakan. Baunya cukup aneh dan susah dilukiskan dengan kata-kata. Intinya cukup untuk membuat perut mereka mual dan jangan sampai cairan aneh ini mengenai kulit. Cukup mengganggu konsentrasi juga. Meski begitu, mereka terus berlari tanpa henti. Mereka semua baru tahu ada lipan yang mampu menembakkan cairan misterius.

“Seberapa jauh jarak kita, Miaocai?” kata Mengde, “Uh, aku tidak tahan baunya.”

“Masih setengah jalan lagi,” kata Miaocai.

Tiga pendekar ini berlari sambil menutup hidung. Bernafas melalui mulut. Sesekali membuka hidung juga untuk mengambil udara karena mau bagaimanapun mereka sedang berlari. Lalu menutup hidung lagi. Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja bau kecoa. Tapi sekarang lebih buruk dari bau kecoa.

Sesekali Miaocai menoleh ke belakang. Dia mengamati beberapa panah yang dia tembakkan tadi ke kepala lipan. Memang tusukan anak panah tidak terlalu dalam. Berarti bisa dibilang kulit lipan terlihat susah ditembus. Sekeras apa spesifiknya, mungkin bisa dicoba nanti dengan pedang Yuanrang jika sudah keluar dari hutan.

Mulut hutan sudah terlihat. Para pendekar sudah kelelahan. Mereka tidak mempercepat langkah karena harus menghemat tenaga. Cara lain yaitu memperlambat lipan. Dengan cara dinding es kecil buatan Miaocai dan ledakan-ledakan api yang dibuat Mengde. Usaha ini ternyata cukup berpengaruh. Jarak antara pendekar dengan lipan raksasa ternyata semakin melebar. Akhirnya, mereka keluar dari mulut hutan.

“Ayo, tata formasi,” kata Yuanrang.

Sesuai strategi yang mereka rancang sebelumnya, mereka memposisikan diri. Yuanrang dan Mengde di berada di paling depan. Sementara Miaocai berada di paling belakang dengan panahnya.

“Mengde, stok panah aman kan?” kata Miaocai.

“Aman,” kata Mengde, “Tenang saja.”

Hanya karena Yuanrang berhasil menghindar, lipan raksasa tidak berhenti menyerang. Dia kini malah mengincar Mengde. Mengde yang dari tadi berdiri di depan batu besar dan tebal, langsung berguling ke kanan. Kepala lipan itu membentur batu dengan kerasnya. Bayangkan, lipan itu menyerang dengan kecepatan tinggi. Pasti kepalanya pusing.

Yuanrang yang paling dekat dengan bagian belakang lipan, langsung menusuk ekornya. Sayang serangan Yuanrang tidak begitu membuat luka yang dalam.

"Lumayan keras," kata Yuanrang, "Miaocai!"

Memanfaatkan momen ketika lipan masih pusing, Miaocai mengambil dua anak panah. Kemudian melapisi ujungnya dengan bibit es. Lalu dua anak panah itu berdesing di udara dan membekukan sisi kanan kepalanya. Lipan itu menggeliat kesakitan.

Mengde menggunakan kesempatan ini untuk menebas tubuh lipan. Namun, meski sudah memakai tenaga sekuat mungkin, luka yang dibuat Mengde tidak terlalu dalam. Dia akhirnya merasakan juga keunggulan lipan.

"Benar juga! Kulitnya terlalu keras!" Kata Mengde.

Jika kulit tidak bisa, Yuanrang mencoba menebas kaki lipan. Ternyata berhasil. Memang tetap keras. Tapi tidak sekeras kulitnya.

"Kakinya!" Teriak Yuanrang, "Kita lumpuhkan dia!"

Mengde mengangguk dan berteriak, "Berkumpul!"

Tiga pendekar itu berkumpul lagi. Dengan kata lain, regroup. Mengde menyusun strategi lagi. Otak Mengde yang pintar memang sudah menghasilkan strategi. Namun, dia tidak sempat mengutarakan ke kedua sepupunya karena lipan sudah tidak pusing dan mulai menyerang lagi.

Mereka bertiga pun berguling menghindar ke segala arah. Ketika lipan melewati dirinya, Yuanrang menggunakan kesempatan untuk menebas beberapa kakinya. Dapat dua. Karena kehilangan keseimbangan dan berjalan dengan kecepatan tinggi, lipan pun sedikit oleng.

"Dia punya berapa kaki?" Kata Yuanrang sambil mengamati lipan yang sedang berbalik arah.

Mengde menghela nafas karena jumlah kaki sangatlah banyak, "Haruskah kita menghitung? Selama kalian melihat kaki, langsung tebas saja."

"Bersyukurlah," kata Miaocai sambil memasang jebakan berupa bunga-bunga es di tanah, "Kita tidak menghadapi kaki seribu."

Mengde menggenggam erat pedang dan berkata, "Bersiap! Dia datang!"

Lipan raksasa itu bergerak cepat. Malah terlihat seperti berlari. Di padang rumput dekat mulut hutan ini, semua terlihat begitu jelas. Para pendekar pun segera berlari mundur. Lipan yang bergerak cepat akhirnya terhenti sesaat dan meraung. Jebakan bunga-bunga es yang berduri runcing mencabik-cabik bagian bawah tubuh. Masih belum terlalu parah, lipan lanjut menerjang lagi. Para pendekar pun berguling lagi. Di momen itu pula, Yuanrang dan Mengde menebas kaki-kakinya.

"Ternyata bagian bawah tidak sekeras bagian atas," kata Miaocai.

"Ya. Titik lemah bagian bawah tubuh bisa kita manfaatkan," kata Mengde, "Buat jebakan lagi."

"Kali ini ..." Kata Miaocai sambil berguling lagi menghindari terjangan lipan raksasa "... Susah. Dia berputar balik lebih cepat."

"Jaraknya terlalu dekat sehingga kau tidak sempat membuat bunga-bunga es ya?" Kata Mengde yang memahami kendala Miaocai

"Pasang jebakan es lagi!" Kata Mengde, "Dia berputar lebih lama."

Lipan terus berjalan hingga akhirnya berputar balik. Para pendekar pun terengah-rengah. Cara seperti ini memang efektif. Namun, cukup berisiko jika gagal mengambil momen untuk menghindar ketika lipan itu menerjang. Bagian tubuh bisa terkunyah oleh mulut lipan.

Begitulah analisis untung dan rugi yang sekarang berproses di otak Yuanrang. Dirinya mengakui kalau otaknya tidak secerdik Mengde. Tapi Yuanrang berkemauan keras untuk memikirkan bagaimana solusi terbaik.

Lipan terus menyerang dengan cara yang sama. Menyerbu dan menerjang. Dengan cara yang sama pula pada pendekat mengatasinya. Berguling menghindar lalu menebas kaki. Itu pun hanya dapat satu atau dua kaki. Tidak terlalu berpengaruh juga ke kemampuan bergerak lipan jika hanya dapat jumlah sedikit begini. Kalau begini terus, tiga pendekar ini akan kelelahan sebelum kaki-kaki lipan itu habis. Akan berpotensi menjadi masalah nanti.

"Pasang jebakan es lagi!" Kata Mengde, "Akan kucoba bakar kepalanya!"

"Hhhh ... Seperti banteng liar, ya?" Kata Miaocai, “Hanya saja lebih panjang.”

"Tunggu ... Banteng??" Kata Yuanrang.

Mendengar kata banteng, Yuanrang langsung teringat pengalaman mereka bertiga ketika harus melawan banteng jantan liar di hutan dekat Guru Yudhistira. Mencoba mengulang kesuksesan melawan banteng, Yuanrang pun memanjat batu di dekatnya. Mengde dan Miaocai harus menghindari lagi.

"Apa yang kau lakukan, sepupu?" Kata Miaocai yang melihat Yuanrang berdiri di puncak batu.

"Pancing lipan ke sini!" Teriak Yuanrang, "Perlambat juga langkahnya dengan es dan api!"

Miaocai keheranan sejenak lalu berkata, “Ba … baiklah.”

Tak paham apa yang ada di pikiran pengendali logam itu, Miaocai dan Mengde pun menurut. Kini mereka berdua di bawah sambil menyiapkan pengendalian es dan api. Lipan itu kini mengarah langsung ke dua pendekar. Kecepatannya berkurang sedikit karena serangan api dan jebakan es. Di saat itulah, Yuanrang terjun dari atas batu dan menusukkan pedang ke kepala lipan.

Pegerakan lipan pun jadi kacau. Dia menjerit dan lanjut maju. Serangan barusan mengacaukan otak. Kalau otak kacau berarti syaraf juga kacau. Meski di akhir mukanya malah menghantam dasar batu. Karena benturan barusan laju pergerakan pun terhenti sejenak. Di saat inilah, Mengde dan Miaocai menebas kaki-kaki lipan sedapatnya. Lima belas detik kemudian, lipan mulai meronta lagi. Miaocai dan Mengde mulai menjauh. Mengde yang tidak mau rugi, menyemburkan api ke perut lipan.

“Apa yang kau lakukan di atas sana, Yuanrang?” kata Miaocai.

“Menyiapkan rencana selanjutnya,” kata Yuanrang.

“Cepat turun!!” kata Mengde, “Aku akan …”

Belum sempat menyelesaikan kalimat, Mengde malah terlempar ke timur karena lecutan ekor lipan. Beruntung reflek Mengde untuk bertahan cukup cepat. Meski tetap terlempar, setidaknya badan bagian depan tidak terlalu terluka parah. Untung Mengde mendarat di padang rumput.

“Sial! Aku lengah!” kata Mengde.

Karena taktik Yuanrang, arah lipan jadi semakin tak terkendali. Makhluk besar itu bergerak entah kemana. Di kekacauan seperti ini, Yuanrang terus menggenggam erat gagang pedang untuk mempertahankan posisi. Sekalian memperkuat tusukan supaya luka yang ditimbulkan semakin dalam. Tidak hanya itu, Yuanrang terus menusuk matanya.

Jangankan Miaocai dan Yuanrang, Mengde yang otaknya paling pintar pun tak mampu memprediksi arah geraknya kemana. Beberapa kali lipan raksasa membentur pohon besar lalu bergerak lagi ke segala arah. Miaocai menyerang ketika lipan raksasa membentur benda keras. Dia baru memanah perut lipan. Hanya di saat itulah Miaocai bisa mengambil kesempatan. Karena tidak mau buang anak panah sembarangan.

"Kerja bagus, sepupu," puji Mengde, "Nanti kubantu mensterilkan ujung anak panah."

"Kalau steril sudah pasti," kata Miaocai, "Kita tidak tahu cairan beracun macam apa yang mengalir di tubuhnya."

Seiring dengan semakin dalamnya tusukan Yuanrang, maka semakin berubah juga pola gerakan lipan. Lipan kini berguling di rerumputan, lalu berbalik normal lagi dan berguling lagi. Sekuat apapun genggaman Yuanrang ke gagang pedang, akhirnya lepas juga. Ahli pedang itu bergulingan di rerumputan.

Usaha mereka pun mulai memperlihatkan hasil. Laju lipan raksasa kini semakin melambat. Mungkin dia juga sudah lemah setelah digempur oleh puluhan senjata dari penduduk desa. Kini lipan mulai bergerak ke Mengde dan Miaocai.

"Awasss!!" Teriak Yuanrang

Miaocai dan Mengde sudah berguling. Namun, lipan raksasa ini bergerak secara berbeda. Dia mendadak mengerem lalu mengkibaskan ekor. Beruntung dua serangan barusan gagal mengenai dua pendekar itu.

"Kenapa???" Kata Miaocai.

"Aku paham ... Karena ...," Kalimat Mengde terpotong karena si lipan raksasa mengayunkan ekor lagi.

"Karena apa, sepupu?" Miaocai pun juga sibuk menghindar.

Memang secara umum untuk menyikapi serangan ada empat pilihan. Menghindar, menangkis, menepis dan menyerang balik dengan tekanan yang sama atau melebihi. Itu berlaku untuk menghadapi manusia biasa. Namun, untuk hewan berukuran besar seperti ini, yang punya tekanan serang berbeda, tiga pilihan lain seperti menangkis, menepis dan menyerang balik pun percuma. Hanya menghindar yang masuk akal. Mau menangkis juga malah terhempas. Mereka tidak punya pilihan lain selain menghindar.

"Karena ..." Kata Mengde yang menghindar sambil menebas salah satu kaki lipan.

"Oke, aku paham keadaanmu," kata Miaocai.

Dari belakang lipan, Yuanrang sudah berlari maju. Dia mengendalikan logam dan mengambil tombak Miaocai. Ahli pertarungan jarak dekat itu sudah memahami kalau lipan raksasa sudah mendekati kematian. Kesimpulan itu diambil setelah melihat lendir atau cairan tubuh lipan yang sudah membasahi rumput. Zat cair itu keluar dari kaki, kepala dan bagian bawah tubuh. Yuanrang tak paham anatomi lipan. Mudahnya, Jika meminjam bahasa manusia, lipan raksasa sudah mengalami pendarahan parah.

"Tetap total bertahan," kata Yuanrang, "Gerakan lipan sudah berbeda karena dia sudah melambat. Sehingga dia lebih mudah mengontrol tubuh untuk mengibaskan ekornya ke kalian."

Seperempat tubuh lipan berdiri. Seperti ular kobra. Lalu mencoba menerkam Mengde seperti cara ular kobra mematuk.

"Karena ...," Kata Mengde yang menghindar sekaligus mencoba meneruskan kalimatnya tadi, "Karena itu tadi sudah dijelaskan oleh Yuanrang."

Untung Mengde bisa menghindar. Plus membakar muka lipan dengan pengendalian api. Memang aslinya bukan keberuntungan. Tapi murni kalkulasi Mengde untuk menyerang balik.

Karena terbakar oleh api, lipan menggeliat dan berguling-guling. Di situlah Yuanrang melihat luka lebar yang menganga. Tepatnya bagian bawah tubuh yang berdekatan dengan mulut. Luka lebar ini merupakan titik lemah lipan yang akan dieksploitasi.

"Akan kubakar terus," kata Mengde sambil mengeluarkan api dari telapak tangannya.

"Akan kuhujani kepalanya dengan panah dan tembakan es," kata Miaocai.

Para pendekar sudah berada di atas angin. Ketika titik lemah lipan terlihat, Yuanrang langsung menusukkan tombak milik Miaocai ke titik lemah itu. Hasilnya cukup sukses. Tusukan Yuanrang mengoyak organ bagian dalam dan menembus sampai ke punggung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status